Share

08 - Telepon Normal dari Mami Eva

~ Know you like a little attitude. A little spunk, a little gumption. Well baby, have a lot of gratitude. Coz I can be sweet, or poised, Or a little too feisty to function, yeah ~

Potongan nada yang dibawakan oleh NIKI menggema di dalam mobil, Eva mengemudi sambil mematutkan kuku jemarinya di roda kemudi, menikmati salah satu lagu dari penyanyi favoritnya itu.

Lampu lalu lintas berkedip hijau. Butuh beberapa detik menunggu sampai giliran Eva menekan pedal gas, bergerak maju.

How far out does the indigo go? Boy~ let's find out, take the longer way home~” Eva menggumamkan syair sambil menekan pedal gas lebih dalam, melaju di jalanan yang tidak begitu padat.

Tak lama berselang, ponsel di dalam tas Eva bergetar. 

Perempuan itu melirik tas sekilas dan memutuskan untuk membiarkannya, memberatkan konsentrasinya untuk mengemudi. Berpuluh detik kemudian, getaran itu hilang. Tapi hanya sebentar, sebelum benda mungil itu kembali bervibrasi.

Lampu merah berikutnya, Eva sudah frustasi. Beberapa detik setelah lampu menyalang merah dan ponsel sialan itu masih bergetar, Eva akhirnya menekan tombol kecil di bagian kiri bawah roda kemudi, mengangkat telepon dalam mode handsfree.

"Kok susah sekali mau ngangkat telefon sih, Kak?"

Suara Mami menyeruak di tengah padatnya lalu lintas Jakarta. Eva mendengus sambil mengecilkan volume musik.

"Wa'alaikum salam Mamiku sayang ... apa yang bisa anakmu ini bantu?" ucapnya dengan nada yang dimanis-maniskan.

"Kak, ini Bimo nangis nanyain cokelat nya, katanya diambil kamu ya?" Suara Mami terdengar tidak sabar.

Bimo—keponakan Eva, anak dari adiknya, Risna, merupakan balita berumur 3 tahun yang kini suaranya terdengar mengaum dari sisi lain telefon. Eva tersenyum, guilty.

"Iya, hehe, habis tadi dia punya tiga , Mi. Yaudah aku minta satu aja, masa pelit amat."

"Ya ampun, Kak! Kamu itu sudah umur berapa sih, masa masih ngerebut cokelat dari bayi?!"

Lengkingan suara maminya membuat Eva mengernyitkan kening.

"Ya Mami juga ngapain, sih, sampe telepon aku segala perkara cokelat ini? Memangnya Risna nggak bisa nenangin anaknya sendiri?"

"Lho, lho, kok malah nyalahin Risna? Ini kan kamu yang salah. Kamu ini kok ya menyepelekan sekali sih, nggak ada rasa tanggung jawabnya sama sekali ...."

Dan mulailah, ceramah Mami menggaungi telinga Eva.

Mulai dari 'kamu ini anak sulung tapi kelakuannya lebih konyol dari adik-adikmu', lalu 'kamu nggak tau susahnya punya anak', sampai kalimat pamungkasnya, 'Ini lah kenapa kamu nggak nikah-nikah!'.

Eva mengerang sambil memejamkan mata.

"Mi, ini cuma masalah cokelat loh. Kenapa sih Mami harus segitunya ngomong, seakan-akan status Kakak sekarang ini tuh suatu kegagalan yang fatal?" Suara tegas Eva membuat sang Mami memutuskan rentetan omelannya, atmosfer percakapan ini menjadi dingin seketika.

"Maaf, Kak, Mami nggak maksud ...."

"Dari pada Mami marah-marah begini, mending cari solusinya deh, coba kasiin teleponnya ke Bimo, biar aku ngomong langsung sama bocah nya."

Nada suara Eva meluluh juga mendengar permintaan maaf oleh maminya. Tak berapa lama, terdengan kresekan dan suara sesenggukan bayi yang sedang tantrum.

"Hai Bimooo." Eva menyapa balita itu dengan suara ramah.

"Cotat. Imo. Ana."

Eva mengernyit sebentar. Cokelat Bimo mana?

"Maaf ya, tadi Onty  minta satu. Bimo kan masih punya dua? Yang dua itu kemana?"

"Bis." Hah? Habis?

"Kok bisa habis? Bimo makan, ya?"

Bocah itu tidak menjawab, tapi suara kresekan di sambungan itu mengindikasikan bocah tersebut sedang mengangguk. Eva tersenyum.

"Ya udah, besok Tante jemput Bimo di rumah, ya? Terus kita jalan-jalan beli cokelat, yang banyak! Sama es krim juga! Bimo mau?" Eva memainkan nada suaraku seceria mungkin.

Potongan nafas Bimo yang terekam di sambungan telepon ini menandakan moodnya mulai berubah naik, tak lama kemudian Eva mendengar sahutan 'Mauuu' diiringi tawa bocah itu.

Eva tersenyum lagi, puas. Anak-anak ternyata lumayan mudah disenangkan.

Ketika Eva mengira sambungan telepon itu akan diputus, suara Mami kembali terdengar.

"Bimo sudah tenang tuh."

"Mmm." Eva menggumam asal.

Lampu lalu lintas berkedip hijau, membuat Eva segera kembali memberatkan perhatiannya ke arah jalanan lepas.

"Ternyata kamu pinter juga ya, menangani anak kecil."

Kalimat Mami membuat perhatian Eva sedikit terpecah.

"Ya easy lah itu, Mi," ucapnya ringan.

"Mami minta maaf ya, tadi ...."

"Udah, gak papa. Kakak juga minta maaf tadi ngomong balik ke Mami."

Eva menahan napas. Kenapa jadi maaf-maafan begini coba.

"Kak, Mami udah nyerah untuk minta kamu mencari suami. Udah telat, teman-teman seusiamu sudah berkeluarga semua ...."

Kalimat Mami itu menyedot seluruh konsentrasi Eva secara tiba-tiba. Kini Eva menyetir mobil dengan autopilot dalam otaknya.

"Emm ... Oke …?" Eva bingung harus berkata apa.

"Mami rasa kamu nggak butuh suami juga. Kamu sudah sukses, bisa menghidupi dirimu sendiri, bisa mandiri. Itu aja Mami udah seneng banget."

Ah, dada Eva serasa tercenut. Kenapa Mami tiba-tiba ngomong begini, coba?

"Mi ...."

"Dan Mami lihat kamu nggak ada masalah sama anak kecil. Kamu bisa menangani mereka dengan baik, malah."

Otak Eva berpikir keras, menerka akan kemana Mami membawa percakapan ini.

"Kak, nggak lama lagi usia kamu akan nyentuh kepala tiga. Dan tubuh wanita itu ada masanya—"

"Tahan dulu, Mi." Eva memotong kalimat Mami tanpa sadar, menyalakan blinker mobil sebagai tanda untuk berbelok tajam di u-turn, sambil perlahan memutar roda kemudi.

"Mami mau ngomong apa sih sebenernya?" lanjut Eva sambil sesekali melirik kaca spion.

"Kak ... kamu kenapa nggak langsung punya anak saja?"

CKRITGUBRAK!

Mobil Eva terguncang, perempuan itu belum tuntas berbelok ketika tanpa sadar pedal gas ia injak dengan kencang.

"Halo? Kak? Suara apa itu? Kamu nggak papa?" Nada Mami dari seberang sana terdengar khawatir.

Kepala Eva tenggelam di atas setir, napas beradu diiringi suara klakson dari mobil-mobil dibelakangnya. Setelah beberapa detik, kesadaran Eva perlahan pulih dan mobilnya mulai berjalan lagi, perlahan, menyatu dengan lalu lintas untuk kemudian menepi di sisi kiri jalan.

"Kak? Halo??" Suara Mami timbul kembali.

"Mi, udah dulu, ntar disambung lagi. Kakak nggak papa kok, Dah." Eva memutuskan sambungan. Memejamkan mata. Menata nafas.

Parkiran. Panas. Mobil terberet.

Eva kembali ke masa kini, tepat di parkiran kantornya sambil menggenggam snack Joysoy berwarna ungu. Setelah berkedip beberapa kali, Eva tersadar kalau sebentar lagi ada meeting yang harus ia hadiri, sebagai hukuman.

Perempuan itu berjalan kembali ke dalam gedung sambil mengaduk isi tasnya, mencari ponsel.

[Ika, mau makan bareng? Ada yang mau gue obrolin. Penting.] —sent.

Dentingan suara lift yang terbuka membuat Eva hampir menjatuhkan benda kecil itu. Segera, Eva memasuki lift dan menekan tombol berukir angka 8.

Pintu tertutup.

Eva membuang napas sekaligus mengarahkan pikirannya untuk tidak dekat-dekat dengan kejadian siang ini. Biarlah urusan pribadi tetap pribadi. Sekarang, di kantor, urusan pekerjaan adalah dunia berbeda yang harus dipisahkan.

Dalam beberapa tarikan nafas berikutnya, Eva sudah bisa menenangkan diri dan memfokuskan pikirannya pada saat ini. Kerja. Meeting.

Agh, Meeting sial!

Eva tidak suka meeting. Itu bukan porsinya.

Sudah sekitar 6 bulan, Ena men-skip sebanyak mungkin segala pertemuan formal yang ia rasa tidak terlalu berkaitan dengannya. Beberapa meeting ringan yang masih Eva toleransi adalah rapat internal divisi Broadcast, atau gabungan dengan tim Jurnalis dan Media yang membahas materi berita, dimana sudah jelas bersangkutan langsung dengannya.

Untuk yang berat-berat? Sudah ada Pak Adi yang bertugas untuk menangani itu semua. Lagipula, itu bukan tugas Eva. Eva bukan sekretaris, bukan asisten, bukan kepala divisi apa pun, dan juga bukan manajer yang bertanggung jawab atas keberlangsungan segala apa yang terjadi di bawah atap gedung ini.

Eva adalah seorang News Broadcaster. Pembawa berita. Dan itulah fokusnya. Seperti yang disebut tadi, selain hal itu bukanlah porsinya. Eva tidak suka menginjak apa yang bukan menjadi wilayahnya, yang ujung-ujungnya hanya membuang waktu.

Lagipula, kalau meeting ini benar-benar penting, Pak Adi tidak akan semudah itu menepiskan tanggung jawab pada Eva dan lebih memberatkan makan siangnya sendiri.

Tanpa sadar, langkah kaki sudah membawa Eva tepat menuju tujuan akhir. Ruang Utama lantai 8, tempat meeting sialan itu diadakan.

**

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status