Share

Jalan-Jalan

"Asyikkk kita ke Mall lagi. Makasih, Ma. Riko seneng banget," ucap bocah kecil yang ada di gandengen tanganku.

"Apa sih yang gak buat anak ganteng Mama. Asal Riko nurut sama, mama. Mama akan kabulkan keinginan anak ganteng ini," sahutku sambil tersenyum bahagia.

Bahagia hati ini kala melihat Riko tertawa dan ceria. Hampir satu bulan aku tak mengajaknya jalan- jalan seperti ini. Aku terlalu sibuk dengan duniaku. Berharap pada suami tapi tak mungkin. Dia juga sibuk dengan keluarga dan saudaranya seolah dia belum mempunyai istri dan juga anak. Maafkan mama, Nak. Mama belum bisa membahagiakan kamu lebih dari ini. Tapi mama janji akan selalu membuat kamu tersenyum dan bahagia walau kamu tak pernah mendapatkan kasih sayang seorang Papa. 

"Ma,aku mau main di Timzon*." 

"Baiklah ayo kita kesana. Mama belikan dahulu kartunya." 

Setelah membeli kartu dan mengisi saldo untuk anakku main, aku membiarkan ia memilih mainan yang ia inginkan. Menemani setiap langkah kaki kecilnya. Hampir satu jam aku menemaninya bermain. Tanpa terasa bocah kecilku ini lapar. 

"Mama, aku lapar. Makan di pizza hu* ya ma." 

"Oke kita kesana. Mama juga lapar. Sudah puas ini mainnya?" 

"Sudah ma." 

Aku langsung mengajak putraku untuk makan ditempat yang dia inginkan. Aku memesan menu kesukaan anakku. Tak menunggu lama pesanan kami telah tersaji di meja kami. Aku dan Riko makan bersama. Riko nampak bahagia sekali hari ini. Usai makan, ku ajak Riko untuk kembali pulang. Karena sore ini aku ada janjian bertemu klien yang akan memesan gaun pengantin padaku. Aku memang bisa merancang gaun pengantin, walaupun aku belajar secara otodidak tetapi Alhamdulillah hasil karyaku semuanya bagus- bagus banyak diminati oleh pelanggan ku. Mau pelanggan lama atau pelanggan baru. Butik ku memang bukan butik khusus pengantin, tetapi jika ada yang memesan aku akan membuatkannya. 

"Kita ke butik mama ya?" tanya Riko padaku kala motor ini melaju ke arah butik.

"Iya, Nak. Gak pa-pa kan kita ke butik dahulu. Soalnya, Mama ada klien yang mau lihat rancangan gaun pernikahan, Nak." 

"Iya, ma. Semoga Mama bisa makin sukses." 

"Amin." 

Kulakukan sepeda motorku ke butik dimana aku bekerja memenuhi kebutuhan putraku. Hanya butik ini sebagai penyambung hidupku setelah sekian lama nafkah yang diberikan, mas Adam selalu kurang. Aku bahan menutupi kekurangan kebutuhan di rumah dengan uang pribadiku. Tapi mulai saat ini aku tidak akan lagi menggunakan uang pribadi ku untuk menutupi semua kebutuhan di rumah. Uang ini hanya untukku dan Riko saja, terserah Mas Adam mau bagaimana. 

Ingin rasanya aku mengakhiri pernikahan ini, tetapi bagaimana dengan anakku. Apakah harus sedini mungkin ia kehilangan ayahnya. Walau aku tahu mas Adam tak begitu dekat dengan Riko. Berharap untuk berubah tapi nyatanya tak kunjung berubah. Malah ia makin menjauh dari putranya sendiri. Andai aku bercerai apakah ia bisa menerima? 

Setibanya aku di butik. Aku segera mengajak masuk putraku ke ruangan pribadiku. Disana juga sudah aku siapkan mainan dan juga ranjang jika ia ingin tidur.  Butik ini adalah rumah keduaku yang amat sangat nyaman. 

Tok ... Tok ... Tok ... 

"Maaf Bu Santi di bawah sudah ada klien, Ibu." 

"Oh mbak Dinda,ya. Baik aku segera turun kebawah. Siapkan minuman juga, ya." 

Segera aku berpamitan pada putraku untuk aku turun sebentar. Ia juga aku pesankan untuk tetap di dalam ruangan ku saja, hingga aku kembali. Dan aku bersyukur ia selalu menurut apa yang akau katakan. Segera aku tinggalkan putraku tak lupa buku yang sudah ada desain gaun terbaru ku. Semoga ini rejekiku dan anakku hari ini. 

"Selamat sore, mbak Dinda. Maaf menunggu lama," ucapku sambil menjabat tangannya.

"Ahh, gak pa- pa, mbak. Kami juga belum lama kok." 

"Oh iya langsung saja mbak. Ini semua contoh desain gaun pengantin terbaru saya. Silahkan dilihat dahulu semoga ada yang memikat hati, mbak Dinda." 

"Karya- karya milik mbak Santi bagus- bagus semuanya. Aku kagum loh. Gak kalah sama desainer top lah."

"Jangan terlalu memuji saya mbak. Apalah saya yang masih remahan seperti ini,"  ucapku merendah sambil tersenyum. 

Bangga 'kan, aku? Jelas aku bangga, ini diluar ekspektasi ku selama ini. Bahkan kuliahku dahulu tak ada sangkut pautnya tentang dunia yang sedang aku geluti ini. Ya, ini adalah hobi ku sejak dahulu. Memang cita- citaku menjadi seorang desainer. Tetapi, Ibu dan Ayah tidak menyetujuinya, akhirnya aku memutuskan kuliah di bidang manajemen bisnis. 

Setelah mbak Dinda memilih gaun untuk pernikahannya aku segera memberitahukan pada karyawan ku. Aku menjelaskan detail gaun yang di pesan tadi. Mbak Dinda memesan 3 buah baju untuknya dan suaminya. Bahan kain juga aku sendiri yang mengecek ketersediaannya. Aku memakai kain kualitas nomor 1 premium. Aku tak ingin mengecewakan pelanggan ku. Apalagi ini untuk pesta pernikahan. Aku akan membuatnya sebagus mungkin. Setelah memberi instruksi pada karyawan ku, aku meminta segera dibuat hari ini juga. 

"Aku ke atas dahulu. Nanti aku akan kemari lagi. Tolong kerjakan sebaik mungkin. Jangan pernah mengecewakan pelanggan." 

"Baik, Bu. Kami akan kerjakan semaksimal kami. Semoga Ibu Santi makin berjaya. Apalagi ini pesanan pernikahan untuk anak salah satu pemilik stasiun televisi ternama," ucap salah satu karyawan ku.

"Alhamdulillah. Makanya kita harus kerjakan semaksimal mungkin. Jangan Sampai mengecewakan. Ini menyangkut nama baik butik ini juga. Kalau butik ini sukses tentu kalian juga akan mendapatkan bonus juga dari saya," sahutku secara spontan. Ya beginilah aku. 

"Makin betah kerja dengan, Bu Santi." 

"Yuk kerjakan. Semangat.. semangat ... Semangat," ucapku memberi semangat para pegawai ku. 

Aku segera naik ke lantai atas untuk mengecek, Riko. Aku sudah lama meninggalkannya di sana sendirian. Ada rasa bersalah terhadapnya. Tapi mau bagaimana lagi, kalau aku tak bekerja nasib entah bagaimana. 

"Assalamu'alaikum," ucapku sambil membuka pintu ruangan ku. 

Aku terpana melihat putra kecilku ternya tengah tertidur di ranjangnya. Segera ku hampiri dan membetulkan selimutnya. Mengecup kening, Riko sekilas. 

"Maafkan mama, Nak. Mama lakukan untuk kamu. Do'akan mama terus ya. Sehat- sehat selalu anakku," gumamku sambil terus melihat wajah putraku yang terlelap begitu tenang. 

Mungkin ia kelelahan apalagi aku tinggal lama barusan. Hampir 3 jam aku meninggalkannya tadi. Segera aku merapikan mainan putraku ini. Tak lupa aku juga menyempatkan diri ini untuk mandi dan beribadah, memohon petunjuk dari yang Maha Kuasa. Usai menjalankan ibadah, aku meneruskan pekerjaanku sambil menunggu, Riko bangun dari tidurnya. Tak lupa aku juga sudah memesankan makanan untuknya. 

"Ma. Mama sudah ada disini?" 

"Iya, sayang. Maafkan mama yang sudah meninggalkan kamu terlalu lama tadi." 

"Gak pa-pa ma. Mama kan bekerja untuk, Riko." 

Aku tersenyum dan segera memeluknya erat. Menghujamnya dengan kecupan di kepalanya. Anakku ini pemikirannya begitu dewasa sekali. Seharusnya di usianya memikirkan bermain dan belajar, tetapi putraku berbeda. Mungkin karena efek dari mama dan papanya. Keluarga yang tak sehat. Apalagi aku kadang kelepasan bertengkar dengan mas Adam. 

"Mama kenapa menangis?" 

"Ahh, Mama nangis ya. Masa sih?" gurauku dan segera menghapus butiran bening yang mengalir. 

"Ini mata mama merah," sahutnya sambil membelai lembut pipiku. 

"Hmm cuma kelilipan. Ya sudah Riko mandi terus makan. Ini sudah malam. Mama siapin air hangat sebentar, ya." 

Aku segera berlalu masuk kedalam kamar mandi dan menyiapkan air hangat untuk putraku. Ini sudah malam, tak mungkin aku membiarkannya mandi dengan air dingin. Usai menyiapkannya aku segera memanggilnya untuk segera mandi. Tak lupa aku juga menyiapkan baju untuknya ganti nantinya. 

Apa yang harus aku lakukan? Terus bertahan dan membuat anakku menjadi korban ? Atau berpisah agar aku dan anakku bahagia. Yang ada di pikiranku hanya satu. Kebahagiaan putraku.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Amaly
anak adlh sumber kebahagiaan
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status