Setelah kepergian Selena yang memberikan luka yang begitu dalam pada Amira, gadis itu pun dipaksa harus kuat menghadapi kenyataan. Pesan yang diberikan oleh Selena bukanlah pesan yang biasa. Pesan yang dikirim lewat surel tepat itu, menyatakan kalau dirinyalah yang harus terus memegang kendali Metta. Baru Amira sadari, bahwa ayah yang saat ini dia panggil sebagai ‘Ayah’ ternyata bukanlah ayah kandungnya. Mark menikahi Selena setelah Selena bercerai mati dengan suaminya dan telah mengandung Amira usia tiga bulan. Hal itulah yang membuat Amira yakin tidak akan merelakan perusahaan yang dibangun sepenuhnya oleh ibunya juga dengan bantuan mantan kekasihnya yang sudah tiada. Sesuai perjanjian kemarin, Mark memerintahkan Amira untuk mengadakan rapat. Pertemuan yang akan mengumumkan lagi pengalihan saham dari Amira pada Kevin. Amira menyetujui untuk melakukan pertemuan, namun tidak ada yang tahu kalau Amira tidak akan pernah memberikan apa yang Mark dan Kevin harapkan. Amira sempat me
[Ayah aku akan datang terlambat, tolong sambut kedatanganAmira lebih dulu.]Ramon Reano Dirgamanta, laki-laki jangkung yang kinidilumuri usia nyaris separuh abad pemilik perusahaan yang bergerak dibidangmarketing itu, menuruni anak tangga sambil mengenakan jasnya. Dari jaraknyayang masih terhitung jauh, Ramon sudah bisa melihat potrait seorang gadis telahberdiri di depan pintu rumahnya dengan sorot mata yang tak sengaja dia tangkap.Perempuan itu mengenakan dres hitam pekat selutut. Rambutnyadibiarkan terulur dengan model sedikit meliuk sampai dada. Sepatunya berwarnasilver menyatu dengan warna anting juga kalung halus yang dia kenakan. Tanpasadar, Ramon menarik kedua sudut bibirnya ketika senyum gadis itu menyapanyalebih dulu.“Oh halo, apa kau sudah lama menunggu? Maaf, tapi sayasedang menyiapkan beberapa hal tadi,” ucap Ramon, saat jarak mereka sudahterkikis.“Tidak juga, Pak. Saya baru saja sampai. Maaf jikakedatangan saya merepotkan,” sahut gadis itu, santun.“Saya ti
“Di mana Farah?! Katakan padaku, di mana dia?!”Amira bejalan cepat dengan wajah yang kini berantakan akibatterjangan air mata. Matanya sembab, riasannya hancur, rambutnya tak lagitertata. Sepatu silver hak tinggi itu lepas dari kakinya yang jenjang.Tangannya mengepal kuat, seolah tahu siapa dalang dari kematian sang kekasih “Nona Farah tidak masuk. Apa-apaan kau menyebutnyatidak sopan seperti itu?” jelas salah satu teman kerjanya di bar yang bingungmelihat sikap Amira.Gadis itu mendesis, tidak percaya. Dia kembali berjalan menyusurilorong bar yang mana isinya adalah sejumlah kamar. Dia yakin, ada Farah didalam sana. Farahlah dalangnya. Farah juga yang menaruh alat pengaman itu didalam tasnya. Amira yakin itu.“Keluar! Farah, di mana kau? Cepat keluar!” Satu persatu pintu kamar yang dia lewati ditendang untukmencari Farah yang bersembunyi. Pintu kamar terakhir terbuka tepat saat Amirahendak menendangnya. Sosok perempuan berambut pirang samar keluar dari dalamsana. Amira
“Aku memang perempuan miskin yang tidak punya apa-apa.Namun, aku bukanlah perempuan hina dan cintaku tulus untuk Dired. Akumencintainya bahkan rela menyerahkan nyawaku padanya,” sahut Amira.“Jangan membuat skenario yang tidak-tidak di sini. Aku akanmembunuhmu jika kau menyebut nama putraku lagi.”Tepas saat Ramon selesai dalam ucapannya, tubuh Amira jatuhdan terbaring tak sadarkan diri lagi. Tak ada raut panik dalam pahatan wajahRamon. Dia menatap gadis itu tenang sambil membayangkan betapa menyedihkannyahidup putranya. Dia mencintai perempuan ini dengan tulus, akan tetapi cintanyaitu sendirilah yang membawanya dalam kematian yang buruk.**Farah datang dengan dua gelas anggur merah di tangannya. Disudut sana tepatnya disofa depan kaca transparan menggambarkan objek kota,sedang duduk laki-laki berparas tampan dengan rahang tegas.“Tenangkan dirimu. Jangan terlalu banyak memikirkan hal-halberat dulu,” ucap Farah sambil menyerahkan satu gelas minuman pada Ramon.Laki-laki it
“Lepaskan Amira! Jangan sakiti dia!”“Siapa kau?” singkat Ramon, datar.“Kau tidak perlu tau itu. yang harus kau lakukan hanyalahmelepaskan Amira. Dia tidak bersalah!” desak laki-laki di sana.Ramon menyeringai tipis. “Kau kekasihnya?” tebaknya, lebihterdengar sebuah tuduhan.“Bukahkah sudah kukatakan padamu? Kau tidak perlu tau itu...”“Tidak akan kulepaskan dia. Siapa pun kau, bahkan Tuhansekali pun yang memintanya, aku tidak akan melepasakan pembunuh itu. Dia harusmerasakan kepedihan yang lebih pedih dari pada kematian!” potong Ramon, mulaigeram.“Kau orang kaya. Kau punya banyak uang dan kau punyakekuasaan. Tapi kenapa kau menuduh orang sembarangan tanpa mencari tahu dulukebenarannya? Bukankah orang-orang sepertimu lahir karena memiliki nilaikepintaran di atas rata-rata?” singgungnya.“Itulah kenapa Tuhan tidak menciptakan orang-orang sepertimumemiliki banyak uang, karena kau mudah ditipu oleh perempuan tidak bergunaseperti Amira itu. Kau ...”Bug!Belum selesai ucapan
“Nona, kau mau ke mana?”Amira terlojak, saat tiba-tiba seorang pria menghampirinya. Amira yang sebelumnya hilang kesadaran dibangunkan oleh mimpi buruk yang mampir di tengah lelapnya. Tak bisa tidur lagi, Amira segera bangun, meskimasih dalam kondisi yang memprihatinkan. “A-aku, aku mau keluar sebentar.Aku ingin menghubungi seseorang,” jawabnya, memang hendak melakukan hal tersebut.“Tuan Ramon melarangmu ke mana-mana. Saya akan membawakan teleponnya ke dalamkamar. Silakan kembali ke sana, Nona.”Rupanya salah satu pengawal Ramon sengaja disuruh berjaga di salah satu bangsalVVIP yang di pesan oleh Ramon. Amira baru tahu, kalau Ramonlah yang membawanyadan bukan orang yang ada dalam benaknya sejak tadi. Perempuan itu lantasmendengus, tak percaya kalau Ramon rupanya belum cukup puas dengan menyiksanyakemarin malam.“Baiklah. Aku akan kembali ke kamar. Tapi tolong bawakan aku telepon. Aku inginmenghubungi seseorang,” sahut Amira, menyerah. Tidak ada tenaga jika harusmelawan sek
Satu jam setelah acara kremasi jenazah Dired kemarin, Ramon memerintahkan seluruh anak buahnya untuk membawa orang-orang yang bersama Dired pasca-insiden ke hadapannya. Tak butuh waktu lama. Mengingat Ramon adalah laki-laki yang dikenal bengis sebagai seorang atasan, hanya butuh hitungan menit saja dia dapat bertemu dengan sosok yang melayangkan tembakan ‘melesat’ itu pada Dired. “Katakan, kenapa kau membunuh putraku?” Kalimat itu masih terdengar rendah, namun mengintimidasi. “Ma-maaf, Pak. Sa-saya hanya di suruh. Saya tidak mempunyai alasan apa pun untuk membunuhnya, Pak.” Terbata-bata laki-laki itu menjawab. Ramon mengeraskan rahang, dengan sorot mata yang kian menajam. Dadanya rasanya dibakar, setelah mendengar pengakuan laki-laki ini. “Siapa? Siapa orangnya?” tanya Ramon lagi. “No-Nona A-Amira,” aku pria itu. Sejak detik itulah Ramon mulai menanam dendam pada Amira dan memberikan cap pembunuh padanya. Pengakuan laki-laki ini seolah menjadi alasan baginya untuk menghukum gadi
“Lepaskan!” desis Amira, masih menahan suaranya. “Kenapa? Kau mau membalasku? Kau mau membunuhku seperti yang kau lakukan pada Tuan Dired?”Tak tahan kepalanya terus saja mendongak, Amira pun membalas dengan melintir tangan sang lawan hingga tersungkur. Perempuan di sana meringis, kesakitan. “Kau tahu aku seorang pembunuh. Jadi jangan main-main denganku, atau kau akan mati seperti tikus di tanganku!” ancam Amira, lantas pergi melenggang begitu saja. Dia berjalan tegas mengangkat kepala, sambil merapikan rambutnya yang sedikit berantakan. Jangan kira Amira adalah perempuan yang menerima segala perlakuan buruk. Dia bukan tokoh protagonis dalam drama, yang siap menerima segala perlakuan tidak etis dengan tabah dan senang hati. Tepat melintasi tikungan lorong lantai dua, potrait Ramon langsung saja tersuguh di depan matanya. “Akhirnya kau mengaku juga? Kukira statementmu tidak akan pernah berubah,” ujar Ramon, tepat saat dia menatap mata Amira. “Tidak ada yang bisa kulakukan selain m