Keesokan harinya, Albert kembali datang untuk membesuk Clara. Namun, ia urungkan niatnya sebentar tatkala melihat Vincent mendatangi kantor polisi. Ia mengalihkan langkahnya menuju kafe di seberang kantor polisi dan memesan kopi di sana.
"Paman, bukankah Paman ingin ke kantor Polisi?" Albert mendongak dan menatap Felix yang menjulang tinggi di hadapannya karena berada dalam posisi berdiri.
"Ada seseorang yang menemui Clara dan Paman tidak ingin mengganggunya." Felix mengernyit penasaran. Ia pun duduk di kursi dan ingin mendengar lebih lanjut mengenai seseorang yang menemui Clara.
"Siapa dia, Paman?" tanya Felix.
"Vincent Alexander. Dia anak angkat David, ayah kandung Clara." Felix membelalak.
"Lalu, apa dia tahu jika Tuan David meninggal?" Albert mengangguk ragu.
"Kurasa, ia mengetahuinya. Tidak mungkin pemuda itu mengajak Clara bekerja sama untuk menghancurkan Alvin tanpa mengetahuinya. Hanya saja, Paman belum bisa percaya sepenuhnya padanya." Albert mengaduk-ngaduk kopi di hadapannya.
"Apakah Paman ragu jika Vincent punya niat baik untuk mengajak Clara kerja sama?" tebak Felix.
"Begitulah. Terlebih, kemunculannya begitu mendadak. Bukan itu saja, dia juga dekat dengan Alvin dan sangat dipercaya oleh Alvin. Bagaimana aku bisa mempercayainya?" Felix yang mendengar itu pun jadi paham.
"Kalau begitu, aku akan coba mengikutinya. Siapa tahu, dia menyembunyikan sesuatu dari semua orang." Albert setuju begitu mendengar saran Felix.
"Paman harap, kau berhati-hati." Felix mengangguk.
"Apa kau sudah mengirim hadiah pada Alvin?" Felix kembali mengangguk.
"Sudah. Jujur saja, dia sangat sombong dan tidak tahu malu!" ujar Felix kesal.
"Hahaha, begitulah orang kaya." Felix mendecih.
"Orang kaya jadi-jadian." Albert tertawa renyah.
Di Kediaman Alvin dan keluarga....
Alvin terlihat sedang berpikir, haruskah ia membuka paket tersebut atau tidak? Firasatnya tidak enak mengenai paket tersebut. Tapi, ia penasaran dengan isi paket itu.
"Sayang, kenapa paketnya tidak kau buka?" Suara sang istri memasukki pendengarannya.
"Nanti saja, ayo kita makan." Akhirnya, Alvin memutuskan tidak membukanya dahulu. Ia bersama istri dan anaknya pun sarapan sebelum pergi ke kantor.
"Oh iya, Pa. Satu tahun lagi, aku akan lulus kuliah. Vincent mengajakku untuk jalan-jalan ke luar negeri." Alvin tersenyum senang mendengarnya.
"Kenapa tidak? Kalau perlu, cepatlah menikah dan berikan cucu untuk Papa dan Mama. Sudah lama tidak terdengar suara bayi di rumah ini." Calista merona mendengar ucapan sang ayah yang menggodanya.
"Pa, Calista jadi malu nih. Nanti sajalah nikahnya, Calista ingin fokus kuliah dan mengejar cita-cita Calista." Alvin dan Risa saling menatap lalu, tersenyum bangga.
"Baiklah, jika berubah pikiran, Papa siap menunggu lamaran dari kekasihmu itu." Calista semakin merona mendengarnya.
"Sudahlah sayang, jangan menggoda putri kita terus. Bisa-bisa, dia pingsan nanti." Calista mengerucutkan bibirnya sementara ayah dan ibunya tertawa melihat ekspresinya.
"Lihatlah ... kau juga menggodanya, istriku." Calista telah selesai sarapan dan merasa kesal karena godaan ibu dan ayahnya. Namun di lubuk hati terdalamnya, ia berharap Vincent segera melamarnya.
"Astaga, kenapa Papa dan Mama suka sekali menggodaku? Sudahlah, aku pergi dulu. Bye...." Calista mengecup kedua wajah ibu dan ayahnya lalu, berangkat kuliah.
Sarapan telah selesai, Risa mengangkat piring kotor bekas suami dan putrinya ke tempat cuci piring. Sementara itu, Alvin mengambil paket yang diberikan kurir tadi dan membawanya ke ruang kerja untuk membukanya.
"Awas saja jika isinya tidak penting!" Alvin mengoceh. Ia membuka seluruh paket tersebut dan membelalak saat mendapati pistol yang bentuknya sama seperti miliknya. Ia pernah menggunakannya untuk membunuh David 3 tahun yang lalu. Tidak ia sangka, pistolnya ada di paket itu. Seingatnya, ia tidak pernah meninggalkan pistol itu di lantai.
'Khe, yang benar saja.' Alvin mengambil pistol itu dan memeriksanya.
"Cih, apa maksudnya memberikanku mainan ini?" Ternyata, pistol tersebut hanyalah mainan. Alvin memeriksa kembali paketnya dan mendapati kertas bertuliskan kalimat di dalamnya.
'Pembunuh sepertimu, tak akan lolos dariku.' Alvin menggeram saat membaca kalimat itu. Ia meremat kertas itu dan membuangnya ke tempat sampah.
"Jika kutemukan kau, akan kutembak hingga kepalamu hancur!" Alvin mengepalkan tangannya dan memukul meja kerjanya.
"Sial!!!" umpatnya.
Setelah amarahnya cukup reda, ia menghubungi Vincent.
Vincent yang sedang asyik berbicara dengan Clara pun harus terganggu oleh suara ponsel di kantong celananya.
"Sial, dasar pengganggu!" rutuk Vincent.
"Angkat saja, Kak. Siapa tahu penting." Vincent berdecak kesal karena Clara seperti mengejeknya.
"Iya, iya." Clara terkikik melihat ekspresi Vincent.
"Halo, Ayah." Vincent menyapa lembut calon mertua di teleponnya.
"Kau di mana sekarang, Vincent?"
"Aku sedang di rumah, Ayah. Ada apa?" tanya Vincent pura-pura polos.
"Datanglah kemari! Ada pekerjaan yang harus kau urus!"
"Baiklah, Ayah. Aku segera ke sana." Sambungan panggilan itu terputus oleh Alvin membuat Vincent menghela napas.
"Sampai jumpa lagi, adik. Kuharap kita bisa berbincang lebih lama lagi tapi, tugas memanggilku." Clara mengangguk.
"Sampai jumpa, Kak. Senang berbincang padamu meskipun, yang kita bicarakan tadi tidak bisa disebut perbincangan." Vincent tersenyum dan pergi meninggalkan ruangan besuk itu.
Albert yang melihat Vincent terburu-buru pun menatap bingung.
'Mungkinkah ada pekerjaan? Kuharap, Felix mampu mengawasinya tanpa ketahuan,' batin Albert.
"Silakan masuk, Pak." Albert tersentak dari lamunannya dan masuk ke ruangan besuk.
"Paman, kau datang lagi?" Albert tersenyum miring.
"Kenapa? Kau tidak suka Paman datang?" Clara terkekeh.
"Aku suka. Hanya saja, apa Paman tidak ada pekerjaan di rumah? Bukankah, Paman harus melatih si ratu drama itu agar lebih hebat lagi?"
"Untuk sekarang, Paman tidak menemaninya berlatih. Paman memberikannya hukuman agar tidak lagi bertindak tanpa berpikir." Clara tersenyum manis.
"Jangan membuatnya terlalu lelah, Paman. Nanti, dia tidak akan bisa menjalankan misi bersama kami karena bunuh diri." Albert mendengkus.
"Jika berani melakukan itu, aku sendiri yang akan membawanya ke rumah sakit jiwa." Clara tertawa mendengarnya.
"Jadi, apakah Paman sudah meneror Calista hari ini?" Albert menggeleng.
"Aku berubah pikiran dan memberikan hadiah pada Alvin. Aku ingin tahu, bagaimana reaksinya setelah melihat hadiah itu." Clara ber oh ria.
"Kebetulan sekali, kakak angkatku itu memintaku agar tidak melibatkan Calista dalam balas dendam juga permainan ini."
"Benarkah?" Clara mengangguk.
"Sejujurnya, kami tidak lama berbincang karena ada panggilan mendadak dari Paman Alvin pastinya. Kau ingin tahu, wajahnya sangat lucu. Dia kesal karena Paman Alvin mengganggu kami." Albert tersenyum tipis. Albert berpikir, beban Clara sudah mulai terangkat saat melihatnya berceloteh dan menertawakan orang lain.
"Itu karena dia sudah membuka hadiahnya dan meminta Vincent untuk mencari tahu, siapa yang mengirimkan hadiah itu," ujar Albert.
"Hm ... kau benar. Kita lihat, apa yang akan terjadi selanjutnya." Albert mengangguk.
Kembali ke Alvin dan Vincent....
Vincent kini berada di ruang kerja dan menatap tulisan berwarna merah di kertas A4 itu.
"Wow, kuakui pengirim ini sangat berani bermain denganmu, Ayah. Aku rasa, dia bukan orang sembarangan." Alvin menghela napas kesekian kalinya.
"Karena itulah, aku menyuruhmu datang kemari dan aku ingin kau menyelidiki siapa pengirim kertas ini." Vincent membaca tulisan itu, seolah-olah ingin mengenali tulisan di kertas itu.
"Hm ... sepertinya, aku mengenal tulisan ini."
TBC
Adakah yang masih menunggu cerita ini? Saya harap masih ada, ya. Soalnya makin lama makin gaje kayaknya. Pasti, kebanyakan orang ingin baca langsung ke intinya saja. Tapi maaf guys, cerita ini memang rencananya masih panjang perjalanannya untuk membalas dendam. Ibaratnya, chapter-chapter ini akan menjadi pemanasan sebelum masuk ke konflik. Saya harap, para readers sabar dalam membaca ini. See you in the next Chapter, bye!
Clara beranjak dari kasurnya dan membuka pintu kamarnya. “Oh, Ayah. Ada apa, Ayah?” David tersenyum. “Ayah ingin bicara denganmu, Nak. Sekaligus, Ayah ingin melepas rindu karena sudah tiga tahun kita tidak bertemu.” Clara ber oh ria dan membuka jalan agar sang ayah bisa masuk ke kamarnya. Clara dan sang ayah duduk berhadapan di lantai dengan meja yang menjadi perantara mereka.“Bagaimana kabarmu, Clara? Apa kau baik-baik saja selama Ayah tidak ada?” tanya David.“Clara baik-baik saja, Ayah. Jujur, Clara sedikit kelelahan karena si bedebah itu. Clara harus berlatih dengan keras untuk menghancurkan bedebah itu dan harus mendekam di penjara selama seminggu. Tubuh Clara rasanya sakit karena tidur di tempat yang tidak nyaman. Tapi sekarang, Clara senang karena bisa bebas dan bertemu dengan Ayah lagi,” ujar Clara dengan senyuman manisnya.“Maaf, jika saja Ayah bisa melawan, kau pasti tidak akan kesulitan seperti ini, Nak.” David menunduk dengan rasa bersalahnya.Clara menggelengkan kepala
Having LunchPLAK!” Bunyi tamparan menggema di seluruh ruangan. Calista menatap takut karena baru pertama kali melihat ayahnya semarah ini. “Ma, Papa kenapa? Kok bisa semarah ini?” Nampaknya, suara Calista terdengar sampai telinga Alvin. “Cih, bawa dia ke Distrik Mawar. Akan kuberi dia pelajaran karena tidak berguna sebagai pengacaraku!” perintah Alvin pada anggotanya.Anggota Alvin manut dan membawa Angga pergi dari hadapan Alvin. Alvin berjalan mendekati Calista dan Risa tanpa menghiraukan teriakan . Alvin mengusap rambut Calista. “Maaf, Papa membuatmu ketakutan. Ma, aku harus pergi ke suatu tempat sekarang. Maaf, tidak bisa menemani kalian makan siang.” Risa mengangguk. “Tidak apa-apa. Lain kali, jangan sampai kelepasan.” “Sekali lagi maafkan aku,” ucap Alvin. “Hn, hati-hati. Ayo sayang, kita makan siang. Kau pasti lapar karena seharian berada di pengadilan,” ujar Risa mengalihkan perhatian Calista. Nampaknya, Calista masih shock melihat amarah ayahnya yang mengerikan. Calista
“David/Ayah???” Dengan wajah penuh keterkejutan, Clara dan Albert menyebut nama pria di hadapan mereka. Sementara yang ditatap hanya menatap kebingungan dengan reaksi dua orang di depannya. “Kenapa terkejut begitu?” tanya David heran.“K_kau masih hidup, David? B-bagaimana bisa?” tanya Albert terbata. Dia belum bisa mengendalikan keterkejutannya.“Iya, aku masih hidup. Karena aku masih hidup, seharusnya kalian menyambutku lebih baik lagi,” sindir David sarkas.Clara yang sudah mengendalikan keterkejutannya pun berdeham. “Ekhem, ceritakan semua pada kami bagaimana Ayah masih hidup tanpa terlewatkan!” perintah Clara dengan tegas, tanpa mempedulikan jika dia sedang berbicara dengan ayahnya.“Ayah tidak akan menceritakannya karena yang lebih tahu detailnya Vincent, kakak angkatmu.” David tersenyum pada putrinya. Akhirnya, dia bisa melihat putrinya lagi.“Loh, kenapa tidak Ayah sendiri yang cerita? Tanya Clara terheran.“Karena Vincent yang lebih tahu detailnya. Vincent yang telah menyela
Hakim yang tak mendapatkan jawaban pun kembali bertanya pertanyaan yang sama. "Saya tanya sekali lagi, Tuan Angga. Bisakah anda menunjukkan bukti lain selain sidik jari ini?" Angga yang sedari tadi diam pun bersuara. "S-saya tidak punya bukti lain, Yang Mulia." "Cih, dasar tidak berguna," rutuk Alvin pelan. "Tapi, saya bisa memberikan bukti yang lebih kuat dari Tuan Ryan asalkan anda memberikan saya waktu satu minggu, Yang Mulia," pinta Angga yang membuat sorakan amarah keluar dari mulut para audiens. Hakim itu mengetuk keras palu tersebut hingga membuat para audiens terdiam. "Maaf, Tuan Angga. Saya tidak bisa memberi tambahan waktu. Saya akui anda berani menuntut hukuman mati terhadap Nona Clara hanya dengan mengandalkan sidik jarinya saja. Padahal, sidik jari itu belum tentu benar adanya. Anda bisa saja dituntut atas pencemaran baik, anda mengerti, Tuan Angga?" Hakim itu menatap tegas pada Angga.Angga mengangguk pasrah, untuk pertama kalinya dia merasa dipermalukan di hadapan s
Pada pukul 8 malam, Vincent dan Calista baru saja pulang dari melakukan aktivitas. Menonton bioskop, ke pantai, dan ke mall untuk belanja. Banyak sekali barang belanjaan Calista di tangan Vincent, tapi Vincent tidak mengeluh sama sekali. Vincent sangat mencintai Calista, begitu juga sebaliknya. Setibanya mereka di mansion, Vincent mengecup kening Calista dan tanpa sadar kegiatan mereka dilihat oleh Risa, sang ibu. "Ekhem, cieee yang habis jalan-jalan. Bagaimana kegiatannya? Menyenangkan?" ujar risa hingga membuat sepasang kekasih itu tersentak. Mereka langsung berbalik menatap Risa dengan wajah memerah. "Eh Mama kok ada di sini?" tanya Calista. Risa tersenyum menggoda tatkala melihat wajah sang anak memerah. "Tentu saja Mama menunggumu pulang bersama kekasihmu ini. Bagaimana kencannya? Apa menyenangkan?" "Kencannya sangat menyenangkan. Vincent sangat romantis dan memperlakukanku seperti seorang putri," jawab Calista. Tak lama kemudian, Alvin keluar dari rumah dan mendapati Calista
Albert pulang ke mansionnya dan disambut oleh maidnya. "Tuan sudah pulang?" tanya Maid itu. Albert mengangguk. "Panggilkan Naomi dan suruh dia ke ruanganku!" perintah Albert. "Baik, Tuan," jawab Maid itu dan meninggalkan Albert. Sementara itu, Albert melangkah ke ruang kerjanya dan membuka komputer yang ada di meja kerjanya. Albert mengetikkan sesuatu di komputer itu dan sayangnya tidak menemukan apapun. Albert mendengkus. "Tidak ada hasil? Khe, yang benar saja! Albert pun mencoba untuk menelusuri lebih dalam dengan melakukan peretasan, tetapi nihil. "Pengacara tidak memiliki akun? Bisa jadi karena kesibukannya dalam menangani kasus klien. Maafkan Paman, Clara, Paman tidak bisa mencari tahu." Akhirnya, setelah tidak mendapatkan informasi apapun, Albert langsung mengirim pesan pada Felix dengan harapan jika Felix akan memberitahukan isi pesan itu pada Clara. Albert menyandarkan tubuhnya di kursi dan menengadahkan kepalanya ke atas.&