Share

Desah Di Kamar Mbak Widya

Malam tadi aku melakukan rutinitas malam bersama suami. Eh, maksudnya di atas ranjang menggunakan parfum yang amat wangi yang baru dia beli dari tiktok itu. 

Entah kenapa dia ada ide pakek beli-beli segala. Sepertinya nurutin artis-artis di film. Atau para conter coretor, pwuah, maksudnya content creator di YouTube dan di tiktok sana. Sekarang kan jaman umbar-umbar tata cara bermalam. Tadi malam saja si Bang Panjul tunjukkan gaya baru. Aku baru tahu gaya bercinta seperti itu. Sebelumnya juga aku tidak pernah menonton video-video tak senonoh, kecuali kalau tak sengaja lewat di film Bollywood dan Hollywood itu pun sebatas melihat dari teman.

Dan perlu diketahui, aku ini tidak secerdas Mbak Widya. Kalau di sekolah saja kakak kandungku itu sering masuk tiga besar, paling mentok 5 besar, sedang aku paling bagus ya masuk 10 besar. Itu pun juara sepuluhnya.

Mbak Widya dengan aku wajahnya mirip-mirip tipis. Jelas saja, karena kami satu produk. Tapi yang namanya sebrojolan, pastinya punya sifat yang berbeda. Mbakku itu lebih sering berdandan hingga aku saja mengagumi ke ayuannya.

"Nur, masak, ya?"

Tiba-tiba tangan manja menggelitik di ketiak. Pasti kerjaan Bang Panjul, ya siapa lagi. Jelas karena tingkahny, aku kegelian.

"Ih, Abang, geli. Mau aku sembur nih pakek minyak panas," selorohku seperti biasa kalau di dapur. Kami memang masih menikmati hari-hari pengantin baru, namun seharusnya sampai tua pun seperti ini.

"Eh, kok aku disembur minyak. Melepuh wajahku, nanti kamu gak cinta lagi karena wajah Abang jelek." Dia bercanda juga. Lalu memukul bokongku dengan manja.

"Eh, jangan begitu, ada Mbak Widya, malu nanti!" Aku menegurnya bisik-bisik.

"Gak ada, Mbak Widya lagi keluar. Baru aja. Sepertinya mau joging." Penjelasan Bang Panjul. Padahal tadi Mbak Widya meminjam charger handphone, katanya punya dia lama ngisinya. Sudah mulai melemah daya isinya.

"Eh, heem. Si Mbak joging, ya. Kirain masih sakit hati murung di kamar," komentarku. Memang setiap hari Mbak Widya itu joging, menjaga tubuh tetap bugar dan sehat. Badannya semok, dan tubuhnya seperti biola. Lah aku, tubuh lempeng seperti triplek. Tapi tak secungkring itu sih, ya, hanya saja tidak sesemok Mbak Widya. Pantas saja dia juga dapat suami seperti Mas Aryo yang tampan menurutku. Badannya tinggi besar, hanya kulitnya agak coklat. Sama seperti Bang Panjul.

"Dek, Abang pergi dulu keluar, ya. Semalam 'kan gak dapat orang buat jadi laden. Maksudnya, cuma dapat satu orang. Abang mau coba ke kampung sebelah. Banyak teman tongkrongan Abang dulu. Sepertinya mereka mau ikut kerja, karena sudah pada menikah, tapi katanya tidak punya kerjaan."

"Oh begitu. Iya deh, Bang. Nanti sarapan bareng ya, Bang?" saranku, karena ini baru saja pukul setengah tujuh.

"Siap. Sambil nunggu Mbak Widya juga. Ya?" Dia meraih kepalaku mengusapnya lalu pergi. Aduh, Bang Panjul memang membuatku klepek-klepek. Apalagi dia juga baik dan ramah. Matanya kalau sedang jalan, tidak suka jelalatan. Semoga dia pria yang setia dan amanah. Bukan 'Setiap Tikungan Ada, Ada Emak-emak Malah Dipanah'.

Mbak Wiyda tidak begitu suka memasak. Dia kalau ada suami juga aku yang masak. Atau membeli pribadi, lalu aku juga ikut makan. Atau dia memberiku uang untuk masak sekalian. Lumayan, suka ada lebih, aku bisa masukan ke celengan ayam hadiah dari Mpok Inul warung tempat belanja. Celengan hadiah THR lebaran tiga bulan lalu.

Sampai aku selesai memasak, sudah pukul delapan lebih pun, Mbak Widya dengan Bang Panjul belum juga pulang. Kalau biasanya, Mbak Widya juga hanya keliling komplek, setengah jam, sudah pulang. Sampai ke ujung rumah yang kosong di Blok C, lalu balik lagi. Karena kami ini sekarang tinggal di blok E. Jelas faham, bagaimana kondisi rumah. Tapi tak begitu buruk, cukup dan lumayan.

"Haduh, Alhamdulillah ada yang mau ikut kerja. Aku harus bawa mereka besok."

Akhirnya terdengar suara dengusan nafas Bang Panjul. Dia sepertinya langsung duduk menjatuhkan tubuhnya di kursi minimalis pemberian dia saat kami menikah. Maksudnya, bawaan seserahan. Plus dengan ranjang dan juga lemari plastik.

"Ada, Bang? Baguslah," ujarku sembari mendekat. Karena perut sudah keroncongan, bahkan sudah sampai menari jaipong, jadinya aku segera menyuruhnya untuk sarapan. Dan kebetulan, Mbak Widya pun sudah datang.

Begitu mengucur deras keringat di kening Mbak Widya, juga di kening Bang Panjul, padahal Bang Panjul pakek motor untuk ke rumah temannya. Tapi pasti karena terik matahari, jadi dia berkeringat.

"Mbak, ayok makan!" ajakku pada Mbak Widya.

"Kalian duluan saja. Mbak mau mandi dulu, bau," jawab Mbak Widya sambil melengos ke arah kamar pribadinya. Lantas, hanya aku sajalah dengan Bang Panjul yang sarapan. Ada ikan mujair, tumis tahu tauge, sambal bawang dan juga tumis Meranti atau leunca, sesuai request Bang Panjul. Katanya supaya malam bisa bertenaga. Karena dia meminta malam ini kami bertempur lagi di ranjang. Ah, aku benar-benar malu.

***

"Ah, gimana, masih mau lanjut?" Usai beradu di ranjang, Bang Panjul menawarkan lagi.

"Bang, bukannya sudah keluar, ya? Atau mau lagi?" Aku juga imut-imut menawarkan.

"Sepertinya kamu kecapean, tidur sajalah, yuk!" sarannya. Apalagi aku juga sudah menguap dan lelah. Ini juga malam sudah larut, jam dinding sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Dan sepertinya aku terbangun di pukul 12 malam, namun tak mendapati suami di samping. Ke mana dia? Sedang buang air besar kah?

Karena aku haus, aku pun keluar kamar. Cek ke kamar mandi, dan ternyata memang suara keran air terdengar riaknya. Pintu kamar mandi juga menutup, pasti dia sedang buang hajat seperti biasa.

Setelah meneguk segelas air, aku hendak kembali lagi ke kamar. Tapi, ada suara-suara aneh dari arah kamar Mbak Widya yang pintunya menutup ketat.

Ini bukan rumah seorang Ratu, jadi kamar kami pun petak, dan bila ada suara-suara kencang, pasti terdengar.

"Ah, kamu ini, Mas Aryo, enak sekali kalau main begini. Aku suka dengan gayamu. Ah, ah."

Deg!

Begitu kagetnya aku, jantung ini seakan loncat ke dasar lantai karena terlalu syok. Ada suara desahan Mbak Widya yang menyebut nama Mas Aryo? Halah, jadi Mas Aryo masih diam-diam datang ke rumah ini untuk bersetubuh dengan Mbak Widya? Semprul, bukan dia sudah minta talak?

Tapi baguslah, semoga mereka benar rujuk. Mumpung belum talak tiga ke pengadilan.

"Aw, aw, aw! Lebih dalam, Mas, ah, lebih dalam dong! Aku kurang merasakannya kalau cuma segitu."

Liur ini kuteguk seketika. Sembari beristighfar laku menggidigkan bahu, aku pun segera lari ke kamar. Malu mendengar mereka berdua yang sedang bertempur di ranjang. Aduh, aku benar-benar tak sengaja mendengar. Aku cuma memastikan saja, bukan pria lain yang sedang ada di dalam sana. Jelas Mbak Widya menyebut nama Mas Aryo. Oiya, karena kamar kami ada ventilasi di atasnya, memang suara-suara dari dalam kalau kencang sering terdengar. Aduh, nanti-nanti, kalau aku main dengan Bang Panjul, sepertinya harus agak bungkam. Jangan terlalu kencang, takut malu didengar Mbak Widya.

Hingga aku duduk dan berniat tidur lagi di ranjang, baru akan menutup mata, Bang Panjul akhirnya sudah kembali lagi dari kamar mandi. Aku pura-pura tidur saja, siapa tahu dia romantis kecup-kecup leher atau keningku.

"Huwh … memang mantap."

Dia nyeletuk mantap. Lah, memang buang hajat itu enak dan suka lebih plong. Seharusnya tidak perlu dia katakan, apalagi suaranya juga tipis sekali. Berkomentar setelah merasakan keenakan sembari kini jatuhkan lagi tubuhnya di kasur. Ah, dia tidak mengecupku. Kupikir akan romantis saat aku sedang tidur.

Parfum keperkasaan Bang Panjul begitu wangi sekali aromanya. Sudah bertempur, dialiri keringat saja aromanya masih wangi. Apa dia semprotkan lagi? Hadeuh, biar WC cium baunya, ya?

***

Subuh-subuh Bang Panjul sudah berangkat ke kota. Mbak Widya belum bangun, namun pintu kamarnya membuka sedikit. Apa Mas Aryo ada di kamarnya atau sudah pergi, ya? Oiya, di depan juga tidak ada motor Mas Aryo, jadi dia sepertinya sudah kembali lagi, tidak mau ketahuan olehku. Pantas pintunya kebuka sedikit, pasti bekas Mas Aryo.

"Pamit ya, Sayang," kata Bang Panjul, aku pun manggut-manggut lalu melepas kepergiannya yang katanya akan pulang dua hari lagi. Tidak nanti sore.

Baru akan masuk ke kamar lagi, tiba-tiba Mbak Widya keluar dari kamar. Aku pun terpaksa harus bertanya. "Eh, Mbak, maaf aku bertanya, semalam Mas Aryo ke sini, ya? Aku … aku lihat motornya." Aku bohong, padahal tidak melihat. Mana bisa aku bilang kalau semalam aku mendengar mereka mendesah.

Mendengar pertanyaan dariku, sontak Mbak Widya yang sedang menggaruk kepala yang rambutnya masih semrawut itu pun kaget. Aduh, sepertinya Mbak Widya malu mengakui kalau mereka rujuk.

"Oh, kamu … ka … kamu lihat motor Mas Aryo? Memang ke sini dia bawa motor?" Lah, aku sendiri yang terjebak. Jangan-jangan Mas Aryo kemari jalan kaki, motor si simpan di rumah tetangga. 

Lantas aku nyengir saja, "hihi, maaf, Mbak. Aku bohong. Semalam … hihi, semalam aku mendengar Mbak sebut nama Mas Aryo. Maaf ya, Mbak. Nur gak sengaja, Nur mau ke kamar mandi. Tapi Nur bersyukur, Mbak udah balikan sama Mas Aryo. Tapi udah pulang lagi ya, Mbak?"

Malah Mbak Widya kaget seperti melihat hantu. Dia sepertinya tak ingin aku tahu perihal ini. Tapi ada kedipan mata berekspresi lega di wajahnya. Nafasnya juga berhembus aman. "Em, iya, jangan bilang ke orang lain dulu, ya. Mbak sedang berusaha memperbaiki hubungan dengan Mas Aryo. Ya, kamu faham bagaimana caranya, kan? Ya semalam itu." 

Aduh, Mbak Widya jujur sekali, tapi malah aku yang malu. "I, iya, Mbak."

"Hem, ya sudah, jangan bilang siapa-siapa." 

"Iya, Mbak."

Kini Mbak Widya melengos, tapi aku teringat sesuatu. Casana hape, aku baru ingat, baterei hapeku habis. "Mbak, casanku di mana?" teriakku.

"Di kamar, ambil aja. Di itu, di atas meja. Ah, cari aja, Mbak mules," jawabnya berteriak. Lantas aku pun cari dan ambil saja sendiri karena sudah ijin.

Dan setelah masuk ke dalam kamar, begitu berantakan sekali sprei Mbak Widya. Aduh, sepertinya gegara bertempur malam, ampun, pasti Mbak Widya berusaha servis terbaik untuk Mas Aryo.

Deg!

"Hah, sempak ini? Kok mirip yang dipake Bang Panjul semalam? Ah iya, merek dan warnanya sama." Aku menelisik dalam hati. Sempat ada perasaan aneh, tapi semalam jelas aku dengar nama Mas Aryo.

"Nur–."

Akhirnya Mbak Widya sudah kembali. Aku dalam keadaan memegang sempak dengan dijinjing menggunakan jari telunjuk dan ibu jari karena tadi ingin memastikan.

"Hup." Aku kaget lalu menjatuhkan lagi sempak itu.

"Hah?" Mbak Widya begitu kaget. Tapi aku juga harus menanyakan, kok sempak Mas Aryo sama dengan yang dipakai Bang Panjul semalam? Bukankah aku sering lihat jemuran sempak Mas Aryo, beda merek?

Mbak Wiyda seperti melihat hantu. Ah, harus aku tanyakan.

***

Komen (1)
goodnovel comment avatar
YanieAbdullah5
Adik ipar selingkuh dengan kakak ipar , sungguh menjijikan
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status