“HACHIM!!!”
Eva menggosok hidungnya yang gatal karena bersin. Debu dari sudut planetarium ini sepertinya telah membangkitkan alerginya—atau mungkin, ada yang sedang membicarakannya di luar sana. Entahlah.
“Gimana, Mbak?” tanya Gama yang kini menghampiri Eva.
Pemuda itu mengecek smartphone-nya beberapa kali, hasil memotret sudut-sudut museum dan planetarium ini, sementara Bisma dan Fardi sibuk merekam berbagai lokasi dan ruangan dengan kamera mereka, sebagai bahan laporan dan rekaman untuk episode pilot nanti.
“Kok tanya saya? Menurut kalian sendiri, gimana ini lokasinya?” Eva melemparkan pertanyaan balas pada Gama.
“Hehe. Maksudnya, gimana menurut Mbak Eva, memungkinkan nggak ng
[Aura Finance: Seriusan gosipnya, Kir? Masa sih CEO kita itu ga laku2 karena mandul??] [Kirana HR: SUMPAH, Ra! Gue denger sendiri dari adeknya yang mampir kapan hari itu, Mr. T tuh beneran infertil!] [Aura Finance: Ah, gak percaya gue!] [Kirana HR: Yeuuuhh si Aura. Tanya aja ke Wira. Ya nggak Wir? @Wira Desain] [Wira Desain: apaan? gatau ah jangan tag gw masalah gosip2an begini. gw banyak kerjaan. skip] [Aura Finance: Udah deh, Kir. Jangan nyebar gosip yang gak bener gitu, ntar fitnah jatohnya…] [Kirana HR: ENAK AJA!] [Kirana HR: Nih ya, kalo ga percaya, gue tag langsung aja asistennya si Tersangka. Woy, Nis, sini lu! Bantu gue
"Kapan rabi (nikah) kamu?" Suara Bulik Melda terdengar.Nah kan, pikir Tian. Lelaki itu tersenyum maklum."Belum nemu jodo, Bulik," jawabnya."Halah, alasannya begitu , Im! Padahal dia itu nolak terus lho, kalau mau aku kenalin ke anak-anak gadisnya temenku!" Ibunda Tian buka suara."Ealah, Le ... Le …." Bulik Melda hanya bisa menggelengkan kepala."Makanya, Mas Tian jangan kebanyakan body shaming!
Nisa tergopoh membawa setumpuk shopping bag hitam dengan barisan tulisan putih Ermenegildo Zegna. Ia mendorong terbuka pintu ruangan bosnya dengan punggung, berjalan mundur sambil memejamkan mata mengumpulkan keberanian."Tok-tok, ‘salamualaikum, plis jangan ngamuk dulu …," gumamnya penuh harap."Nisa! Kenapa kamu ‘iya’-kan?!" Gelegar Suara Bastian terdengar.Glek! Wanita muda itu merapatkan ka
Bastian melamun saat mobil yang membawanya berhenti di depan sebuah pintu masuk gedung, di mana terdapat kerumunan manusia bagaikan semut mengerumuni timbunan gula—semut di sini adalah media, wartawan, dengan genggaman kamera serta flash-flash yang berkedip setiap detik, sahut menyahut memanggil nama orang-orang yang berpose untuk menoleh ke arah kamera mereka.Tian mendesah berat dari kursi belakang."Goodluck ya, Mas, semoga perusahaan kita nggak menang apa-apa tahun ini," bisik Gita yang duduk di sampingnya, memasangkan sepasang kacamata bundar di wajah Bastian seraya menyerukan harap yang membuat embusan napas Tian diwarnai tawa ringan.
Beberapa jam sebelumnya ...."Lu yakin ini nggak ke kependekan, Ka?"Eva Sania bertanya sembari mematut diri di depan cermin, tak yakin sepenuhnya akan selera pilihan sahabat karibnya sendiri—Ika.Mereka berdua sedang mempersiapkan dandanan Eva untuk sebuah acara bergengsi malam itu, Mitra Award."Pendek gimana, orang itu rok panjangnya sepanjang jalan kenangan." Ika menyahuti dari sisi lain ruangan, memilah-milah botol parfum yang berbaris rapi di atas makeup drawer."Maksud gue, belahan dadanya! Ini kan Indonesia, anda sopan kami segan." Mata Eva menelusuri potongan bagian torso dari baju yang saat ini ia kenakan.
⚠️ BAB INI BERISI KONTEN DEWASA 21++, HARAP BACA DENGAN BIJAK. ** Lemah. Tubuh itu bagai kehilangan kendali atas tulang-tulangnya. Kasur empuk berlapis selimut dan tumpukan bantal menyambut tubuh lelah pria dewasa dengan lapang dada. Ah, ia bisa merasakan lembutnya bulu angsa yang mengumpul menggumpal, memeluk otot-otot punggungnya yang letih. Seiring tarikan napas, kasur berbulu itu mengembang dan mengempis seirama. Cahaya lampu di langit-langit perlahan menjadi hangat, lebih terang, dan lebih dekat. Sesosok wujud menjelma di depan mata. Diawali dengan siluet, berlekuk, dan detik berikutnya, tubuh wanita berbalut bulu-bulu emas terpampang nyata didepan pria itu. Rambut ikal menggelayuti telinga lancip, bertameng mahkota emas, dan sayap gemerlapan—
Sepatu wedges tebal Eva Sania beradu hantam dengan lantai marmer, menghasilkan ketukan suara yang bergaung di lobby dengan langit-langit tinggi. Cepat, cepat, cepat. "Mbak Eva, 3 menit lagi live mbak ...." Suara wanita yang menyeruak dari belakang meja resepsionis beradu dengan bunyi pip-pip-pip saat tombol di samping lift ditekan-tekan dengan brutal. Eva menoleh dari depan pintu lift, masih menekan-nekan tombol tanpa apun. "Tau Wi, aku tauuuu!" rengek Eva
~ Know you like a little attitude. A little spunk, a little gumption. Well baby, have a lot of gratitude. Coz I can be sweet, or poised, Or a little too feisty to function, yeah ~ Potongan nada yang dibawakan oleh NIKI menggema di dalam mobil, Eva mengemudi sambil mematutkan kuku jemarinya di roda kemudi, menikmati salah satu lagu dari penyanyi favoritnya itu. Lampu lalu lintas berkedip hijau. Butuh beberapa detik menunggu sampai giliran Eva menekan pedal gas, bergerak maju. “How far out does the indigo go? Boy~ let's find out, take the longer way home~” Eva menggumamkan syair sambil menekan pedal gas lebih dalam, melaju di jalanan yang tidak begitu padat. Tak lama bersela