Suro Joyo ingin kembali ke kerajaannya, Krendobumi. Di tengah perjalanan diserang sosok yang sama persis dengan dirinya. Bedanya, yang menyerang berpakaian warna putih, sedangkan Suro Joyo berpakaian warna merah. Suro Joyo jadi-jadian ini samaran dari Badas Wikatra. Badas Wikatra pendekar dari golongan hitam yang memiliki kesaktian luar biasa. Satu kesaktian yang membahayakan, dirinya mampu mengubah dirinya sama persis dengan Suro Joyo sejati! Sebelumnya, dengan cara menyamar sebagai Suro Joyo, Badas Wikatra membunuh Maeso Item dan Trinil Manis. Maeso Item dan Trinil Manis guru Suro Joyo. Badas Wikatra juga telah membunuh kedua orang tua Suro Joyo, Agung Paramarta dan Niken Sari, serta para punggawa Kerajaan Krendobumi. Dalam pertarungan melawan Badas Wikatra, Suro Joyo hampir tewas. Dia ditolong Ki Tambung Bumandala. Pendekar yang dijuluki Pendekar Bisu. Suro Joyo digembleng berbagai ilmu dan kesaktian di Padepokan Carang Giring. Suro Joyo juga menapatkan Mantra Sakti Pemanggil Tombak Bowong warisan dari Maeso Item dan Trinil Manis. Setelah dirasa cukup menguasai ilmu dari Pendekar Bisu, Suro Joyo pamit ke Krendobumi untuk menumpas Badas Wikatra dan pengikutnya. Suro Joyo siap mengembalikan rakyat Krendobumi kembali ke masa kejayaan, makmur, dan sejahtera. Masa kejayaan untuk rakyat jelata, bukan untuk para punggawa. Suro Joyo tahu, melawan Badas Wikatra itu sama saja bunuh diri. Ilmu yang dimiliki Suro Joyo tak seberapa dibandingkan Badas Wikatra. Namun Suro Joyo siap bertaruh jiwa demi menegakkan keadilan dan kebenaran di alam semesta. ***
View MoreSetelah berhasil menyelesaikan kewajibannya di Kerajaan Pulungpitu, Suro Joyo ingin melanjutkan pengembaraannya. Mengembara ke segala penjuru jagat raya untuk menebarkan kebaikan. Namun dia tiba-tiba merasa rindu orang tuanya. Dia berencana kembali ke tempat asalnya, Istana Kerajaan Krendobumi.
Suro Joyo putra mahkota Kerajaan Krendobumi yang dipimpin Agung Paramarta. Beberapa tahun silam Agung Paramarta ingin menyerahkan tahta kepada Suro Joyo. Waktu itu Suro Joyo menolak secara halus dengan alasan ingin mengembara terlebih dahulu untuk mendapatkan pengalaman hidup. Itu hanya alasan. Padahal Suro Joyo memang tidak berminat menjadi raja. Dia lebih memilih mengembara sebagai jalan hidup untuk melakukan kebaikan terhadap seluruh alam semesta.
Orang-orang di dunia persilatan menganggap Suro Joyo pendekar yang aneh. Mengapa dia menolak menjadi penguasa? Mengapa Suro Joyo tidak mau menjadi raja? Jawabannya hanya Suro Joyo yang tahu. Yang jelas, dia pernah berkali-kali mengatakan kepada para sahabat sesama pendekar bahwa dia merasa tidak mampu. Suro Joyo merasa tidak mampu menjadi raja. Dia hanya merasa mampu mengembara ke segala penjuru dunia. Di setiap pengembaraan, Suro Joyo selalu menolong siapa pun yang membutuhkannya.
Dalam perjalanan antara Pulungpitu menuju Krendobumi, Suro Joyo mendengar selentingan kabar yang menyatakan bahwa Kerajaan Krendobumi telah dikuasai sosok raja ambisius bernama Badas Wikatra. Bahkan, menurut kabar lisan dari satu orang kepada orang lain, Agung Paramarta, permaisuri, dan seluruh punggawa Krendobumi telah ditumpas Badas Wikatra!
“Kabar yang tidak masuk akal,” gumam Suro Joyo. “Ayahanda Agung Paramarta itu raja yang cerdas. Beliau tidak mungkin mudah diperdaya begitu saja oleh siapa pun. Beliau pastinya juga tidak akan menyerahkan tahta Krendobumi kepada orang lain yang tidak berhak. Aku yang paling berhak menjadi raja Krendobumi mewarisi tahta dari Ayahanada Agung Paramarta.”
Suro Joyo semangat melangkahkan kaki untuk segera menemui ayah-ibunya. Bukan untuk minta dilantik menjadi raja, tetapi sekadar melepas rindu. Setelah tinggal dua-tiga hari, Suro Joyo berencana pamit kedua orang tua untuk melanjutkan pengembaraannya. Mengembara sebagai jalan hidup. Mengembara sebagai sarana pengabdian tenaga, pikiran, dan kebaikan untuk alam semesta.
Kini Suro Joyo telah memasuki wilayah Krendobumi. Dia menelusuri Bukit Sunyalaya. Bukit yang memiliki sejarah panjang terkait para pendekar sakti di masa lalu. Bukit ini pernah dijadikan ajang pertarungan antarpendekar sakti untuk memperebutkan gelar pendekar paling hebat ratusan tahun silam.
Di bawah bukit ini ada lembah yang menganga lebar. Orang menyebutnya Lembah Maut Siungbowong. Lembah yang telah banyak memakan korban para pendekar hebat ketika lengah dalam pertarungan melawan musuhnya. Ketika lengah, dia tergelincur masuk lembah yang sangat dalam. Batu cadas sekeras baja menanti di dasar lembah sana!
Suro Joyo sedang meresapi cerita Ki Panjong, sahabat Maeso Item. Maeso Item salah satu guru Suro Joyo. Ada guru lain yang pernah membekali Suro Joyo dengan berbagai ilmu silat, yakni Trinil Manis. Trinil Manis istri Maeso Item. Dua pendekar aneh ini selama puluhan tahun bersaing untuk menebarkan kehaikan di dunia persilatan.
Ki Panjong pernah bercerita bahwa siapa saja yang lewat Bukit Sunyalaya, tidak boleh lengah walau hanya sekejapan mata. Begitu lengah, maut sudah siap menerkamnya. Perkataan Ki Panjong itu benar-benar dialami Suro Joyo saat ini!
Sebuah pukulan jarah jauh dari arah samping kanan siap menghantam dada Suro Joyo. Sebuah pukulan maut dalam bentuk sinar warna merah membara berbentuk cakra melesat cepat mengarah dada. Suro Joyo kaget bukan kepalang. Pukulan maut itu sepertinya berasal dari orang yang memiliki ajian sakti yang sangat dikenalnya, Ajian Rajah Cakra Geni!
Suro Joyo melemparkan tubuhnya ke kiri untuk menghindari pukulan jarak jauh yang mematikan itu. Tubuh Suro Joyo terlempar di bebatuan, sinar merah berbentuk cakra menghantam batu hitam sebesar gajah. Batu hitam hancur berkeping-keping diiringi suara ledakan yang memekakkan telinga.
“Ajian ini milikku!” gumam Suro Joyo lirih, yang hanya bisa didengar diri sendiri. “Mana mungkin ada orang lain yang mampu menguasai ajian itu? Kata guru, Ki Maeso Item, di jagat raya ini hanya hanya ada satu orang yang memiliki Ajian Rajah Cakra Geni, yakni beliau. Setelah beliau mewariskan ajian itu padaku, maka tidak ada orang lain yang bisa memilikinya.”
Namun kenyataannya, ada orang lain yang kini bersembunyi di balik bebatuan, memiliki ajian milik Suro Joyo. Suro Joyo pelan-pelan berdiri sambil memandangi debu yang beterbangan di udara. Dia edarkan pandangan ke segala penjuru untuk mewaspadai berbagai kemungkinan. Matanya menyipit karena terpaan sinar matahari yang terik memanggang bumi.
“Hei..., Kisanak..., jangan bersembunyi seperti pengecut yang takut ketahuan kelicikannya!” ejek Suro Joyo. “Kalau kamu laki-laki, tunjukkan kejantananmu! Kalau kamu perempuan, tunjukkan kebetiaanmu!”
Suro Joyo pasang kuda-kuda sambil mengumpulkan segala ingatan tentang para pendekar silat di jagat luas ini. Siapa orang yang mampu memiliki Ajian Rajah Cakra Geni selain dirinya?
“Kisanak Suro,” kata Ki Panjong saat bersama Suro Joyo di Gunung Sumbing beberapa waktu silam, “hati-hati terhadap seorang pendekar sangat licik bernama Badas Wikatra. Pendekar keji dari golongan hitam itu bisa menyamar sebagai siapa saja. Dia punya ajian mantra mahasakti tiada duanya. Dengan ajiannya, Badas bisa menyamar sebagai siapa saja. Ketika menyamar, Badas juga bisa memiliki kesaktian yang sama seperti yang dimiliki orang yang disamarnya. Kalau Badas menyamar sebagai dirimu, dia juga memiliki segala kesaktian yang kamu miliki!”
Suro Joyo tersenyum senang setelah ingat pesan dari Ki Panjong. “Hehehe..., aku sudah tahu siapa dirimu, Kisanak! Kamu sebenarnya seorang laki-laki tua yang dulunya pemimpin Perdikan Tirtawisa berpangkat adipati. Dulunya Tirtawisa termasuk wilayah Kerajaan Krendobumi. Oleh leluhurku, Tirtawisa diubah menjadi tanah perdikan. Sebuah wilayah yang bebas, merdeka, mandiri, tidak terikat dengan wilayah mana pun. Hal itu dilakukan leluhurku atas jasa-jasa leluhurmu dalam memajukan Kerajaan Krendobumi.”
“Tapi sayangnya,” lanjut Suro Joyo, “sejak Perdikan Tirtawisa di tanganmu berubah menjadi wilayah yang membahayakan wilayah sekitarnya. Tirtawisa terletak di perbatasan antara Kerajaan Krendobumi dengan Kerajaan Wanabisala. Luas wilayah Tirtawisa hanya seperatus dari wilayah Krendobumi. Tapi aku tahu, berkat kelicikanmu, beberapa waktu lalu, kamu serang Kerajaan Wanabisala. Wanabisala menjadi wilayah Tirtawisa. Wanabisala di bawah kekuasaanmu. Hebat! Sungguh hebat dirimu, Badas Wikatra!”
“Huahaha hahaha...!” tawa keras terdengar membelah kesunyian bukit bersamaan munculnya sosok pendekar muda berpakaian serba putih. “Memang cerdas sekali kamu, Suro Joyo alias Suro Sinting, muehehehe...!”
Suro Joyo terlonjak kaget melihat tampilan sosok Badas Wikatra. Badas bukan terlihat sebagai sosok pendekar tua berkulit hitam, wajah sangar mengerikan. Badas tampil sebagai sosok Suro Joyo berpakaian serba putih. Sedangkan Suro Joyo sejati sekarang mengenakan pakaian berwarna serba merah.
“Tidak usah kaget, Suro Joyo!” kata Badas sambil tertawa-tawa persis seperti tawa Suro Joyo sejati. “Kini saatnya kamu menyusul orang tuamu, hiaaat!”
Dari kedua telapak tangan Badas melesat sinar merah membara berbentuk cakra. Dua gumpalan sinar merah mengarah Suro Joyo. Ajian Rajah Cakra Geni dari Badas siap menghancurleburkan tubuh Suro Joyo!
***
Dulu Westi Ningtyas pernah membayangkan dirinya bisa mendapatkan cinta Suro Joyo. Lalu dirinya mengebara bersama orang yang dicinta. Westi Ningtyas tertarik pada Suro Joyo bukan karena dirinya putra raja, atau pewaris tahta Kerajaan Krendobumi. Pendekar perempuan yang berparas jelita itu tertarik pada Suro Joyo karena perilakunya yang baik. Tentu saja, juga karena ketampanannya.Ya..., Westi Ningtyas, dan kebanyakan gadis, atau pendekar perempuan tidak bisa memungkiri bahwa Suro Joyo tampan. Para gadis itu tidak ingkar hati bahwa mereka tertarik pada Suro Joyo karena paras tampan yang dimiliki.“Tapi itu dulu..., ya..., aku dulu memang tertarik pada Suro Joyo,” batin Westi Ningtyas. “Sekarang..., aku tahu diri. Aku tidak mungkin terlalu berharap pada Suro Joyo. Dia sekarang menjadi simbol pemimpin besar yang akan merebut kembali tahta miliknya yang diambil secara lisik oleh Badas Wikatra.”Selama beberapa saat Westi Ningtyas terdiam. Berdiam diri. Padahal Suro Joyo menunggu jawaban da
Suro Joyo memperkokoh kuda-kudanya sambil terus menangkisi setiap pukulan lawan. Pandangannya menajam, melihat setiap pergerakan lawan. Lawannya yang seorang perempuan, tapi memiliki ilmu silat tinggi dan tenaga dalam yang mumpuni. Jurus yang digunakan pendekar bercadar ungu bukan hanya untuk menjajaki, tetapi melumpuhkan. Bahkan kalau Suro Joyo tidak hati-hati, bisa lebih celaka lagi.Tiba-tiba penyerang yang bercadar ungu itu melompat tinggi ke udara dalam keadaan tubuh berputar sesar. Putaran tubuhnya menimbulkan pusaran angin beliung yang menggoyahkan keseimbangan Suro Joyo.Tiba-tiba kedua kaki pendekar bercadar bergerak sangat cepat menendang ke arah Suro Joyo kecepatan luar biasa. Suro Joyo harus mundur beberapa langkah untuk menghindari serangan dengan cara bersalto ke belakang beberapa kali.Namun penyerang itu tidak menyerah begitu saja. Dia terus mengejar. Maka Suro Joyo terpaksa menangkis dengan kedua tangan sekaligus. Dia hantamkan pukulan jarak jauh untuk mendorong si pe
Sarenggolo melemparkan pisau bergeriginya ke arah anak buah Dirgayuda berkepala botak. Pisau melesat sangat cepat melebihi kecepatan angin badai. Ujung pisau bergerigi menusuk tengkuk, tembus sampai leher bagian depan. Sarenggolo menggunakan tenaga dalam untuk menarik pisaunya dari jarak jauh. Pisau bergerigi yang semua menancap di leher anak buah Dirgayuda, kini melesat kembali ke dalam genggaman tangan kanan Sarenggolo.Anak buah Dirgayuda ambruk ke bumi sambil memegangi lehernya. Dia berkelejotan menahan sakit. Tak lama kemudian tak bergerak sama sekali.Kematian anggota Pasukan Pemburu yang kepalanya plontos itu membuah Dirgayuda dan anak buah lainnya semakin panik. Mereka berlarian ke segala penjuru untuk menghindari Sarenggolo. Mereka berlarian ke berbagai penjuru mata angin.“Hahahahaha..., kalian mau lari kemana?” teriak Sarenggolo dengan pongahnya. “Mau lari ke lobang semut pun, Pisau Netrakethi ini tak bisa tinggal diam! Pisau ini pasti akan menemukan kalian!” Sarenggolo me
“Kamu mau membunuh kami?” tanya Dirgayuda dengan nada tegar, meskipun nyalinya ciut. Dia takut mati dengan cara yang mengenaskan seperti yang dialami Somblah dan teman-temannya.“Kalau tidak ada yang mau menyebutkan nama pimpinan kalian, terpaksa kulakukan jalan kekerasan,” ucap Suro Joyo tenang. “Rupanya aku harus menjadi algojo kejam untuk orang-orang macam kalian.”Seorang anak buah yang berkepala botak mendekati Dirgayuda sambil berkata lirih, “Sebaiknya kita berterus terang saja, Raden. Si Pendekar Sinting ini akan tega menghabisi kita kalau keinginannya tidak dipenuhi.”Dirgayuda memandang anak buahnya dengan sorot mata penuh kemarahan, “Kamu takut mati?”“Bukan begitu, Raden. Kalau mati, tidak masalah. Tapi kalau mati dengan cara nista seperti Somblah, aku tidak mau.”“Kalau tidak mau, ya sudah, kamu kabur sana!”Anak buah Dirgayuda terdiam. Kabur, meninggalkan Pasukan Pemburu sama saja mencari jalan kematian. Ketika dirinya kabur, maka entah kapan, dan di mana, akan ada seoran
Suro Joyo terlihat tenang menghadapi lawan yang sorot matanya memperlihatkan nafsunya untuk membunuh lawan. Pendekar Kembara Semesta itu memusatkan perhatiannya pada pedang yang berada dalam genggaman lawan. Tentang nafsu Somblah untuk menghabisi orang yang dimusuhi, tidak ambil peduli.“Dilihat dari nafsunya yang sangat besar untuk membunuhku menunjukkan sifat sombongnya,” kata Suro Joyo dalam hati. “Dia seolah-olah akan berhasil menghabisi musuhnya dalam waktu yang tidak lama lagi. Ini kelemahannya. Sekaligus kelengahannya.”Sebelum Somblah mengayunkan pedangnya, tiba-tiba Suro Joyo bergerak sangat cepat. Dia seperti terbang. Ini ajian yang dia peroleh dari Manusia Lumut. Sebuah ajian yang sangat langka. Hanya beberapa gelintir manusia yang memilikinya.Tubuh Suro Joyo melesat bagaikan kilat menuju angkasa. Ketika sampai ketinggian, tiba-tiba tubuh pendekar yang punya julukan Suro Sinting itu melenyap! Tubuh rampingnya seolah-olah ditelan awan biru. Ditelan kegelapan gulita.Dirgayu
“Mau lari ke mana, Suro Joyo?” tanya Dirgayuda sambil tersenyum congkak. “Kemana pun kamu lari, kami akan selalu memburumu.”Suro Joyo terperanjat mendengar perkataan Dirgayuda yang mengandung ancaman. Bukan terselubung, tapi terang-terangan. Dalam hati tertanam berjuta tanda tanya tentang sosok pemuda gagah berwibawa yang berdiri di depannya. Dilihat dari pakaiannya, dia berasal dari kalangan atas sebuah kerajaan.“Kisanak Dirgayuda..., kamu kelihatannya bukan pendekar sembarangan,” kata Suro Joyo tenang. “Siapa yang memerintahkan dirimu untuk memusnahkan Padepokan Carang Giring dan kami bertiga?”Dirgayuda tidak menjawab, tetapi malah tertawa terbahak-bahak. “Kamu tidak perlu tahu siapa yang memerintahkan kami, Suro Joyo. Bagi kami, membawa kepala kalian, adalah tujuan utama. Sayangnya, aku tidak bisa membawa kepala Tambung Bumandala dan Bigar Wadana. Kalau berhasil membawa kepala mereka, akan mendapatkan hadiah yang sangat besar jumlahnya. Bisa untuk hidup sampai anak cucu.”Suro J
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments