Share

BAB VII - Mencari Sisa Kebahagiaan

Aku membalikan satu per satu halaman buku usang ini, menggerakan kedua mata seiring dengan rentetan kata di depanku. Sesekali ujung bibir terangkat seakan sedang mengingat kenangan-kenangan masa lalu. Saat aku masih tak memikirkan kehidupan, saat rumah ini masih terisi penuh dengan obrolan di pagi hari, dan saat aku membaca buku ini bersama seorang wanita.

Pada akhirnya aku sampai pada halaman terakhir yang ku baca saat itu, dan saat ini terlihat jelas di mataku awal bab yang dicetak tebal-tebal berjudul, “BAB III - Pantaskah Aku Bahagia”. Hal tersebutlah yang membuat orang tertarik dengan buku ini, judulnya seakan menggiring opini bahwa kita lah yang menjadi peran utama, sehingga apa yang terjadi di buku ini akan terasa sangat nyata.

Sorot mataku kembali bergerak mengikuti runtutan kata, samar-samar sudah ku dengar kebisingan dari tetangga sebelah yang bisa dikatakan seperti rutinitas setiap pagi. Namun, aku tetap berpatokan pada apa yang sedang ku lakukan saat ini, membaca cerita seseorang yang tengah mencari kebahagiaannya.

Semua yang ia lakukan selalu gagal di tengah jalan, usahanya ataupun percintaannya. Semakin ia berusaha kegagalan akan terus mengejarnya. Saat ia memutuskan untuk membuka sebuah usaha, akan ada orang yang mengkhianatinya. Begitupun urusan cinta, saat ia sudah benar-benar mencintai seseorang, pasti ada satu dua kendala yang menyebabkan mereka berpisah tanpa ada kejelasan akhirnya.

Hingga pada saatnya wanita itu merasa bahwa dirinya sudah tak memiliki semangat hidup, dan memilih untuk mencari cara agar hidupnya segera berakhir. Namun tak di sangka, seseorang menemukannya yang hendak mengakhiri hidup, dan pria itu menyelamatkannya. Perlahan tapi pasti, hidup wanita itu sedikit berubah, dan mulai merasakan apa itu kebahagiaan.

Tanda titik juga menjadi isyarat untukku agar segera berhenti membaca cerita ini, dan segera bersiap untuk kerja. Tidak seperti bab-bab sebelumnya, saat menyelesaikan bab ini aku merasa sangat bahagia. Seandainnya saja aku juga menemukan sosok pria itu di hidupku, mungkin hidupku yang berwarna abu ini, perlahan akan membentuk sebuah pelangi.

Sambil terus berhayal, tanpa sadar aku sudah berada di tempat kerjaku. Wanita paruh baya itu tersenyum dengan tulus, keriput mulai muncul di wajah cantiknya, namun tak menghilangkan pesona dari mata gelapnya yang indah. Mungkin aku tidak menemukan sosok pria seperti yang ku baca sebelumnya, Bu Rani sudah cukup menggantikannya untuk membangkitkan semangat hidupku.

“Bagaimana kemarin?” tanyanya langsung menjurus.

“Biasa, Bu. Cuma sekarang lebih parah,” jawabku sambil mengenakan apron.

Bu Rani masih terus memandang ke arahku, wajahnya nampak sangat khawatir namun sekaligus melambangkan kesedihan. Hembusan nafas terasa sangat berat saat aku hendak menjelaskan semuanya. Pada akhirnya, semua yang terjadi kemarin hingga aku sampai dengan selamat di rumah telah ku ceritakan pada Bu Rani.

Tak butuh kata-kata semangat, sebuah pelukan hangat langsung diberikannya padaku. Aku juga tak membutuhkan kata-kata mutiara untuk menyemangatiku, dengan begini ketenangan mulai terasa di sisiku, air mata yang tadinya mengalir deras kini mongering seketika. Luka yang telah digoreskan oleh ibuku, kini perlahan telah tertutup dengan kehangatan yang diberikan Bu Rani padaku. Seseorang yang lebih pantas ku panggil Ibu.

“Kapanpun Ella mau cerita langsung bilang ke Ibuk ya,” katanya sambil mengelus pucuk kepalaku.

“Ella harus tetep kuat, dan bersyukur. Banyak orang diluar sana yang pengen hidup sehat, jadi jangan disia-siain,” lanjutnya yang hanya kubalas dengan senyuman.

Tak berselang lama dari obrolan pagi dengan Bu Rani, seorang pria membuka pintu resto dengan bahunya. Tentu saja aku sudah merasa tidak asing, yah … walaupun kini sedikit berbeda. Ia tersenyum simpul ke arahku, menampakkan dengan samar lesung pipi di tiap ujung bibirnya, yang hanya nampak seperti garis senyum. Tentu saja ini berbeda dari hari-hari sebelumnya, biasanya ia hanya langsung memandang ke etalase dan mengatakan pesanannya tanpa harus memandang ke arahku.

Belum sempat kita bertukar sapa, Bu Reni yang menyadari kedatangannya dan setengah berlari menuju Andra untuk memeluknya.

“Makasih ya, Nak. Katanya semalem kamu bonceng Ella ya pulang ke rumah?” tanya Bu Reni dengan antusias.

“Iya, Bu. Pas aja kemaren saya juga lagi lewat sana, terus gak sengaja ngeliat Ella di halte bis,” jawabnya sambil sesekali menengok ke arahku.

“Aduh so sweet banget.” Bu Reni tersenyum lebar sambil tersipu.

Tentu saja aku dan Andra juga merasakan hal yang sama, pipiku mulai memerah akibat ucapan dari Bu Reni. Andra juga terlihat salah tingkah dengan apa yang dikatakan Bu Reni. Sebenarnya aku tidak memikirkan apapun tentang kejadian semalam, namun karena tersipu kini kejadian itu kembali berputar di kepala kecilku.

“Oke oke, Andra mau pesen apa? Bilang sama Ella nanti gak usah bayar, hari ini free dari Ibuk karena Andra udah bikin Ella gak sendirian di halte bis sampe pagi,” lanjut Bu Rani memecah keheningan.

“Aduh jangan, Bu. Saya jadi gak enak, kan emang niatnya mau bantuin aja,” jawab Andra dengan wajah kebingungan.

“Udah santai aja, oke. Dah, Ibuk mau lanjutin masak lagi, kalian ngobrol aja yang santai,” jawab Bu Rani dengan wajah yang seakan menggodaku.

“Anu, La. Aku pesen sup aja sama perkedel deh, es jeruk juga satu,” katanya dengan wajah yang masih kebingungan.

“Oke, duduk aja dulu, ntar aku antar ke sana.” Aku menjawabnya dengan senyuman, berharap ia segera ke tempat biasa, dan aku bisa melegakan nafas yang ku tahan agar tidak terlihat salah tingkah.

Andra menuju singasananya dan mengeluarkan sebuah laptop, mungkin ia harus mengerjakan beberapa tugas. Dengan cepat aku menyiapkan pesanannya, dan membuat segelas es jeruk. Biasanya aku tak pernah merasa kesulitan saat mengantar pesanan pelanggan, namun entah apa yang terjadi padaku hari ini, kakiku seakan kaku dan tidak bisa digerakkan. Semakin dekat dengannya, tanganku juga menjadi sedikit gemetar.

“Ini pesenannya, Ndra,” ucapku sambil menaruh piring dan gelas ke atas meja yang ada di hadapannya.

“Thanks, mau langsung balik kerja?” tanyanya padaku yang masih ada di sampingnya sambil membawa nampan.

“Nggak, masih belum ada pelanggan. Paling sepuluh menit lagi udah rame, biasa jam makan siang,” jawabku sambil memandangi sekeliling.

“Yaudah duduk dulu sini, gantian temenin aku makan,” katanya sambil menarik kursi yang ada di sebelah.

Aku pun tanpa basa basi memilih untuk segera duduk, dan memandang ke luar jendela. Banyak orang berlalu-lalang di depannya, mulai dari mahasiswa hingga para pekerja bangunan yang ada di samping resto. Entah dengan kekuatan apa aku memulai percakapan dengan Andra yang masih sibuk mengecap makanannya.

“Kenapa kamu suka duduk di sini? Bukannya malah risih ngeliat orang mondar-mandir di depan kaca?” tanyaku.

Ia menoleh ke arahku sambil terus mengecap makanannya. Setelah itu ia memilih untuk menyeruput es jeruk yang ada di hadapannya sebelum menjawab pertanyaanku.

“Menurutmu apa mereka sekedar lewat atau punya tujuan lain?” tanyanya.

“Pastinya mereka punya tujuan sih, Ndra. Gak mungkin juga mereka cuma keliaran di jalan” jawabku.

“Ini yang menarik dari manusia, La. Kita nggak pernah tau apa yang ada di dalam pikirannya, apalagi di dalam hatinya. Jangankan orang asing, yang jelas-jelas ada di samping kita aja, kadang gak paham apa yang kita rasain,” katanya sambil menaruh sendok dan garpu.

“Hubungannya sama pertanyaanku?” jawabku sambil menoleh ke arahnya.

“Aku tertarik dengan manusia, La. Apa kamu yakin wanita di sana itu punya tujuan? Dan apa kamu yakin dia baik-baik aja?” tanya Andra sambil menunjuk salah seorang wanita mengenakan payung hitam.

Aku memandang wanita itu lamat-lamat, tidak ada yang aneh dengannya. Hanya saja ia mengenakan payung, dan kacamata hitam sambil terus berjalan di atas trotoar. Pandangannya lurus ke depan namun ia melangkah dengan gontai. Ia menggunakan dress hitam selutut, terlihat dari jauh ia juga mengenakan beberapa perhiasan.

“Nih aku udah selesai, uangnya di bawah piring, kalo ada kembalian simpen aja,” kata Andra tiba-tiba bangkit dari kursinya dan bergegas meninggalkan resto.

Tak lama suara Bu Rani juga menyadarkanku, beberapa orang telah masuk ke resto dan bersiap untuk memesan makanan mereka. Tentu saja aku harus bergegas sebelum suara Bu Rani semakin nyaring memanggil namaku. Kerumunan tiba-tiba sudah ada di depan etalase, bebrapa orang tak sabar menunggu makan siangnya, dan beberapa sudah di tempat duduk untuk menyantap makan siang sembari mengobrol dengan teman sejawatnya.

Di tengah kebingunganku melayani pesanan pelanggan, aku terkejut karena tiba-tiba Andra masuk bersama wanita berbaju hitam yang tadi kita lihat dari jendela. Ia hanya memandangku sekilas, dan mengatakan bahwa ia memesan menu yang sama seperti yang dia makan sebelumnya.

Saat ini aku berpendapat bahwa Andra mengenal wanita itu, dan itulah alasan mengapa ia menjadikan wanita itu sebagai contoh saat aku bertanya padanya tadi. Karena masih banyaknya pesanan, aku hanya mengantarkan makannannya dan meninggalkan mereka berdua. Sesekali mataku mengalihkan pandang ke kedua orang tersebut, sampai tak ku sadari bahwa selama itu pula Bu Rani mengawasiku.

“Bukan pacarnya tuh pasti,” kata Bu Rani yang tiba-tiba berada di sebelahku.

“E-eh Ibuk, kan Ella kaget jadinya,” jawabku sambil mengelus dada.

“Tenang aja, pasti bukan pacarnya mas Andra itu sih, secara duduknya jauhan gitu. Aman, Ella masih aman,” katanya lagi.

“Ih, Ibuk apa sih. Kalaupun itu pacarnya mas Andra juga gak ada hubungannya sama Ella, Buk,” jawabku sambil mengalihkan perhatian ke lauk pauk di depanku.

“Kenapa, orang Ibuk cuma sekedar ngomong sama diri sendiri kok, gak ngajakin Ella,” jawabnya sambil menahan senyum di wajahnya, dan kembali ke arah penggorengan.

Aku akan merasa sangat bersalah jika memang itu benar pacar Andra, karena tanpa sepengetahuan pacarnya, Andra pernah mengantarku pulang. Wanita asing yang entah dari mana asalnya, dan kalaupun aku diminta menjelaskan semua, sudah pasti kujawab bahwa Andra hanya merasa kasihan denganku yang terduduk sendiri di halte, malam itu.

Wanita itu kini menangis tersedu-sedu membuat para pelanggan yang masih ada di resto menoleh ke arahnya. Beruntung jam makan siang sudah mulai mendekati akhir, dan para pekerja telah kembali ke tempatnya masing-masing. Andra memberikan selembar tissue pada wanita itu untuk mengusap air matanya.

Jujur saja aku merasakan suatu hal yang tidak bisa ku jelaskan. Selain itu, memori saat Andra juga memberikanku tissue saat aku menangis juga kembali berputar di kepalaku. Aku harus segera sadar bahwa itu hanyalah sebuah ungkapan dari turut bersedihnya seseorang.

Seandainya saja aku memiliki seseorang seperti Andra di hidupku, orang yang selalu ada saat aku membutuhkan pundaknya untuk bersandar, mungkin aku tidak akan merasakan kehidupan yang melelahkan seperti saat ini.

Senyum simpul seakan menyemangati diriku sendiri, banyak pekerjaan yang harus ku selesaikan. Setelah bergelut dengan banyaknya pesanan, tentu saja aku juga harus menyelesaikannya hingga akhir, ya cuci piringnya.

Pikiranku melayang-layang sembari mencuci satu demi satu piring di hadapanku. Membayangkan berbagai hal yang tidak mungkin akan terjadi di kehidupanku. Berandai-andai jika sebuah kebahagiaan datang kepadaku. Terpikirkan lagi tentang buku usang yang tadi pagi ku baca. Bahkan pemeran utama dari buku itu bisa menemukan kebahagiaan, namun mengapa aku tidak.

“La, jadi berapa tadi pesananku?” Suara berat Andra menyadarkanku dari lamunan.

“Anu, tadi uangnya yang ditinggal masih kelebihan juga kok, ini masih ada kembaliannya juga,” jawabku yang langsung tersadar bahwa Andra tadi meninggalkan uang yang bisa ia gunakan untuk lima kali makan.

“Oh oke kalo gitu, simpen aja kembaliannya,” katanya sambil tersenyum.

Aku tak memandang Andra sedikitpun, melainkan memandang wanita berbaju hitam dibelakangnya. Wajahnya yang cantik nampak sendu, dan masih tergambar jelas bahwa kesedihan menyelimutinya.

Andra berpamitan pada Bu Rani yang sudah istirahat di belakangku, dan mereka berdua meninggalkan resto dengan langkah pasti. Namun lagi-lagi ia selalu memberikan kejutan tak terduga padaku, sama seperti sebelumnya.

“Nanti pulang bareng aku aja ya, La. Mau lanjutin ngobrol yang tadi juga,” kata Andra yang sudah berada di ambang pintu resto. “Aku jelasin juga semuanya,” lanjutnya sebelum beranjak menuju motor yang diparkirnya di depan resto.

Aku bahkan tak mengatakan apapun, apalagi meminta penjelasan. Entah apa juga yang akan ia jelaskan padaku, bahkan aku masih bingung kenapa ia melakukan itu di depan kekasihnya.

Perasaan aneh tiba-tiba menyerang diriku, kepalaku terasa ringan, dan lelahku juga perlahan menghilang. Apakah ini yang dinamakan kebahagiaan?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status