Ada banyak hal di dunia ini yang tak bisa dimengerti oleh anak seusiaku, salah satunya tentang kehidupan berkeluarga yang begitu rumit dan kompleks. Jika mereka terlihat mampu mengatasinya dan mengerti, yakinlah hati kecilnya tetap hancur.
Disinilah aku sekarang, di kamar yang cukup luas dengan perabotan yang lebih elegan daripada yang ada di kamarku sebelumnya. Kata Ayah karena aku sudah setuju dengan pernikahannya makai malam ini mereka akan mulai merencanakan acara lamaran sehingga aku disuruh menginap disini. Di dalam kamar ini sudah disediakan baju-baju untukku bahkan pakaian dalam juga meskipun tak banyak. Aku terduduk di sudut kamar sendirian sambil tersenyum.
Aku ikut berunding mengenai acara lamaran yang akan dilakukan, meskipun disana aku lebih banyak diam dan memperhatikan sambil sesekali mengangguk setuju. Rencananya lamaran kali ini akan dilakukan secara simpel mengingat ini adalah pernikahan kedua dari Ayah dan Tante Dewi. Ngomong-ngomong tenta
Malam ini aku kembali tak bisa tidur, seperti biasanya aku sering memikirkan hal-hal tak penting sebelum tidur yang malah membuatku menjadi lebih sering begadang. Malam ini hujan turun lagi dan entah kenapa melihat hujan membuatku kembali teringat dengan Ibuku yang telah tiada. Aku duduk di atas ranjang dengan menekuk lututku dan menatap ke arah jendela yang sedang menampilkan rintikan hujan yang cukup deras. Sudah hampir 2 bulan aku tinggal di rumah Ayah dan sepertinya sekarang aku mulai merindukan Ibu lagi. Sebenarnya ada beberapa hal yang aku sembunyikan dari Ayah, akhir-akhir ini aku sering memimpikan Ibu, lebih tepatnya sejak pernyataan Ayah yang hendak menikah lagi. Kalau boleh jujur aku sebenarnya belum yakin dengan keputusanku untuk memperbolehkan Ayah menikah lagi, kemarin aku mengatakan setuju hanya semata-mata untuk membuat Ayah bahagia, tapi entah kenapa semakin hari aku malah semakin tak tenang. Ada ketakutan tersendiri dalam diriku, namun aku tak tahu bagaimana cara me
"Aku dan dia tersenyum. Dia tersenyum manis karena akhirnya bisa pulang ke rumah dan aku tersenyum kecut karena dirundung nestapa"Aku mulai bangkit dari kasur dan masuk ke dalam kamar mandi untuk membasuh wajahku yang terlihat mengenaskan karena terlalu banyak menangis. Sudah 7 hari berlalu sejak ia dikuburkan di dalam tanah merah di kuburan desa, namun dadaku masih saja sesak setiap tak sengaja melihat barang-barangnya di rumah kecil ini.Aku membuka kenop pintu kamar perlahan dan melangkah dengan gontai menuju ke ruang tamu yang masih dipenuhi oleh suara para tetangga yang membantuku mengadakan acaramitung dinokematian Ibu.Bukannya tidak ada saudara yang datang hanya saja ibuku adalah anak tunggal sekaligus yatim piatu yang tinggal di salah satu kampung kecil di kaki Gunung Mer
Beberapa hari berada di rumah Ayah tak lantas membuatku menjadi betah dan nyaman berada disini kecuali untuk ranjangnya, ranjang kamar yang berukuran sedang namun mampu membuat tubuhku lunglai dalam dekapannya. Sekitar beberapa hari lagi aku akan mulai memasuki semester baru di kelas XI di sekolah yang baru pula. Aku tak perlu memikirkan berkas-berkas pindahan karena Ayah telah mengurusnya untukku, yang kutahu hanyalah aku akan masuk ke salah satu sekolah negeri di sini yang memiliki reputasi tidak bagus juga tidak buruk dengan jurusan IPA seperti jurusanku dulu.Sorot matahari yang berhasil menembus gorden kamarku membuat mataku yang mulanya terpejam menjadi terbuka. Aku terusik, sangat terusik. Padahal sejak semalam aku sudah berniat untuk bangun lebih siang, karena sebentar lagi aku tak mungkin bisa merasakan nikmatnya tidur siang karena harus menjadi budak belajar.
Ayah bilang kita akan berangkat jam 9 pagi tapi sampai jam setengah 10 aku masih asik berkutat di dalam kamar. Sebenarnya aku sudah selesai sejak tadi bahkan sekarang aku hanya bermalas-malasan di ranjang, tapi apa salahnya membuat ia kesal bukan karena menungguku. Astaga aku bingung darimana asalnya pemikiran jahil ini, aku takut jika nanti Ayah akan marah karena jujur saja ketika ia bicara biasa saja wajahnya sudah menyeramkan dengan ekspresi datar andalannya lalu bagaimana kalau ia benar-benar marah. Aku tahu konsekuensinya dan jujur saja aku juga takut tapi hasrat untuk melakukan kejahilan masih bertahta di otakku, sulit rasanya untuk bersikap sebagai gadis manis yang tunduk kepada Ayahnya. Lima belas menit kemudian aku memutuskan untuk keluar kamar, kulihat Ayah tengah duduk bersandar di teras sambil meminum kopi hitam yang sepertinya buatannya sendiri.Ayah hanya melirikku ket
Bosan....Hanya ada satu kata itu di dalam otak kecilku. Sudah berulang kali aku memperbaiki posisi dudukku dan berselancar ria di dunia online yang penuh kebohongan ini tapi nyatanya aku masih tetap bosan. Tadi setelah pulang berkeliling mall bersama Ayah aku langsung menuju kamar dan mulai melakukan ritual rahasiaku. Yup benar, apalagi kalau bukan tidur.Heiii, jangan hanya karena aku pecinta tidur kalian berfikir aku itu pemalas ya. Ya meskipun diriku memang tak serajin itu tapi Ibu selalu bilang kalau aku itu cerdas. Kalau kalian tidak percaya, aku akan menceritakan tentang kecerdasanku sekaligus keberanianku semasa kecil.Alkisah, di suatu hari yang begitu suram tepatnya di depan warung kelontong di dekat lapangan desa terdengar suara percakapan antara ibu-ibu dengan seorang remaja yang akan lulus SMA. Mereka sedang meributkan tentang hal yang cukup sensitif yaitu “kapan nikah”, dimana ketiga ibu-ibu ini memberikan wejangan kepada
Aku masih memukuli kepalaku karena malu sendiri dengan pertanyaan dan sikapku semalam. “Aaaaa, mau di taruh dimana mukamu ini Talaaa!”, hardikku pada diriku sendiri. Flashback “Ayah bisa temenin Tala?”, ucapku spontan tanpa kusadari dan tak direspon juga olehnya. Dia hanya menatapku datar dan aku merutuki diriku yang dengan bodohnya mengatakan hal seperti itu. Dia pasti berpikir kalau aku seperti anak kecil yang ketakutan hanya karena suara gemuruh badai dan petir dan akan menolakku dengan suara datarnya itu, tapi dugaanku salah karena nyatanya ia malah berjalan kearahku dengan lilinnya. Ia meletakkan lilin itu di atas meja kecil yang ada di samping ranjangku. Karena suasananya sangat canggung akhirnya aku memilih naik ke ranjang terlebih dahulu untuk tidur lebih awal dengan posisi menghadap tembok dan membelakanginya. Aku sudah cukup malu karena memintanya menemaniku, bahkan jika lampu kamarku hidup pasti mukaku yang sekarang ini sud
Mobil Ayah memasuki sebuah kompleks perumahan yang terlihat sangat elit dimata gadis kampung sepertiku. Kami berhenti di depan rumah yang berukuran besar dengan halaman yang luas dan dipenuhi dengan banyak tanaman, bahkan ada seorang satpam yang membukakan gerbang agar mobil Ayah bisa masuk.“Kayaknya orang yang namanya Eyang itu kaya banget deh”, pikirku polos.Aku keluar dan berjalan di samping Ayah untuk masuk ke dalam rumah orang yang bernama Eyang ini, di dalamnya terlihat ada banyak orang dengan penampilan mengesankan dimana hampir semua laki-laki memakai kemeja rapi dan jas serta rata-rata seperti sosialita yang dari ujung kepala memakai barang-barang branded. Aku masih terus memandangi semua orang di dalam rumah ini sampai akhirnya mataku tak sengaja bertatapan dengan seorang perempuan renta yang terduduk di atas kursi roda, perempuan tua itu memakai baju yang menurutku harganya pasti mahal, badannya terlihat kurus namun wajahnya masih terl
06:30“Ta, cepetan atau kamu telat ke sekolah!”, tegur Ayah kepadaku yang terlalu lama bersiap diri. Oiya, hari ini adalah hari ke sebulan aku pindah ke sekolah baruku ini, tapi meskipun begitu aku belum menemukan teman yang benar-benar cocok dengan diriku. Aku berasal dari kampung sedangkan mereka berasal dari kota jadi mudah ditebak bukan kalau dari segi pergaulan saja kami sudah sangat berbeda, maka dari itu aku kesulitan menemukan teman yang bisa kujadikan sahabat, lagipula mencari teman itu kan memang harus selektif agar tidak membuat kita terbawa arus negatif bukan.“Kamu mau Ayah tinggal Ta?”, ketus Ayah yang sepertinya sudah gemas dengan tingkahku ini. Ya mau bagaimana lagi, semalam aku terlalu seru membaca novel sampai-sampai tak ingat waktu dan aku baru sadar saat jam sudah menunjukkan pukul 1 pagi, alhasil pagi ini akupun bangun kesiangan dan menjadi sasaran omelan Ayah lagi.Aku berlari menuju garasi dan segera masuk ke