Share

Bab. 6 Fakta Tentang Chintya

Fakta Baru Tentang Chintya

Dalam beberapa detik, Keysha langsung diam dan tak menangis lagi. Kumasukkan kembali susu yang ada di dalam botol ke mulut mungil Keysia. Dia menghisapnya dengan lahap. Ketiga orang di hadapanku saling melempar pandangan. Aku tak tau maksud di balik pandangan mereka itu. Aku hanya mulas seuntai senyum menyaksikan pemandangan di hadapanku.

"Akhirnya, Keysha tertidur," ucapku pelan.

"Udah, sini … sini!" ucap Chintya sembari mengambil paksa Keysha dari tanganku. Bayi itu kembali menangis, membuat Chintya mengurungkan tindakannya.

"Tidurkan Keysha di dalam kamar Mama," titah Mama. Aku menuruti saja. Kubawa Keysha masuk ke kamar Mama dan membaringkannya di atas ranjang. Ketiga orang itu mengikutiku dari belakang. 

"Sudah, kau keluar saja, Ratna! Kerjakan apa yang harus kau kerjakan! Sedari tadi pergi dari rumah, pasti ada pekerjaanmu yang terbengkalai." Kali ini Kak Intan yang memberikan perintah. 

"Kak Ratna! Kak!" Teriakan Maya terdengar kuat sekali. Aku berlari menghampirinya.

"Ada apa, May?" tanyaku padanya.

"Lihat rokku yang warna coklat muda gak, Kak?" tanyanya panik.

"Tapi kemarin baru dicuci, May," terangku.

"Kakak ini gimana, sih? Aku mau pakai rok itu sekarang. Setrikain sekarang juga!" Aku menatap Maya sesaat. 

Anak ini sungguh tak beradab. Ingin sekali aku membekap mulutnya yang sombong itu. Namun, karena kewarasanku, aku memilih bersabar. Kulangkahkan kaki menuju ruangan kecil di bagian paling belakang rumah ini, lalu menyetrika rok Maya di sana.

"Udah, Kak? Lama banget sih?" Maya menggerutu di ambang pintu ruangan ini. 

"Sudah, May. Ini, ambillah!" Kuberikan rok yang sudah rapi disetrika. Maya merampasnya dengan kasar lalu pergi meninggalkanku tanpa ucapan terima kasih. 

"Dasar tak berakhlak," gerutuku.

Aku beranjak meninggalkan ruangan kecil ini lalu ke dapur dan mengambil makan siang. Setelah itu aku mencuci piring-piring kotor yang sudah menumpuk. Sampai kapan pun piring-piring itu tak akan bergeser dari tempatnya kalau bukan aku yang mencucinya. 

Setelah mencuci piring, aku kembali ke dalam kamar. Suara mesin mobil Bang Faiz terdengar berhenti di depan. Tumben, Bang Faiz pulang jam segini, batinku. 

Lama kutunggu, Bang Faiz tak juga masuk ke dalam kamar menemuiku. Kemana dia? Aku beringsut dari ranjang lalu ke luar kamar mencari keberadaan Bang Faiz. 

Langkahku terhenti saat melewati kamar Mama yang setengah terbuka. Aku berdiri mematung di depan pintu karena melihat Bang Faiz sedang menggendong anak Keysha dengan begitu bahagia. Bang Faiz sesekali mencium Keysha Seolah-olah anak itu adalah anaknya. 

Tes!

Air mata kembali menetes melihat pemandangan tak lazim di depanku. 

Seketika Bang Faiz menyadari kehadiranku di depan pintu, lalu membaringkan kembali Keysha ke atas ranjang. Aku berlari menuju kamarku, Bang Faiz mengikutiku dari belakang.

"Rat, tunggu Rat! Kenapa menangis?" tanya Bang Faiz sembari menatap wajah ini.

"Abang begitu bahagia menggendong bayi itu, seolah bayi itu anak Abang. Atau memang benar Keysha itu anak Abang?" cercaku pada Bang Faiz. Air mata terus mengalir di pipi ini. Dadaku terasa sakit sekali.

"Ngomong apa sih, Sayang? Abang cuma rindu pada anak kita. Kalau dia ada di sini pasti seumuran dengan Keysha, kan? Makanya, Abang ingin sekali menggendongnya. Cuma itu! Percayalah!" ucap Bang Faiz meyakinkanku. Lelaki yang bergelar suamiku itu kini memelukku erat, mengusap lembut rambut ini dan menghapus air mataku. 

Aku semakin terisak. 

"Sudahlah, jangan terlalu dibawa ke hati. Nanti Adek jadi kepikiran. Abang gak mau Adek sampai sakit karena berpikir yang macam-macam tentang Abang," ucap Bang Faiz lagi. Aku melepaskan pelukannya. 

"Kalau sampai Abang berkhianat, aku tak akan pernah memaafkan Abang. Berjanjilah untuk tetap setia terhadapku, Bang!" ucapku lirih.

"Iya, Abang janji, sayang." Bang Faiz tersenyum lalu mengecup puncak kepala ini.

Terdengar suara ribut-ribut di luar kamar. Aku dan Bang Faiz beranjak untuk melihatnya. Oh, ternyata Chintya sudah mau pulang. Mama, Kak Intan dan Maya begitu kerepotan mengurusi keperluan Chintya. 

"Faiz, tolong antarkan Chintya ke hotel tempatnya menginap, ya!" ucap Mama ketika melihat aku dan Bang Faiz di depan pintu kamar kami. Bang Faiz melirik kepadaku. Aku tak menanggapi lalu masuk kembali ke dalam kamar.

"Aku minta izin pada Ratna ya, Ma. Tampaknya dia keberatan," ucap Bang Faiz lalu menghampiriku. Mama ikut masuk ke dalam kamarku.

"Maya juga ikut bersama mereka, Ratna. Hanay sebentar saja, setelah itu Faiz akan kembali ke sini untuk mengantarkan Maya. Kasian Chintya kalau harus naik taxi sendirian" ucap Mama sedikit lembut. 

"Ya sudah, kalau begitu biar Ratna dan Bang Faiz yang mengantarkan Chintya, Ma. Ya kan, Bang?" Aku melirik Bang Faiz. Bang Faiz dan Mama saling bertatapan mata. 

"Ya, begitu pun boleh," ucap Bang Faiz singkat. Aku segera berkemas.

Aku, Bang Faiz dan Chintya segera masuk ke dalam mobil. Bang Faiz mulai menghidupkan mobilnya. Kemudian, mobil melaju membelah jalanan.

"Kenapa harus menginap di hotel, Chin? Emang rumahmu dimana?" Kumulai percakapan agar suasana di dalam mobil ini tak seperti di kuburan. Hening dan mencekam.

"Aku tinggal di Medan, Rat," jawab Chintya singkat. 

"Medan? Bukannya itu lumayan jauh dari sini ya? Kok, suamimu tak mengantarkanmu?  Emang suamimu kerja apa? Sampai tak bisa mengantarkan istrinya ke sana kemari," selidiku pada Chintya. 

Heran juga, kan? Medan-Kisaran itu butuh waktu sekitar 5 jam di perjalanan. Bisa-bisanya dia pergi sendirian. Bawa bayi lagi. Bang Faiz tiba-tiba seperti tersedak, padahal dia tidak sedang minum air 

"Su—suamiku kerja di luar kota, sebulan sekali baru pulang ke rumah, Rat. Jadi, dia tak bisa setiap saat menemaniku," jawabnya sedikit gugup. Kulirik wajahnya dari kaca spion di hadapanku. Ada sorot kebohongan terpancar di wajahnya.

"Oo … gitu. Repot dong ya, urus bayi sendirian," ucapku lagi. Chintya menarik napas panjang lalu mengeluarkannya dengan kasar. Sepertinya dia tidak suka ditanya-tanya.

"Aku dibantu Mbak Surti, Rat. Ini juga dia sedang menunggu di hotel," jawabnya dengan wajah cemberut. Aku memulas seuntai senyum melihat tingkah Chintya.

Tak lama, mobil yang kami tumpangi masuk ke sebuah pelataran hotel. Setelah mobil di parkirkan, Chintya buru-buru turun dan pamit untuk masuk ke hotel. 

"Makasih ya, Bang faiz, Ratna, sudah repot-repot mau mengantarkan Chintya. Chintya pamit mau ke dalam, ya," ucap Chintya dengan senyum seadanya. 

"Ya, sama-sama. Gak repot kok." Aku tersenyum pada Chintya.

Chintya melangkah menuju pintu utama hotel tersebut sembari menggendong bayinya dengan susah payah. Tiba-tiba, Bang Faiz setengah berlari mengejar Chintya dari belakang.

"Bang Faiz!" teriakku. "Abang mau kemana?" Bang Faiz menghentikan langkahnya lalu berbalik melihat ke arahku.

Bersambung ...

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status