Bayi Chintya
"Wow, seru nih! Oya, sebelum ke inti pembicaraan kita. Aku ingin tau gimana ceritanya bayimu bisa hilang. Ceritain donk, penasaran!" Vera memelas.
"Ya gitu! Waktu aku melahirkan di klinik bersalin itu memang tak begitu banyak orang. Aku melahirkan secara normal, tapi … ari-arinya gak mau keluar. Lengket di dalam. Setelah satu jam dilakukan tindakan oleh bidan, ari-ari tetap gak mau keluar. Darah sudah banyak keluar, sampai aku lemes gitu."
"Truuuuss!" Vera sangat penasaran.
""Trus, Bang Faiz minta agar aku dibawa ke rumah sakit. Akhirnya aku dibawa ke rumah sakit yang di jalan Gambir. Bayiku tinggal di klinik. Mama mertua dan Kak Intan yang menjaga. Sementara Bang Faiz menemaniku di rumah sakit. Kata Bang Faiz, saat aku belum sadar sehabis di kuret di dalam ruang tindakan, Mama menelepon dan mengabarkan kalau bayi kami hilang," terangku lagi.
"Bang Faiz diem aja? Gak ngelakuin apa-apa?" tanya Vera lagi.
"Ya Bang Faiz trus pulang untuk mencari tahu kejadian yang sebenarnya. Gak ada yang lihat bayi itu dibawa siapa. CCTV kliniknya juga sedang rusak," ucapku lagi.
"Gak lapor polisi, Rat?" Vera semakin penasaran.
"Udah … Mama, Bang Faiz dan Kak Intan sudah ke kantor polisi untuk melaporkan hal itu. Tapi, sampai sekarang belum ada kabar dimana keberadaan bayiku itu,"
"Ya Allah, kasian anakmu, Rat. Semoga keadaannya baik-baik saja. Sabar ya, Rat! Kau harus kuat! Jangan menyerah, insya Allah kau akan dipertemukan dengan anakmu, suatu saat nanti," kata Vera lirih.
Kami saling berpelukan dan menangis tersedu-sedu. Seandainya anakku tak hilang, aku pasti sudah menjadi ibu yang paling bahagia di dunia ini.
"Oya, apa rencanamu selanjutnya?" Ratna melepaskan pelukannya.
Aku membisikkan ke telinga Vera, rencana yang sudah kupikirkan masak-masak.
Dua hari lagi, Bang Faiz akan ke Medan. Mungkin aku bisa melacak tempat-tempat yang dikunjunginya. Vera yang akan mengintai tempat-tempat tersebut. Semoga ini awal yang baik untuk langkahku mengungkap kebohongan di keluarga Bang Faiz.
"Semoga kita berhasil!" ucap Vera sembari mengangkat kepalan tangannya ke udara.
Setelah menyusun rencana sematang mungkin. Aku dan Vera berpisah dan pulang ke rumah masing-masing.
***
Aku kembali menumpang sebuah taxi online. Mobil taxi melaju membelah jalanan kota yang cukup ramai siang ini. Kusandarkan kepalaku di sandaran jok mobil lalu membuang pandangan jauh ke luar jendela mobil.
Aku tak dapat membayangkan jika kecurigaanku terhadap Bang Faiz benar adanya. Sanggupkah aku menerima kenyataan kalau ternyata Bang Faiz menduakan aku? Apa yang harus kulakukan?
Belum lagi anakku yang hilang berhasil ditemukan. Aku sudah dihadapkan pada ujian seperti ini. Ya Allah, kuatkan aku menjalani ini semua. Ungkapkanlah kebenaran yang masih terselubung ini.
Sekitar sepuluh menit aku berada di perjalanan, mobil taxi yang kutumpangi berhenti di depan rumah Bang Faiz. Kuulurkan uang untuk membayar ongkos, lalu taxi yang kutumpangi berlalu pergi.
"Assalamualaikum!" ucapku di depan pintu.
Pintu terbuka.
"Waalaikumsalam," ucap Kak Intan singkat dan ketus. Aku masuk melewati Kak Intan yang masih berdiri di depan pintu.
Ada tamu rupanya, mau apa dia ke sini? Aku hanya melirik tamu tersebut tanpa menyapanya. Percuma saja aku bermanis-manis dengannya, pasti aku akan mendapat sambutan yang tak sedap, seperti yang dulu-dulu. Ya, tamu itu adalah Chintya. Wanita yang sering dipuji-puji oleh Kak Intan, dan selalu dijodohkan untuk Bang Faiz.
"Ratna!" Mama memanggilku. Aku berhenti lalu menoleh ke arah mereka.
"Ya, Ma!" sahutku pelan.
Chintya ternyata membawa anaknya. Ya Allah, anak itu mengingatkanku pada anakku yang hilang. Manisnya! Ingin rasanya aku memeluk dan menggendongnya, tapi aku sadar, Chintya maupun Mama tak mungkin akan mengizinkanku.
"Mau kemana? Gak lihat ada tamu? Buatin minum dong. Udah setengah hari keluyuran, langsung mau masuk kamar?" ucap Mama seraya mencebikkan bibirnya.
"Ya, Ma. Sebentar, Ratna buatkan." Aku bergegas menuju dapur lalu membuatkan minuman untuk mereka.
Aku kemarin habis dari Bali Tante. Ini aku bawa oleh-oleh untuk Tante, Kak Intan Maya dan Bang Faiz.” Aku mendengar kata-kata Chintya, karena dia mengatakannya dengan suara yang cukup tinggi. Dia sengaja, mungkin, biar aku dengar apa yang dikatakannya. Mama dan Kak Intan bersorak gembira.
“Duuuhh … Chintya memang baik sekali sama kita ya, Ma! Gak kayak yang sono, tuh!” terdengar suara Kak Intan membanding-bandingkan diri ini dengan Chintya. Suara gelak tawa saling bersahutan. Mereka menertawakan diri ini. Aku tak boleh lemah, aku tak boleh menangis. Sedapat mungkin aku menahan air mata ini agar tidak jatuh.
Tak butuh waktu lama, tiga gelas air syrup dingin selesai kubuat. Lalu kubawa ke hadapan ketiga orang yang sedang mengata-ngatai diri ini. Kuletakkan ketiga gelas itu di atas meja. Lalu aku berbalik dan melangkah menuju kamar.
“Eh, Ratna. Lihat ini! Kayak Chintya dong. Udah cantik, baik, kaya raya pula. Main-mainnya juga mahal, ke Bali. Jadi bisa bawain oleh-oleh yang berkelas. Gak kayak kamu, bisanya cuma bawa rambutan dari kampung,” ucap Kak Ratna diikuti gelak tawa Mama dan Chintya.
“Jangan gitu dong, Kak. Kasihan Ratna. Dia gak punya uanglah untuk jalan-jalan ke sana,” ucap Chintya menimpali. Kutatap sesaat wajah mereka. Lalu, seuntai senyum tipis kusunggingkan kepada mereka. Kulanjutkan langkahku menuju kamar.
"Eh,malah pergi! Dasar perempuan udik, mana nyambung kalau diajak ngomongin tentang Bali." Sayup-sayup kudengar Kak Intan menggerutu karena sikapku yang cuek. Mereka tertawa berbarengan.
Tiba-tiba anak Chintya menangis. Mungkin Terkejut karena gelak tawa ketiga manusia usil itu.
"Aduuuuh, diam dong Key," bentak Chintya. Anak umur lima bulan dibentak begitu. Mama aneh!
"Digendong dong Chin. Sini biar saya yang gendong," ucap Mama. Perhatian banget, ada maunya tuh.
"Chika … Chika! Sini, main sama Keysha," teriak Kak Intan. Chika berlari dari kamarnya dan langsung bermain cilukba dengan Keysha. Ya, nama anak Chintya itu Keysha. Namun, tangis Keysha semakin kuat.
"Coba buatin susunya, Chin," ucap Kak Intan.
"Aku gak pernah buatin susu Keysha, Kak. Biasanya Mbak Surti yang buatin. Mbak Surtinya aku tinggal di hotel." Aku melongo mendengar ucapan Chintya. Ibu macam apa, masak yang buatin susu untuk anak sendiri, orang lain!?
"Ratna! Ratna!" Mama berteriak memanggil namaku. "Ada apa lagi sih", gumamku.
"Ya, Ma!" Aku kembali menghampiri mereka.
"Buatin susu untuk Keysha," titah Mama. Aku segera melakukan apa yang diperintahkan Mama. Itu karena aku kasihan pada bayi yang sedang menangis itu. Walaupun aku tak sempat merawat bayiku, namun, untuk sekedar membuat susu aku pasti bisa.
Kusodorkan sebotol susu yang telah kubuat. Mama memasukkan pentil dodot ke mulut Keysha. Namun, bayi mungil itu tak berhenti menangis.
"Boleh Ratna gendong, Ma?" Hasratku ingin menggendong Keysha tak tertahankan lagi. Aku ingin sekali menggendong dan memeluk bayi itu.
"Nah, ambillah! Mama pusing mendengar tangisnya," ucap Mama sembari menyerahkan bayi itu padaku.
"Tapi—" Chintya seperti keberatan.
"Biarkan saja! Siapa tahu dia bisa menenangkan Keysha," Mama memotong ucapan Chintya.
Kuambil alih Keysha dari gendongan Mama. Kini Keysha sudah berada dalam pelukanku.
Air mata tiba-tiba memenuhi kedua kelopak mata ini. Aku tak dapat menahannya lagi, air itu mengalir deras di pipi ini. Aku terharu, aku seperti memeluk anakku sendiri. Ya Allah, kembalikan anakku ke pelukanku. Aku sangat merindukannya.
Dalam beberapa detik, Keysha langsung diam dan tak menangis lagi. Kumasukkan kembali susu yang ada di dalam botol ke mulut mungil Keysha. Dia menghisapnya dengan lahap. Ketiga orang di hadapanku saling melempar pandangan. Aku tak tau maksud di balik pandangan mereka itu. Aku hanya memulas seuntai senyum menyaksikan pemandangan di hadapanku.
PamitEnam bulan kemudian. Entah kemana perginya Bang Faiz. Sudah enam bulan dia tak menjenguk Keysha dan Zidan. Dia hanya melakukan panggilan video dengan kedua anaknya itu. Pernah aku membawa Keysha dan Zidan ke rumahnya, karena mereka sangat rindu dan ingin bertemu dengan ayah mereka. Tepatnya sebulan yang lalu. Tapi, kata penghuninya, Bang Faiz dan keluarganya sudah pindah, dan tak tau dimana alamat mereka sekarang. Sampai sekarang Bang Faiz belum menghubungi lagi.Apa yang sebenarnya terjadi dengan keluarga Bang Faiz? Mengapa mereka menghilang tanpa kabar. Lalu, siapa yang melanjutkan usaha mereka? Apakah usaha itu juga sudah tak dijalankan oleh Bang Faiz lagi? "Mbak, Zidan demam! Suhu tubuhnya tinggi." seruan Mirna menyadarkanku dari lamunan. "Kok bisa? Barusan sebelum tidur, Zidan main mobil-mobilan, kan?" tanyaku sembari menyusul langkah Mirna menuju kamar Zidan."Gak tau, Mbak. Tadi waktu bangun Zidan nangis, dan ternyata badannya panas." ujar Mirna sedih."Ya, sudah! Kit
POV MamaSetelah keluar dari penjara. Aku berharap Faiz dan Chintya dapat bersatu layaknya satu keluarga yang utuh. Namun, kenyataan yang kuterima, Faiz menolak kehadiran Chintya. Padahal, dia sudah berpisah dengan Ratna untuk waktu yang cukup lama. Entah apa yang menyebabkan Faiz masih saja mengharapkan Ratna. Kalau dilihat dari penampilan, Chintya masih lebih menarik dari Ratna, secara dia selalu merawat penampilannya karena dia mempunyai banyak uang. Kecillah baginya kalau hanya sekedar perawatan kecantikan. Sedangkan Ratna, hanya gadis kampung yang kebetulan bernasib baik bisa menikah dengan Faiz. Berbagai cara sudah kulakukan untuk menyatukan Faiz dengan Chintya, tapi bukannya bersatu malah Faiz menjatuhkan talak pada Chintya tepat sehari setelah Chintya keluar dari penjara. Padahal, mereka sudah memiliki seorang anak. Selama Chintya di penjara, Faizlah yang merawat anak itu. Tapi, entah apa sebabnya, kini Faiz tak mau lagi merawat anak itu. Bahkan, Faiz mengusir Chintya dan
Pembelaan Dari Bang FaizBang Faiz berhasil menangkap tubuh Zidan, tetapi dia terpeleset oleh tumpahan air tersebut. Bang Faiz terjatuh bersama Zidan. Kepalanya membentur sudut meja. Kepala Bang Faiz berdarah, dan sepertinya dia tidak sadarkan diri. Semua orang di ruangan menjerit. Lalu berlari menghampiri Bang Faiz dan Zidan. Darah di kepala Bang Faiz mengalir cukup deras. "Bawa ke rumah sakit saja, Rat!" ucap Vera panik."Iya, kamu benar Ver. Ayo, kita angkat Faiz ke mobil," seru Andi kepada beberapa orang laki-laki yang siap membantu Andi.Bang Faiz diangkat ke mobil, lalu dibawa ke rumah sakit. Gegas aku meminta kepada pembawa acara untuk menutup acara. Tak lupa aku mengucapkan permohonan maaf atas kejadian barusan. "Kita susul ke rumah sakit, ya, Ver!" ujarku kepada Vera setelah tamu-tamu pulang semuanya."Iya, kita harus segera berangkat, Rat. Anak-anak di rumah saja. Biar Mirna yang jaga."Aku dan Vera segera melaju dengan mobil yang dikendalikan oleh Vera. Di tengah perjala
Musibah Di Acara Ulang TahunKring!Ponselku berdering. Segera kuraih benda pipih yang tergeletak di atas meja rias itu, lalu mengangkat dan menempelkannya di telinga."Halo, Ver, kangen tau! Gitu ya, mentang-mentang pengantin baru, susah dihubungi," cercaku kesal. Semenjak menikah Vera sudah jarang mengunjungiku di sini. Bahkan di telepon pun susahnya minta ampun."Bukan gitu. Maafkan diriku, Sayang! Masih sibuk kemarin ngurus pindah rumah. Aku kan istri yang baik, jadi harus ikut kemana pun suamiku pergi, ya, kan?" "Iya, lah, yang pengantin baru. Paham kok, paham! Hahaha!""Jadikan besok acaranya? Aku baru baca chat darimu tadi kemarin pagi. Maaf, ya! Tapi besok, aku usahain untuk datang. Janji deh!""Gitu dong. Janji, ya! Keysha nungguin loh. Kangen Tante Vera katanya. Kami tunggu loh, ya!" "Iya, iya. Salam sama Keysha ya, besok Tante Vera datang. Assalammualaikum." Panggilan telepon dengan Vera berakhir. Empat tahun sudah berlalu. Keysha dan Zidan sudah semakin besar. Keysha se
Perceraian"Ma—maafkan, Abang, Rat. Abang tak ingin melanjutkan gugatan itu. Abang menunggu persetujuanmu. Abang mohon, berilah kesempatan kepada Abang untuk menebus semua kesalahan Abang kepadamu. Izinkan Abang merawat anak-anak kita bersamamu. Abang menyesal, Rat. Sungguh, Abang sangat tersiksa dengan semua ini. Abang ingin kita seperti dulu lagi."Aku diam dan mencoba mencerna kata demi kata yang telah diucapkan oleh Bang Faiz. Apa katanya tadi? Dia ingin kembali? Dia ingin aku menerimanya lagi? Dia minta kesempatan itu? Sudah hilangkah rasa malunya?"Maaf, Bang. Aku rasa, aku sudah cukup memberimu kesempatan dulu. Aku sudah memohon kepada Abang agar mencari tau dulu tentang kebenarannya. Tapi apa? Abang tak mau percaya kata-kataku. Abang tak memperdulikan permohonanku. Abang tetap kekeh d ngan tuduhan Abang," ujarku sedih. Aku masih ingat setiap jengkal kejadian itu. Luka karenanya masih menganga lebar dan terasa peri."Abang tau, Rat. Abang sudah menyadari kesalahan itu. Abang be
Keysha Sakit."Mungkin sebaiknya, Faiz tidur di sini untuk malam ini. Aku khawatir, nanti Keysha terbangun dan mencari papanya lagi," ujar Vera memberi saran. Bang Faiz menatap ke arahku meminta persetujuan.Aku sebenarnya ragu memberi izin kepada Bang Faiz untuk menginap di sini. Tapi, kasihan juga d ngan Keysha. Kalau dia terbangun tengah malam dan mencari papanya, bagaimana? "Kalau Bang Faiz mau, aku tidak keberatan. Kasihan Keysha, mungkin dia rindu pada papanya," jawabku setuju. Biarlah Bang Faiz menginap di sini untuk malam ini. Toh, di rumah ini aku tidak sendiri. Ada Mbak Mirna dan Vera. "Makasih ya, Rat," sahut Bang Faiz."Iya, Bang. Kami ada di luar, kalau Keysha bangun panggil aku ya!" pesanku kepada Bang Faiz. Aku dan Vera beranjak meninggalkan kamar Keysha. Lalu tidur di sofa ruang tamu yang tak jauh dari kamar itu.Sebenarnya aku ingin sekali tidur di samping Keysha, menemaninya sembari merawatnya. Namun ada rasa tak nyaman di hati ini kalau bersama-sama dengan Bang