Bab 6
POV Nia
Aku hampir saja kelepasan bilang uangku masih ada di ATM, tapi untungnya mulut ini masih bisa diajak berbohong. Aku bilang bahwa uangnya telah dideposito.
Setelah bicara dengan Mas Leo, aku jadi terheran-heran karena tidak ada kabar pemecatan. Apa gosip yang aku lontarkan di akun kloningan yang persis akun fake Mas Leo tidak berpengaruh? Aku mengganti pakaian, tiba-tiba mama mertuaku menghubungi."Halo, iya, Mah," ucapku mengawali pembicaraan."Kamu sedang bersama Leo?" tanya mama.
"Di kamar, Mah, lagi ganti pakaian. Kenapa ya, Mah?" Aku jadi penasaran dengan pertanyaan mama.
Aku yang tadinya beberes kasur kini duduk untuk mendengarkan apa yang ingin mama katakan."Nia, memang kamu mau liburan minggu ini?" tanya mama. Aku sontak mengelak."Nggak, Mah," sanggahku. "Tunggu-tunggu, Mas Leo nelpon Mama ya? Lalu minta uang alibi untuk liburan?" tukasku.
"Betul, Mama pikir kamu tahu, ternyata ini akal-akalan dia saja, udahlah Mama mau ke sana, ada yang mau Papa obrolin juga, ini sudah dekat kok," ucap mama."Ya sudah, hati-hati ya, Mah. Aku tunggu kedatangannya di rumah," tutupku.Ternyata lelaki buaya itu diam-diam minta uang pada mamanya. Untuk apa sebenarnya uang tersebut? Apa untuk menutup aibnya di kantor? Ah benar-benar di luar dugaan. Aku pikir setelah membagikan video tersebut ia dipecat dan setelah itu bingung mencari kerjaan untuk menghidupi istri-istrinya. Aku meletakkan ponsel, sepertinya ada tamu, apa mama mertuaku sudah tiba di sini? Aku keluar dari kamar, dan menemui mereka. Namun, kulihat ada pandangan serius di mata kedua mertuaku terhadap Mas Leo. Lagi pula Mas Leo sudah rapi mau ke mana?"Mas, kamu mau ke mana? Kok sudah rapi!" Sengaja aku lontarkan pertanyaan agar mertuaku bertanya balik padanya."Tuh kan, mau pergi tanpa izin istri?" cetus mama dengan nada ketus. Aku melirik ke arah Mas Leo yang sedang kebingungan. "Mah, aku tadi dihubungi teman kantor, ditunggu segera urgent katanya," jawab Mas Leo sambil melihat jam tangan yang melingkar di tangan kirinya. Aku tahu ia tengah berbohong, jadi lebih baik aku suruh mama duduk saja."Mah, duduk sini, aku ambil minum untuk Mama ya," ucapku menawarkan jamuan untuk mertua. Mereka pun duduk, tapi mencegahku pergi dari hadapannya."Nggak usah, Nia. Kamu duduk saja, Papa mau bicara!" jelas Papa Dirga."Iya, Nia, Leo, kalian duduk di hadapan kami," susul mama.Mas Leo menghela napas sambil mendesah kesal kemudian duduk. Aku pun bergeser duduk di sebelah Mas Leo. Kulihat wajah Mas Leo tegang duduk di hadapan mama dan papanya."Mah, Pah, mau bicara apa? Aku mepet banget nih," ucap Mas Leo sembari melihat jam tangannya. "Ya sudah pergi sana!" suruh papa kesal."Duitnya udah ditransfer, Mah?" tanya Mas Leo.
"Kamu minta duit, tapi disuruh duduk mendengarkan papa bicara tidak mau!" bentak papa kesal. Aku hanya menunduk, tak bicara apapun yang membuat mertuaku semakin marah.
Mas Leo terlihat cemas, ia selalu melihat jarum jam yang terus berputar. "Papa mau menanyakan sesuatu hal penting, tentang villa yang Papa beli di daerah puncak, tapi sebelum bicara soal ini, Papa ingin menanyakan perihal uang 10 juta yang kamu pinta tadi, kenapa harus bohong pada Nia?" tanya papa dengan mata menyipit."Bohong apa sih, Pah? Aku nggak bohong," celetuk Mas Leo membela dirinya. "Kita kan mau liburan ya, Sayang?" tanya Mas Leo mengalihkan pandangannya ke hadapanku dengan mata sebelah dikedipkan. Aku tahu ini seraya kode agar aku ikuti kata-kata Mas Leo. Mungkin ia pikir aku akan menutupi kebohongannya."Betul Nia? Memang kamu mau pergi liburan bersama anak-anak?" "Nggak, Mah, Pah, aku nggak ada rencana ke mana-mana," terangku.Mas Leo menoleh dengan mata membulat, kemudian ia menginjak kakiku keras."Apaan sih, Mas, kok nginjek kakiku segala!" tegasku sambil melihat jari kaki.
Kemudian Papa menggebrak meja. Ia terlihat kesal pada Mas Leo.
"Leo! Dengar ya, Papa tahu kamu bohong! Untuk apa uang itu, cepat katakan?" tanya papa dengan nada tinggi.
Tidak lama kemudian ponsel Mas Leo berdering, lama sekali panggilan masuk terus menerus tak berhenti. Mas Leo pun tak mengangkat teleponnya. Aku rasa itu Jenni, tidak mungkin ia berani angkat di depan mama dan papanya.
"Angkat! itu sudah 3 kali dimatikan masih menghubungi kamu, artinya penting, angkat Leo!" suruh papa.Mas Leo menggelengkan kepalanya, lalu mematikan teleponnya lagi."Nggak, Pah. Telepon dari orang iseng aja, kita lanjutkan obrolan villa saja, Pah. Soal piknik, aku minta maaf ya, uang tabunganku sudah dideposito oleh Nia, jadi nggak punya pegangan," sanggah Mas Leo.Telepon itu terus berdering, dan akhirnya Papa yang ambil alih ponsel Mas Leo, lalu bicara dengan penelpon yang katanya orang iseng.
"Halo," ucap papa ketika mengawali pembicaraan.BersambungBab 32 POV Author "Salma, Mah, Salma masuk rumah sakit," ucap Nia. "Ah biar saja kalau dia," jawab Mama Desi tak peduli. "Mah, Salma hampir saja jadi korban pemerkosaan," ucap Nia kembali memberikan kabar.Mendengar ucapan Nia, Mama Desi terperangah. Namun, lagi-lagi egonya lebih tinggi. "Biar saja, Mama tak peduli!" ujarnya mencoba tak acuh. "Mah, kalian itu tetap ada ikatan, buktinya perasaan Mama dari tadi cemas, ya kan?" Nia berusaha meyakinkan mantan mertuanya itu. Meskipun belum resmi bercerai, bagi Nia, Leo adalah mantan suaminya yang dalam proses perceraian. "Rumah sakit mana?" tanya Mama Desi akhirnya luluh. Ia terdengar sesegukan di telepon, mungkin naluri seorang ibu luluh saat mendengar anaknya dilecehkan. "Rumah Sakit Pelita, Mah, aku pagi ini juga ke sana, ketemu di RS ya, Mah," ucap Nia. "Ya, saya akan beritahukan ini pada papanya dan Leo, terima kasih banyak informasinya," jawab Mama Desi.
Bab 31(POV Author)Malam yang kian larut dan lampu jalanan yang tak terlalu terang menjadi saksi peristiwa yang menimpa Salma. Suaranya hampir habis, tetapi usahanya percuma. Tak ada satu pun yang mendengar teriakannya apalagi melihat dan datang membantu.Ia masih mencoba berlari menghindari kejaran dua lelaki yang telah menyiram bensin ke wajahnya. Kakinya terasa sakit sehinga ia terseok-seok. Kondisi mabuknya pun membuat ia semakin kesulitan untuk berlari, sesekali tubuhnya hampir limbung tetapi ia masih berusaha menjaga keseimbangan meski tetap sempoyongan.Tawa kedua lelaki berbadan kekar masih terdengar, seolah mereka sengaja menjadikan Salma sebagai bahan permainan seperti seekor tikus kecil. “Hai, Nona cantik! Kamu mau coba lari ke mana? Coba lihat dirimu, berdiri tegak saja sudah tak mampu. Sudahlah, lebih baik nikmati malam ini dengan kami!” teriak salah satu dari mereka.Salma masih tak menggubris ucap
Bab 30POV Salma"Tenang semua, tenang!" Tiba-tiba orang tua Gani muncul dari balik pintu."Tante, Om," sergahku. Namun, mereka tak mempedulikan pelukan aduan dariku. Kenapa mereka seperti ini?"Kalian bubar, ini menantu saya, mereka sudah menikah lama di luar kota, kalau nggak percaya, tunjukkan buku nikah kalian, Ratna," ucap mamanya Gani. Benarkah itu? Ucapannya membuatku dan semua orang terbelalak, sebab sudah setahun lebih aku bersama Gani, tapi tak pernah tahu bahwa sebenarnya ia telah menikah.Kemudian mereka mengeluarkan buku kecil dari tas, lalu memberikan buku itu ke salah satu warga. Mereka memperhatikan antara foto yang berada di buku dan asli. Kemudian, setelah itu, mereka bermunduran keluar rumah."Kalian mau ke mana? Bukankah tadi mau bakar mereka?" tanyaku ketika semua warga pergi keluar rumah."Kamu yang seharusnya pergi, Salma," ucap mamanya Gani. Pantas saja, setiap kali aku ke ru
Bab 29POV Leo"Kamu saya pindah ke perusahaan Papa saya, dan tidak lagi menjadi office boy di kantor ini, tapi dengan syarat, please jangan ganggu lagi Nia," ucap pimpinan perusahaan yang bernama Iqbal. Rupanya ia menaruh hati pada mantan istriku, Nia.Aku tertunduk sambil menatapnya datar, lalu bicara pelan padanya."Maaf, bukankah urusan kantor dan pribadi tidak bisa dicampur aduk?""Saya tidak campur aduk, sebenarnya saya tahu siapa kamu, dan setelah ini pastinya Salma akan berbuat yang merugikan Nia, saya yakin itu. Makanya, kamu dipanggil pagi-pagi, untuk saya pindah ke perusahaan Papa saya. Terserah kamu, mau atau tidak," ancamnya.Hubunganku dengan Nia telah berakhir, memang tak ada yang bisa dipertahankan, aku dengan Nia sudah tak ada lagi rasa yang tertinggal. Cintaku saat ini hanya untuk Jenni dan anak-anak. Jadi, tidak ada alasan untuk menolak tawaran Pak Iqbal."Baiklah, Pak
Bab 28POV NiaSebenarnya aku tak paham betul apa maksud dan tujuan Salma. Ia begitu arogan, seperti orang kehausan kasih sayang, jadi di jiwa dan hatinya hanya ada antusias keinginan.Tante Maya mengajak anaknya, Salma, ke toilet, dan momen inilah saatnya kami berembuk mengenai sikap Salma. Terutama Iqbal yang sebenarnya keberatan dengan sikap dan perilaku Salma."Sudahlah, kamu jangan diambil hati, ya, Nia. Om Jaya memaklumi sikap Salma, wajar dia seperti itu," ucap Pak Jaya."Iya, Pak," tundukku."Tenang saja, pokoknya kami percaya kamu, Nia," susul Iqbal. Aku beruntung, memang sangat beruntung, wajarlah Salma iri, karena memang rasanya mustahil sekali ada lulusan D3 yang dipertahankan oleh keluarga bosnya.Setelah Tante Maya berhasil menenangkan Salma, mereka kembali ke meja makan. Kemudian, ia pun menyetujui apa yang telah menjadi keputusan Pak Jaya.***Pagi itu, kulihat Mas Leo dipang
Bab 27POV SalmaKenapa nasib Nia selalu mujur? Sudah berhasil kupisahkan dengan Mas Leo, masih saja ia mendapatkan keberuntungan. Rasanya ini tidak adil bagiku yang sedari kecil tak pernah mendapatkan keadilan.Aku harus berhasil membuat kedua orang tuaku lebih memilih anaknya ketimbang Nia, yang hanya orang lain. Kecemasanku hanya satu, khawatir Mas Iqbal jatuh cinta pada Nia, wanita buluk beranak dua. Kalau mereka sering ketemu, pastinya akan timbul benih cinta.Setelah berhasil membujuk papa baruku untuk menjadikan aku sekretaris, aku terperanjat ketika mendengar kalimat susulan yang ia lontarkan."Tapi Nia akan menjadi asisten pribadi Iqbal," celetuknya membuatku yang tadinya tersenyum tipis kini menunjukkan keseriusan kembali.Kulihat wajah Nia pun terkejut ketika mendengar penuturan Papa Jaya, entahlah ia memancingku untuk emosi atau memang sudah rencananya seperti ini agar aku tak bisa lagi berkutik.