"Hm ... sepertinya, aku mengenal tulisan ini," ujar Vincent.
"Kau mengenali tulisan itu? Beritahu aku siapa orangnya!" perintah Alvin yang tak sabaran.
"Aku memang mengenal tulisan ini tapi, bukan berarti aku tahu siapa yang menulisnya. Aku hanya merasa familiar saja, Ayah." Alvin menghela napas kesal. Calon menantunya ini suka sekali menjahilinya di situasi darurat.
"Kalau begitu, cari tahu sesegera mungkin dan laporkan padaku jika kau menemukannya." Vincent mengangguk.
"Beri aku waktu untuk mencari pelakunya, Paman," pinta Vincent.
"Baiklah, kupercayakan semuanya padamu." Vincent membungkuk dan keluar dari ruangan Alvin.
"Eh, ada Nak Vincent. Kau habis bertemu dengan suamiku, ya?" Vincent membungkuk hormat dan tersenyum manis pada calon ibu mertuanya ini.
"Iya, Bu. Ayah bilang, ia baru saja diteror seseorang. Aku ditugaskan untuk mencari tahu, siapa peneror itu." Risa ber oh ria.
"Berarti, kau akan sibuk ya?" tanya Risa.
"Yah, begitulah. Aku akan sibuk beberapa hari ke depan. Kuharap, Calista tidak marah padaku." Risa tersenyum.
"Kau tenang saja. Calista tidak akan marah padamu. Dia pasti mengerti, jika kesibukanmu itu demi masa depan kalian nanti." Rona tipis muncul di wajah Vincent saat mendengar ucapan calon mertuanya itu. Namun, ekspresinya berubah seketika.
'Pengirim surat itu, pasti berhubungan dengan Clara. Aku yakin itu.' Vincent membatin. Risa menatap bingung saat mendapati ekspresi serius Vincent.
"Nak Vincent, ada apa?" Vincent menatap Risa dan tersenyum.
"Tidak apa-apa, hanya bergelut dengan pikiran saja." Risa kembali ber oh ria.
"Kau tidak ingin makan atau minum dulu, Nak Vincent?" Vincent menggeleng.
"Tidak, Bu. Ada banyak pekerjaan yang harus kuselesaikan," jawab Vincent tidak sepenuhnya bohong. Ia memang ingin mencari tahu siapa yang mengirimkan teror pada Alvin.
'Apakah aku harus menjenguk Clara lagi? Ataukah, meminta tolong padanya?' tanya Alvin.
Alvin menaikki mobil bermerek Mercedes Benz menuju suatu tempat. Felix yang melihat itu pun tidak tinggal diam. Ia menutup wajahnya dengan kaca helm dan mengikuti Vincent.
Vincent merasa, ada yang mengikutinya sejak tadi. Ia melihat ke kaca spionnya dan mendapati pengendara motor sport misterius di belakangnya.
"Siapa dia? Mau apa dia mengikutiku?" tanyanya pada diri sendiri. Ia mengebut dan menerobos pengendara mobil di hadapannya tanpa mempedulikan dirinya yang hampir menabrak beberapa pengendara. Ia tidak ingin siapapun tahu kemana ia pergi. Ia melirik ke kaca spion sebentar lalu, menghembuskan napas lega.
"Sial, cepat sekali dia pergi!" umpat Felix. Ia menatap jam tangannya yang canggih. Jam tangan tersebut menunjukkan sebuah peta lokasi ke sebuah tempat. Beruntung, ia memasang alat pelacak di mobil Vincent sehingga, ia tidak akan kehilangan jejak. Ia mengambil jalan yang berbeda dari Vincent tadi, menuju lokasi.
'Aku tahu, kau pasti menyadari jika aku mengikutimu, Vincent. Bukan Felix namanya jika tidak punya persiapan.' Felix menyeringai dibalik masker yang ia kenakan.
Di tempat Vincent....
"Jadi, ada apa kau kemari?" tanya pria paruh baya tersebut.
"Aku kemari, ingin meminta tolong padamu." Pria paruh baya berwajah tampan itu mengangkat sebelah alisnya.
Vincent menyerahkan kertas yang dikirimkan peneror untuk Alvin pada pria itu.
"Tidak perlu aku cari tahu. Aku tahu siapa yang menulis ini," ujarnya.
"Benarkah? Siapa orangnya?" tanya Vincent penasaran.
"Kau tahu Albert?" Vincent menggeleng.
"Dia sahabatku. Aku yakin, dialah yang menulisnya. Dia pasti punya alasan untuk meneror Alvin dengan trik murahan seperti ini." Vincent ber oh ria.
"Si Alvin tua bangka itu menyuruhku untuk mencari tahu pengirim tulisan ini. Sementara, pelakunya adalah Tuan Albert. Sangat tidak mungkin, jika aku mengatakan Tuan Albert yang mengirimnya." David menyeringai.
"Soal itu, kau tenang saja. Kita perlu mencari kambing hitam seperti yang ia lakukan pada putriku." Vincent tersenyum miris mendengar 'kambing hitam'.
"Tapi, Ayah. Akulah yang menyarankannya untuk menjadikan Clara kambing hitam." Pria bernama David itu tersenyum dan menepuk bahu Vincent. Entah bagaimana, ia masih hidup setelah terkena tembakan di dada kirinya.
"Sebagai balasannya, carilah kambing hitam yang tepat untukku. Yang pasti, mereka berpotensi untuk mengkhianati Alvin." David menenangkan Vincent yang merasa bersalah.
"Aku tahu siapa orangnya, Ayah. Ada dua pemuda sombong yang menyukai Calista dan berusaha membuatku kehilangan kepercayaan tua bangka itu. Aku akan menjadikan mereka kambing hitamnya." David mengangguk.
"Maafkan aku, karena membuatmu kerepotan. Aku tidak bisa membantu apa-apa meski kau telah menyelamatkanku." Vincent menatap sendu melihat ekspresi sang ayah.
"Tidak apa-apa, Ayah. Justru, akulah yang membalas budi karena kau sudah mau mengangkatku sebagai anak. Bolehkah aku meminta tolong padamu, Ayah?" tanya Vincent.
"Katakanlah, Ayah senang bisa membantumu." Vincent senang mendengarnya.
"Karena Ayah sangat multitalent, maukah Ayah menjadi pengacara untuk Clara?" David terkejut mendengarnya.
"A-Ayah tidak yakin, Ayah bisa melakukannya? Bagaimana jika Clara nanti tahu?" tanya David.
"Clara tidak akan tahu jika Ayah memakai penyamaran. Aku akan mengurus semuanya dan memastikan Alvin tidak curiga." David mengangguk.
'Jadi, ayah kandung Clara masih hidup?' tanya Felix dalam hatinya. Ia diam-diam menguping pembicaraan kedua pria berbeda usia tersebut.
"Hei, siapa kau?!" teriak penjaga yang menginterupsi, membuat Felix terkejut. Ia membalikkan tubuhnya dan mendapati dua penjaga bertubuh besar di hadapannya.
'Gawat. Aku ketahuan,' rutuk Felix dalam hati.
"Maaf, aku hanya kebetulan lewat. Aku akan pergi, permisi." Felix hendak menerobos kedua penjaga ini namun, kedua penjaga itu menahan tubuhnya.
"Kami tidak akan membiarkanmu pergi setelah menyusup kemari." Felix menghela napas.
'Merepotkan!' rutuk batinnya.
"Aku tidak punya niat jahat jika itu yang kalian khawatirkan." Kedua penjaga itu saling menatap.
"Tapi tetap saja, kami tidak akan membiarkanmu pergi. Ikut kami dan jelaskan semuanya di hadapan Tuan David." Felix mengumpat pelan. Ia tidak memperkirakan jika ada penjaga yang menangkapnya mengingat, penjagaan di gerbang sangat longgar. Apakah ini jebakan untuknya?
"Kalau aku tidak mau?" Felix mencoba menantang kedua penjaga tersebut.
"Terpaksa kami menggunakan kekerasan." Felix menyeringai.
"Siapa takut?" Felix memasang kuda-kudanya dan menyerang kedua penjaga tersebut dengan lihai.
Ia berhasil menumbangkan salah satu penjaga itu dengan memukul tengkuknya.
"Ternyata, tengkuk kalian tidak sekuat tubuh kalian." Salah satu penjaga yang belum pingsan itu mendecih.
"Jangan remehkan kami, bocah!" Penjaga itu memukul perut Felix hingga memuntahkan darah namun, ia tidak gentar. Ia beruntung, tubuhnya lebih gesit dibandingkan kedua penjaga itu sehingga, ia mampu mencari celah untuk mengalahkan mereka.
"Ada suara keributan di luar, Ayah. Ayo kita periksa." David mengangguk dan mereka pun keluar dari rumah.
"Siapa anak muda itu, Vincent?" tanya David.
"Entahlah, Paman. Aku juga tidak tahu. Sepertinya, dia mengikutiku kemari." Setelah mengatakan itu, Vincent teringat saat pemuda misterius yang tadi siang mengikutinya.
"Jangan-jangan, dialah yang mengikutiku kemari? Tapi, bagaimana bisa?"
TBC
Sudah tahu, plot twistnya di mana? Silakan tebak dan tulis di komentar jika kalian tahu, kenapa ayah kandung Clara hidup kembali. Cerita ini sebenarnya terinspirasi sedikit dari penthouse. Jadi, bolehlah bikin cerita di mana manusia dibangkitkan kembali setelah kematian. See you in the next chapter....
Clara beranjak dari kasurnya dan membuka pintu kamarnya. “Oh, Ayah. Ada apa, Ayah?” David tersenyum. “Ayah ingin bicara denganmu, Nak. Sekaligus, Ayah ingin melepas rindu karena sudah tiga tahun kita tidak bertemu.” Clara ber oh ria dan membuka jalan agar sang ayah bisa masuk ke kamarnya. Clara dan sang ayah duduk berhadapan di lantai dengan meja yang menjadi perantara mereka.“Bagaimana kabarmu, Clara? Apa kau baik-baik saja selama Ayah tidak ada?” tanya David.“Clara baik-baik saja, Ayah. Jujur, Clara sedikit kelelahan karena si bedebah itu. Clara harus berlatih dengan keras untuk menghancurkan bedebah itu dan harus mendekam di penjara selama seminggu. Tubuh Clara rasanya sakit karena tidur di tempat yang tidak nyaman. Tapi sekarang, Clara senang karena bisa bebas dan bertemu dengan Ayah lagi,” ujar Clara dengan senyuman manisnya.“Maaf, jika saja Ayah bisa melawan, kau pasti tidak akan kesulitan seperti ini, Nak.” David menunduk dengan rasa bersalahnya.Clara menggelengkan kepala
Having LunchPLAK!” Bunyi tamparan menggema di seluruh ruangan. Calista menatap takut karena baru pertama kali melihat ayahnya semarah ini. “Ma, Papa kenapa? Kok bisa semarah ini?” Nampaknya, suara Calista terdengar sampai telinga Alvin. “Cih, bawa dia ke Distrik Mawar. Akan kuberi dia pelajaran karena tidak berguna sebagai pengacaraku!” perintah Alvin pada anggotanya.Anggota Alvin manut dan membawa Angga pergi dari hadapan Alvin. Alvin berjalan mendekati Calista dan Risa tanpa menghiraukan teriakan . Alvin mengusap rambut Calista. “Maaf, Papa membuatmu ketakutan. Ma, aku harus pergi ke suatu tempat sekarang. Maaf, tidak bisa menemani kalian makan siang.” Risa mengangguk. “Tidak apa-apa. Lain kali, jangan sampai kelepasan.” “Sekali lagi maafkan aku,” ucap Alvin. “Hn, hati-hati. Ayo sayang, kita makan siang. Kau pasti lapar karena seharian berada di pengadilan,” ujar Risa mengalihkan perhatian Calista. Nampaknya, Calista masih shock melihat amarah ayahnya yang mengerikan. Calista
“David/Ayah???” Dengan wajah penuh keterkejutan, Clara dan Albert menyebut nama pria di hadapan mereka. Sementara yang ditatap hanya menatap kebingungan dengan reaksi dua orang di depannya. “Kenapa terkejut begitu?” tanya David heran.“K_kau masih hidup, David? B-bagaimana bisa?” tanya Albert terbata. Dia belum bisa mengendalikan keterkejutannya.“Iya, aku masih hidup. Karena aku masih hidup, seharusnya kalian menyambutku lebih baik lagi,” sindir David sarkas.Clara yang sudah mengendalikan keterkejutannya pun berdeham. “Ekhem, ceritakan semua pada kami bagaimana Ayah masih hidup tanpa terlewatkan!” perintah Clara dengan tegas, tanpa mempedulikan jika dia sedang berbicara dengan ayahnya.“Ayah tidak akan menceritakannya karena yang lebih tahu detailnya Vincent, kakak angkatmu.” David tersenyum pada putrinya. Akhirnya, dia bisa melihat putrinya lagi.“Loh, kenapa tidak Ayah sendiri yang cerita? Tanya Clara terheran.“Karena Vincent yang lebih tahu detailnya. Vincent yang telah menyela
Hakim yang tak mendapatkan jawaban pun kembali bertanya pertanyaan yang sama. "Saya tanya sekali lagi, Tuan Angga. Bisakah anda menunjukkan bukti lain selain sidik jari ini?" Angga yang sedari tadi diam pun bersuara. "S-saya tidak punya bukti lain, Yang Mulia." "Cih, dasar tidak berguna," rutuk Alvin pelan. "Tapi, saya bisa memberikan bukti yang lebih kuat dari Tuan Ryan asalkan anda memberikan saya waktu satu minggu, Yang Mulia," pinta Angga yang membuat sorakan amarah keluar dari mulut para audiens. Hakim itu mengetuk keras palu tersebut hingga membuat para audiens terdiam. "Maaf, Tuan Angga. Saya tidak bisa memberi tambahan waktu. Saya akui anda berani menuntut hukuman mati terhadap Nona Clara hanya dengan mengandalkan sidik jarinya saja. Padahal, sidik jari itu belum tentu benar adanya. Anda bisa saja dituntut atas pencemaran baik, anda mengerti, Tuan Angga?" Hakim itu menatap tegas pada Angga.Angga mengangguk pasrah, untuk pertama kalinya dia merasa dipermalukan di hadapan s
Pada pukul 8 malam, Vincent dan Calista baru saja pulang dari melakukan aktivitas. Menonton bioskop, ke pantai, dan ke mall untuk belanja. Banyak sekali barang belanjaan Calista di tangan Vincent, tapi Vincent tidak mengeluh sama sekali. Vincent sangat mencintai Calista, begitu juga sebaliknya. Setibanya mereka di mansion, Vincent mengecup kening Calista dan tanpa sadar kegiatan mereka dilihat oleh Risa, sang ibu. "Ekhem, cieee yang habis jalan-jalan. Bagaimana kegiatannya? Menyenangkan?" ujar risa hingga membuat sepasang kekasih itu tersentak. Mereka langsung berbalik menatap Risa dengan wajah memerah. "Eh Mama kok ada di sini?" tanya Calista. Risa tersenyum menggoda tatkala melihat wajah sang anak memerah. "Tentu saja Mama menunggumu pulang bersama kekasihmu ini. Bagaimana kencannya? Apa menyenangkan?" "Kencannya sangat menyenangkan. Vincent sangat romantis dan memperlakukanku seperti seorang putri," jawab Calista. Tak lama kemudian, Alvin keluar dari rumah dan mendapati Calista
Albert pulang ke mansionnya dan disambut oleh maidnya. "Tuan sudah pulang?" tanya Maid itu. Albert mengangguk. "Panggilkan Naomi dan suruh dia ke ruanganku!" perintah Albert. "Baik, Tuan," jawab Maid itu dan meninggalkan Albert. Sementara itu, Albert melangkah ke ruang kerjanya dan membuka komputer yang ada di meja kerjanya. Albert mengetikkan sesuatu di komputer itu dan sayangnya tidak menemukan apapun. Albert mendengkus. "Tidak ada hasil? Khe, yang benar saja! Albert pun mencoba untuk menelusuri lebih dalam dengan melakukan peretasan, tetapi nihil. "Pengacara tidak memiliki akun? Bisa jadi karena kesibukannya dalam menangani kasus klien. Maafkan Paman, Clara, Paman tidak bisa mencari tahu." Akhirnya, setelah tidak mendapatkan informasi apapun, Albert langsung mengirim pesan pada Felix dengan harapan jika Felix akan memberitahukan isi pesan itu pada Clara. Albert menyandarkan tubuhnya di kursi dan menengadahkan kepalanya ke atas.&