Terdengar teriakan kesakitan tiap malam. Asalnya dari tetanggaku. Tidak pernah berhenti, membuatku penasaran. Sementara tetangga lain seolah tidak peduli. Ada apakah dengan tetanggaku? ***
Voir plus"Aduh, sakit, Pa! Sakit!" Teriakan itu kencang sekali. Aku meringis sendiri setiap kali mendengarkannya. Aduh, rasanya tidak sanggup mendnegar teriakan itu.
"Sakit, Pa! Udah, Pa! Ampun, sakit!" Teriakan itu terdengar kembali, aku mengambil bantal, menutupi telingaku dengan bantal, astaga aku terganggu sekali.
Aku memperbaiki posisi tidur beberapa kali, suara itu tetap saja terdengar menyeramkan dan menyakitkan. Aduh, bagamana cara agar aku tidak bisa mendengarkan teriakan itu kembali? Setiap mendengarkannya, aku malah merasa semakin kasian dengan orang yang berteriak. Aku menghela napas beberapa kali. Ini benar-benar mengganggu ku.
"Sakit, Pa! Udah, Pa! Ampun!" Teriakan iyu kembali terdengar.
Ini tidak bisa dibiarkan. Aku beranjak. Menghela napas beberapa kali, tidak bisa tertidur akibat suara itu. Kalau tidak ada suara itu, mungkin aku tidak akan merasa terganggu seperti sekarang. Suaranya benar-benar memekakkan telinga.
"Aduh, kamu ngapain sih dari tadi bolak-balik tempat tidur? Aku jadi gak bisa tidur nih. Kamu berisik banget." Suamiku ikut terbangun, padahal tsid tidur dia pulas sekali.
Bagaimana caranya aku bisa tidur kalau suara itu benar-benar mengganggu hidup kami? Aku mengusap telinga, suamiku memang tidak tau banget kalau aku merasa terganggu dan tidak bisa tidur akibat suara itu.
"Suara itu lho, Mas. Kamu kenapa bisa tidur sih sedangkan suara itu ganggu banget tidur." Aku mengembuskan napas kesal, suamiku mengangkat bahu, dia kembali tertidur.
Astaga, aku menepuk dahi, dia cepat sekali bisa tidur. Melupakan soal jeritan itu. Suamiku mana peduli dengan suara bising itu. Aku mengusap telinga lagi, kemudian kembali merebahkan tubuh, berusaha kembali tidur.
"Sakit! Aduh, Pa! Ampun sakit banget! Sakit! Ampun, Pa! Ampun."
Ini memang hanya aku yang mendengarnya atau bagaimana sih? Lihatlah suamiku sudah tertidur lelap, seolah tidak peduli dengan suara menyebalkan yang mengganggu tidurku itu. Aku mengusap telinga, benar-benar suaranya seperti berada di sebelahku. Aku menelan ludah, kembali mencoba untuk tidur, memejamkan mata.
"Udah sakit, Pa! Sakit! Ampun!" Suara anak kecil itu terdengar lagi. Aku menelan ludah, tidak bisakah anak kecil itu diam sebentar? Suaranya benar-benar mengganggu tidurku.
Berkali-kali teriakan itu terdengar setiap malam, sampai aku sendiri tidak bisa tidur dibuatnya. Ini tetangga juga merasakan begini atau bagaimana sih? Kenapa sepertinya tidak ada yang merasa terganggu dengan teriakan itu?
Mereka tidak pernah bertanya atau mebgobrolaknya kalau sedang mengobrol bersama. Seolah-olah suara itu tidak pernah ada. Aku menghela napas kesal, merasa benar-benar terganggu dan aku tidak bsia tidur lagi sekarang.
Ayolah, kemarin aku sudah tidak tidur, kemarin nya juga aku sudah tidak tidur, mengantuk sekali rasanya. Biasanya aku juga tidur siang-siang sih, tapi kan aku juga malam butuh tidur. Hari ini masa aku tidak tidur lagi sih? Begadang mendengarkan suara teriakan itu gitu?"
"Mas! Mas Fahri, bangun dong." Aku menggoyangkan tubuhnya yang pulas sekali tertidur. Mas Fahri seolah tidak menanggapi aku. Dia kembali tidur, tidak terganggu dengan teriakan juga guncangan dairku.
dasar menyebalkan. Hampir saja aku menimpuknya dengan sesuatu slalu dia tidak terbangun. Mas Fajri ikut duduk di kasur, matanya menyipit, kemudian menoleh ke aku.
"Apalagi sih? Kamu itu tinggal tidur kok susahnya? Gak usah didengerin, anggap aja angin lalu. Atau besok aku beliin barang biar kamu gak bisa dengerin suara teriakan itu lagi deh." Mas Fahri memberikan solusi padaku, matanya masih terlihat mengantuk.
Astaga, apakah dia tidak punya hati? Harusnya dia juga ikut memikirkan ada apa dengan anak itu. Malah memberikan ku solusi untuk membeli sesuatu agar tidak mendengarkan teriakan itu. Mas Fahri benar-benar menyebalkan.
"Udahlah, biairn aja. Lagian mereka itu punya keluarga kan? Biar keluarga mereka aja yang ngurus. Kita gak perlu ikut campur. Oke? Kamu dnegar aku, Sayang?"
Bukan begitu, bukannya aku tidak mendengarkan perkataan Mas Fahri, tapi kasian lho. Aku menggelengkan kepala, rasanya tidak tahan mendengarkannya. "Kasian banget anak itu, tiap malam disiksa."
"Namanya juga anak tiri, Nay." Mas Fahri akhirnya menjawab lebih baik, dia menguap beberapa kali. Dia tampak tidak peduli sama sekali.
Kata tetangga menang benar begitu, anak yang ada di dalam rumah itu adalah anak tiri. Aku yang mendengarkan sendiri penjelasan mereka saat aku bertanya pada salah stau warga. Mereka menjawab ragu-ragu pertanyaan ku.
Memangnya kenapa sih kalau anak tiri? Tetap saja kan kasian. Aku menghela napas pelan, masih merasa kasian pada anak itu. Kan tidak ada yang salah dari anak tiri, dia juga manusia. Bukan untuk disiksa begitu, kalau hanya untuk menyiksa, lebih baik berikan saja anaknya pada yang menginginkan, bukannya begitu caranya atau beriksan saja pada panti asuhan agar mereka menjaga anak itu dengan baik. Jangan sampai dia merasa kesakitan begitu.
Aku mengusap dahi mendengar perkataan Mas Fahri. Kami harusnya melaporkan kejadian ini ke pihak berwajib. Kami yang mendengarkan tidak boleh diam begitu saja. Kasihan anak kecil yang ada di rumah itu. Dia tersiksa sekali sepertinya, apalagi teriakan dia begitu menyiksa. Aku saja yang membayangkannya tidak bisa, apalagi kalau terjadi padaku coba? Ah, aku tidak bisa membayangkan hal itu.
"Kamu mau laporin lagi? Gak bakalan ditanggapin, Nay." Mas Fahri menggelengkan kepala melihat ekspresi wajahku, dia seolah tau apa yang sedang aku pikirkan.
Tapi itu kN perbuatan mulia kalau kami membantu anak malang itu. Kasian sekali dai sampai merasa tersiksa di rumahnya sendiri. Rumah yang menurutku besar dengn mewah, tetapi malah isinya menyakitkan. Aku lebih khawatir pada anak kecil itu.
Ya, sudah hampir sepuluh kali kami melaporkannya ke pihak berwajib atas kasus kekerasan anak. Tidak ada tanggapan. Seolah angin lalu. Tidak ada yang menanggapi, bahkan tidak ada yang memproses laporan kami, seolah kami ini memberitahukan hal yang tidak penting
Nara menjelaskan semuanya. Aku diam saja. Kami sudah ada di dalam rumah. Sesekali, Bunda mengangguk. Mama dan Paman Pia sudah ke kamar masing-masing. Mereka butuh istirahat. "Ah, begitu."Bunda memelukku, tersenyum. "Anak Bunda ternyata sudah besar, ya. Kamu betul mau melawan Fahri, Nak?"Aku menatap Bunda yang tersenyum, kemudian mengangguk. "Ah, ayo ikut Bunda."Kami beranjak. Mengikuti Bunda dari belakang. Aku menatap Nara yang mengangkat bahu. Pintu ruang gudang terbuka. Mataku menyipit, menatap ke dalam. Ada banyak sekali pustaka di sana. Dengan langkah ringan, Bunda masuk. Aku juga ikutan, sementara Nara berdiri di luar. Entah kenapa. "Itu bukan kekuasaanku." Itu kata Nara ketika aku menoleh padanya. Baiklah. Aku menganggukkan kepala, mengekor Bunda. Buna membuka salah satu kotak yang terlihat ada sinarnya. Aku menutup mata melihat benda itu dibuka. Sebuah kristal? Untuk apa? Apakah ini untuk kami melawan Mas Fahri? Tapi tidak mungkin. "Ini lebih besar kekuasaannya. Bu
"Ayo kita lanjut perjalanan.""Malam ini juga?" tanya Paman Pia sambil duduk di sebelah kami. Mama masih tertidur. Ah, aku jadi tidak tega untuk membangunkan Mama. Sementara kami harus tetap melanjutkan perjalanan. "Takutnya nanti kita terlambat. Ada banyak yang harus diselesaikan.""Oke." Paman Pia beranjak. Dia mengambil kunci mobil yang diletakkan di atas meja. "Paman manasin mobil."Aku menghela napas pelan, menoleh ke Nara yang tersenyum. "Mau bagaimanapun keadaannya, kita harus segera pergi, Nay. Aku ke kamar Mama dulu. Kamu bangunkan Mama kamu, ya."Nara beranjak. Dia meninggalkanku dan Mama yang masih tertidur. Beberapa detik terdiam, aku akhirnya memutuskan untuk membangunkan Mama. "Ma." Tidak ada jawaban. "Ma. Bangun. Kita lanjutin perjalanan.""Ksearang?" tanya Mama pelan. Ah, rasanya aku tidak sanggup membangunkan Mama. Apalagi Mama terlihat lelah sekali. Mau bagaimana lagi, kami harus segera melanjutkan perjalanan, lagi pula setelah di sana nanti, Mama bisa kembali
Aku menerima uluran tangan Mama. Ya, aku akan melatih kekuatanku. Kami akan menang melawan Mas Fahri. "Ayo. Kita ke rumah Bunda kamu."Kami menatap Paman Pia yang mengangguk. Sudah waktunya kami pergi. Tidak ada lagi yang akan menghalangi. Aku dan Nara berpegangan tangan. "Gimana kalau nanti hasilnya gak sesuai sama apa yang kita pikirkan? Aku gak bisa sehebat apa yanv kalian pikirin.""Yakin aja udah. Kamu hebat." Nara menjawab keluhanku. "Kamu juga hebat." Aku ikut memuji Nara yang tersenyum."Yaudah. Kita sama-sama hebat."Sejak tadi, aku memperhatikan Paman Pia yang mengambil remote. Dia menoleh ke kami. "Siap?" tanyanya sambil melirik kami satu persatu. "Siap."Mama ikut memegangi tanganku. Aku tersenyum, kami harus secepatnya mengembalikan itu semua. Juga ada Mertua dan Putri. "Dalam hitungan ketiga. Satu."Aku menghela napas pelan. Apa pun konsekuensinya nanti, aku akan berusaha menerimanya. "Dua."Jantungku mulai berdetak kencang. Astaga, padahal ini kedua kalinya kami
"Mereka siapa?" tanyaku merapat ke Nara. "Suruhan Fahri. Aku yakin banget. Itu pasti orang-orang suruhan Fahri."Mendadak, tubuhku menegang mendengarnya. Benarkah itu suruhan Mas Fahri? Astaga, itu benar-benar berita buruk. Aku mengusap dahi. Gara-gara Mama dan Paman nya Pia, kami jadi terlambat untuk pergi. "Yaudah. Tinggal pergi aja. Gak usah susah mikirin semuanya." Paman Pia mengatakan itu. Aku menghela napas pelan, masalahnya bukan itu sepertinya. Kalau begitu, Nara pasti tidak sepanik itu. Dia juga sudah mengusulkan untuk pergi saja sejak tadi. "Kita gak bisa pergi dari sini sebelum orang-orang itu pergi."Kami semua menoleh ke Nara yang baru saja mengatakan itu dengan nada pelan. "Serius?" tanya Paman Pia. Wajahnya berubah serius sekali. "Ya. Coba saja."Paman Pia mengambil sesuatu. Sepertinya dia betulan ingin mencoba apa yang dikatakan oleh Nara. Benda yang hampir sama dengan kaset yang pernah kami bawa. Aku menatap benda itu. Terdengar letusan seperti dulu. Beberapa
"Eh?" Aku sedikit terkejut mendengar perkataan Nara. "Ngapain kita ke rumah Bunda? Makin jauh." "Semakin jauh, semakin jauh juga kita dari bahaya. Tenang aja, santai."Nara menginjak gas dalam-dalam. Dia sepertinya tidak peduli dengan jalanan yang sudah mulai sepi atau sudah mulai malam. Mobil berhenti di gang rumah Paman Pia. Kami bertiga keluar dari mobil. Aku dan Nara membantu Mama berjalan. Kami lebih dari berlari sebenarnya. "Itu cepetan, sebelum ada orang suruhan Fahri nemuin kita."Aku mengangguk. Kami mempercepat berlari. Mama bahkan sudah kelelahan kalau dilihat-lihat. Aku mengembuskan napas pelan, ketika kami sampai di depan rumah Paman Pia. Buru-buru Nara mengetuk pintu itu kuat-kuat. Ini sudah larut malam, siapa juga yang masih bangun. "Aduh, apaan sih ngetuk rumah malam-malam. Gak tahu ngantuk apa, ya?"Paman Pia membuka pintu, menguap lebar. Dia tidak melihat siapa kami. Masih sibuk dengan dirinya sendiri. "Ini kami." Ketika melihat Nara, mata Paman Pia langsung
"Aku lagi beli sesuatu di luar, Mas." Aku berusaha mencari jawaban yang tepat dan semoga tidak membuat Mas Fahri curiga. "Terus Mama kemana? Kuncinya kamu bawa?" "Aku gak bawa kunci. Tadi, Mama kamu yang ngunci pintu.""Tapi aku juga bawa kunci. Gak bisa dibuka pintunya."Mendengar itu, aku menahan napas. Ah, bagaimana cara menjawabnya? Nara melirikku. Dia sejak tadi fokus menyetir mobil. "Gak tau juga, Mas. Sebentar lagi aku pulang.""Kamu sama Nara?""Iya." Aku menjawab cukup ragu. Takut dia curiga. Diam sejenak di seberang sana. Aku menggigit bibir, berharap Mas Fahri tidak curiga. Ah, bagaimana kalau dia tahu rencana ini sedang berjalan?Masih saja diam. Aku menahan napas. Tidak ada tanda-tanda Mas Fahri akan berbicara. "Yaudah. Aku tidur di rumah teman aja. Kamu sebentar lagi pulang atau gimana?" Nah, itu masalahnya. Aku menoleh ke Nara. Butuh pendapat dari dia. Nara mendelik. Wajahnya seolah mengatakan kenapa kamu bilang begitu tadi. Aku mengangkat bahu. "Kita nginap di
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Commentaires