Kini gantian aku yang bersedekap. “Oh, benarkah? Lihat siapa yang bicara sekarang? Kamu pikir dengan menyalahkanku, kamu bisa cuci tangan dan enggak ikut andil sedikitpun membuat anak kita kenapa-kenapa? Kamu yang pergi sama pria lain. Ingat itu!”
“Tadi itu cuma makan siang biasa, berengsek!”
Aku mengabaikan Rati. Kembali ke dapur. Menghadapi meja makan yang penuh dengan kentang goreng. Rati menyusulku, memaksaku untuk mendengarkannya.
“Jangan abaikan aku! Dengar, itu tadi cuma makan siang biasa. Kami pergi ramai-ramai, tapi tidak ada yang mau ke restoran itu kecuali aku. Atmi berbaik hati menawarkan diri untuk mengantarku. Apa itu salah? Kami bahkan tidak makan siang di tempat. Hanya beli dan langsung pulang.”
Aku mencocol sepotong kentang ke saus sambal, lalu mengunyahnya sambil terus menatap Rati. “Aku tidak akan pernah tahu kamu jujur ataupun berbohong saat ini,” ucapku kemudian.
“Aku bisa g
Kenapa naga terbang? Karena sebagian besar dari rekan sesama aktor dan aktris yang bermain di FTV bersamaku adalah orang-orang yang sama yang sebelumnya bermain di serial kolosal yang menampilkan naga-naga animasi, yang harus kuakui, memang menggelikan. Animasi berkualitas rendahan yang tidak masuk akal dan editing yang alakadarnya membuat usaha keras aktor dan aktris di tengah kekosongan berupa bidang hijau yang besar, membayangkan keberadaan makhluk ajaib sambil terus berakting sesuai arahan sutradara, menjadi sebuah kesia-siaan.Aku bertahan di kafe itu sampai menjelang waktu tutup. Makanan gratisku tentu saja sudah lama habis. Namun, aku masih harus membayar untuk beberapa gelas minuman—hanya jus dan kopi, bukan alkohol karena aku masih harus berkendara pulang ke rumah—yang kupesan sendiri.“Sudah siap pulang, Mas?” Pertanyaan itu membuat aku berbalik dan menemukan si cewek yang sudah bekerja keras sepanjang malam ini. Tidak ada senyum di wa
Setelah hari-hari tanpa bercinta yang begitu membebaniku, sesuatu yang mengejutkan kemudian datang padaku. Bapak, si pemilik pusat kebugaran Daimen menemuiku lagi dan rupanya selama ini dia ingin menawariku menjadi wajah dari Daimen. Yang dimaksudnya sebagai wajah adalah dia akan merekrutku sebagai model—utama dan satu-satunya—di pusat kebugaran ini. Wajah dan tubuhku akan tampil di iklan yang akan ditayangkan melalui akun Instagram dan Facebook khusus. Tugasku hanyalah berolahraga sambil difoto atau direkam, kemudian mengucapkan sebaris kalimat yang sudah dirancang oleh tim yang bekerja di balik layar. Karena keuntungan yang ditawarkan cukup menggiurkan dan hal ini bisa menambah panjang daftar prestasi di dalam portofolioku.Silih berganti ada sebaris pelanggan Daimen yang menonton selama diriku direkam saat sedang mengangkat barbel atau tengah berlari di atas treadmill. Beberapa orang akhirnya menyadari bahwa ada seorang bintang di tengah-tengah mereka
Setelah puas menertawakan Cahyo yang diseret oleh tiga teman barunya, aku masuk lagi ke ruang ganti untuk berpakaian. Di tempat yang sebagus dan selengkap ini, kamar mandi dan ruang ganti yang terpisah adalah kekurangan besar. Kalau saja aku punya kesempatan untuk merombaknya, maka yang paling duluan sekali akan kuperbaiki dari tempat ini adalah menyatukan ruang ganti dan kamar mandi.Selesai berpakaian, aku hendak meninggalkan Daimen tapi seseorang mencegatku. Cewek yang biasanya menyapaku di lobi, di balik meja resepsionis. Kalau tidak salah namanya Gina.“Bisa bicara sebentar?” tanyanya.Aku berhenti dan mengikutinya untuk duduk di sofa yang diletakkan di sudut lobi. Setelah kami duduk berhadapan, Gina tidak langsung bicara seperti yang dia inginkan. Aku dibuatnya menunggu cukup lama.“Bisa lebih cepat? Aku harus pulang sekarang juga,” kataku dengan sedikit kesal.“Aku tidak peduli ada perjanjian apa pun yang kau bu
“Kalau enggak muat terus dipaksakan, nanti bisa robek. Bahaya. Percuma pakai pengaman kalau isinya tumpah ke mana-mana.”“Idih!”“Kamu sudah besar, Xai. Ayah mencoba melakukan sesuatu yang dibutuhkan oleh anak-anak remaja sekarang dari orangtua mereka tapi enggak dilakukan karena dianggap tabu. Kamu seharusnya dengarkan baik-baik,” keluhku.Xai akhirnya melepaskan bantal dari wajahnya, tapi diam saja tidak menanggapiku. Dia menatap langit-langit yang sesekali bersinar karena pantulan cahaya dari kendaraan yang sedang melintas di depan rumah kontrakan.“Kalau ternyata ukuran standar yang dijual di pasaran enggak muat buat kamu, terpaksa kamu cari di internet. Beli ukuran yang lebih besar, kayak Ayah.”Xai menatapku sangsi, lalu dia kepalanya bergeleng-geleng tak percaya.“Kenapa? Mau lihat?”“Ayah!”“Kalian bisa diam enggak, sih! Ini sudah lewat tengah
“Jadi Ayah sekarang kerja di pusat kebugaran?”Kulirik Xai. Tidak perlu kutanya dari mana dia tahu, sudah pasti dia bisa mendengarkan perdebatan sengit kami dini hari tadi. Aku mengangguk saja sebagai jawaban untuknya.“Aku ikut ke sana boleh, Yah?”“Kalau kamu mau serius, Ayah bisa jemput kamu sepulang sekolah. Tapi, bukannya kamu harus belajar main gitar di rumah temanmu?”Xai mendesah kecewa, tetapi dia tidak menyerah. “Kalau malam bisa, Yah?”“Kamu harus belajar, Xai,” potong Rati.“Aku sudah belajar di sekolah, Buk.”“Kamu masih harus tumbuh tinggi, jangan dulu membentuk tubuh.” Alasan yang digunakan oleh Rati amat sangat salah. Entah dari mana dia mendengar hal semacam itu, tapi itu sama sekali tidak benar. Tidak ada hubungannya berolahraga di pusat kebugaran dengan pertumbuhan tinggi badan. Kalau dilakukan secara berlebihan, ya itu beda lagi cer
Tabungan? Dari mana ia tahu?Rati! Siapa lagi kalau bukan dia!“Karena kamu masih ragu, sepertinya aku harus membatalkan rencanaku.”Aku gelagapan dibuatnya. “Jangan, Pak!”“Jadi?”Aku mengesah. Daripada tabunganku yang harus menjadi tabungan, tidak ada jalan lain selain menerima tawarannya. “Aku akan tinggal, Pak. Aku akan menetap. Aku akan bersama Rati dan Xai. Jangan batalkan rencananya.”Untuk pertama kalinya selama pernikahanku dan Rati digelar, mertuaku tersenyum kepadaku. Bahkan ketika Xai dilahirkan dengan selamat pun ia tidak berbaik hati untuk mengulas senyum padaku. Wajahnya tertekuk, bibirnya terlipat dan disembunyikan dengan baik di balik kumis tebalnya.“Tadinya aku ingin memberimu bantuan modal dan memulai usaha sendiri begitu mendengar kalian akan pindah ke sini, tapi kudengar dari Xai tabunganmu sampai ratusan juta jadi kubatalkan niatku. Apalagi sekarang kamu suda
“Tadi bapakmu nanya, kapan Xai dikasih adik.”Ucapanku membuat Rati langsung menoleh. Wajahnya tiba-tiba merona. “Terus kamu jawab apa?”“Ya kubilang saja kami sudah berusaha setiap malam, tapi belum berhasil.”“Orang gila,” seru Rati padaku.Aku hanya menatapnya. Kenapa jadi aku yang disalahkan? Padahal aku hanya menyampaikan hal yang sebenarnya. Yah, memang beberapa hari kami sempat libur, tapi kalau dihitung sejak kami mulai berhubungan lagi sehabis Rati melahirkan Xai, itu hari-hari kosong tanpa bercinta itu tidak ada apa-apanya.“Kamu bisa bilang kalau aku sibuk di sekolah, atau kamu keasyikan cari kerja, atau yang lainnya. Enggak usah harus jujur segala kamu bilang usaha tiap malam! Mau ditaruh di mana mukaku ini kalau ketemu Bapak lagi? Pantas saja seharian tadi Bapak enggak mau lihat aku setiap kali bicara. Semua gara-gara kamu rupanya!”Aku sudah kehilangan minat untuk mend
Kuabaikan rasa sakit di tanganku. Darah di mana-mana tapi itu tidak lagi penting bagiku.Rati menjerit. Hanya Tuhan dan dirinya sendiri yang tahu apa alasan di balik teriakannya yang membahana itu. Dirinya lantas menarik tanganku, membawa aku masuk ke dalam rumah. Dia tidak membiarkanku memberontak dan pergi. Rati meminta Xai mengambilkan kotak obatSetelah mengobati lukaku, Rati terdiam menatapku. Cukup lama dia bungkam, sampai akhirnya dia menepuk kepalaku sekuat tenaga.“Apa-apaan!”“Ibuk!”“Aku sudah tidak tahan lagi menghadapi kamu, Owen. Aku capek!”Tindakannya membuat aku justru berbalik terdiam.“Aku tidak tahu harus melakukan apa lagi untuk membuatmu kembali waras. Kamu sudah mempermalukan aku di depan semua orang, mempermalukan dirimu sendiri juga.”Aku tidak pernah direndahkan seperti ini seumur hidupku. Dibuang oleh orangtua sendiri rasanya tidak sebanding dengan apa y