Share

03 - Alan Mode Curcol

GIMANA rasanya hangout sama CEO dari kantor sendiri?

Kalau orangnya asyik dan enak, sih, oke-oke saja. Tapi kalau orangnya kayak modelan Alan yang selalu memasang wajah datar layaknya mau ngajak perang, sih, siapa pun pasti bakal berpikir dua kali buat mengajaknya bicara.

Bahkan Jeanne yang notabenenya sudah kenal Alan sebelumnya saja tidak mau mengajaknya bicara. Garing banget ngajak ngomong si Alan itu. Cuma bikin emosi sendiri, apalagi setelah kejadian siang tadi.

Jeanne mengembuskan napas berat. Teman-temannya yang sudah mulai mabuk satu per satu pamitan untuk joget-joget di lantai dansa. Sisanya pamit pulang karena sudah kangen anak istrinya. Jeanne mau pergi dari sana juga, tapi dia tidak enak hati sama Alan yang dari tadi cuma diam di tempat saja.

Alan duduk di sofa paling ujung. Dia cuma berdiam diri sembari menikmati bergelas-gelas alkohol di depannya. Memang bukan hanya Alan saja yang melakukan hal seperti itu, tapi nyaris semua teman-teman kerjanya yang masih jomlo itu pun melakukan hal serupa.

Pasalnya mereka sudah tahu, pas masuk ke sini Jeanne pakai card legendaris yang tidak akan diberikan secara cuma-cuma oleh pihak kelab. Harga card yang mahal itu sudah sepaket dengan minumannya yang harganya mahal juga. Jadi mereka tidak mau buang-buang waktu selain langsung minum saja mumpung lagi ada kesempatan, kan?

"Nggak mau turun, Pak?" tanya Jeanne yang berusaha menjaga sopan santun, karena tidak enak juga kalau teman-teman barunya di kantor mendengar sapaannya pada Alan. Apalagi dia memang biasa memanggil Alan langsung dengan namanya saja tanpa embel-embel kesopanan.

Setelah siang tadi dia ditanyai macam-macam oleh teman-teman di kantornya. Bahkan dia sampai dituduh kalau punya affair dengan CEO di kantor mereka. Jeanne akhirnya bisa menjelaskan pada teman-temannya soal asal muasal perkenalannya dengan Alan. Dia juga menyangkal hubungan affair dengan Alan, karena pacarnya itu Fredy alias si bebek sawah kesayangannya.

Alan menoleh ke arah Jeanne tanpa menunjukkan sedikit pun ekspresi. "Enggak, lo sendiri nggak pengen turun?"

Jeanne tersenyum masam. Dia sangat ingin melakukannya, tapi dia tidak enak membiarkan Alan sendirian. "Kenapa nyuruh gue turun? Lo mau cosplay jadi sad boy di sini, ya? Eh salah," Jeanne menutup mulutnya kemudian meralat ucapannya, "karena lo udah bukan boy lagi, jadinya sad man, ya?"

"Mungkin. Sejujurnya gue cuma mau minum aja malam ini. Lo mau nyoba?" Alan menunjukkan gelasnya pada Jeanne yang langsung mengernyit memandanginya. "Dari tadi lo nggak minum, nggak ikutan turun juga. Kalau lo mau sok alim di depan gue, jelas nggak guna karena gue udah tahu lo bisa minum di pesta pernikahan Alva sebelumnya."

Jeanne berdecak kesal. Dia mau minum. Sangat mau, tapi sebagai orang yang disambut malam ini, dia menjadi layaknya sosok pemilik acara tersebut. Apalagi dia yang akan membayar semua biaya yang akan mereka habiskan malam ini.

Walaupun dia berhutang dulu pada Alan melalui card miliknya, tapi ending-endingnya dia juga yang akan membayarnya. Alhasil sebagai pemilik acara itu, dia harus tetap menjaga kewarasan ketika semua teman-teman kantornya sudah setengah sadar.

Kalaupun dia ingin mabuk, dia akan melakukan bagiannya terakhir. Saat semua teman-temannya sudah pulang. Karena dia mau menjadi pemilik acara yang baik dan tidak mengecewakan teman-teman barunya.

"Kalau lo mau minum, minum aja. Gue bisa sambil jagain mereka." Alan tiba-tiba saja berbicara sembari menyodorkan gelasnya yang terisi penuh minuman beralkohol yang sejak tadi dinikmati olehnya ke hadapan Jeanne. "Gue lebih kuat minum daripada kelihatannya."

Jeanne menyipitkan kedua matanya. "Seriusan lo jago minum? Kok nggak kelihatan?"

Alan tersenyum masam. Dia pernah menjadi pecandu alkohol saat masih kuliah, walaupun setelahnya dia berhasil berubah. Namun dia kembali mengulangi fase itu tahun lalu, saat dia merasa marah pada takdir yang tengah mempermainkannya.

Dia ingin melakukannya lagi tahun ini saat dia gagal mengikatkan diri pada pernikahan. Namun pekerjaannya yang terlalu banyak membuat Alan belum bisa merealisasikan keinginan. Hingga malam ini, akhirnya dia bisa menelan minuman yang bisa menghancurkan tubuhnya sekali lagi.

"Tapi kalau dipikir-pikir lagi, lo nggak mungkin bisa punya kartu itu kalau lo nggak pernah jadi langganan di tempat ini, kan?" tanya Jeanne dengan nada suaranya yang begitu khas. Kata-kata yang apa adanya, blak-blakan, jujur, dan kadang berakhir menjadi kalimat sarkas.

"Gue dapatin kartu itu tahun lalu, sebelum gue pacaran sama Risa," ceritanya.

Jeanne terdiam sejenak setelah mendengar ucapannya. Dia pikir, pria itu tidak akan pernah membahas tentang Risa saat sedang bersamanya. Apalagi sampai mengenang kembali perjalanan hidupnya bersama sang mantan pacar. Namun sepertinya Jeanne telah salah menilainya, karena Alan kini terlihat baik-baik saja saat mengatakannya.

Apakah dia benar-benar baru saja patah hati tempo hari? Kenapa dia bisa move-on secepat itu kalau dia memang sudah cinta mati?

"Eh, Risa sering ke sini juga?" tanyanya kaget.

"Enggak, Risa bukan orang kayak gitu. Dia orang baik-baik. Gue cuma pernah ke sini sekali pakai kartu itu, itu pun sebelum gue ketemu sama Risa lagi." Alan tersenyum tipis. "Sayang banget ending perjalanan cinta kami cuma sampai di sana."

"Salah lo juga, sih?! Siapa suruh lo selingkuh? Kalau lo nggak selingkuh, dia pasti masih aman sama lo sekarang, bukannya masuk kandang buaya berengsek kayak gitu."

Jeanne terang-terangan mengumpati sepupu Alan yang notabenenya mantan pacarnya juga. Walaupun hubungan mereka masih baik sekarang, teramat baik malahan, tapi itu bukan alasan yang membuat Jeanne untuk tidak menyebut pria itu berengsek.

"Gue juga nyesel, tapi keadaan gue waktu itu beneran lagi buruk banget. Waktu gue lagi digodain cewek lain, gue lagi dalam fase butuh seseorang di samping gue. Sedangkan Risa lagi nggak ada di sana." Alan tersenyum getir.

Dia menyesalinya. Sangat menyesalinya. Andaikan saat itu dia tidak terbuai dan melakukannya, mungkin hubungan mereka sampai sekarang masih baik-baik saja. Bahkan mungkin ... mereka sudah menikah dan punya anak sekarang.

Alan mengembuskan napas berat. Tepat saat Jeanne merespon ucapannya.

"Gue baru tahu kalau cowok ternyata punya fase kayak gitu atau itu cuma berlaku buat lo doang?"

Alan tersenyum masam. "Mungkin cuma gue doang yang kayak gitu."

"Kalau cuma lo doang, harusnya lo nggak pernah ngizinin Risa pergi ke kantor cabang."

Ucapannya benar. Alan mengakuinya. Dia juga menyesali keputusannya yang mengizinkan Risa pergi dari sisinya. Terlebih alasan kepergiannya hanya karena direktur lain yang takut kehilangan posisinya.

"Ya, tapi udah terlambat, sih. Sekarang si Risa udah nikah sama Alva, lagi hamil juga. Jadi lo nggak mungkin ngarepin dia balik lagi, kecuali lo emang udah gila, kan?"

"Yah, gue nggak pernah ngarepin dia balik lagi. Gue cuma berharap, kali ini dia bisa bahagia, lebih bahagia daripada saat dia masih sama gue dulu."

Kata-kata itu walaupun diucapkan dengan nada biasa, tapi Jeanne menangkap lara di balik suaranya. Alan menyimpan lukanya, menyimpan pedihnya ditinggalkan, karena dia tahu semua itu salahnya sendiri. Dia sudah menyesalinya. Dia sudah merelakan cintanya. Dia mengikhlaskannya untuk sepupunya. Dia akan menjadi orang yang baik, jika dia sudah mau berubah kali ini.

Jeanne menepuk pelan pundak Alan berulang kali. "Yang sabar ya, Lan! Ntar kalau lo nyari cewek lagi, cari yang deket aja, jangan cari yang jauh sampai LDR-an gitu lagi. Lo tipe yang nggak kuatan ditinggal cewek sendiri, jadi jangan LDR-an lagi, karena lo pasti nggak bakalan sanggup jalaninnya. Ngerti?"

Alan mendengkus keras mendapat ceramah seperti itu dari Jeanne. "Cari yang kayak lo gini, ya? Deket, suka nongol dan gangguin orang mulu gitu?"

Jeanne menatapnya dengan tatapan aneh. "Jangan bilang selera cewek lo yang kayak gue gini lagi?"

"Enggak." Alan menjawabnya dengan muka datar. "Gue lebih suka cewek yang tenang, dewasa, dan perhatian. Bukannya berisik, kekanakan, dan suka buat onar."

"Sialan lo!" Jeanne memukul punggung Alan agak keras. Kemudian dia mengambil gelas yang disodorkan Alan sebelumnya dan mulai meminum isinya. "Terus selingkuhan lo yang kemarin mana? Lo nggak pacaran sama dia emangnya?"

"Enggak, dia udah gue pecat."

"Hah?" Jeanne langsung menoleh dengan pandangan syok. "Apa?!" Kemudian dia meminum lagi minuman di gelas itu, karena ternyata rasanya lebih enak dari yang biasanya dia minum.

"Dia bilang lagi hamil anak gue, terus nyuruh gue tanggung jawab dan nikahin dia," jelas Alan dengan santainya.

Jeanne langsung menyemburkan minuman yang mau dia telan dan menatap Alan dengan tatapan tidak percaya. "Anak lo? Lo hamilin dia?!"

"Bukan, itu bukan anak gue. Ya kali, gue kayak nggak ngerti cara pakai pengaman aja!" Alan memutar bola mata dan menatap Jeanne dengan tatapan malas.

"Iya juga, sih. Cowok pengalaman kayak lo masa nggak ngerti pengaman sampai bisa kebobolan segala."

Jeanne menghela napasnya lega. Syukurlah. Dia nyaris kena serangan jantung jika Alan benar-benar sudah menghamili wanita lain saat masih berpacaran dengan Risa.

"Terus kalau itu bukan anak lo, emang lo tahu dia tidur sama siapa aja selain sama lo?" tanya Jeanne dengan muka kelewat penasaran.

Alan mengangguk. "Gue nyewa orang buat ngikutin dia. Walaupun dia berhasil godain gue, tapi gue nggak setiap malam juga tidur sama dia. Cuma tiga kali, jarak pertama dan kedua lebih dari sebulan. Yang ketiga memang dekat, tapi nggak mungkin kalau baru buat bisa langsung jadi anak seminggu kemudian, kan?"

"Niat banget jebakannya kalau gitu. Makanya lo langsung pecat dia?" Jeanne mengangguk mengerti.

Alan mengangguk. "Ya, dengan bukti dia tidur sama siapa aja, juga uang seandainya dia mau aborsi anaknya."

"Serem!" komentar Jeanne blak-blakan. "Jahat banget lo sumpah! Sampai kasih uang buat aborsi juga."

Alan mendengkus pelan. "Itu uang tutup mulut aja, tapi kalau mau dipakai buat aborsi itu urusan dia. Gue cuma kasih jalan keluar aja, kalau masalah jahat atau enggak, gue bisa lebih jahat dari itu kalau emang niat."

"Ih, serem! Gue bakal inget-inget buat nggak macam-macam sama lo abis ini, deh!" Jeanne mengatakannya dengan refleks.

Namun Alan hanya menatapnya dengan tatapan datar. Jeanne berkata seperti itu seperti dia tidak pernah macam-macam dengan Alan saja. Bahkan kata-kata sarkasnya ada yang pernah menusuk hatinya.

Akan tetapi, sesarkas apa pun ucapan Jeanne, Alan merasa masih bisa memakluminya, karena memang seperti itulah sifat Jeanne yang sebenarnya.

Lagi pula, Jeanne bukan orang bermuka dua. Bahkan malah kebalikannya. Jeanne terlalu polos. Dia terlalu terbuka dan naif. Dia tidak berniat membohongi siapa pun. Bahkan jika dia menginginkan sesuatu, dia akan langsung menunjukkannya dengan gelagat yang begitu kentara.

Dia bukan orang manipulatif yang ingin menipu dan memanfaatkan Alan saja. Alasan itulah yang membuat Alan bisa tenang dan santai ketika bicara dengannya, karena Jeanne tidak akan pernah menusuknya.

Sekali pun Jeanne bisa melakukannya, tapi dia tidak akan sanggup melakukannya. Dia benar-benar sosok teman yang menyenangkan untuk diajak bicara dan dicari.

Terlebih ketika Alan butuh seseorang untuk menenangkan dirinya seperti hari ini.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status