Share

The Game Starts Now!!!

Keesokan harinya, Albert kembali datang untuk membesuk Clara. Namun, ia urungkan niatnya sebentar tatkala melihat Vincent mendatangi kantor polisi. Ia mengalihkan langkahnya menuju kafe di seberang kantor polisi dan memesan kopi di sana.

"Paman, bukankah Paman ingin ke kantor Polisi?" Albert mendongak dan menatap Felix yang menjulang tinggi di hadapannya karena berada dalam posisi berdiri.

"Ada seseorang yang menemui Clara dan Paman tidak ingin mengganggunya." Felix mengernyit penasaran. Ia pun duduk di kursi dan ingin mendengar lebih lanjut mengenai seseorang yang menemui Clara.

"Siapa dia, Paman?" tanya Felix.

"Vincent Alexander. Dia anak angkat David, ayah kandung Clara." Felix membelalak.

"Lalu, apa dia tahu jika Tuan David meninggal?" Albert mengangguk ragu.

"Kurasa, ia mengetahuinya. Tidak mungkin pemuda itu mengajak Clara bekerja sama untuk menghancurkan Alvin tanpa mengetahuinya. Hanya saja, Paman belum bisa percaya sepenuhnya padanya." Albert mengaduk-ngaduk kopi di hadapannya.

"Apakah Paman ragu jika Vincent punya niat baik untuk mengajak Clara kerja sama?" tebak Felix.

"Begitulah. Terlebih, kemunculannya begitu mendadak. Bukan itu saja, dia juga dekat dengan Alvin dan sangat dipercaya oleh Alvin. Bagaimana aku bisa mempercayainya?" Felix yang mendengar itu pun jadi paham. 

"Kalau begitu, aku akan coba mengikutinya. Siapa tahu, dia menyembunyikan sesuatu dari semua orang." Albert setuju begitu mendengar saran Felix.

"Paman harap, kau berhati-hati." Felix mengangguk.

"Apa kau sudah mengirim hadiah pada Alvin?" Felix kembali mengangguk.

"Sudah. Jujur saja, dia sangat sombong dan tidak tahu malu!" ujar Felix kesal.

"Hahaha, begitulah orang kaya." Felix mendecih.

"Orang kaya jadi-jadian." Albert tertawa renyah.

Di Kediaman Alvin dan keluarga....

Alvin terlihat sedang berpikir, haruskah ia membuka paket tersebut atau tidak? Firasatnya tidak enak mengenai paket tersebut. Tapi, ia penasaran dengan isi paket itu.

"Sayang, kenapa paketnya tidak kau buka?" Suara sang istri memasukki pendengarannya.

"Nanti saja, ayo kita makan." Akhirnya, Alvin memutuskan tidak membukanya dahulu. Ia bersama istri dan anaknya pun sarapan sebelum pergi ke kantor.

"Oh iya, Pa. Satu tahun lagi, aku akan lulus kuliah. Vincent mengajakku untuk jalan-jalan ke luar negeri." Alvin tersenyum senang mendengarnya.

"Kenapa tidak? Kalau perlu, cepatlah menikah dan berikan cucu untuk Papa dan Mama. Sudah lama tidak terdengar suara bayi di rumah ini." Calista merona mendengar ucapan sang ayah yang menggodanya.

"Pa, Calista jadi malu nih. Nanti sajalah nikahnya, Calista ingin fokus kuliah dan mengejar cita-cita Calista." Alvin dan Risa saling menatap lalu, tersenyum bangga.

"Baiklah, jika berubah pikiran, Papa siap menunggu lamaran dari kekasihmu itu." Calista semakin merona mendengarnya.

"Sudahlah sayang, jangan menggoda putri kita terus. Bisa-bisa, dia pingsan nanti." Calista mengerucutkan bibirnya sementara ayah dan ibunya tertawa melihat ekspresinya.

"Lihatlah ... kau juga menggodanya, istriku." Calista telah selesai sarapan dan merasa kesal karena godaan ibu dan ayahnya. Namun di lubuk hati terdalamnya, ia berharap Vincent segera melamarnya.

"Astaga, kenapa Papa dan Mama suka sekali menggodaku? Sudahlah, aku pergi dulu. Bye...." Calista mengecup kedua wajah ibu dan ayahnya lalu, berangkat kuliah. 

Sarapan telah selesai, Risa mengangkat piring kotor bekas suami dan putrinya ke tempat cuci piring. Sementara itu, Alvin mengambil paket yang diberikan kurir tadi dan membawanya ke ruang kerja untuk membukanya.

"Awas saja jika isinya tidak penting!" Alvin mengoceh. Ia membuka seluruh paket tersebut dan membelalak saat mendapati pistol yang bentuknya sama seperti miliknya. Ia pernah menggunakannya untuk membunuh David 3 tahun yang lalu. Tidak ia sangka, pistolnya ada di paket itu. Seingatnya, ia tidak pernah meninggalkan pistol itu di lantai. 

'Khe, yang benar saja.' Alvin mengambil pistol itu dan memeriksanya.

"Cih, apa maksudnya memberikanku mainan ini?" Ternyata, pistol tersebut hanyalah mainan. Alvin memeriksa kembali paketnya dan mendapati kertas bertuliskan kalimat di dalamnya.

'Pembunuh sepertimu, tak akan lolos dariku.' Alvin menggeram saat membaca kalimat itu. Ia meremat kertas itu dan membuangnya ke tempat sampah.

"Jika kutemukan kau, akan kutembak hingga kepalamu hancur!" Alvin mengepalkan tangannya dan memukul meja kerjanya.

"Sial!!!" umpatnya. 

Setelah amarahnya cukup reda, ia menghubungi Vincent.

Vincent yang sedang asyik berbicara dengan Clara pun harus terganggu oleh suara ponsel di kantong celananya.

"Sial, dasar pengganggu!" rutuk Vincent.

"Angkat saja, Kak. Siapa tahu penting." Vincent berdecak kesal karena Clara seperti mengejeknya.

"Iya, iya." Clara terkikik melihat ekspresi Vincent.

"Halo, Ayah." Vincent menyapa lembut calon mertua di teleponnya.

"Kau di mana sekarang, Vincent?"

"Aku sedang di rumah, Ayah. Ada apa?" tanya Vincent pura-pura polos.

"Datanglah kemari! Ada pekerjaan yang harus kau urus!"

"Baiklah, Ayah. Aku segera ke sana." Sambungan panggilan itu terputus oleh Alvin membuat Vincent menghela napas.

"Sampai jumpa lagi, adik. Kuharap kita bisa berbincang lebih lama lagi tapi, tugas memanggilku." Clara mengangguk.

"Sampai jumpa, Kak. Senang berbincang padamu meskipun, yang kita bicarakan tadi tidak bisa disebut perbincangan." Vincent tersenyum dan pergi meninggalkan ruangan besuk itu.

Albert yang melihat Vincent terburu-buru pun menatap bingung.

'Mungkinkah ada pekerjaan? Kuharap, Felix mampu mengawasinya tanpa ketahuan,' batin Albert.

"Silakan masuk, Pak." Albert tersentak dari lamunannya dan masuk ke ruangan besuk.

"Paman, kau datang lagi?" Albert tersenyum miring.

"Kenapa? Kau tidak suka Paman datang?" Clara terkekeh.

"Aku suka. Hanya saja, apa Paman tidak ada pekerjaan di rumah? Bukankah, Paman harus melatih si ratu drama itu agar lebih hebat lagi?" 

"Untuk sekarang, Paman tidak menemaninya berlatih. Paman memberikannya hukuman agar tidak lagi bertindak tanpa berpikir." Clara tersenyum manis.

"Jangan membuatnya terlalu lelah, Paman. Nanti, dia tidak akan bisa menjalankan misi bersama kami karena bunuh diri." Albert mendengkus.

"Jika berani melakukan itu, aku sendiri yang akan membawanya ke rumah sakit jiwa." Clara tertawa mendengarnya.

"Jadi, apakah Paman sudah meneror Calista hari ini?" Albert menggeleng.

"Aku berubah pikiran dan memberikan hadiah pada Alvin. Aku ingin tahu, bagaimana reaksinya setelah melihat hadiah itu." Clara ber oh ria.

"Kebetulan sekali, kakak angkatku itu memintaku agar tidak melibatkan Calista dalam balas dendam juga permainan ini." 

"Benarkah?" Clara mengangguk.

"Sejujurnya, kami tidak lama berbincang karena ada panggilan mendadak dari Paman Alvin pastinya. Kau ingin tahu, wajahnya sangat lucu. Dia kesal karena Paman Alvin mengganggu kami." Albert tersenyum tipis. Albert berpikir, beban Clara sudah mulai terangkat saat melihatnya berceloteh dan menertawakan orang lain.

"Itu karena dia sudah membuka hadiahnya dan meminta Vincent untuk mencari tahu, siapa yang mengirimkan hadiah itu," ujar Albert.

"Hm ... kau benar. Kita lihat, apa yang akan terjadi selanjutnya." Albert mengangguk.

Kembali ke Alvin dan Vincent....

Vincent kini berada di ruang kerja dan menatap tulisan berwarna merah di kertas A4 itu.

"Wow, kuakui pengirim ini sangat berani bermain denganmu, Ayah. Aku rasa, dia bukan orang sembarangan." Alvin menghela napas kesekian kalinya.

"Karena itulah, aku menyuruhmu datang kemari dan aku ingin kau menyelidiki siapa pengirim kertas ini." Vincent membaca tulisan itu, seolah-olah ingin mengenali tulisan di kertas itu.

"Hm ... sepertinya, aku mengenal tulisan ini."

TBC

blackonix_29

Adakah yang masih menunggu cerita ini? Saya harap masih ada, ya. Soalnya makin lama makin gaje kayaknya. Pasti, kebanyakan orang ingin baca langsung ke intinya saja. Tapi maaf guys, cerita ini memang rencananya masih panjang perjalanannya untuk membalas dendam. Ibaratnya, chapter-chapter ini akan menjadi pemanasan sebelum masuk ke konflik. Saya harap, para readers sabar dalam membaca ini. See you in the next Chapter, bye!

| Like

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status