Fakta Baru Tentang Chintya
Dalam beberapa detik, Keysha langsung diam dan tak menangis lagi. Kumasukkan kembali susu yang ada di dalam botol ke mulut mungil Keysia. Dia menghisapnya dengan lahap. Ketiga orang di hadapanku saling melempar pandangan. Aku tak tau maksud di balik pandangan mereka itu. Aku hanya mulas seuntai senyum menyaksikan pemandangan di hadapanku.
"Akhirnya, Keysha tertidur," ucapku pelan.
"Udah, sini … sini!" ucap Chintya sembari mengambil paksa Keysha dari tanganku. Bayi itu kembali menangis, membuat Chintya mengurungkan tindakannya.
"Tidurkan Keysha di dalam kamar Mama," titah Mama. Aku menuruti saja. Kubawa Keysha masuk ke kamar Mama dan membaringkannya di atas ranjang. Ketiga orang itu mengikutiku dari belakang.
"Sudah, kau keluar saja, Ratna! Kerjakan apa yang harus kau kerjakan! Sedari tadi pergi dari rumah, pasti ada pekerjaanmu yang terbengkalai." Kali ini Kak Intan yang memberikan perintah.
"Kak Ratna! Kak!" Teriakan Maya terdengar kuat sekali. Aku berlari menghampirinya.
"Ada apa, May?" tanyaku padanya.
"Lihat rokku yang warna coklat muda gak, Kak?" tanyanya panik.
"Tapi kemarin baru dicuci, May," terangku.
"Kakak ini gimana, sih? Aku mau pakai rok itu sekarang. Setrikain sekarang juga!" Aku menatap Maya sesaat.
Anak ini sungguh tak beradab. Ingin sekali aku membekap mulutnya yang sombong itu. Namun, karena kewarasanku, aku memilih bersabar. Kulangkahkan kaki menuju ruangan kecil di bagian paling belakang rumah ini, lalu menyetrika rok Maya di sana.
"Udah, Kak? Lama banget sih?" Maya menggerutu di ambang pintu ruangan ini.
"Sudah, May. Ini, ambillah!" Kuberikan rok yang sudah rapi disetrika. Maya merampasnya dengan kasar lalu pergi meninggalkanku tanpa ucapan terima kasih.
"Dasar tak berakhlak," gerutuku.
Aku beranjak meninggalkan ruangan kecil ini lalu ke dapur dan mengambil makan siang. Setelah itu aku mencuci piring-piring kotor yang sudah menumpuk. Sampai kapan pun piring-piring itu tak akan bergeser dari tempatnya kalau bukan aku yang mencucinya.
Setelah mencuci piring, aku kembali ke dalam kamar. Suara mesin mobil Bang Faiz terdengar berhenti di depan. Tumben, Bang Faiz pulang jam segini, batinku.
Lama kutunggu, Bang Faiz tak juga masuk ke dalam kamar menemuiku. Kemana dia? Aku beringsut dari ranjang lalu ke luar kamar mencari keberadaan Bang Faiz.
Langkahku terhenti saat melewati kamar Mama yang setengah terbuka. Aku berdiri mematung di depan pintu karena melihat Bang Faiz sedang menggendong anak Keysha dengan begitu bahagia. Bang Faiz sesekali mencium Keysha Seolah-olah anak itu adalah anaknya.
Tes!
Air mata kembali menetes melihat pemandangan tak lazim di depanku.
Seketika Bang Faiz menyadari kehadiranku di depan pintu, lalu membaringkan kembali Keysha ke atas ranjang. Aku berlari menuju kamarku, Bang Faiz mengikutiku dari belakang.
"Rat, tunggu Rat! Kenapa menangis?" tanya Bang Faiz sembari menatap wajah ini.
"Abang begitu bahagia menggendong bayi itu, seolah bayi itu anak Abang. Atau memang benar Keysha itu anak Abang?" cercaku pada Bang Faiz. Air mata terus mengalir di pipi ini. Dadaku terasa sakit sekali.
"Ngomong apa sih, Sayang? Abang cuma rindu pada anak kita. Kalau dia ada di sini pasti seumuran dengan Keysha, kan? Makanya, Abang ingin sekali menggendongnya. Cuma itu! Percayalah!" ucap Bang Faiz meyakinkanku. Lelaki yang bergelar suamiku itu kini memelukku erat, mengusap lembut rambut ini dan menghapus air mataku.
Aku semakin terisak.
"Sudahlah, jangan terlalu dibawa ke hati. Nanti Adek jadi kepikiran. Abang gak mau Adek sampai sakit karena berpikir yang macam-macam tentang Abang," ucap Bang Faiz lagi. Aku melepaskan pelukannya.
"Kalau sampai Abang berkhianat, aku tak akan pernah memaafkan Abang. Berjanjilah untuk tetap setia terhadapku, Bang!" ucapku lirih.
"Iya, Abang janji, sayang." Bang Faiz tersenyum lalu mengecup puncak kepala ini.
Terdengar suara ribut-ribut di luar kamar. Aku dan Bang Faiz beranjak untuk melihatnya. Oh, ternyata Chintya sudah mau pulang. Mama, Kak Intan dan Maya begitu kerepotan mengurusi keperluan Chintya.
"Faiz, tolong antarkan Chintya ke hotel tempatnya menginap, ya!" ucap Mama ketika melihat aku dan Bang Faiz di depan pintu kamar kami. Bang Faiz melirik kepadaku. Aku tak menanggapi lalu masuk kembali ke dalam kamar.
"Aku minta izin pada Ratna ya, Ma. Tampaknya dia keberatan," ucap Bang Faiz lalu menghampiriku. Mama ikut masuk ke dalam kamarku.
"Maya juga ikut bersama mereka, Ratna. Hanay sebentar saja, setelah itu Faiz akan kembali ke sini untuk mengantarkan Maya. Kasian Chintya kalau harus naik taxi sendirian" ucap Mama sedikit lembut.
"Ya sudah, kalau begitu biar Ratna dan Bang Faiz yang mengantarkan Chintya, Ma. Ya kan, Bang?" Aku melirik Bang Faiz. Bang Faiz dan Mama saling bertatapan mata.
"Ya, begitu pun boleh," ucap Bang Faiz singkat. Aku segera berkemas.
Aku, Bang Faiz dan Chintya segera masuk ke dalam mobil. Bang Faiz mulai menghidupkan mobilnya. Kemudian, mobil melaju membelah jalanan.
"Kenapa harus menginap di hotel, Chin? Emang rumahmu dimana?" Kumulai percakapan agar suasana di dalam mobil ini tak seperti di kuburan. Hening dan mencekam.
"Aku tinggal di Medan, Rat," jawab Chintya singkat.
"Medan? Bukannya itu lumayan jauh dari sini ya? Kok, suamimu tak mengantarkanmu? Emang suamimu kerja apa? Sampai tak bisa mengantarkan istrinya ke sana kemari," selidiku pada Chintya.
Heran juga, kan? Medan-Kisaran itu butuh waktu sekitar 5 jam di perjalanan. Bisa-bisanya dia pergi sendirian. Bawa bayi lagi. Bang Faiz tiba-tiba seperti tersedak, padahal dia tidak sedang minum air
"Su—suamiku kerja di luar kota, sebulan sekali baru pulang ke rumah, Rat. Jadi, dia tak bisa setiap saat menemaniku," jawabnya sedikit gugup. Kulirik wajahnya dari kaca spion di hadapanku. Ada sorot kebohongan terpancar di wajahnya.
"Oo … gitu. Repot dong ya, urus bayi sendirian," ucapku lagi. Chintya menarik napas panjang lalu mengeluarkannya dengan kasar. Sepertinya dia tidak suka ditanya-tanya.
"Aku dibantu Mbak Surti, Rat. Ini juga dia sedang menunggu di hotel," jawabnya dengan wajah cemberut. Aku memulas seuntai senyum melihat tingkah Chintya.
Tak lama, mobil yang kami tumpangi masuk ke sebuah pelataran hotel. Setelah mobil di parkirkan, Chintya buru-buru turun dan pamit untuk masuk ke hotel.
"Makasih ya, Bang faiz, Ratna, sudah repot-repot mau mengantarkan Chintya. Chintya pamit mau ke dalam, ya," ucap Chintya dengan senyum seadanya.
"Ya, sama-sama. Gak repot kok." Aku tersenyum pada Chintya.
Chintya melangkah menuju pintu utama hotel tersebut sembari menggendong bayinya dengan susah payah. Tiba-tiba, Bang Faiz setengah berlari mengejar Chintya dari belakang.
"Bang Faiz!" teriakku. "Abang mau kemana?" Bang Faiz menghentikan langkahnya lalu berbalik melihat ke arahku.
Bersambung ...
Penyelidikan 1"Bang Faiz!" teriakku. "Abang mau kemana?" Bang Faiz menghentikan langkahnya lalu berbalik melihat ke arahku."Ini … anu …." Bang Faiz menggaruk kepalanya yang tak gatal."Anu apa, Bang?" tanyaku heran."Abang mau bantu Chintya membawakan tasnya. Lihatlah, dia kerepotan!" jawab Bang Faiz, semakin menambah kecurigaanku. Harusnya dia bisa menelepon Mbak Surti untuk membantunya, kan? "Tak perlu repot, Bang. Biar aku saja yang membantunya," aku berlari melewati Bang Faiz, lalu membantu Chintya membawakan tasnya.Aku tak boleh memberi kesempatan pada Bang Faiz dan Chintya berduaan. Sekuat-kuatnya iman Bang Faiz, kalau terus digoda, aku takut dia luluh juga. Semakin kuat iman seseorang, godaan yang datang pun akan semakin kuat pula. Bukankah, semakin tinggi pohon semakin kencang pula angin yang menerpanya?Setelah sampai di kamar tempat Chintya menginap. Seorang wanita paruh baya langsung menyambut da
Penyelidikan 2Air mata seketika membasahi kedua pipi ini. Perih rasanya. Sekian lama merajut kasih, membina mahligai rumah tangga. Haruskah berakhir karena hadirnya orang ketiga? Aku tak rela, sungguh ini tak adil bagiku. Tega Abang mengkhianati perkawinan kita.*** Malam menjelang. Tepat jam sepuluh malam, Mama, Maya dan Kak Intan sekeluarga tiba di rumah. "Assalamualaikum! Ratna ... Ratna! Buka pintu!" teriak Mama sembari mengetuk-ngetuk pintu dengan keras. Aku buru-buru membuka mukena, karena baru saja selesai melaksanakan shalat Isya dan mengadukan nasibku pada Sang Khaliq.Aku berlari menuju pintu lalu memutar pegangan pintu. Pintu terbuka. "Lama amat sih, Ratna! Ngapain aja di dalam? Molor? Jam segini udah tidur.' Ketus mama"Ratna baru selesai shalat, Ma," ucapku pelan"Alaaah ... alasan!" Ucap Kak Intan menimpali. Matanya membulat menatapku."Sudah ayo masuk! Mama capek, mau istirahat!
Fakta yang menyakitkanKucoba menetralisir gemuruh di dalam dada ini. Mungkin saja lelaki yang menyahut itu adalah suaminya. Pintu megah dan berukuran tinggi itu terbuka.Jantungku seperti berhenti berdetak. Darahku rasanya berhenti mengalir. Jantungku tak mampu lagi memompa oksigen ke seluruh aliran darah. Tubuhku terasa lemas. Aku hampir tak mampu berdiri, menyaksikan pemandangan di hadapanku sekarang. Bang Faiz berdiri tegak menyambut kedatangan kami. Matanya membulat menatap kami. "Ra—Ratna!? ucapnya pelan."Bang Faiz!?" Bibirku bergetar mengucapkan namanya. Seketika netra ini dipenuhi butiran-butiran bening yang siap meluncur dengan bebas.Kutekan berkali dada ini, rasanya sesak sekali. Tenggorokanku seperti tercekat. Aku tak mampu berkata-kata lagi."Siapa yang datang, Bang?" Tiba-tiba seorang wanita muncul di belakang tubuh Bang Faiz. "Kok nggak disuruh ma—," kata-katanya terputus begitu melihat kehadiranku.
PertengkaranTerakhir dia datang kemarin bersama anaknya. Ternyata ... anak itu anak hasil perselingkuhannya dengan Bang Faiz. Ya, Allah bodohnya aku. Tapi, mengapa hati ini begitu tersentuh ketika melihat anak itu menangis, bahkan aku merasakan rindu yang teramat padanya dan ingin selalu melihat dan memeluknya. Mungkin karena anak itu seumuran dengan anakku. Semoga kelak anakku bisa kembali ke pelukanku."Ayok, Rat, turun!" Ajakan Vera membuyarkan lamunanku. "Iy—iya, Ver."Kami bergegas turun dari taxi, lalu masuk ke dalam kos-kosan Vera. Kami mengemas barang-barang yang akan kami bawa ke rumah Vera. Setelah semuanya beres, aku melaksanakan salat maghrib sejenak, karena waktu salat telah tiba. Vera sedang libur, dia sedang datang bulan.Setelah dirasa semua baramg masuk ke dalam tas. kami segera beranjak meninggalkan kos-kosan itu dan menuju terminal bus.Sekitar 15 menit menunggu, bus yang akan kami tumpangi tiba di terminal. Kami segera naik ke dalam bu
Menghindar dari Bang FaizMengapa air mata ini mengalir lagi? Sudah seharian aku menangis, namun, setiap aku mengingat Bang Faiz, bulir-bulir bening itu semakin deras dan semakin banyak yang keluar. Beginikah rasanya dikhianati? Beginikah rasanya dibohongi? Sakit sekali ya, Allah. Rasanya, bagaikan luka yang disiram oleh air cuka. Ya, Bang faiz telah menyiramkan cuka itu ke atas lukaku. Luka itu bertambah dalam dan perih. Sampai subuh menjelang, semenit pun mata ini tak mau terpejam. Kejadian siang tadi terus menari-nari di pelupuk mata ini. Entah bagaimana aku dapat menyembuhkan luka ini. Luka kehilangan bayiku belum lagi sembuh, kini, hati ini tergores lagi oleh Bang Faiz. Kutarik napas dalam-dalam lalu kukeluarkan perlahan, semoga dengan begitu sesak di dada ini semakin berkurang. Kulirik Vera di sebelahku, dia masih tertidur pulas. Azan subuh sudah berkumandang. Aku bergegas beranjak dari atas ranjang lalu menuju kamar mandi untuk mandi
PertemuanAku dan Vera menuruti lata-kata Bapak. Kami beranjak menuju kamarku. Tak tau sejak kapan aku tertidur, yang jelas saat kulirik jam di dinding kamarku sudah menunjuk di angka 3. Vera pun tak ada di dalam kamar. Apa dia sudah pulang tanpa pamit padaku?Aku beringsut dari tempat tidur, lalu beranjak ke luar kamar."Masih di sini rupanya, kukira sudah pulang," ucapku ketika melihat Vera sedang duduk menonton televisi bersama Ibu."Belumlah! Masak aku pulang tanpa pamit padamu," ucap Vera sembari melemparkan senyum."Makan dulu, Rat. Tadi belum makan, kan? Ajak Vera sekalian, bentar lagi dia mau pulang!" Mama menoleh pada Vera."Yok, Ver, makan dulu," ajakku sembari menarik tangan Vera.Selesai makan, Vera langsung pamit untuk pulang ke rumahnya."Hati-hati di jalan ya, Ver. Maaf, sudah terlalu merepotkanmu,"ucapku sendu."It's Ok! Kalau ada apa-apa langsung telepon aku, ya! Kapan pun aku siap membantumu." Aku tersenyum. Vera naik ke mobilnya
POV. FAIZ Namaku Faiz, anak Kedua dari tiga bersaudara. Sejak tujuh tahun yang lalu aku dan kedua saudariku diasuh oleh Mama, karena Papa meninggal dunia akibat serangan jantung.Setelah menamatkan kuliah, aku tak melamar pekerjaan kemana-mana, karena ada usaha keluarga yang kami jalankan bersama. Usaha yang terbilamg cukup sukses dan menjadi penyokong ekonomi keluarga kami.Aku merupakan lelaki yang sangat beruntung karena dapat menikahi wanita yang sangat kusayangi dan mendambakannya menjadi ibu dari anak-anakku kelak. Ratna, bunga desa yang menjadi rebutan banyak pria, berhasil kusunting menjadi istriku.Namun, kehidupan rumah tangga kami tak berjalan sesuai yang kami harapkan. Mama dan kedua saudariku tak menyukai kehadiran Ratna sebagai istriku. Mereka selalu memintaku untuk menceraikannya dan menikah dengan Chintya, anak sahabat Kak Intan yang cukup kaya.Chintya bahkan sering datang ke rumah atas permintaan Kak Intan. Dia ser
BerdamaiBaiklah, aku izinkan Abang memberi penjelasan. Tapi setelah itu, aku minta Abang segera mengurus perceraian kita," tegasku pada Bang Faiz. Bang Faiz mengangguk dan mulai bercerita.Mata Bang Faiz tampak berkaca-kaca. Dia menunduk sembari menyapu kedua matanya yang basah oleh air mata."Chintya mengancam, kalau Abang menceraikannya, dia akan membawa Keysha pergi jauh dari Abang. Abang tak sanggup kalau harus berpisah dengan Keysha, Rat." Bang Faiz menatap sendu."Kalau begitu sudah jelas, kan, Bang? Abang tak perlu bersusah hati memikirkan aku. Abang audah cukup bahagia bersama Chintya. Kalian sudah memiliki seorang putri yang cantik. Tinggalkan aku, lepaskan aku. Aku pun tak akan sanggup kalau harus berbagi suami," tegasku. "Sekali lagi Abang mohon, maafkan Abang, Rat. Tolong mengerti keadaan Abang. Semua ini bukan kemauan Abang. Semuanya terjadi begitu saja, di luar kesadarannya Abang," tambahnya lagi."Sudahlah, Bang.