Share

02 - Ceo Keparat!

JEANNE langsung berdiri karena Alan tak kunjung merevisi jawabannya tadi. Tanpa ragu apalagi merasa malu, Jeanne menarik tangan Alan dan memaksa pria itu untuk keluar dari ruangan divisi. Sekali pun kini mereka menjadi pusat perhatian, Jeanne sama sekali tidak peduli.

Begitu sampai luar, Jeanne langsung membawa Alan menuju tempat yang sepi. Dia memojokkan pria itu ke dinding lalu berbicara dengan nada menyebalkan seperti setiap kali dia bicara pada pria itu selama ini.

"Lo udah tahu kalau yang tadi cuma basa-basi aja, ngapain masih lo terima, sih! Bikin suasananya jadi nggak enak banget tahu!" omel Jeanne langsung.

Jeanne tidak takut dipecat, karena dia tahu pasti Alan bukan tipe CEO yang akan memecat pegawainya tanpa alasan jelas—semisal karena seorang pegawai yang telah membentak dan memarahinya habis-habisan—seperti itu.

Kalau Alan memang tipe CEO seperti itu, sudah sejak lama Jeanne hengkang dari perusahaan cabang, bukannya malah mendapat promosi dan dipindah ke perusahaan pusat seperti ini.

"Bukannya lo yang nawarin gue lebih dulu?" tanya Alan balik dengan wajah datar tanpa merasa bersalah sedikit pun. "Lagian malam ini gue lagi senggang. Jadi gue bisa gabung sama kalian," lanjutnya serius.

"Aduh Pak CEO!" jerit Jeanne frustrasi. "Kalau Bapak jadi ikut, kita-kita mana ada yang berani keliaran di kelab? Lihat muka situ di ruangan aja udah bisa bikin semuanya kena serangan jantung!"

"Emang apa yang salah sama muka gue?" Alan memegangi wajahnya sendiri. "Perasaan muka gue masih ganteng, Je. Masih banyak yang muji kayak gitu akhir-akhir ini."

Jeanne menepuk jidatnya sendiri. "Auk ah, gelap banget ngomong sama lo! Lagian lo ngapain di ruangan kerja gue? Nggak biasanya CEO bisa mondar-mandir nggak jelas di divisi orang kayak gitu. Lagi kurang kerjaan ya, bos?"

"Hm." Alan memasang wajah berpikir. "Gue sebenarnya ada perlu sama direktur pemasaran. Dia udah bikin janji sama gue, tapi tiba-tiba aja nggak bisa dihubungi. Kurang ajar banget, kan, direktur lo itu?"

Jeanne menyipitkan kedua matanya. "Dia nggak ada di ruangannya, lho!"

"Serius?"

Jeanne mengangguk. "Tadi pagi waktu gue masuk dia masih ada, tapi abis itu dia keluar, gue nggak tahu dia pergi ke mana. Yang jelas dia pergi sama asistennya apa sekretarisnya, ya? Gue lupa masa!"

"Oh!" Alan hanya menggumam dengan tatapan yang tampak menyeramkan.

"Emang lo ada perlu apa sama dia? Jangan bilang lo mau ngelamar anak perawannya setelah gagal nikah dua kali sebelumnya?" tebak Jeanne.

Alan langsung memelototinya. "Gue nggak segila itu juga sampai mau nikahin bocah SMP. Lagian lo tahu dari mana kalau dia punya anak cewek?"

Jeanne memasang ekspresi tidak enak saat membalas kata-kata Alan. "Yah, tadi waktu kenalan sama gue, dia sempat nawarin anak sulungnya yang baru mau lulus kuliah tahun ini. Terus dia ceritain sekalian anak ceweknya ke gue."

"Ck, cewek mulut cabe rawit kayak lo gitu mau dijadiin mantu? Masih waras itu om-om satu!" decak Alan sambil geleng-geleng kepala tidak habis pikir.

"Waras banget, dong! Cewek cantik kayak gue gini kan limited edition!"

Alan memasang ekspresi menahan mual saat Jeanne mengatakannya dengan penuh percaya diri.

Hubungan mereka selama ini tergolong biasa saja. Setelah mengerjakan proyek pernikahan Risa dan Alva bersama-sama, mereka bisa disebut sebagai rekan atau teman. Walaupun tidak begitu dekat karena mereka lebih sering berdebat. Namun, bibir Jeanne yang suka bicara seenak jidat memang paling enak jika diajak bersilat.

"Lo baru pindah hari ini?" tanya Alan kemudian.

Alan tidak mendengar kabar adanya pertambahan personel dari kantor cabang. Namun, keberadaan Jeanne di sini jelas bukan karena perempuan itu ingin bermain-main di tempat ini.

"Gue pindah kemarin, kalau kerja emang baru hari ini. Kenapa? Lo nggak percaya kalau kerjaan gue selama ini bagus, makanya gue dimutasi ke sini, ya?" Jeanne menatap Alan penuh selidik.

"Gue cuma nggak denger kabarnya." Alan memegangi kepalanya yang terasa pusing. "Mungkin udah ada beberapa perubahan terbaru yang belum sampai ke telinga gue akhir-akhir ini."

Jeanne menyipitkan kedua matanya dan menatap Alan dengan tatapan aneh. CEO bisa ketinggalan berita tentang perusahaannya, ini benar-benar sesuatu sekali. Memangnya dia tidak punya asisten pribadi? Apa sekretarisnya tidak bekerja sama sekali?

Walaupun Jeanne sangat penasaran, tapi dia sama sekali tidak ingin mencampuri pekerjaan Alan yang pastinya sangat sibuk sekali.

"Buat pesta perayaan kalian malam ini, kalau kalian emang mau ke kelab, gue bisa pinjemin card gue kalau lo mau," tawarnya tiba-tiba.

"Lo serius?" Jeanne menatapnya dengan tatapan tidak percaya. Sumpah si Alan mau meminjaminya kartu kelab miliknya?

"Ya, daripada nggak kepakai juga. Gue udah lama nggak pernah ke sana, jadi sekalian aja kalau lo sama anak-anak lain mau pergi, kan?" Alan mengeluarkan dompet dari balik saku celana hitamnya.

Saat dia membuka dompet hitam legam yang terlihat mewah itu, diam-diam Jeanne turut melirik isi dompetnya. Bagaimanapun juga dia cewek matre. Dia cukup penasaran berapa gaji Alan sebagai CEO kantor pusat yang besar ini tiap bulannya, jika gaji kekasihnya yang bekerja di perusahaan biasa saja bisa sampai puluhan juta dalam sebulan.

Alan menyadari lirikan itu dengan jelas, karena tatapan Jeanne sangat terang-terangan sekali. Cewek seperti Jeanne memang benar limited edition. Cantik, punya mulut pedas, blak-blakan dan anti manipulatif. Cewek sepertinya tidak akan bisa selingkuh, karena dia sama sekali tidak bisa berbohong atau menyembunyikan sesuatu dari orang lain.

"Penasaran?" Alan mengambil card hitam miliknya, lalu dia berikan kepada Jeanne yang menerimanya dengan senyum lebar di bibirnya. "Masuknya ntar sama gue, biar cepet pemeriksaannya. Anak baru kayak lo pasti bakal makan waktu kalau mau diperiksa."

"Anak baru kayak gue gimana? Gue kan nggak pernah bawa senjata!" Jeanne menatapnya kesal.

Alan hanya tersenyum tipis meresponnya. "Kalau gitu gue balik dulu, masih ada banyak kerjaan yang menunggu."

"Iyain biar cepet ngilang." Jeanne meleletkan lidah, mengejek Alan yang hanya melambaikan sebelah tangan sembari melangkah menjauhinya.

Namun, sebelum sosok pria itu benar-benar hilang. Alan tiba-tiba saja berhenti dan berteriak dengan keras. "Oh ya gue lupa bilang, harga card-nya gue potong dari gaji lo secara berkala, ya?!"

"Hah, apa?!" Jeanne menatap card di tangannya. Warna hitam ini terlihat mengkilap dan agak berbeda dari kartu kelab pada umumnya. "Jangan bilang card ini yang harganya sampai puluhan juga itu?"

Jeanne mengerjap. Dia menatap ke arah kepergian Alan yang saat itu sedang tertawa sebelum sosoknya menghilang di balik lift yang menuju lantai atas.

Alan sengaja melakukannya. Dia sengaja menawari Jeanne dan memberikan card-nya, karena dia ingin memotong gaji Jeanne tiap bulannya.

Pria itu sangat tahu betul kalau Jeanne suka uang. Dia suka gaji yang besar. Lalu saat gajinya dipotong untuk melunasi hutang ....

"Dasar CEO keparat!" umpatnya sembari membanting kartu itu ke lantai, tapi kemudian dia memungutnya lagi karena sayang. Kartunya mahal.

___

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status