Share

Pindah

Setelah sarapan tadi, sekarang Ara sedang cuci piring. Tadi Winda mengancamnya untuk cuci piring, lalu saat ditanya oleh Evan mengapa Ara yang mencuci piring, dengan pintar Ara mengelak dengan alasan bergantian karena tadi ia tidak membantu berberes rumah. 

Kini ia sedang berada di dapur berkutat dengan piring piring kotor yang sedang ia cuci. Dari ruang tamu terdengar suara gelak tawa dari Meyra, Winda maupun Evan. Mereka bercanda tawa sedangkan Ara disini sedang melakukan tugas rumah. Ara rindu ayahnya yang dulu. Rindu keadaan yang dulu, Ara rindu bunda juga. Air mata Ara ingin menetes namun dengan cepat Ara menahannya. Dia tidak boleh menangis, dia sudah berjanji kepada bundanya untuk selalu tersenyum. 

Selesai mencuci piring, Ara akan kembali ke kamarnya saja, namun Evan memanggilnya membuatnya mau tak mau menghampiri nya. 

"Ara, kamu mau ikut jalan jalan?" ujar Evan membuat Ara tersenyum. Tak sengaja matanya menangkap Winda yang memelototinya tajam dan menggeleng pertanda ia harus menolak. Dengan senyum, Ara menggeleng. 

"Ara mau istirahat aja, Yah. Soalnya kemarin seharian main di luar sama Meyra," alibinya untuk meyakinkan Evan. 

"Yasudah kalau gitu, nanti ayah belikan hadiah buat kamu," ujar Evan lalu dibalas senyuman oleh Ara. 

Liburan sekolah tinggal seminggu lagi, kehidupan Ara juga begini begini saja. Winda dan Meyra yang sudah kembali bersikap semena-mena dan sering mengancamnya, membuatnya hanya bisa tersenyum dan bersabar. Sekarang dirinya duduk di kursi belajar, memandangi foto yang berisi tiga orang yang sedang tersenyum senang disana. Satu laki laki, satu perempuan berhijab, dan satu anak yang masih balita. Ya, itu adalah Ara, ayah dan bundanya. Jika kembali menerawang jauh ke masa lalu, rasanya Ara ingin menangis. Kebahagiaan yang dulu dia dapat, dengan yang sekarang sudah berbeda. Bahkan sangat sangat berbeda. Dunianya yang dulu berwarna warni menjadi suram berwarna hitam putih, seperti tak akan pernah ada kebahagiaan lagi. 

_________________

Seminggu berlalu, hari ini adalah hari pertama Ara masuk di kelas baru. Kelas 12. Penentu untuk masa depannya, dan juga akhir dari perjuangannya dua tahun lalu serta awal akan memulai perjuangan yang baru di bangku kuliah nanti. 

Ara sudah rapi dengan seragam putih abu-abunya. Rambut yang dikuncir kuda serta polesan bedak tipis di wajahnya membuatnya tampak natural. Ara memang tidak seperti anak anak lain yang suka mengoleksi skincare atau make up. Ia hanya menggunakan yang ia perlu saja dan jika ada uang sisa pasti ia tabung. Entah sudah berapa uang tabungan yang dikumpulkan Ara, dia belum mengeceknya lagi. 

Ara keluar dari kamarnya dan turun dengan wajah berseri-seri. Di meja makan sudah ada Evan dan Meyra sedangkan Winda masih memasak. Ara mendudukkan pantatnya di kursi sebelah Meyra lalu meletakkan tasnya di bawah. 

"Ara," panggil Evan membuat Ara menoleh. 

"Iya, ayah?" 

"Hari ini, Meyra pindah ke sekolah yang sama seperti kamu," ujar Evan yang tentu saja membuat Ara terkejut namun sedetik kemudian ia merubah raut keterkejutan itu menjadi senyuman. Dengan senang hati Ara mengangguk mengiyakan. Sedangkan Meyra yang nampaknya acuh tak acuh dengan urusan ini. Toh yang penting dia sekolah, pikir Meyra. 

"Ayo, makan dulu," ucap Winda sambil membawa beberapa piring di tangannya dan ia letakkan di meja makan. Mereka semua makan dengan hening dan hanya terdengar dentingan antara sendok dan piring saja. 

Kini mereka berdua berada di satu mobil. Ya, Evan menyuruh Ara dan Meyra agar berangkat bersama. Awalnya Meyra menolak namun karena gertakan sang mama ia kembali menurut dan mau berangkat bersama Ara. Selama perjalanan, tidak ada yang saling berbicara diantara mereka. Meyra yang sibuk bermain handphone dan Ara yang melihat pemandangan dari kaca mobil. 

Sesampainya di sekolah, Ara disambut langsung oleh Reisya. Terakhir mereka bertemu saat di mall dan setelah itu tidak bertemu lagi karena Reisya yang mudik ke rumah neneknya di Sumatera Barat. 

"Araaaaaaaaa," teriaknya membuat telinga Ara berdenging. Reisya ini jika teriak akan sebelas dua belas dengan toa masjid. Jadi jika berdekatan dengan Reisya harus waspada dan kuat. 

"Aku kangeeeeennn," ucapnya seraya memeluk Ara dengan sangat erat. Saat ia melepas pelukannya, matanya mengarah kepada orang yang berada di belakang Ara. Dahinya berkerut menandakan ia sedang kebingungan. 

"Emmm..." Reisya terdiam seperti berpikir sambil memandangi orang tersebut. Ara yang melihat itu terkekeh. 

"Kalau nggak tau itu, tanya dong," ucap Ara membuat Reisya cengengesan. 

"Ini Meyra, tau kan?" jelas Ara membuat Reisya mengubah wajahnya menjadi datar. Reisya tahu bagaimana sifat Meyra dari yang Ara ceritakan. Ternyata tampangnya begini, Reisya julid mode on membuat Ara menatap sahabatnya itu sembari terkekeh lalu menepuk pundaknya. 

"Ayo, masuk. Kamu mau langsung ke ruang kepsek kan?" ujarnya membuat Meyra mengangguk. Reisya dan Ara pun mengantarkan Meyra ke ruang kepala sekolah. Sedari tadi, banyak siswa siswi yang berbisik mengenai kedatangan Meyra. Ya, sepertinya gadis itu akan menjadi primadona baru disini karena parasnya yang cantik dan badannya yang body goals. Penampilannya juga sangat modis, menggunakan liptint dengan bedak serta skincare lainnya. Rambut kecoklatan yang diurai begitu saja membuatnya terbang saat diterpa angin. Bagi kaum adam, Meyra adalah gadis yang harus dijadikan pacar. 

"Aku ke kelas dulu, Mey," pamit Ara lalu pergi dari sana bersama Reisya. 

"Kamu kenapa sih, Rey. Dari tadi diam terus," tanya Ara saat mereka sudah duduk di kursi masing masing. Ara dan Reisya kembali sekelas membuat mereka senang dan memutuskan untuk duduk bersama. Mereka masuk di kelas 12 IPS 1.

"Ra, aku nggak suka deh liat dia. Masa gayanya songong gitu sih, mana tadi dia sok cantik lagi," gerutu Reisya membuat Ara terkekeh melihat sahabatnya ini. Ya memang ketika Reisya sudah mode julid, bibirnya akan mengerucut dan menggerutu tidak jelas sampai mendapat asupan makanan. Misalnya bakso atau mie ayam dengan minuman jus alpukat. Maka suasana hatinya akan kembali seperti semula. 

"Nanti aku traktir bakso sama jus alpukat deh," ujar Ara membuat Reisya mengangguk saja. 

"Ra, nanti main ke rumah yuk." Reisya memohon kepada sahabatnya itu membuat Ara tersenyum lalu menggeleng. 

"Nggak bisa, Sya. Ayah aku baru pulang kemarin, terus juga aku nanti harus jaga rumah," jelasnya membuat kening Reisya mengerut. 

"Jaga rumah, emang semuanya pada kemana?" tanya Reisya kepo. Mode julidnya hilang, sekarang malah berubah menjadi mode kepo. 

"Mau jalan-jalan sih, katanya. Tapi aku nggak tahu kemana."

"Loh, kamu gak diajak?" pekik Reisya membuat atensi siswa lain mengarah ke mereka berdua. Namun beberapa saat kemudian mereka kembali fokus pada kegiatan masing-masing. 

"Aku udah diajak sama papa, tapi akunya aja yang nggak mau," ucap Ara membuat mata Reisya memicing. 

"Kamu yang nggak mau atau kamu dipaksa supaya nggak mau ikut?" Reisya seperti mengintrogasi Ara membuat Ara tidak nyaman sendiri. Sahabatnya ini jika jiwa keponya keluar maka semua akan ditanyakan. Katanya demi kebaikan Ara. Yayaya memang sahabat yang pengertian. 

"Gimana kalau nanti aku yang ke rumah kamu?" 

Ara yang sedang menyiapkan buku tulisnya itu menoleh ke arah Ara. 

"Ide bagus, nanti aku chat aja ya," ucapnya membuat Reisya mengacungkan jempolnya. Mereka pun duduk dengan rapi karena guru baru mereka akan datang dan siap memulai pelajaran. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status