Clara beranjak dari kasurnya dan membuka pintu kamarnya. “Oh, Ayah. Ada apa, Ayah?” David tersenyum. “Ayah ingin bicara denganmu, Nak. Sekaligus, Ayah ingin melepas rindu karena sudah tiga tahun kita tidak bertemu.” Clara ber oh ria dan membuka jalan agar sang ayah bisa masuk ke kamarnya. Clara dan sang ayah duduk berhadapan di lantai dengan meja yang menjadi perantara mereka.“Bagaimana kabarmu, Clara? Apa kau baik-baik saja selama Ayah tidak ada?” tanya David.“Clara baik-baik saja, Ayah. Jujur, Clara sedikit kelelahan karena si bedebah itu. Clara harus berlatih dengan keras untuk menghancurkan bedebah itu dan harus mendekam di penjara selama seminggu. Tubuh Clara rasanya sakit karena tidur di tempat yang tidak nyaman. Tapi sekarang, Clara senang karena bisa bebas dan bertemu dengan Ayah lagi,” ujar Clara dengan senyuman manisnya.“Maaf, jika saja Ayah bisa melawan, kau pasti tidak akan kesulitan seperti ini, Nak.” David menunduk dengan rasa bersalahnya.Clara menggelengkan kepala
“Ada apa kau kemari, Alvin?” tanya pria bernama David Alexander. “Aku kemari untuk mengambil kembali apa yang menjadi milikku, termasuk rumah ini.” David mengernyit. “Apa maksudmu—“ Sebelum menyelesaikan ucapannya, Alvin segera memotong ucapannya. “Aku akan merebut apa yang seharusnya menjadi milikku walau harus membunuhmu, David.” David membelalak saat Alvin mengarahkan pistol kepadanya. “Apa kau bercanda? Singkirkan senjata itu!” perintah David. “Tidak akan! Kau harus mati sekarang juga, David!” Dor ... Dor.... Suara tembakan itu bergema hingga sampai ke kamar yang ditempati Clara. Clara terbangun karena terkejut dan mengintip sekilas keluar. Ia membelalak saat mendapati sang ayah tergeletak tak berdaya. “Dengan ini, kami tidak akan jatuh miskin. Terima kasih saudaraku, istirahatlah dengan tenang bersama istrimu.” Alvin bangkit berdiri dan menatap kamar Clara. Ia memberi aba-aba
"Bisakah anda bangun sendiri, Nona?! Berhentilah bersikap seperti tuan putri, Nona! Cepat bangun!" Clara terbangun dari tidurnya dan menatap datar gadis dengan make up tebalnya itu. "Bangun juga kau akhirnya. Ikut aku sekarang jika tidak, aku akan dimarahi oleh Tuan Albert." Clara mengangguk dan menuju ke kamar mandi. "Mau kemana kau?!" tanya gadis itu ketus. "Ke kamar mandi," jawab Clara singkat. Clara bertanya-tanya, kenapa gadis ini berujar ketus padanya. "Cih, jangan membuang-buang waktumu, Nona. Kita disuruh berkumpul ke ruang latihan sekarang." Tangan Clara pun ditarik kasar oleh gadis itu membuat Clara harus menahan emosi. "Jangan menyentuh tangan saya sembarangan, Nona. Saya bisa saja mematahkan tangan anda sekarang juga." Gadis itu tidak menghiraukan ucapan Clara dan menarik tangan Clara hingga keluar kamar. Clara yang kehabisan kesabaran pun langsung melingkarkan tangan gadis itu ke lehernya sendiri dan menendang lutut gadis itu.&nbs
3 tahun terlewati, Clara dan Naomi duduk berhadapan. Keduanya saling menatap remeh seolah yakin, jika salah satu dari mereka pasti lulus ujian terakhir. "Hari ini adalah ujian tahap terakhir. Ujian ini menguji kecepatan kalian dalam merakit pistol yang ada di hadapan kalian. Siapa yang selesai duluan, dia harus menembak lawan di hadapannya." Para gadis mengangguk dan melaksanakan instruksi Albert. Mereka merakit pistol itu dengan cepat diiringi dengan jam yang terus berdetak. "Kalian harus menyelesaikan rakitan pistol itu dalam waktu tiga menit. Jika lewat dari tiga menit, kalian tamat. Jika berhasil menyelesaikan kurang dari tiga menit, kalian dinyatakan lulus." Mendengar itu para gadis mempercepat rakitan pistol mereka dan kepanikan mulai melanda. Tidak disangka, Clara telah selesai terlebih dahulu dengan waktu 30 detik. Ia mengarahkan pistolnya ke arah Naomi membuat Naomi membelalak. Ia bahkan baru setengah dalam merakit pistol. Nyawanya sudah teranc
"Setelah ditutupnya kasus kematian Tuan David Alexander, kini para polisi kembali bergerak setelah mendapat laporan dari Tuan Alvin Alexander, mengenai identitas pembunuh Tuan David Alexander." Alvin yang melihat itu menyeringai lantaran rencananya hampir berhasil untuk menangkap Clara. 'Kau akan menyaksikan penderitaan putrimu di penjara, David. Dengan begitu, tidak ada lagi orang yang akan merebut kekayaanku.' Seringaian Alvin semakin lebar saat foto Clara terpampang di layar televisi. "Pelaku bernama Clara Alexander diduga telah melakukan pembunuhan terhadap Tuan David demi mendapatkan harta warisan Tuan David. Pelaku juga melarikan diri saat dipergokki oleh Tuan Alvin yang menyaksikan pembunuhan di hadapannya. Untuk itu, Tuan Alvin memerlukan bantuan dari para masyarakat setempat. Selain untuk meringankan pekerjaan polisi, beliau akan memberikan hadiah bagi siapapun yang menemukannya. Bagi siapapun yang menemukannya, hubungi nomor yang
Di ruang interogasi, Clara dan pimpinan kepolisian duduk berhadapan. "Kuharap, kau mengakui semua perbuatanmu dan memudahkan kami dalam bertugas." Clara tidak menjawab dan memasang wajah dingin di hadapan polisi. "Apa benar, kau membunuh ayahmu untuk mendapat harta warisan?" Tatapan Clara menajam ketika mendengar pertanyaan polisi tersebut. "Entahlah, pikirkan saja sendiri. Lagipula, tidak ada gunanya aku menjawab." Polisi itu mendengkus mendengar jawaban Clara. 'Cih, gadis ini ingin mempersulit ternyata,' batin polisi itu. "Jangan bertele-tele, Nona. Cukup jawab iya, atau tidak. Bekerja samalah dengan kami, Nona. Tidak sulit, kan?" Clara tersenyum miring. "Apa untungnya? Dengan menangkap dan menginterogasiku, apa kalian bisa menghidupkan kembali ayahku?" pertanyaan yang diberikan Clara membuat polisi tersebut terdiam. "Kalian tidak bisa menjawab pertanyaanku? Ayolah, kalian kan polisi. Pasti sering mendapat pertanyaan seperti
"Apa itu?" tanya Clara. "Aku akan menghasut hakim agar tidak menjatuhkan hukuman padamu." Clara mendengkus. "Dengan bukti yang sudah jelas, kau ingin membuat hakim tidak menjatuhkan hukuman padaku? Khe, yang benar saja," ujar Clara sarkas. "Apa salahnya? Toh, aku punya bukti yang asli." Clara memiringkan wajahnya dan tersenyum miring. "Bukti apa? Bukti jika pamankulah yang membunuh ayahku?" Vincent mengangguk. "Sebelum CCTV dihapus, orang kepercayaanku menyalin rekamannya dan menyerahkannya padaku." Clara menyilangkan tangan dan kakinya. "Menarik. Kuakui kau berani bertindak sejauh itu tanpa sepengetahuan pamanku." Vincent tersenyum. "Jika bukan kepercayaan tinggi pamanmu itu, aku tidak akan bisa melakukannya." Clara ber oh ria. "Pamanku percaya padamu? Itu artinya, kau bersekutu dengan pamanku. Aku tidak yakin kita bisa bekerja sama. Permisi." Clara hendak bangkit namun, tangannya ditahan oleh Vincent. "Kita pu
Kejadian sebelum Clara menghubungi Albert dari penjara.... Di kamar bak istana, Naomi terlihat senang dan heboh sendiri. Ia senang, karena Clara tidak ada lagi di hadapannya. "Akhirnya, tidak ada lagi pengganggu antara aku dan Felix. Selamat menikmati penderitaanmu di penjara, Clara. Bukan itu saja, aku juga mendapat banyak uang berkat itu. Ah, senangnya...." Naomi memeluk ponselnya dan berbaring di kasus queen sizenya. "Belanja apa ya hari ini? Hah, sudah sekian lama aku tidak kemana-mana dan tidak belanja keluar. Ow, kulitku yang malang ... berkat latihan itu kulitku menjadi kasar. Setidaknya, aku bisa belanja online." Naomi membuka aplikasi belanja pada ponselnya dan melihat benda menarik di sana. Tanpa disadari oleh Naomi, Felix mengintip dari celah pintu dengan tatapan bak elang. Tok, tok, tok.... "Masuk!" Pintu terbuka, Felix berjalan masuk ke ruangan Albert.