Aku masih sibuk berguling ke sana kemari meski pagi mulai datang. Semalam suntuk mataku enggan terpejam. Rencana Ayah masih terus terngiang di kepala.
Aturan-aturan yang semestinya memberi kedamaian, malah membuatku berpikir terlalu keras. Terlebih bagi seorang pemburu seperti Ben Hardy. Mengawasi banyak iblis di dunia tentu saja bukan hal mudah. Beruntung, saat ini tak banyak iblis tersisa.
Kini, bagaimanapun juga aku harus segera menemui Jonathan. Ialah satu-satunya kunci agar semua aturan bisa ditegakkan. Bukan untukku, melainkan demi keselamatan semua orang.
"Kau mencintainya?" tanya Hard.
Mendengar pertanyaannya tentu saja diri ini enggan menjawab. Alih-alih berdalih, aku malah asyik menatap mata kebiruan Ayah.
"Ibumu jatuh cinta saat menatap kedua mataku, Grace, jadi berhenti menatapku seperti itu."
"Setelah seratus tahun, akhirnya aku menemukan keluarg
"Jangan pikirkan apa pun, Grace, tapi coba kau renungi ini. Selama lebih dari seratus tahun kau menemui banyak pria, tak ada yang mampu membuat hatimu menghangat. Lalu, saat kau temukan sosok itu, relakah kau jika dia diambil paksa dari sisimu? Hatimu akan membeku, untuk sekali lagi.Kehilangan, kau akan merasakan hukuman yang teramat berat saat menyadari segalanya telah berubah. Apalagi, kau juga turut andil dalam keberdayaan untuk membuatnya terbunuh. Lalu, masih bisakah kau bernapas lega?"Aku mengerjap, tak mampu menjawab. Dalam hitungan detik aku terpaku, untuk menggerakkan bibir pun kelu.Setelah Hard mengedipkan matanya, ia tersenyum, sedangkan aku kembali mampu menggerakkan anggota tubuh. Lekas, aku bangkit dan mendelik, menuntut jawab."Apa-apaan, Hard?""Maaf, Grace, kau merasa tak nyaman?""Konyol! Pertanyaan macam apa itu?""S
"Kita hanya harus mengalahkannya sekali! Lalu kau bebas menentukan segalanya!"Aku berdiri, menatapnya penuh kesungguhan. Setidaknya, ia harus benar-benar menganggap ini sebagai rencana semata. Pernikahan tertulis, tanpa dasar cinta."Aku tau! Hanya saja, menikah bukan satu-satunya jalan!" Ia melipat tangan di dada. Sifat keras kepalanya sungguh menyusahkan."Kalau begitu, bisakah kau pastikan bahwa kau lebih dulu bertemu denganku daripada dengan Jean palsu itu?"Dalam ruangan kedap suara berukuran lima kali enam itu, terdapat meja kerja dan pelbagai furniture bertema industrial. Hitam dan kayu lebih banyak mendominasi ruang."Kita bertemu lebih dulu, Grace! Aku tau betul itu!"Kali ini ia menatapku tajam. Meski hanya beberapa detik, aku mampu menangkap keseriusan dalam tatapannya. Lantas, ia kembali menatap ke arah jendela besar di samping meja kerja.
"Kita hanya punya waktu tak lebih dari delapan jam sebelum ia bisa kembali kemari, Jo!"Sekali lagi, kedua mata bulat pria beriris cokelat muda itu membeliak. Mungkin, ia terkejut dengan pernyataanku barusan."Apa? Kenapa? Siapa yang memberimu batas itu?"Padahal, beberapa menit yang lalu ia baru saja tenang. Ia baru menerima usulanku untuk menikah sebagai solusi utama. Kini, ia kembali histeris bak Cinderella yang kehilangan sepatunya."Kau tau, ada dua dunia yang berbeda dengan waktu dan kehidupan yang jauh dari kata sa--""Apa masalahmu sebenarnya?" Hanya dengan memotong ucapanku saja, ia bisa membuatku terintimidasi."Harusnya aku yang bertanya! Bukankah sejak awal sudah kukatakan? Ada banyak hal yang harus kau ketahui sebelumnya. Tapi, jika ingin cepat, solusi terbaik hanyalah penikahan! Dan sekarang aku lagi yang akan kau salahkan, huh?!"
Dekorasi serba putih dan mint menjadi perpaduan feminim nan elegan. Dari depan gereja sudah terlihat jelas dua nama yang akan melakukan pemberkatan nikah.Salah satu foto prewedding dibingkai indah pada salah satu sudut akses keluar-masuk tamu undangan. Gambar pria dan wanita yang tengah bahagia, duduk bersanding pada sebuah motor klasik berwarna senada. Pemandangan senja serta percikan deburan ombak pun menjadi latar belakang saksi bisu pemotretan mereka.Masuk ke dalam gereja, semua tamu undangan memakai warna pakaian yang sama: broken white dan mint. Beberapa bridesmaid yang kompak memakai dress dan setelan mint dipadukan dengan warna khaki. Perpaduan yang tepat untuk menunjukkan sebuah ketenangan yang hakiki."Tanda tangan di sini."Aku mengerjap, lantas semua bayangan itu sirna seketika kala mendengar suara Hard yang datar nan menggema. Entah kapan kali terakhir aku membayangkan menjadi seorang
"Sekarang bagaimana? Ke mana dia? Pria yang katanya pemburu iblis, Grace?! Jean dibawa! Apa yang akan terjadi padanya?"Khawatir, tentu saja. Keduanya punya naluri untuk saling menjaga, lantas terpisah begitu saja oleh marabahaya. Kedua mata Jonathan tampak mulai berair. Ia yang frustrasi lantas menyugar lalu memijit pangkal hidungnya pelan."Lanjutkan saja, Jo! Ia hanya ingin kita berhenti di sini!"Pijatannya terhenti. Kemudian, ia menatapku sengit. Penuh amarah. "Kau tak memikirkan temanmu?"Aku lelah dengan semua ini. Sampai kapan Jo akan selalu berpikiran buruk tentangku? "Karena ia temanku, Jo, jadi kita harus segera mengakhiri ini demi keselamatan Jean!"Jonathan menutup kedua matanya pelan. Please, Jo, percayalah."Cepat berjanji!" pintaku sembari memegang kedua tangannya.Jonathan batu saja membuka mulut hendak menguntai janji sa
Sudah dua jam sejak pengantin priaku dibawa lari oleh Nathalie. Sejak itu pula, ada desir aneh yang terus menjalar, merajai hati. Ada kecamuk yang seolah-olah terus terngiang bahwa akulah penyebab semua ini.Kugigit ujung kuku jempol perlahan sembari terus mondar-mandir memikirkan banyak hal. Termasuk mengenai jejak di mana iblis itu menyembunyikan Jonathan."Grace, tidakkah kau khawatir?"Aku menghela napas panjang. Ini bukan saatnya untuk mendramatisir keadaan. "Jean, apakah aku terlihat biasa saja sejak tadi?"Jean menunduk. Gadis itu ... mungkin lebih cemas daripada aku. Kudekati ia yang berada di sofa dudukan tiga. Saatnya bagiku memanusiakan manusia seperti yang lalu-lalu."Dengar, Jean. Kau percaya padaku, 'kan? Aku akan menyelamatkan Jonathan. Aku dan Hard.""Bagaimana denganku?" tanyanya cepat.Aku tak tahu sebesar apa kekhawatir
Setelah melesat di langit malam lebih dari dua jam, akhirnya aku sudah sampai di gurun Karakum. Tempat di mana dua dimensi dijadikan satu oleh sebuah portal raksasa.Di depan sana, kawah sebesar lapangan sepak bola begitu menerangi gelapnya malam. Betapa tidak, bahkan jarakku yang jauhnya kemungkinan lebih dari puluhan kilometer pun sudah merasakan panasnya."Hard, kau yakin aku bisa melaluinya? Itu ... benar-benar seperti gerbang menuju kematian bagiku."Pria yang usianya jauh lebih tua dariku itu saling menautkan jemarinya di balik tubuh. Ia menatap jauh seperti sedang mengingat sesuatu."Hard?"Ia tergagap, lalu menatapku lekat. Sekilas pada kedua matanya yang tajam terlihat sorot yang tak dapat kuartikan maknanya. "Aku tak apa, Grace, kita bisa! Kau adalah anak iblis yang pada dasarnya memang diciptakan dari api.""Aku manusia, Hard. Hanya saja ada gen ib
"Kau gila, huh?! Aku baik-baik saja! Lihat seluruh tubuhku! Tak ada yang salah, Grace! Jadi kumohon untuk tetap tenang. Ok?"Aku masih meringkuk, memeluk lutut sembari sesenggukan. Tak kusangka, dunia bawah tanah yang sering diceritakan Hard benar-benar ada dan nyata. Tak ada yang berbeda dari permukaan dunia. Hanya saja, di sini penuh dengan kegelapan."Tapi aku benar-benar melihat tubuhku terbakar habis di kobaran api itu, Hard. Semua menjadi abu."Kulihat dengan jelas pria itu berkacak pinggang. Sesekali ia menggeleng sembari menyapa beberapa penduduk yang melewatiku dengan tatapan penuh tanya."Dengar, Grace, di sini tak pernah ada yang menangis! Bangunlah! Kau membuatku malu!"Kulepaskan tautan jemari yang sebelumnya erat memeluk dengkul. Lantas, mengedar pandang ke segala penjuru arah.Aku baru sadar bahwa sejauh mata memandang langit tampak berwarna ke