Taxi sudah berjalan, melaju dengan kecepatan sedang di Jalan Tentara Palagan menuju Pringgokusuman. Laut yang duduk di depan, terlihat menikmati perjalanan. Melihat ke segala arah, menikmati pemandangan di luar sana, mungkin. Bumi yang tubuhnya sensitif dengan aroma bahan bakar dan parfum mobil, terlihat gelisah di sampingku. Sejak masih bayi dulu, Bumi memang seperti itu. Setiap diajak bepergian dengan mobil atau bus pasti mabuk. Kalau tidak muntah-muntah ya lemas dan berkeringat dingin. Nah, sore ini sepertinya tidak terlalu berat tapi aku tetap berusaha untuk membantunya. Memberikan permen mint, mengajaknya mengobrol ke sana ke mari tentang hobinya, crafting.
Aku tahu, perkara mabuk ini bukan hanya karena faktor fisik tapi juga psikis. Sebenarnya---menurut pendapat Sari---setiap anak mabuk, butuh pengalihan perhatian atau konsentrasi. Jadi, mengobrolkan hobi atau hal-hal yang menyenangkan lainnya, akan membuat perhatiannya teralih dengan sukses. Oleh karenanya,
"Bu, sebenarnya Ayung ada perlu sama Ibu." ungkapku tersendat-sendat karena mati-matian berusaha untuk menghentikan tangisan, "Mas Tyas Bu … Dia punya banyak masalah, Bu."Ibu menepuk-nepuk pundakku penuh sayang, "Lha, masalah apa, Yung? Kalian kenapa … Tyas kenapa?"Lova merangkak dan duduk di pangkuanku tapi Laut segera menggendongnya, mengajak bermain. Demi memanfaatkan waktu dan kesempatan, aku mengambil surat perjanjian hutang Mas Tyas dan surat dari Ratna. Mengangsurkannya pada Ibu dengan air mata yang kian tak terbendung lagi. Rasa sakit di hati ini kian bertambah-tambah, tak terhingga. Sampai hati Mas Tyas melakukan itu padaku. Jahat."Apa ini, Yung?""Itu, Bu … Ternyata Mas Tyas punya banyak hutang, Bu."Sebenarnya hubungan aku dan Ibu baik-baik saja, cukup dekat menurutku. Tapi karena karakternya yang ketus dan kadang-kadang dingin, aku yang menjaga jarak dengan penuh kesadaran. Artinya, tidak jauh tap
Sudah sepi, anak-anak sudah tidur semua termasuk Lova yang biasanya kalau tidur siangnya lebih dari cukup, mulai tidur setelah larut malam. Entah bagaimana, tiba-tiba bayang-bayang Ratna melintasi benak yang penuh sesak oleh Mas Tyas. Kata-kata dalam suratnya kemarin, maksudku. Terlihat nyata di pelupuk mata, seolah-olah dia yang berbicara langsung, menggema di telinga. Oh, semua ini kesalahan Mas Tyas. Sampai hati sekali dia, melakukan semua ini padaku. Berbohong, berkhianat. Untuk apa? Untuk tetap terlihat powerfull di mataku? Ckckckck, lebih mengherankan sekaligus memprihatinkan lagi, dia juga tega berbohong pada Ibu.Apa, Ibu salah apa?Memang benar, kadang-kadang Ibu terlihat dingin dan sinis tapi itu kan, karena kesalahan kami juga? Kesalahannya, sebenarnya. Kenapa nekat ikut aku pulang dulu? Kalau tidak, tak mungkin kami menikah dalam waktu yang secepat itu. Dinikahkan secara paksa, untuk lebih tepatnya. Tak mungkin putus kuliah. Ya, wala
Ya, sudahlah!Biarkan saja Mas Tyas seperti itu. Tak ada gunanya juga aku emosional atau mengamuk sekalipun. Karena apa? Mas Tyas tidak akan pernah tahu itu. Iya, kan? Sekarang, lebih baik berpikir praktis dan realistis. Lebih kuat lagi berpijak pada kenyataan yang ada sesuram apa pun itu. Ibaratnya, harus berani menenggak walaupun lebih pahit berlipat-lipat dari pada brotowali. Benar? Ya. Nah, lebih tepatnya, bagaimana caranya bertahan hidup bersama anak-anak. Oh, mustahil aku menghentikan kehidupan hanya karena frustrasi dengan semua sikap jahat the Crazy Man. Bagaimanapun harus kuat dan tegar untuk mereka. Langit, Bumi dan Lova, mutiara-mutiara hatiku.Mungkin Mas Tyas sedang mabuk?Minimal kesadarannya terindah oleh tumpukan hutang yang segunung Merapi atau Ratna yang mungkin di matanya jauh lebih baik dari pada aku. Oh, mungkin dia juga masih frustrasi dengan usaha kolam lelenya yang bangkrut total dulu? Ah! Entahlah, aku tak tahu. Tak men
Resmilah sudah, mulai hari ini aku tidak punya ponsel lagi. Sudah hancur berkeping-keping di tangan jahat Mas Tyas. Tak habis pikir, apa maksudnya, coba? Kenapa harus dibanting? Kenapa suka sekali merusak barang-barang di rumah, seolah-olah semua itu datang begitu saja dengan jalan sim salabim aura kadabra. Ujug-ujug ada. Oh Mas Tyas, apa yang sudah merasuki jiwanya?Tahukah kalian, apa yang membuat aku bersedih hati? Itu satu-satunya ponsel yang aku punya. Apa Mas Tyas lupa? Jangankan untuk membeli ponsel, sedangkan untuk membayar uang sekolah anak-anak yang bulan depan saja masih berkabut rasanya. Semakin penasaran, sebenarnya dalam diri Mas Tyas itu ada otak dan hati tidak, sih?Tok, tok, tok!"Assalamu'alaikum, Mbak Ayung!" suara khas Dik Uji memberai benang kusut dalam otakku, "Bude, Mbak Lova …?"Sesegera mungkin aku meraih jilbab yang tergantung di balik pintu, memakainya. Memakai kaos kaki, meluncur dengan kekuatan b
Dari sorot mata Ibu aku tahu kalau dia menunggu jawaban alias kejujuran dariku. Tentu saja, aku sangat menghormati itu dan tanpa basa-basi lagi dalam bentuk apapun, aku memenuhi permintaannya. Apa, apa yang harus aku takutkan? Mas Tyas? Tidak perlu lagi."Lho, Bu … Ayung … Itu, warungnya sudah jadi lho, Bu." walaupun gugup, aku tetap berusaha untuk berbicara, "Alhamdulillah, Ayung buka celengan untuk modal."Ibu terlihat semakin bingung, seluruh kulit wajahnya berubah menjadi merah, "Lho, gimana to? Kata Tyas kamu mau pakek uang Ibu dulu? Gimana to ini, yang bener tuh siapa?"Sejujur-jujurnya kukatakan, aku jadi tidak enak hati. Begitu lagunya dia menghadapi Mas Tyas yang sudah berubah menjadi penjahat. Begitu percaya, padahal semua kata-katanya adalah dusta belaka. Oh, andai Ibu tahu, sudah empat malam Mas Tyas tidak pulang ke rumah. Ya dan andai Ibu juga tahu, kalau anak lelaki kesayangannya itu juga sudah berani bersikap jahat terhad
Rasanya sudah sangat lelah tapi tidak mungkin menyerah. Dua puluh juta atau berapapun itu, aku tetap harus mengusahakannya. Itu untuk biaya pendidikan anak-anak lho, mana mungkin menyerah begitu saja. Hanya saja masalahnya sekarang, Dek Puri sudah tidak jualan makanan lagi, sedangkan jualan online-nya juga sudah mau ditutup. Suaminya sudah menjatuhkan larangan katanya, karena baru dalam program hamil anak ke dua. Artinya, satu jalan usaha telah tertutup.Baru saja Dek Puri chat aku, sekaligus meminta maaf karena mendadak sekali memberi tahunya. Tentu saja, aku maklum. Bisa menerima. Namanya juga seorang isteri, harus nurut apa kata suami, bukan? Lagi pula, suami Dek Puri kan bertanggung jawab penuh? Jualan online atau pun makanan kan, hanya untuk pekerjaan sembilan saja. Iya, kan?To: Mbak AyungFrom: Dek Puri[Mbak Ayung, maaf banget ya, Mbak?][Sebenarnya aku nggak enak banget sama Mbak][Tapi gimana lagi, bapake udah nggak bolehin aku
Sungguh, walaupun pihak sekolah memberikan kelonggaran selama tiga bulan untuk kami melunasi tunggakan uang sekolah anak-anak tapi tetap saja tidak tenang. Rasanya seperti dikejar-kejar vampire atau yang lebih menakutkan dari pada itu. Selera makanku switch off begitu juga dengan kenyamanan tidur. Sering terjaga setiap malam atau malah tidak tidur sama sekali di sepanjang malam sampai lemas dan gemetar keesokan harinya. Bagaimana lagi? Saat ini, uang dua puluh juta bukan nominal yang sedikit bagiku. Jangankan segitu, dua puluh ribu saja sudah ngos-ngosan untuk mendapatkannya. Ibarat kata, sampai lolos tulang berulang dari tubuh."Ya, Mbak Ayung?" suara Limas di seberang sana terdengar hangat dan ramah membuat semangatku untuk meminta bantuan kian menguat di dalam jiwa, "Gimana Mbak, kata Dek Lesta kemarin nyariin aku, ya?"Terpaksa. Sejujur-jujurnya kukatakan, aku terpaksa meminta bantuan Limas. Tidak apa-apa lah, selama enam bulan ini tak menarik bag
Rasanya seperti mendapatkan jahitan lima belas di jalan lahir tanpa obat bius begitu menyadari siapa perempuan yang diajak Mas Tyas pulang. Tak salah lagi, dia itu Sari. Iya, Sari. Sahabat dekat aku selain Ajeng dan Dik Puri. Wah, Mas Tyas pasti sudah berstatus sebagai ODGJ, asli. Apa dia tidak tahu kalau Sari itu sahabat dekatku? Lihatlah, tanpa sedikit pun rasa malu mereka begandengan tangan, masuk ke ruang tamu. Oh, mungkin hati kiamat sudah semakin dekat. Mas Tyas bahkan tidak menyapa anak-anak sama sekali. Padahal Lova merangkak cepat untuk menyambutnya, lho. Tapi dia bergeming seolah-olah Lova bukan anak kami."Mas, tolong jaga Adek sebentar, ya?" kataku pada anak-anak, "Mama mau ketemu sama Ayah dulu. Ya?"Langit menarik tanganku, memandang dengan sorot mata penuh kekhawatiran, "Mama yakin?"Aku mengangguk, memejamkan mata. Membuka mata kembali dan memandangi anak-anak cintaku satu per satu. Yakin. Hatiku sudah yakin dan sekarang juga ha