Malam sudah sangat larut, suara burung hantu bahkan terdengar nyaring dari luar sana. Jam dinding menunjukkan pukul dua dini hari. Hadi membawa Johan ke ruang tengah, ia mengikatnya diatas kursi dan menyumpal mulutnya. "Harusnya kamu tidak usah kerja di sini Johan." Hadi menggeleng-gelengkan kepalanya tak percaya dengan apa yang terjadi pada Johan. Sarah masih berada di dalam kamar. Wanita itu memperhatikan dengan teliti kekacauan yang terjadi di sana. "Amarta, cairan apa ini?" Sarah berteriak dari dalam kamar. "Cairan apa? Aku yakin itu pasti air kencing Johan." Jawabku dengan nada kesal. "Bukan! Ini, cairan berwarna hitam dan baunya seperti bau bangkai." Sarah terdengar hampir saja muntah. Dengan santai aku menjawab seraya merebahkan diri di atas kursi ruang tamu, "Oh, itu darahku. Salah satu dari mereka melukai ku dengan pisau." Seketika Hadi mengarahkan pandangannya padaku, begitupun dengan Sarah. Wanita itu langsung keluar kamar dan menatapku tak percaya. "Kenapa darahmu
Sarah menatapku tak percaya. Dipikirkan bagaimana pun penjelasan ku tidak masuk akal. Ya, memang tidak semua hal di dunia ini bisa diterima oleh akal sehat.Malam itu, sekali lagi Sarah dan Hadi mengurus mayat-mayat yang terlihat mengerikan itu. Didalam hati mereka tahu bahwa semua tindakannya adalah salah, namun manusia cenderung patuh pada siapapun sesuai dengan situasi dan kondisi. Bagi sebagian manusia, Iman hanyalah sesuatu yang muncul disaat mereka merasa hidupnya terancam.Suara resleting terdengar nyaring ditengah keheningan malam. Dengan hati-hati Hadi memasukan mayat-mayat itu kedalam empat buah koper berukuran cukup besar. Mereka sudah tertata rapih, siap untuk dikuburkan."Aku harus kembali kerumah, ayah pasti mencariku nanti." Sarah melihat sekilas pada jam dinding."Hadi akan ikut bersamaku dulu. Siang nanti dia akan kembali ke sini," lanjut Sarah."Baiklah. Biar semua kekacauan disini aku yang urus." Aku melemparkan pandangan pada ruangan kamar tempat mayat-mayat itu se
Beberapa jam sebelumnya...Setelah pertemuan pertamanya dengan Amarta, kehidupan Sarah tak lagi sama. Dia jelas sangat menghargai pertolongan yang Amarta berikan, namun resiko dari menerima pertolongan itu ternyata cukup menyusahkannya.Setelah membunuh lelaki yang hendak memperkosanya, kini Amarta membunuh lagi empat orang lelaki sekaligus. Entah sampai kapan Sarah dapat menutupi semua tindakan kriminal ini.Dini hari Sarah baru saja kembali dari kediaman Amarta. Dia terburu-buru karena harus menghadiri beberapa pertemuan penting."Setelah pertemuan ku bersama ayah selesai, aku mau kamu langsung bersiap menuju kediaman Amarta." Sarah memberi perintah pada Hadi sembari berjalan terburu-buru kedalam rumahnya."Baik non." Hadi menundukan kepalanya tanda mengerti.Sarah sengaja melepaskan alas kaki miliknya, ia takut orang tuanya akan terbangun mendengar suara ketukan sepatu saat hari bahkan masih gelap.Perlahan kakinya berjalan menaiki anak tangga, menuju kamar tidurnya.Sesampainya di
Sarah duduk di lantai, ia bersimpuh bersama mbok Inah."Aku mohon Amarta, kali ini saja... Ampuni nyawa simbok." Sarah menatap Amarta penuh harapan."Tapi dia sudah melihat mayat itu Sarah, akan lebih mudah dia mati sekarang dan kita akan menguburnya bersama mayat didalam koper itu," seru Amarta."Tapi dia sudah aku anggap sebagai ibuku sendiri... Aku sudah mengenalnya sejak kecil." Suara Sarah mulai meninggi."Lalu, apa kamu bisa mencari jalan keluar selain membunuh dia?" desak Amarta.Sarah beranjak dari posisinya, gadis itu berdiri dan mulai berjalan menghampiri Amarta.Perlahan Sarah membisikan sebuah kalimat tepat didekat telinga Amarta, "Dia mungkin melihat mayat, namun ia tidak mengetahui siapa yang yang membunuhnya." Sarah menatap Amarta penuh yakin."Jadi, kamu tidak keberatan mengakui bahwa semua itu ulahmu sebagai jaminan?" sindir Amarta."Tentu saja. Asal biarkan dia hidup," usul Sarah."Sebagai gantinya, wanita itu harus tinggal bersamaku, dan ikut kemanapun aku pergi aga
Sarah segera menghampiri mbok Inah yang mematung setelah mendapat ancaman dari Amarta."Ayo mbok, aku antar ke kamar." Sarah mengambil alih tas yang dibawa mbok Inah.Sebelum pergi mbok Inah memberanikan diri menatap mata Amarta. Ia dapat merasakan bahwa Amarta tidak main-main dengan perkataannya. Obsidian berwarna coklat milik Amarta seperti menelan semua keberanian mbok Inah, juga orang-orang yang pernah bertemu dengannya.Didalam kamar Mbok Inah langsung terduduk lemas di atas tempat tidur. Entah mengapa setelah berhadapan dengan Amarta, ia seperti kehabisan tenaga."Mbok, aku mohon ya...jangan ceritakan kejadian sebelumnya pada siapapun. Mbok tahukan bahwa aku juga sangat menyayangi simbok. Ini demi kebaikan semua orang." Sarah meraih tangan mbok Inah dan menggenggamnya hangat."Baik non Sarah." Mbok Inah mengangguk pelan."Dan jangan membuat masalah apapun lagi didekat Amarta. Wanita itu berbahaya." Sarah berbisik pada Mbok Inah.Mbok Inah sekali lagi mengangguk. Walau dia mengat
Sharon kembali ke bagian gedung yang lebih dalam. Dimana lorong dengan pintu-pintu kamar berwarna coklat yang sudah memudar berbaris rapih.Langkah kakinya terhenti di depan sebuah pintu berwarna merah di ujung lorong. "Tok...tok...tok." Sharon mengetuk pintu."Siapa?" Suara yang terdengar dalam dan lemah terdengar dari dalam."Sharon, Bu. Ada yang harus saya bicarakan," jawab Sharon dari balik pintu."Masuklah." Wanita dari balik pintu kembali menjawab.Tanpa ragu lagi Sharon memegang gagang pintu dan mendorongnya agar terbuka.Di dalamnya terdapat suster Anna, wanita yang sudah cukup tua dengan kerutan di mana-mana. Ia mengenakan sebuah dress berwarna hitam yang sudah terlihat memudar."Ada apa Sharon?" tanya suster Anna."Di depan ada seorang perempuan bersama seorang lelaki yang memberi pakaian untuk anak-anak," jawab Sharon."Syukurlah. Ucapkan terimakasih pada mereka. Tepat sekali, kita memang sedang kehabisan pakaian anak-anak." Suster Anna tersenyum, walau wajahnya sudah berk
Hadi juga Sarah serentak mengerutkan dahi mereka. Semua perkataan Amarta memang menarik sekaligus mengerikan untuk didengar."Meninggalkan Tuhan mereka? Apa maksudmu?" Sarah bertanya dengan serius."Tidak mungkin kamu tidak mengerti Sarah," Amarta tersenyum."Mereka lebih memilihku dibandingkan Tuhan mereka, Sarah," lanjutnya."Keluar dari agama yang mereka peluk maksud mu?" Sarah kembali bertanya."Bukan. Tidak harus keluar dari agama yang kamu anut untuk meninggalkan Tuhan mu. Cukup dengan menjauhi apa yang Ia perintahkan itu sudah cukup menjauhkanmu dari-Nya." Amarta menyeringai.Perkataan Amarta seperti cambuk pengingat bagi Sarah dan Hadi. Wanita itu benar, tidak perlu menjadi iblis untuk masuk ke neraka, cukup menjadi manusia yang tidak tahu diri terhadap Tuhannya. Mobil terus berjalan di bawah langit yang perlahan menghitam. Semua orang di dalamnya sibuk tenggelam dalam pikirannya masing-masing."Sebaiknya kamu tidak membuat masalah lagi setelah ini, Amarta." Ucap Sarah pelan.
Hadi mematung, begitupun dengan Sarah. Mereka tak memiliki jawaban dari pertanyaan lelaki itu. "Apa aku bunuh saja lelaki tua bangka ini?" Ucap Amarta dalam Hati."Sebenarnya siapa kalian? dan ada urusan apa di sini?" Lelaki itu kembali bertanya, kali ini nada suaranya terdengar tidak sabar."Apa kamu tahu pemilik tanah di sana?" Amarta mengarahkan jari telunjuknya mengarah ke hutan."Tentu saja saya tahu. Semua tanah di sana milik Pak Agus, ia penjabat yang tinggal di kota." Lelaki itu menjawab tanpa ragu."Maka seharusnya anda mengenal putrinya. Ini adalah putri semata wayang Pak Agus." Dengan santai Amarta menarik Sarah lebih dekat kehadapan lelaki itu.Sarah tersenyum canggung dengan tangan yang menunjukkan gesture menyapa."Benarkah?" Lelaki itu masih bertanya."Benar. Saya putri pak Agus. Sebelumnya saya kesini untuk melihat-lihat tanah milik ayah. Lalu tanpa sengaja gelang ini hilang, di sini." Sarah berusaha meyakinkan lelaki itu."Tidak ada hal mencurigakan yang kami lakukan