Share

06. Siasat Nila

"Nila.." suara Biru langsung terdengar ketika Nila membuka pintu mobilnya, "Ya?"

"Soal yang tadi."

Nila menggeleng, merasa gemas karna Biru tampak sekali memikirkan soal pembicaraan mereka sebelumnya. "Kamu pikirkan dulu aja baik-baik. Tapi, aku nunggu kabar baiknya."

"Kamu bahkan gak percay—"

Nila menggeleng membuat Biru menghentikan ucapannya, "Sebaiknya kamu pulang dulu deh. Pasti kabar soal Papa kamu yang masuk Rumah sakit udah menyita pikiran kamu banget. Jadi, kesampingkan aja dulu masalah yang tadi."

"Tap—"

Nila kembali menggeleng membuat Biru terpaksa mengangguk dan menyetujui saran Nila. "Bisa kita bicarakan besok?"

Nila tersenyum jahil, "Bahkan belum ada sepuluh detik aku berdiri dari kursi penumpang dan kamu udah kangen aja sama aku. Wah, aku gak tahu kalau efekku segininya buat kamu."

Biru akhirnya menarik sudut bibir membentuk senyuman, Nila meletakkan lengannya di jendela mobil Biru. "Kamu lebih kelihatan ganteng pas senyum."

"Ya."

Nila tersenyum geli, "Kamu setuju kalau ku bilang ganteng atau?"

"Saya setuju kalau sebaiknya kamu masuk." Biru meneliti penampilan Nila yang terlihat lumayan berantakan karna mesti terburu-buru mengikuti langkahnya tadi. "Maaf kalau bikin kamu begini."

"Seksi maksudnya?"

Biru terbahak, berbicara dengan Nila mungkin akan berakhir menyenangkan. Bahkan ketika mereka punya hal yang mesti di pikirkan. "Lima menit lagi saya menahan kamu disini. Mungkin kamu akan sakit."

"Satu menit lagi kamu senyum begitu, aku yang sakit."

"Oh, kenapa?"

"Sakit karna cuma bisa melihat tapi belum di izinkan untuk menyentuh." Wajah Biru mendadak pucat membuat Nila jadi terbahak, "Bercanda. Aku masuk dulu ya, makasih tumpangannya."

"Ya."

"Aku udah lama gak pulang nebeng orang ganteng soalnya." Biru melihat bagaimana gadis itu melambai kemudian mengetuk pintu, Cakra muncul sambil berbicara. Nila kelihatannya memberi jawaban yang membuat Cakra kesal. Makanya gadis itu berakhir dengan cubitan di pipinya.

Nila, sebenernya apa yang kamu inginkan?

°°°°

"Tadi kok lama sih?"

Cakra mengikuti langkah Nila yang sekarang berjalan menuju kamarnya, "Tenang aja Mas, segel Nila masih aman."

Cakra langsung mencibir jawaban Nila yang gak tahu malu itu, "Ih, Mas nanya gini bukannya khawatir soal kamu. Tapi, khawatir soal karyawan di Kantor Mas." Laki-laki itu duduk manis di atas ranjang Nila membuat sang empunya kesal, "Mas, Nila mau istirahat nih. Capek."

"Jangan banyak gaya, kamu paling tadi nyulik Biru dan maksa dia bayarin kamu makan kan?" Tuduh Cakra membuat Nila mendelik, "Dih! Sejak kapan Nila punya pikiran licik kaya gitu Mas? Nila juga gak bakalan minta nafkah sebelum nikah."

"Heh, jangan godain Biru."

"Lha, ini Adeknya udah kegoda sama kegantengan Biru Mas. Gimana dong?"

Cakra menghela nafasnya, bingung untuk percaya atau tidak dengan perkataan Nila. Mengenal Adiknya selama ini membuat Cakra jadi sulit mengetahui mana yang jujur atau sekedar bercanda dalam ucapan Nila.

"Dek, Mas serius lho."

"Nila juga," Cakra melotot, sebelum Cakra kembali bertanya Nila lebih dulu mengusirnya, "Nila serius kalau capek banget dan mau istirahat."

"Dek, Mas mau nanya soal Bi—"

Brak!

Nila membanting pintu tepat di depan wajah Cakra membuat laki-laki itu mendengus dan berteriak kesal, "Gak sopan banget sih!"

Nila terkekeh di Kamarnya mendengar gerutuan kesal Cakra. Dia langsung membaringkan tubuhnya di Kasur, pikirannya kembali memutar kejadian hari ini. Mulai dari kesialannya dengan mobil, jemputan Biru sampai kejadian di Rumah Sakit.

Menikah ya?

Hal ini memang sebelumnya gak pernah muncul dalam benak Nila, bahkan waktu Bunda mengomel. Menurut Nila, menikah hanya akan membuatnya masuk dalam masalah besar. Mempercayakan dirinya kepada orang asing —selalu terdengar buruk.

Terus kenapa Nila sampai melakukan hal tadi? Mengaku sebagai calon istri Biru? Mungkin Nila udah gila atau dia emang sejak awal udah yakin dengan kegilaannya soal ini. Biru yang gay membutuhkan status yang menyelamatkannya dan Nila membutuhkan status untuk ketenangan Bunda-nya.

Menarik bukan?

Ah, soal Biru. Nila jadi ingat sesuatu.

Bagaimana bisa dia lupa meminta kontak laki-laki itu? Ah, kalau begini sebaiknya dia meminta pada siapa? Mas Cakra? Bisa ditanya macam-macam nanti. Nila juga belum mau menjelaskan apapun sama Mas Cakra. Apalagi statusnya masih belum jelas.

Ah, Nila tahu.

Jemarinya langsung mengambil ponselnya dan memilih tanda call.

"Halo, Mas Karis?"

"Ahh... yah?"

Nila mendelik, "Mas, kalau lagi olahraga gak perlu sok dibuat lagi enak-enak. Nila tahu jadwalnya Mas Karis. Dan seingat Nila, sekarang tuh Mas cuma olahraga biasa bukan olahraga ranjang."

Karis tertawa membuat Nila menggeleng, bisa-bisanya malah mengangkat telpon dengan nada bikin salah paham begitu. "Berhenti dulu olahraganya."

"Kenapa sih? Mas lagi ngangkat beban nih."

"Alah, Mas aja beban keluarga kok. Ngapain sok latihan?"

Suara tawa Karis kembali terdengar, "Kamu kalau misalnya cuma mau ngatain Mas, mending gak usah nelpon."

Nila mengingat alasannya sampai menelpon sahabat Mas Cakra. "Mas, minta nomornya Biru dong."

Jawaban Karis tak terdengar, Nila malah mendengar suara berisik lainnya. Baru aja Nila mau bertanya mengenai keselamatan Mas Karis, suara pria itu langsung terdengar, "Biru siapa? Anak buah Mas?"

"Ya iyalah, emang Mas Karis punya kenalan lain yang namanya Biru?"

"Ya nggak sih."

"Ya udah, mana?" Nila langsung meminta tanpa basa-basi membuat Karis mendengus di sebelah sana, "Tsk! Memangnya Mas Cakra tahu kalau kamu mau minta nomornya Biru?"

"Kenapa Mas Cakra perlu tahu segala? Emangnya Mas Cakra siapanya Biru?"

"Bukan gitu Nila, kamu kan adiknya Cakra. Jadi, seharusnya kamu nanya dulu sama Cakra. Boleh gak kalau deketin cowok." Nila mendelik, "Kenapa mesti minta izin sih? Nila kan gak bakalan kenapa-napa."

"Siapa yang khawatirin kamu sih? Pd banget! Mas Karis tuh khawatirin keselamatan pekerja Mas, kalau misalnya si Cakra tahu kan lumayan terjamin. Gak ada yang bisa nebak apa isi kepala kamu Nila, bisa-bisa Biru bunting mendadak." lagi-lagi Nila merasa tertuduh sebagai predator

"Ih, bagian bunting punya Nila tau Mas."

Karis kembali terbahak, berbicara dengan Nila memang selalu membuatnya tertawa. "Buat apa sih? Beneran mau deketin."

"Calon suami tuh."

"Siapa?"

"Biru lah."

"Bercanda ya?"

"Iya! Makanya cepetan kasih aja, Nila tuh ada urusan sama dia." Nila beralasan lain, bisa bahaya kalau misalnya Karis memberitahukan soal ini kepada Cakra.

"Yakin? Urusan apa sih?"

"Aduh, Mas Karis ini kepo betul! Tinggal buka hp terus share doang padahal, atau jangan-jangan Mas Karis gak tahu caranya ya?"

"Ya tahu lah, ntar Mas Karis kirim."

"Ya udah, gitu kek dari tadi."

"Tapi, kamu beneran gak mau deket—"

Klik!

Terlalu banyak tanya, Nila jadi malas. Mungkin ini alasan kenapa Mas Karis selalu gagal dalam menjalin hubungan. Berisik kaya Ibu-ibu komplek.

Senyum Nila langsung terbit ketika melihat pesan dari Mas Karis.

Ah, namanya Sagara Biru ya?

Tbc

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status