Share

Bab 2: Kamu Bukan Detektif

Farid membuka mata perlahan.

Untuk sejenak, dia merasa habis bermimpi—mimpi yang sekarang tak dapat diingatnya.

Dalam kegelapan, matanya mengerjap. Dia terbangun. Dia tercekat—dia bukan sedang berada di tempat tidur. Oh. Benar juga. Aku masih di pesawat. VTOL Shunmak. Topeng dan baju canggih Shunmak masih dikenakan. Memar di rusuknya masih agak nyeri. Hawa AC terasa sejuk. Irama mesin mendengung rendah. Konsol kendali canggih dengan tombol-tombol bercahaya tersebar di hadapan, lengkap dengan tongkat kendali yang secara otomatis bergerak perlahan dalam mode auto-pilot.

Perasaan Farid pun kembali tenang.

“…”

Pada jendela kokpit panoramis di mana Farid menghadap, terbentang pemandangan menakjubkan lautan awan yang berbayang saat menjelang fajar.

Masya Allah.

Pemandangan itu sejauh ini telah dia lihat tiga kali—rasanya berbeda dari perasaan saat melihatnya melalui pesawat komersil. Pemandangan itu lagi-lagi membuatnya menghela napas dengan perasaan bercampur kagum dan kecil.

Kecil.

Tidak berarti.

Seakan bukan apa-apa.

Seakan bukan siapa-siapa.

Kursi miring yang Farid duduki sedikit bergoyang. Pesawat pribadi canggih yang Insinyur O rancang ini masih melaju pada ketinggian sembilan ribu meter dari atas permukaan laut.

Di cakrawala, langit gelap itu mulai terang.

…Bentar lagi Subuh.

Farid sedang dalam perjalanan pulang.

Yang terlintas dalam pikirannya adalah betapa sekarang dia perlu shalat.   

***

Sementara itu, di kediaman Rully Aprian, yang terletak di suatu perumahan di seputaran Serpong, Tangerang Selatan…

Pip! Pip!

Dengan rambut basah karena baru keluar dari kamar mandi, manajer sekaligus asisten Farid Fajri itu seketika gondok saat melihat notifikasi yang baru masuk ke dalam ponselnya. Rully meraih ponsel yang diletakkan di dekat jendela kamar tidur tersebut. Irama ceria kicau burung yang sengaja Rully pasang—agar setiap notifikasi terasa selaras dengan suasana bersemangat pada pagi hari—tidak membuat perasaannya lebih baik saat melihat nama sang pengirim.

Dahi Rully berkerut saat membaca isi pesan.

Aldo Satpam : [mas rully, maaf sekali ganggu. sepertinya semalam kejadian lagi]

Rully menghela napas panjang. Lalu, dengan sengaja, dia menenangkan diri sebelum mengetik balasannya.

Rully A. : [OK. Nanti sebelum berangkat gw mampir ke pos.]

“Kirim.” gumam Rully seraya mengusap-usap dahi.

Sial. Gue ngerti, ini bukan si Aldo yang salah. Tapi gue sebenernya ngarep dia bisa lakuin sendiri sesuatu soal ini.

Rully pada dasarnya dikenal sebagai orang penyabar. Mungkin karena kesukaannya membaca buku-buku psikologi dan detektif di masa remaja, Rully terbiasa untuk tidak memperlihatkan emosi di wajahnya secara gamblang. Meski demikian, pada saat-saat begini, Rully merasa jangan-jangan justu itu alasan dirinya sering tidak ditanggapi serius sama orang.

“Mmh? Kenapa, Kak?”

Evi, istri Rully, menggeliat di atas tempat tidur. Evi sedang menyelesaikan pelatihan sebagai dokter spesialis bedah di rumah sakit di dekat rumah mereka. Usianya sekitar tiga tahun lebih muda dari Rully. Evi saat itu sedang berhalangan untuk shalat dan baru selesai jaga malam di unitnya. Karena itu, dia sebenarnya belum berniat untuk bangun. Tapi, tetap saja, sebagai istri, dia seakan bisa merasakan kekesalan yang tiba-tiba melanda suaminya.

“Ah, sori. Gapapa kok. Tidur lagi aja, sayang.” Rully berkata dengan ekspresi lembut dan nada netral lagi. “Biar aku aja yang siapin sarapan buat Ezi.”

Ezi adalah nama putra mereka yang baru kelas dua SD. Dia bocah kecil yang sedang di usia yang dipenuhi energi. Karena itu, Rully selalu ingin bisa memberinya perhatian khusus.  

Saat beranjak ke dapur untuk membuka kulkas, barulah Rully menyadari kalau di ponselnya, ada satu notifikasi lain yang belum sempat dia baca.

…Bentar. Gerry Firdaus?

Itu bukan nama yang Rully kenal. Meski begitu, firasat Rully mengatakan kalau dia pernah mendengar nama tersebut di suatu tempat. Membuka jendela chat-nya lebih lanjut, Rully sedikit tertegun dengan gaya bahasa sopan yang orang tersebut pergunakan.

Gerry F. : [Mas Rully, perkenalkan nama saya Gerry]

Gerry F. : [Saya manajer untuk kantornya mba Calista Margita]

Gerry F. : [Saya menghubungi mas Rully berkaitan dengan proposal kerjasama yang mau kami beri]

Gerry F. : [Perihal kerja sama dengan mas Farid Fajri]

Gerry F. : [Kalau bisa, apa kita bisa atur lunch bersama untuk siang ini?]

Rully belum mengenal nama Gerry Firdaus. Namun, dirinya jelas mengenal nama Calista Margita.

Di dunia kerja yang Rully sekarang jalani, ajakan makan siang dari Calista Margita bukan hal yang serta-merta kau tolak.

“…Seriusan?”

Mata Rully membelalak, membaca ulang rangkaian pesan itu lagi.  

Duh. Gue buat ini mesti tanya si Farid dulu. Tapi jam segini dia udah melek belum ya?

***

Farid, pada saat itu, tengah tertegun.

<”Lupakan saja! Kamu yang sekarang itu bukan detektif, nak. Istirahatkan badanmu. Serahkan padaku. Biar aku saja yang cari tahu si mata merah ini siapa.”>

Klek.

Sambungan komunikasi dari Insinyur O itu terputus.

Seketika, Farid terdiam.

Dia…?

Separuh terbaring dalam keadaan setengah telanjang di atas sebuah bantalan bean bag berwarna hitam, di tengah-tengah ruangan unit apartemen one bedroom miliknya sendiri di bilangan Jakarta Timur, Farid Fajri hanya terdiam. Tangan kanannya yang sedang memegang semprotan pendingin untuk menangani memar-memarnya berada dalam keadaan separuh tergantung. Perutnya—yang kencang dan rata dan hampir membentuk six pack—masih berwarna kebiruan di sisi kiri.  

…Pak Doktor enggak marah?

Farid tak tahu harus merasa lega atau kecewa.

Farid sebelumnya yakin pakde tua itu akan menyumpah-nyumpah begitu mengetahui bagaimana gegabahnya dia dalam menangani sayap dan pelontar granat tadi malam. Sesensitif itu si ilmuwan misterius dengan alat-alat ciptaannya. Namun, reaksi Insinyur O ternyata lebih ringan dari dugaan.

Olivia salah. Bahkan aku juga…

Farid menghela napas dalam-dalam, memikirkan ulang semua yang dialaminya semalam.

Masih banyak yang enggak aku pahami soal jalan pikiran orang lain.

Meringis, kata-kata Insinyur O yang diucapkan padanya di masa silam kembali terngiang.

<”Makanya, kamu itu belum siap jadi detektif! Mungkin Shunmak udah bikin kamu kelihatan mirip Batman. Tapi dibandingin Batman asli… kamu ini masih belum ada apa-apanya! Kamu harus sadar diri soal apa-apa yang kamu tidak bisa!”>

Setiap memikirkan Batman, Farid selalu jadi merasa ingin tertawa. Bruce Wayne—identitas Batman yang sebenarnya dalam komik-komik—merupakan manusia yang telah mencapai puncak kompetensinya. Dengan kata lain, bahkan tanpa kecanggihan peralatan maupun bajunya, Bruce masih mampu mengatasi kejahatan dengan ilmu bela diri dan kepintarannya. Dia bahkan punya cukup karisma untuk membangun timnya sendiri. Sedangkan dirinya? Tanpa kostum Shunmak, Farid sadar dirinya bukan apa-apa.

Cerdas tidak.

Punya keahlian khusus juga tidak.

Bahkan aksi Farid sebagai Shunmak—atas perintah Insinyur O—pun sebenarnya terbatas. Shunmak hanya boleh bergerak berdasarkan misi. Shunmak tak diperbolehkan berpatroli diam-diam keliling kota, mencegah kejahatan yang menimpa orang-orang kecil selayaknya Batman dan Spider-Man. Insinyur O beralasan kalau itu karena risiko bocornya informasi tentang Shunmak akan terlalu besar.

Dan  Farid sadar, teknologi masa depan yang Insinyur O kembangkan memang terbilang berbahaya. Boleh dibilang, ini membuat Shunmak jadi lebih mirip agen militer khusus ketimbang superhero.

Kenyataan ini yang lagi-lagi membuat Farid sedikit benci pada dirinya sendiri. 

Separuh terpekur, Farid lalu menyelesaikan perawatan luka-lukanya secara mandiri (berdasarkan pelatihan medis lama yang Insinyur O dulu pernah berikan). Selanjutnya, dia melakukan senam ringan untuk melancarkan peredaran darah. Sesudah itu, barulah dia menyalakan televisi.

Nanti aku perlu cari sarapan…

Sebenarnya, kata-kata Pak Doktor waktu itu sedikit menyakiti perasaannya. Farid sendiri kurang paham apa alasannya. Maka dari itu, Farid sedang merasa memerlukan sedikit distraksi dari kegundahannya.

Televisi layar datar yang terpasang di dinding itu menyala.  Acara kajian keagamaan pun seketika tampil di permukaannya.

Farid mengernyit.

Bahasan acara itu, saat itu, adalah soal akhlak.

Karena banyaknya obrolan yang ditampilkan antara para peserta yang hadir, itu sebenarnya bukan jenis kajian yang biasanya Farid perhatikan. Karena itu, Farid sedikit heran soal apa acara terakhir yang ditontonnya yang membuat dia meninggalkan televisinya di unit apartemen ini pada saluran tersebut.

Akhlak—perilaku. Apa orang-orang yang terlibat perdagangan narkotika itu, yang dihadapinya dalam dua minggu ini, pada dasarnya punya masalah perilaku?

Farid cukup tahu bahwa masalah yang mereka hadapi mungkin lebih kompleks dari yang dia pahami. Tapi, dia tak cukup bijak untuk tahu cara mengatasi masalahnya selain dengan ‘membasmi’ mereka secara langsung.

“Sial.”

Farid memindahkan saluran televisinya, lalu mengamati langit-langit unit apartemennya.

Rasa gundah kian menjalari hatinya.

***

“Dia masih belum pulang, Mas! Tapi, dia kemarin emang bilang kalau enggak usah masak.”

Demikian jawab Bu Nenden, asisten rumah tangga yang dipekerjakan Farid, tatkala menjawab panggilan Rully melalui telepon.

Seperti yang sudah Rully duga, Farid pada jam itu memang masih sedang tak bisa dihubungi.

Karena Farid semalam tak pulang ke rumahnya yang di Bintaro, Rully berasumsi Farid menginap di salah satu unit apartemennya. Masalahnya, apartemen yang mana? Ada beberapa unit apartemen berbeda yang Farid miliki di seputaran Jakarta. 

Atau, malah sekalian menginap di hotel… bareng Olivia?

Rully dengan perlahan menggelengkan kepala.

Enggak. Farid bukan orang yang kayak gitu.

Sesudah menyiapkan sarapan untuk Ezi, Evi, dan dirinya sendiri, Rully hendak mengantar Ezi ke sekolahnya. Dia berdiri di teras—dalam keadaan rapi dan sudah mandi, mengamati sesama tetangganya di kompleks itu yang juga mulai sibuk beraktivitas. Mesin mobil mereka yang terpakir di pelataran sudah menyala. Kondisinya sedang dipanaskan. Ezi masih di dalam—persiapan terakhirnya sebelum berangkat ditangani oleh ibunya.

Cuaca hari itu sepertinya akan terbilang cerah dan berawan. Setidaknya, untuk hari itu, aktivitas mereka tak akan terlalu terkendala oleh cuaca.

Secara iseng, Rully kemudian mencoba memeriksa halaman medsos Olivia Sumirat melalui ponsel. Itu bukan akun yang secara aktif dipantaunya—hanya dia ikuti seperlunya sebatas hubungan yang Olivia punya dengan Farid. Masih tak ada hal mencolok yang perempuan itu perlihatkan pada akun publiknya sebagai pengusaha. Postingan Olivia yang terakhir masih perihal acara seremonial yang diadakan di kantornya di Simatupang beberapa hari lalu.

Hmm. Gue jadi harus ngapain dulu nih? Barusan gue udah ngabarin ke Gerry kalo gue mau tanya Farid dulu. Gue masih bisa kasih update sebelum jam sepuluh. Gue nanti antar Ezi pulang… masih sempet buat nanti ke pos…  

Mungkin karena jadwal sehari-harinya yang fleksibel, Rully sebenarnya ditunjuk sebagai ketua Perhimpunan Penghuni masyarakat di kompleksnya. Harusnya, jabatan itu hanya formalitas. Tapi, belakangan itu, ada suatu masalah tak lazim yang tengah mengganggu lingkungan mereka…

“Mas. Mas Rully!”

Suatu panggilan dari seberang pagar menyadarkan Rully dari pemikirannya.

Seorang pria berkulit sawo matang gelap, berpakaian satpam, dengan wajah seperti agak kurang tidur, telah muncul di depan pagar rumahnya. Dia datang bersama beberapa orang rekan satpam yang lain berpakaian sama.

“…Aldo?”

Rully buru-buru beringsut mendekat saat mengenali pemimpin rombongan yang menjadi tamunya tersebut. Aldo tidak lain adalah satpam kompleks yang sama dengan yang menghubunginya tadi pagi. Usianya dengan Rully kurang lebih sepantaran. Walau Aldo mungkin bukan satpam paling senior di kompleks mereka, usia mereka yang sebaya membuatnya jadi satpam yang paling Rully kenal.

“Ada apa?”

Rully turut memandangi dua satpam lain yang ikut bersama Aldo—sayangnya, wajah dan nama mereka masih belum Rully hafal.

Sebelum menjawab, Aldo terlebih dahulu melirik sekelilingnya. Sesudah itu, dia memelankan suara. Nadanya mendesak.

“…Mas. Ada yang baru lagi, Mas. Baru aja ketahuan.”

“Serius elu?!”

Mata Rully seketika terbelalak—seketika mengerti apa yang Aldo bicarakan.   

“Yang semalam di Blok G, Mas. Yang ini… ini Blok C. Sumpah, tadi pagi, habis Subuh, yang ini masih belum ada.” tutur Aldo kalut sembari menggelengkan kepala. “Baru ketahuannya jam enam tadi.”

Rully menatap dua satpam lainnya, mengharapkan konfirmasi. Tapi, keduanya terlihat sama lelah dan bingungnya dengan Aldo. Pikiran untuk bertanya perihal rekaman CCTV tertahan dengan kelu di lidah Rully, mengingat rekaman mereka kurang membuahkan hasil pada kasus-kasus sebelumnya.

“Kita sebaiknya gimana ya, Mas? Bu Bambang di Blok C udah resah. Kuatirnya ini pertanda kenapa-kenapa.”

***

Farid lagi-lagi memindahkan saluran televisinya ke saluran lain yang menayangkan warta berita.

Karena seluruh televisi di apartemen tersebut menggunakan jasa layanan televisi kabel, ada banyak saluran yang bisa Farid pilih. Termasuk di dalamnya, saluran-saluran luar negeri yang menampilkan acara-acara mereka dalam bahasa-bahasa asing.

Farid saat itu sudah selesai memesan sarapan menggunakan jasa ojek online. Sebelumnya, dia sudah melakukan beberapa set push up. Sekarang, yang perlu dilakukannya tinggal bersiap untuk melakukan aktivitasnya yang ‘normal.’ Tapi, sebelum itu, masih ada beberapa hal yang sebenarnya ingin Farid periksa…

…Masih enggak ada juga. Demikian, Farid membatin, seraya mengamati setiap liputan dan kalimat pada ticker berita yang melintas. Sama aja kayak sebelumnya.

Tak ada satupun berita soal gudang dermaga yang terbakar. Tak ada satupun berita soal beredarnya obat-obatan terlarang jenis baru.

Baik untuk tadi malam.

Baik untuk dua minggu lampau.

Baik dari saluran dalam maupun luar negeri.

Di situs-situs berita di Internet pun tak ada.

Apa yang terjadi? Apa iya ada seseorang, atau sesuatu, yang lagi menutupi segala sesuatu soal narkotika ini?

Farid tertegun.

Gila. Berarti Pak Doktor emang bener soal gimana lawan kita sebenernya enggak main-main.

Ergomine. Itulah nama narkotika jenis baru yang sedang Shunmak lacak.

Apa yang Farid tahu tentang zat ini baru sebatas kalau peredarannya masuk ke Indonesia lewat suatu jalur yang menembus Thailand. Sesampainya di sini, zat itu disebut dengan istilah ‘sedot.’ Menurut Insinyur O, bentuknya mungkin memang mirip sabu-sabu atau crystal meth, tapi efek yang dihasilkannya ke indera manusia berbeda sama sekali…

Farid tahu. Dia yang sekarang takkan mungkin melacak identitas si pria bermata merah. Tak ada akses resmi maupun kemampuan meretas ke segala bentuk basis data terkait. Tapi, Farid setidaknya berharap bisa menemukan jejak soal narkotika baru itu dalam lingkup pergaulannya sebagai selebritas.

Bukankah mereka yang punya uang yang biasa dijadikan incaran untuk obat-obatan jenis ini?

Apa aku bisa ngelakuin ini?

***

Sekembalinya ke kompleks sesudah mengantar Ezi ke sekolah, Rully, dengan diantar Aldo dan seorang satpam lain bernama Reza, meninjau ke apa yang disebutnya sebagai tempat kejadian perkara.

Tanah kosong itu terletak di antara dua bangunan rumah. Tak jauh dari pagar tinggi yang terbuat dari balok-balok beton yang mengitari kompleks. Rumput yang tumbuh di sekitar agaknya kurang terawat. Ada pohon kecil tumbuh dekat sana. Tak ditemukan jejak kaki. Lokasinya tidak jauh dari jalan utama, walau masih terlihat dari sana.

SEdOTerrS

Di sana, di tembok belakang rumah seorang warga yang bernama Pak Sidra, terpampang grafiti buruk rupa berukuran kecil—tapi mencolok—yang dibuat menggunakan cat semprot.

Rully mengernyit saat melihatnya.

Ini? Apaan nih? Sedot?

Rully menghela napas.

Bila hanya satu-dua, Rully mungkin bisa memaklumi. Tapi berulangkali, grafiti sejenis ini muncul di sudut-sudut lain di dalam kompleks mereka. Jumlahnya secara misterius bertambah dalam kurun waktu sebulan terakhir.

Menurut Aldo dan Reza, isi tulisannya selalu sama.

Apa ini artinya? Apa ini maksudnya penanda wilayah? Apa jangan-jangan ini ulah geng motor? Pertanyaan-pertanyaan itu berseliweran di dalam kepala Rully. Dia masih belum tahu harus memulai dari mana.   

“Udah dilapor ke RT-RW, Do?” tanya Rully.

“Pak RT dan Pak RW sama-sama masih enggak mau tahu, Mas. Katanya, kalo emang ulah anak-anak nakal, maka ya emang harus ditangkap basah. Mau enggak mau harus perketat keamanan.”  

Sekali lagi, Rully menghela napas. Kali ini sambil menggelengkan kepalanya. Menanggapi keresahan warga setempat, firasat Rully mengatakan kalau kayaknya persoalan ini sebenarnya tidak sesederhana itu.

Bila ada satu hal baik yang sempat terjadi sejauh ini, maka itu ada pada bagaimana Farid Fajri, sahabat sekaligus atasannya itu, akhirnya menghubunginya lewat telepon.

“…Bro. Ini serius? Kita ada tawaran kerja bareng Calista Margita?”

Dari suaranya, Farid kurang terdengar antusias. Dia malah terdengar letih. Entah apa yang dialaminya semalam. Ini bukan reaksi yang Rully bayangkan. Karena itu, Rully bertekad untuk menggali lebih banyak pada saat menemuinya nanti sebelum acara makan siang mereka.

“Iya! Makanya ntar elo pastiin dateng!” tutur Rully waktu itu dengan nada separuh sewot. “Bro. Elu… enggak ngapa-ngapain bareng Olivia kan semalem?”

“Ya Allah. Enggaaaak! Cuma makan soto betawi aja!”

“Iya, iya. Gue percaya elu kok.”

Rully tahu kalau dirinya termasuk salah satu orang yang dengannya, Farid akan rileks dan membuka diri. Tapi, tetap saja. Di telepon barusan, Farid terasa lebih grogi dari biasanya.

Dia tadi kenapa lagi ya.

Pada saat itu, mata Rully tiba-tiba menangkap saja sesuatu.

Apa itu? …Nomor?  

08091126117881

Deretan angka tersebut, dalam ukuran jauh lebih kecil dan deret rapi dibandingkan keseluruhan grafiti itu sendiri, rupanya tertera pada sudut huruf ‘d’ pada tulisan tersebut.

Rully tertegun.

Rully kemuidan melirik ke arah dua satpam yang menemaninya. Tatapan ingin tahu mereka membuat Rully menyadari kalau baik Aldo maupun Reza sama-sama belum menyadari keberadaan nomor itu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status