Kekesalanku pada saudara yang selalu datang di saat jam makan. Tidak ada sedikitpun pengertian mereka, padahal baru saja aku pindah di sini, yang sebelumnya aku tinggal di desa suamiku. Bagaimana caraku untuk buat mereka jera datang ke rumahku? Bagaimana caraku supaya mereka mengerti dengan keuanganku saat ini?
Lihat lebih banyakSepupu Celamitan
“Dek, datang lagi,” ucap suamiku dengan nada berbisik juga datar sambil melirik ke sebuah motor vixion berwarna putih parkir di rumah kami.Aku hanya bisa menghela nafas panjang ketika mereka mengucap salam lalu masuk ke rumahku begitu saja tanpa menunggu izin dariku pun mereka menerobos masuk ke dapur.“Masak apa? Weh paslah ya banyak nasi, kami enggak masak. Mau numpang makan, “ celoteh istrinya setelah menggeledah tudung sajiku.Aku hanya bisa tersenyum getir melihat tingkahnya. Karena bukan hanya sekali atau dua kali saja dia seperti itu, tetapi hampir setiap hari.“Mas berangkat ya, Dek,” ucap suamiku sambil bermalas-malasan beranjak dari duduknya.“Mau ke mana, Devan?” tanya abang sepupuku.“Lihat mobil di bengkel,” jawab suamiku singkat dan berlalu.Tanpa memandang mereka, aku masuk ke dalam rumah lewat pintu dapur, mencari sumber suara anakku yang kedua, diasedang ribut bermain.“Latif, mandi!” ucapku pada anak sulungku dengan nada tinggi setelah aku menemukan mereka di ruang tamu. Mungkin dengan cara itu caraku melampiaskan kebosanan ini.“Iya, Mak," sambil terus bermain dengan anak keduaku.Setiap sore aku selalu sibuk mengurus ketiga anakku. Belum lagi pekerjaan di rumah yang hancur amburadul. Tapi mereka selalu datang di setiap jam 16.30wib.“Itu di gulai ya, kolnya?” tanya kakak sepupuku. Panggil saja namanya Wulan.“Iya, tapi enggak enak,” jawabku singkat tanpa memandangnya berharap mereka tidak mau makan masakanku kali ini.Sebenarnya aku tidak tega memperlakukannya seperti itu, tapi memang sudah tidak bisa ditoleransi lagi.Aku beranjak dari dudukku sambil membawa putri bungsuku ke kamar mandi untuk memandikannya. Entah apa yang mereka datangi di dapur akupun tak tahu. Hanya sedikit terdengar kalau abang iparku sedang lapar.“Mandi, kita mandi, biar bau wangi,” ucapku dengan lantunan nada kepada putri kecilku. Hatiku sedikit terhibur dengan tawanya.Setiap mereka ke rumahku, pasti di jam makan dan tidak pulang sebelum mereka makan. Entah istrinya yang pemalas entah karena suaminya tidak suka masakan istri.Kalau dibilang kurang, tidak mungkin karena semua berkecukupan. Apalagi orang tuanya yang selalu memberi belanjaan dan uang ke mereka. Entah apa yang buat mereka selalu makan di rumahku.“Kakak mau masak mi, Ta, abangmu lapar,” sambil meletakkan wajan di atas kompor milikku.Aku tersenyum getir lagi. Tanpa basa basi dia memasak mi instan di rumahku, mengupas bawang dengan beberapa cabai. Abang sepupuku merebus air untuk menyeduh kopi untuk dirinya sendiri. Saat aku melintas di dapur, aku tidak memandang mereka sedikit pun. Aku ingin mereka tahu diri!Ternyata tidak sama sekali. Rumahku di anggap seperti rumah mereka sendiri, masak sambil tertawa, entah apa yang mereka tertawakan.“Ta, ada saos enggak?” tanya Abang sepupuku.“Baru saja habis, tadi,” jawabku singkat.Setelah selesai memakai baju, aku menyuapinya. Anak bungsuku masih berusia tujuh bulan. Pasti terbayang repot nya aku di setiap harinya.“Makan, Ta! itu masih ada minya,” ucap kakak sepupu sambil memegang sepiring nasi beserta mi.'Alhamdulillah, makannya sedikit.' batinku setelah aku melirik piring yang di pegangnya.“Manda, sini makan!” teriaknya memanggil anak perempuannya.'Ya ampun ternyata itu untuk anaknya.' batinku.“Makan, Ta!” ucap Abang sepupuku dengan membawa sepiring nasi munjung beserta sayur yang kumasak tadi.“Sebenarnya yang punya rumah ini aku atau mereka sih ya?” gumamku bertanya dalam hati.Aku mengenal abang sepupuku dari dulu, dulu dia tidak seperti ini sebelum menikah dengan istrinya.Kami orang baru di desa ini, yang awalnya tinggal di desa suamiku kini kami merantau di desaku sendiri guna untuk memperbaiki ekonomi. Malah kami di tumpangi makan hampir setiap hari seperti ini. Apa tanggapan orang tuanya jika mereka tahu?"Tamunya makan, orang rumahnya melongo," ucap Abang sepupuku disela-sela makannya. Aku hanya bisa tersenyum tipis.Hatiku bimbang antara akan bicara atau tidak karena aku tidak mau hanya karena satu manusia keluarga besar kami jadi berantakan. Tapi di sisi lain aku bosan. Aku yakin ini ulah istrinya, kalau saja istri masak pasti suami tidak akan mencari makan di rumah orang lain.Orang tuanya sangat terpandang di desa maupun di keluarga kami, bahkan orang tuanya pernah membantu kami.“Latif sana makan! masih ada mi itu,” ucap Wulan kepada anak sulungku.“sudah sering makan, Bude, sudah bosan,” celotehnya polos.Aku cekikikan mendengar ucapan Latif, dia juga sering kesal kalau mereka membeli jajan, anakku tidak sedikit pun di kasih. Aku memandang perutnya yang semakin membesar, 'Besok seperti apa calon anakmu itu, magrib selalu di rumah orang.' batinku.“Weh, tambah ya. Selera dia,” Wulan yang sedang menyuap nasi terhenti melihat suaminya membawa sepiring nasi lagi.“Selera sih selera, tapi jangan lupa kalau, Devan itu belum makan juga loh,” celetukku.“Masih ada kok nasinya,” jawab abang sepupuku singkat.Makannya memang selalu banyak, porsi dia lebih banyak dari porsi Devan. Di tambah lagi sepiring, kacau ini mah.Selesai aku menyelesaikan anak bungsuku berlanjut aku mengurus anak ke duaku, berumur delapan tahun tapi belum beres kalau mengerjakan apa pun itu, termasuk berpakaian setelah mandi. Karena dulunya ia terkena penyakit asma, sampai sekarang saya masih terbawa suasana.“Fatir, masak sudah besar masih di pakaikan bajunya, malulah,” Wati langsung saja berbicara padahal masih penuh nasi dalam mulutnya.“Bude, sudah besar kok masih aja makan di rumah orang. Malulah," ceplos Fatir dengan wajah polos.'Ya ampun anakku, dia seperti ini pasti karena selalu mendengarkan pembicaraanku dengan Ayahnya.' batinku tertawa cekikikan sampai berwajahku merah padam.Mereka tidak menjawab, hanya saja abang sepupuku tertawa terbahak-bahak. Mungkin karena malu tapi nyata.Selesai makan, kakak sepupuku sambil bermalas-malasan, membuka hijab lalu menghidupkan kipas angin duduk ke arahnya. Pasti segar rasanya.Sedangkan suaminya duduk manis sambil menghidupkan sebatang rokok juga bersanding dengan kopinya. Weh enak.“Kok, Devan, belum pulang ya?” tanya Wulan berbasa-basi.“Mungkin banyak yang harus di perbaiki,” jawabku singkat.“Ya sudahlah, Bude, pulang ya, Dipuu,” ucapnya mengenakan hijab lalu mencium anak bungsuku.Lagi-lagi aku hanya tersenyum tipis, sebenarnya aku ingin menunjukkan wajah kesalku pada mereka, tapi aku belum memiliki keberanian untuk itu.“Sebentar lagi, kopinya habis,” ucap abang sepupuku.“Assalamualaikum....” terdengar suara suamiku dari arah dapur.“Waalaikumussalam....“ jawab kami bersamaan.Aku meletakkan anak bungsuku di lantai beralaskan karpet tebal, niat hati akan ke dapur menyusul suamiku tetapi suamiku dulu yang sampai ke ruang tamu.“Loh kok enggak kedengaran suara motornya?” tanyaku.“Mungkin karena adek sudah kenyang,” jawab suamiku dengan bahasa sindiran.“Kenyang apa, orang makan pun belum,” timpal Wulan.Tahu yang punya rumah belum makan, tapi mereka seenaknya aja makan tanpa izin sama yang punya rumah.Aku mengintai dari sudut ke sudut ternyata memang tidak ada suamiku di dalamnya. Hal seperti ini sudah beberapa kali terjadi, tapi aku tidak pernah aku cek kamar mandinya. Baru hari ini aku kepo tentang ketenangannya dia di dalam kamar mandi, tapi malah enggak ada orangnya.Aku berjalan ke depan untuk melihat sendal miliknya, tapi kenapa sendalnya masih ada di depan? Aku balik lagi berjalan ke belakang.Bruk!Aku dan Devan bertabrakan di pintu tengah yang di tutupi oleh kain gorden."Aduh! Kalau jalan itu lihat-lihat!" Ucapnya dengan nada tinggi.Astaga, dia kenapa? Apa yang salah dariku sampai-sampai dia ketus seperti ini? Niatku yang ingin bertanya padanya, aku urungkan. Aku lebih memilih masuk ke dalam kamar dan langsung merebahkan tubuhku di ranjang ketika dia sedang mencari sesuatu di lemari."Mana ini kolor nya!" Ucapnya tanpa memandangku.Aku hanya mendengarkan tanpa menjawab, kalau sudah dengan cara seperti itu jangan harap aku akan memedulikannya.Devan keluar masuk kamar, ak
"Iya, loh dek," sahutnya dengan nada marah.Aku menatap Devan yang pergi ke arah dapur dan masuk ke dalam kamar mandi. Sudah beberapa bulan ini Devan kerja di bengkel tidak membuahkan hasil. Malah semua jadi kacau.Tabunganku merosot, padahal aku ikut serta mencari uang. Apa aku kasih tahu saja ya pekerjaan yang di tawarkan Dareen beberapa bulan lalu? Toh Dareen belum mendapatkan seorang sopir sampai saat ini.Aku berjalan ke arah luar rumah, di sana tampak Dareen sedang mengemudi mobilnya. Di sisi lain ada sang istri sedang melambaikan tangan ke arahnya.Tidak lama Devan berjalan ke arah luar, suamiku melewatiku begitu saja sambil mengeluarkan motor miliknya."Enggak sarapan dulu, Mas?" Tanyaku heran."Enggak. Nanti saja di luar," ucapnya tanpa memandangku. Matanya fokus dengan ban yang akan turun dari teras."Kamu ini, ya. Sudah tahu gaji kecil malah makan di luar. Enggak kasihan apa sama anak kamu yang makan seadanya gitu? Heran deh," ucapku kesal.Devan tidak menjawab pertanyaanku
"Ya, waktu itu Mas Harman pernah kerja bareng ayahku. Pas dilihat ayah, tenaganya kuat. Kerjanya rajin, tiba udah nikah, males, makin ke sini malah kaya' tahe," ucapnya kesal.Aku tertawa terbahak-bahak mendengar ucapan Mila. Aku pernah juga mendengar desas-desus nya dulu kalau Mila hamil duluan, tapi aku enggak pernah bertanya karena kau tidak mau mencari masalah yang bukan urusanku.* * *"Mas, gimana tadi kerjanya? Capek?" Tanyaku."Enggak, Dek. Apalah capeknya, cuman megang kunci terus di putar-putar," ucap Devan sambil menghela nafas.Nafasnya begitu berat, aku yakin pasti keadaan sedang tidak baik-baik saja.Aku memeluknya saat kami masih tiduran di ranjang. Anak-anak sudah pada tidur, tanganku melingkar merangkul bagian dada bidangnya."Mas, sebenarnya ada masalah apa?" Tanyaku memaksa Devan untuk menjawab."Enggak ada apa-apa loh, dek.""Gimana enggak ada? Aku istrimu, dan aku tahu bagaimana kamu," ucapku.Aku sangat mengenal suamiku sehingga dia tidak akan bisa menutupi masal
"Makan—? Hmmm, Aku belum masak, Mas," ucapku lirih."Kok bisa sih dek? Seharian di rumah, ngapain?" Tanya Devan dengan nada datar.Aku menceritakan semua kejadian tadi, namun, aku belum bicara soal Dareen yang memberikannya pekerjaan sebagai sopir.Aku belum siap untuk di tinggal malam-malam oleh Devan karena masih trauma dengan kejadian beberapa malam yang lalu."Ya, sudah, beli mie instan aja dek, laper," ucapnya sambil merebahkan tubuhnya di depan TV."Bentar, ya, mas," ucapku sambil mengambil uang dari dalam dompet.Aku berjalan menuju rumah Bu Endah, rumah itu terlihat sangat sepi, sampai aku berada di depan pintunya. Tidak ada tanda-tanda kehidupan di dalamnya."Buuu, Bu Endah," panggilku dengan suara sedikit agak keras. Bu Endah keluar dari arah belakang, "Ada apa, Ta? Tanyanya."Bu, mie instan, dua," ucapku sambil menunjuk sebuah kotak mie kesukaan suamiku yang terbungkus oleh plastik berwarna hijau.Dengan sigap, Bu Endah memasukkan dua bungkus mie instan ke dalam plastik be
"Ini tas saya, jadi hak saya dong boleh di periksa atau tidak?" Ucap Bu Henna menahan."Bu, katanya tadi mau di selesaikan dengan cara baik-baik. Kalau tidak ada apa-apa di sana, ya, sudah jangan takut," timpalku.Bu Henna perlahan melepaskan tali tote bage dari lengannya. Namun, Echa mencoba menahan. "Bu, jangan! Ini kan punya ibu," ujar Echa mencoba ikut menahan.Aku tersenyum sinis menatap keduanya. Hari menjelang sore, terik matahari masih ikut serta menambah hawa panas keadaan.Bu Henna memberikan tote bage miliknya kepada Dareen. Perlahan Dareen menarik resleting untuk membukanya. Setelah terbuka, mata Dareen membelalak lebar melihat isi dalamnya lalu menatap Bu Henna dengan rasa penuh curiga.Tidak sungkan-sungkan, Dareen menumpahkan semua isi dalam tas Bu Henna dengan menungging kan. Sontak mata kami semua membelalak melihat setumpuk uang dan dua buah kotak perhiasan. Aku terperangah menatap uang yang masih tersusun rapi di ikat dengan sebuah karet gelang."Ya Allah, Bu, ter
"Kok tanya saya, memangnya saya tukang emas?" Ucapnya ketus sambil mendengus, matanya memandangku dengan kesal. "Loh, kan saya tanya, Bu, siapa tahu ibu tau harganya," ucapku dengan nada santai.Mila masih cengengesan sambil melirik-lirik ke arahku. Wanita itu enggan ikut campur, aku pun tidak menyarankan Mila untuk ikut turun tangan mengenai hal ini.Henna—ibu mertua Mila yang sangat judes dan bengis. Semua yang di lakukan Mila pasti salah, mungkin memang karena faktor status menantu.Echa memberikan kunci motor padaku sambil menyelipkan rambut poni panjangnya ke belakang telinga."Nih, Mbak, kuncinya," ucap Echa."Aku hanya menengadah satu tangan, lalu kumasukkan ke dalam saku celana."Terima kasih, gitu loh, Cha! Wong sudah di pinjami kok enggak berterimakasih," sungut Mila kesal. Matanya melirik ke atas untuk menatap wajah Echa.Gadis itu tak menjawab apa pun, malah pergi meninggalkan kami di sana, tangannya membawa tiga tote bage berwarna coklat.Bu Henna masih berdiri sambil me
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen