Pak Bondan dan Nyonya Kasih bangun di pagi hari sambil merawat cucunya. Cahaya tumbuh layaknya bayi pada umumnya. Di hari ketujuh anak itu sudah minum susu menggunakan alat bantu yang sangat lunak. Namun, tetap saja Cahaya terlihat seperti kehausan terus menerus. Anak itu keturunan manusia harimau putih, tentu saja …“Ma, kita lihat Amira siang ini. Cahaya kasih saja sama pengasuh. Tadi malam Amira telpon sampai tiga kali nggak Papa angkat,” ucap Pak Bondan.Gilang yang baru turun dari lantai dua tertahan langkahnya mendengar Amira berhasil selamat. Masih ingat lelaki polos itu kata Ratih kalau racun itu sangat ampuh merenggut nyawa orang.“Kamu ini, ya, pantas aja Amira marah terus-terusan sama kamu. Jadi laki nggak ada gunanya, makan, tidur, gaji juga dikasih sama suami saya.”Kasih menyindir menantunya yang tidak punya empati sedikit pun atas kelahiran putri Amira. Yang di atas kertas merupakan anak Gilang. Status penting bagi keluarga Pak Bondan Argani.“Kalau tidak keberatan, sil
Taksaka menembus atap rumah setelah memastikan Cahaya tertidur lelap dengan perisai yang ia tinggalkan. Manusia harimau itu keluar dan menyambut tantangan dari Astina yang telah menunggunya di langit kota tempat tinggal gusti ratu juga anaknya.Senyum merekah dari bibir Astina. Dua makhluk gaib itu melayang di atas langit dengan kain yang beterbangan karena angin. Jika manusia biasa bisa melihatnya, pasti akan menjadi berita viral yang menyebar dalam sekejap mata.“Apa maumu?” tanya Taksaka baik-baik. Sebab perintah yang turun padanya ialah menjaga tuan putri serta gusti ratu sampai Abhiseka sadar. Namun, dalam keadaan terdesak ia diperbolehkan untuk membunuh siapa pun yang menggangu keadaan tuannya.“Aku mau kau,” jawab Astina. Jemari tangannya lentik di udara, seperti seorang penari yang siap menebarkan pesona.“Jangan mimpi kau, kelabang tak tahu diri!”“Menjijikkan isi kepalamu. Kau pikir aku ingin tubuhmu? Aku tak berselera dengan harimau yang bau seperti kalian. Aku ingin kau ma
“Dia kuat, dia akan bertahan, ada alasan mengapa dia aku pilih sebagai pengawal Gusti Prabu. Walau kalian mengalami kegagalan untuk pertama kalinya. Tetap pada pekerjaanmu, Cakrabuana. Kau harus terus memastikan api untuk Abhiseka terus hidup.”“Baik, Guru, lalu bagaimana dengan putri Gusti Prabu? Bukankah Taksaka sedang terluka?”“Taksaka, dia tidak meninggalkan Cahaya begitu saja. Dia memberikan Tuan Putri sebuah perisai yang sangat kuat. Taksaka mati baru perisai itu hilang. Cahaya, nama yang sangat indah. Aku yakin belasan tahun lagi dia akan menjadi gadis yang cantik dan siap menjadi penerus garis keturunan Gusti Prabu, andaikata beliau harus meninggalkan dunia ini.” Wirata menutup matanya kembali. Ia bertapa, sembari memerintah kerajaan yang singgasananya sedang goyah.***Taksaka merasakan sakit yang teramat sangat pada sekujur tubuhnya. Ia ingin bangun tapi tidak bisa. Ingin berdiri tapi untuk bicara saja tidak bisa buka mulut. Suara Cahaya tidak terdengar lagi di telinganya.
Pak Bondan telah tutup usia tanpa meninggalkan jejak racun sama sekali pada tubuhnya. Amira sempat membawa lelaki itu ke rumah sakti. Indikasi penyebab kematian tiba-tiba pemilik kebun teh itu ialah serangan jantung mendadak. Tiga perempuan di dalam sana, Nyonya Kasih, Amira, serta Cahaya merasakan kehilangan yang teramat sangat. Tidak ada lagi lelaki yang bisa dijadikan tumpuan dan tempat melepas keluh kesah. Pemakaman pun dilakukan sesegera mungkin. Aya yang tidak dekat dengan Amira lebih memilih bersama omanya sambil terus menaburkan bunga di makam lelaki yang tidak akan mungkin hidup lagi. Tiga perempuan beda generasi tersebut kembali menggunakan satu mobil yang sama. Terasa sekali kebekuan di antara ibu dan anak itu. Sedangkan Nyonya Kasih masih cukup terpukul dengan kehilangan yang teramat sangat. “Oma, Oma jangan nangis ya. Kan, Aya masih ada di sini sama Oma.” Aya mengusap pundak omanya. Gadis bermata biru yang sering disangka keturunan orang asing itu tidak menangis walau
Sesuai dengan firasat orang tua, oma dari Aya pun pergi selama-lamanya. Menyusul Pak Bondan yang telah lama tiada. Bukan karena keracunan atau apa pun. Melainkan memang sudah waktunya untuk beristirahat dengan tenang. Oma Kasih pergi dengan tenang, di dalam kamar usai mengunjungi Aya untuk yang terakhir kalinya. Wanita baik hati itu memeluk foto keluarga bersama Pak Bonda yang sudah duluan pergi. Cinta yang begitu mendalam dan hanya dipisahkan oleh maut saja. Pemakaman disegerakan. Oma Kasih dimakamkan di sebelah kuburan suaminya. Ramai handai taulan yang datang. Tentu sebagian dari mereka ingin berebut harta waris. Namun, kehadiran Amira yang bertangan besi tidak akan membuat semua pencapaian itu jatuh ke tangan orang lain. Aya memegang nisan milik omanya. Gadis kecil itu tidaklah menangis. Harus ada alasan yang benar-benar kuat untuknya meneteskan air mata. Dia sangat kuat seperti ayahnya. “Oma, yang tenang di sana,” ucap Aya sambil mengelus nisan omanya. Satu demi satu pelayat
Cahaya keluar dari toilet sekolah. Gadis bermata biru yang sering disangka keturunan bule Eropa itu, mengeluarkan lip balm untuk menjaga kelembaban bibirnya. Mata indah warisan Abhiseka itu mengerjap cepat sesaat. Terkadang Aya seperti melihat dirinya dalam wujud yang lain. Seorang putri dengan memakai pakaian sutra berwarna putih sangat halus. Rambutnya diikat dan diberi makhkota. Tak lupa perhiasan yang indah ya gunakan di leher, telinga, lengan bagian atas, lengan bagian bawah, gelang dan banyak lagi. Indah luar biasa, bahkan ia sampai menyangka bahwa khayalan di cermin itu adalah benar dirinya. Lalu wujud di dalam kaca itu menyentuh cermin dengan telunjuk, Aya melakukan hal yang sama, beberapa detik setelahnya sosok asli Aya menghilang. Dia tidak berwujud harimau putih seperti ayahnya. Untuk bisa berubah, Aya harus meningkatkan kemampuan yang hanya bisa dilatih oleh guru dari Abhiseka sendiri. “Jabang bayik, ngagetin aja, sih kamu!” Aya terkejut ketika menoleh ke kiri lip glosny
“Hai, jerangkong, apa kabar, kok kamu baru nongol sekarang?” Aya bukannya takut berhadapan dengan tengkorak yang dihidupkan oleh Astina. Justu ia mengucapkan salam pada yang dianggap ingin berteman dengannya. Kerangka bahan praktek anak-anak IPA itu menoleh ke kiri dan ke kanan. Dia menununjuk dirinya sendiri. Memastikan kalau yang dimaksud jerangkong itu dirinya. “Iya, kamu jerangkong, terus siapa lagi? Kan, cuman kamu yang tinggal tulang aja.” Aya masih mencoba mengalihkan perhatian hantu tak jelas di depannya. Tengkorak yang dihidupkan Astina itu garuk-garuk kepala terus manggut-manggut. Aneh. “Nah, yuk, sini sama aku. Cuman aku yang mau terima kamu apa adanya. Kalau perempuan lain minimal good looking habis itu rekening harus good juga.” Putri Abhiseka meraih tangan tengkorak plastik itu. Gadis bermata biru itu mengajak si jerangkok berjalan, tepatnya ke dekat lemari tempat menyimpan bahan kelasnya praktek. “Masooook,” ucap Aya terus tutup lemari cepet-cepet. Geser meja sama k
Manusia harimau kuning itu menjentikkan jemarinya di depan wajah Aya, bermaksud untuk membuat sang putri tertidur. Namun, tidak menimbulkan reaksi apa-apa pada keturunan manusia harimau putih. Saka lupa kalau gadis itu seorang putri dari majikannya“Apaan, mau lomba jentik jari?” Aya ikut melakukan hal yang sama. Taksaka heran. Ia ulang lagi beberapa kali tapi tak mau juga Aya tertidur. “Ih, seru ginian, sampai pagi pun aku betah. Nggak minat gitu, Om, buka topeng waja—” Belum selesai Aya berbicara, ia sudah lemas tak sadarkan diri. Tubuhnya ditangkap oleh Taksaka. Pengawal itu menggunakan mantra sirep tingkat tinggi untuk makhluk sekelas Aya. Setelah itu sang putri dibawa kembali ke kamar yang tidak berubah sejak Aya masih bayi. Gadis itu dibaringkan di ranjang yang spreinya baru saja diganti. Pada saat itu, pintu kamar putri Abhiseka dibuka oleh Amira. Wanita yang belum memasuki usia 40 tahun itu melihat dengan mata kepala sendiri putrinya terlelap menggunakan sepatu dan seragam