Share

05. Perangkap Nila

"Nila, kita ke rumah sakit dulu."

Mobil yang tadinya mengarah ke kantor Nila berubah haluan, Nila melirik ke arah Biru yang kelihatan panik dan cemas. Mau tanya, tapi takut dibilang kepo. Akhirnya Nila hanya bisa untuk mengingatkan Biru soal keselamatan mereka berdua.

"Jangan ngebut, nanti kita kesana malah jadi pasien."

Biru tersentak, mungkin baru sadar kalau sekarang ia tengah membawa orang lain di sebelahnya. "Maaf, nanti setelah sampai disana kamu bakalan saya antar."

Nila menggeleng, "Gak masalah, aku baru aja minta izin."

"Kamu sakit?"

Nila tertawa geli bisa-bisanya setelah kepanikan tadi, Biru malah mengkhawatirkan dirinya. "Nggak, mau nemenin kamu."

"Nemenin?"

"Di izinkan kok, kan nemenin calon suami."

Biru tersenyum, tampaknya sudah terbiasa dengan segala hal tak terduga yang terdengar dari bibir mungil gadis itu. "Maaf ya."

Nila menggelengkan kepalanya terlihat bosan, "Biru! Sekali lagi kamu minta maaf kita mesti nikah ya?!"

Dan Biru kembali tersenyum ketika mendengar ancaman tak masuk akal milik Nila.

"Iya." Jawabnya kalem.

Gantian Nila yang tersenyum.

Mereka berdua tahu, kalau yang tadi hanyalah bercanda. Momen terbaik untuk menghancurkan rasa panik dan kalut untuk Biru.

Dan, Biru sangat berterimakasih untuk itu.

°°°°

"Mama, gimana keadaan Papa?"

Nila mengekori Biru, walau terburu-buru laki-laki itu masih menyempatkan dirinya untuk membukakan pintu waktu Nila akan masuk. Bahkan masih berjalan pelan untuk menyamai langkah Nila.

Wanita yang disapa Biru tadi kelihatan cantik walau dengan bekas air mata di wajahnya. "Papa tiba-tiba bilang kalau dadanya sakit." Jelasnya.

Biru mendekat ke arah wanita yang melahirkannya lalu mencium punggung tangannya. "Papa pasti gak apa-apa, tapi Mama gimana?" Wanita itu tersenyum dan Nila bisa melihat tatapan lembut yang selalu ada di Biru. Cara keduanya menatap begitu mirip membuat Nila yakin jika mereka memang orang tua dan anak.

"Kamu kenapa gak pernah pulang ke Rumah?"

Dari belakang sini, Nila bisa tahu tubuh Biru menegang. Mungkin, Biru tak siap dengan pertanyaan ini.

Nila menyerobot ke depan, pura-pura memasang wajah panik. "Biru, gimana keadaan Pa —eh?" Gak percuma selama kuliah dia ikut kegiatan theater jadi ekspresi sok kagetnya barusan malah kelihatan sangat amat natural. Dari pertama lihat Biru dia tahu kalau lelaki itu sebenarnya polos.

Dan ketika melihat Mamanya, Nila tahu kalau mereka sama.

Gampang ditipu dan untungnya Nila amat jago menipu.

"Ma-maaf, Tante." Nila memasang tampang serba salah, kalau Kara disini mungkin Nila udah di guyur pakai air biar setannya lari. Kara pasti berpikir kalau Nila tengah kerasukan, soalnya.

Wanita itu tersenyum lembut, "Gak apa. Kamu temennya Biru?"

"Biru itu calon istri kamu?"

Suara itu berasal dari pria yang tadi berbaring di ranjang pasien, ntah sejak kapan pria itu sudah merubah posisinya menjadi duduk tegak.

"Papa.." Mama Biru menghambur untuk memeluk suaminya, sementara Biru tak bergerak sedikitpun.

"Papa tanya, dia calon istri kamu?" Ulangnya membuat Biru tak bergeming, Nila jadi gemas sendiri menyaksikan kejadian barusan.

"Iya Om," Nila melangkah mendekati Papa Biru dan menyodorkan tangannya. "Saya Nila Om, calon istri Biru." Ucapnya lantang tapi masih disisipi senyuman.

Kata Bita, senyuman milik Nila itu senjata andalan terbaik.

Pria itu memandang Nila dengan menyelidik, "Apa tadi yang kamu bilang itu jujur? Bukan bohong."

"Benar, Om." Lagi-lagi Nila menjawab dengan tenang.

Pria itu berangsur-angsur tersenyum, "Syukurlah," Ucapnya dengan lega, "Selama ini Om selalu mendengar soal Biru yang di kira Gay." Nila melirik sebentar ke arah Biru yang tampak kembali kaku.

Sepertinya, kedua orang tua Biru tak tahu kebenarannya. Kalau begitu, jangan sampai mereka tahu.

"Oh, saya juga denger tuh Om." Jawab Nila membuat Biru semakin panik, "Tapi kecurigaan saya luntur pas Biru ngelamar saya."

Nila tertawa dalam hati. Selama ini yang selalu ngelamar kan dia, Biru bahkan selalu menolaknya.

"Ma, Papa kayanya udah gak sakit." Wanita yang berdiri disamping suaminya itu tersenyum dan mengusap pelan punggung suaminya. "Jadi, kapan Papa sekeluarga bisa datang ke rumah kamu?"

"Secepatnya, Pa!" Nila tersenyum bahagia, dia bahkan sudah mengganti panggilan Om menjadi Papa, mengabaikan Biru yang menatapnya dan malah memilih untuk ikutan mengusap punggung Papa Biru. Edan!

°°°°

"Nila, kamu masih ada kesempatan untuk bilang yang sejujurnya."

Sekarang mereka kembali berada di dalam mobil, setelah basa-basi sedikit Nila memutuskan pamit karna ingin pulang.

"Jujur kalau ternyata yang ngelamar itu aku, bukan kamu?" Nila menggeleng, "Ih! Gak mau, nanti aku kaya cewek-cewek ngebet walau bener sih." Nila tertawa sendiri ketika sadar mengenai kelakuan abnormalnya.

"Kamu tau, bukan itu maksud saya."

Senyum Nila menghilang, "Biru, aku lagi nawarin cara terbaik untuk mecahin masalah kamu lho."

Biru mengangguk, "Saya mengerti, tapi ini berarti saya manfaatin kamu. Saya gak mau jadi manusia picik, yang pura-pura gak tahu kalau saya baru saja menghancurkan impian masa depan kamu."

"Biru, kalau ini menenangkan kamu akan ku jelaskan kalau aku gak punya impian."

Biru langsung menoleh dengan cepat, untung mereka sedang posisi berhenti karna macet. "Maksudnya?"

Nila memandang ke arah depan dengan tatapan kosong, "Aku gak pernah punya impian untuk nikah. Mungkin dulu, tapi sekarang gak ada."

"Terus kenapa kamu selalu ngajak saya nikah?"

"Sama seperti kamu, satu-satunya hal yang paling aku takutkan adalah mengecewakan Bunda. Kalau Bunda minta untuk aku nikah maka itu yang akan aku lakuin." Nila tersenyum ke arah Biru, "Jadi, kalau kamu mikir dirimu picik terus aku apa? Jujur aja, kita cuma orang dewasa yang saling memanfaatkan."

Biru mulai mengerti alasan Nila selama ini, tapi dia masih tak yakin dengan keputusan Nila yang dianggapnya gegabah. "Saya laki-laki jadi mungkin tak masalah jika nanti bercerai, tapi kamu kan perempuan. Lebih banyak omongan yang akan menyalahkan kamu."

Nila tertawa, seakan apa yang dibilang Biru barusan adalah lelucon terlucu. "Tsk! Aku gak nyangka kalau kamu bahkan udah berniat mau cerai sama aku. Kita bahkan belum nikah, Biru."

Biru tampak serba salah, "Bu-bukan begitu maksudku. Tapi, kamu kan tahu orientasiku jadi kalau nanti kita menikah mungkin aku bisa memberikan segala hal. Tapi, akan ada saatnya kamu jenuh karna pernikahan kita yang hambar."

Nila mendengus, "Kalau kamu lagi ngomongin soal cinta. Aku gak percaya yang namanya cinta."

Lagi-lagi Biru kaget, tidak menyangka kalau Nila akan menjawab dengan hal tak terduga seperti barusan. Gadis itu terlihat berbeda, wajahnya tampak tenang dengan tatapan mata kosong. Tak ada, Nila yang selalu berwajah jahil seperti biasanya.

Nila kembali bersuara, "Cinta yang aku tahu itu datangnya dari keluarga. Tapi, apa yang kuharapkan kalau nyatanya keluargaku bahkan tak pernah utuh?"

Wajahnya berubah tersenyum kembali. "Jadi, kapan kamu mau ketemu sama Bunda? Eh, udah kenal sama Mas Cakra kan? Sebenarnya kamu mesti lulus kualifikasi sama Mas-mas cabul terus melewati teman-temanku yang gak kalah cabul."

Nila menggeleng dengan dramatis, "Ternyata aku dikelilingi orang cabul. Untung aja calon suamiku kamu," Nila terkekeh geli, "Gak cabul, tapi Gay. Lucu banget."

Biru tak merespon, dia masih sibuk memikirkan perkataan Nila soal cinta.

Kalau mereka berdua tak percaya cinta, apa perlu ada pernikahan?

Tbc

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status