Share

ADIMAS HARTANTO

Penulis: Channa
last update Terakhir Diperbarui: 2021-06-28 19:59:03

Adimas menerima kabar dari Lukman kalau Andini melarikan diri sewaktu baru tiba di bandara. Ada rasa takut yang mencuat, setelah delapan tahun tidak bertemu dengan anak semata wayangnya, Lukman berpikir kalau Adimas pasti akan marah besar. Kelalaiannya dalam menjalankan tugas, tak akan bisa menghindarinya dari masalah.

“Hahaha,” di ujung telepon, Adimas tertawa. Muncul seutas senyum pada bibirnya saat mendengar penjelasan Lukman tentang apa yang terjadi. “Ibu dan anak sama aja. Karena sifat mereka sama, kupikir sesekali kau harus membiarkannya.”

“Tapi, Bang,” potong Lukman. “Kurasa kita tidak bisa membiarkannya. Pasti Andini akan bertindak lebih dari ini selanjutnya. Dengan polah tingkahnya itu, sesekali ia harus didisplinkan. Abang tahu bukan kalau Eka memanjakannya selama di Singapura. Kuliahnya pun tak selesai.”

Adimas menghela napas. Ingatannya akan anak semata wayangnya itu kembali bermain-main di kepala. Hidup mereka dulu baik-baik saja. Jauh berbeda setelah kematian Melisa. Kejadian itu adalah kesalahannya. Harusnya, di dalam bisnis, ia tak mesti melibatkan keluarga. Identitas keluarganya bocor karena adanya penyusup yang menjebol pertahanan dari dalam. Melisa, isteri yang sangat dikasihinya, rela menjadi perisai saat maut menjemput. Adimas tak lupa akan itu. Hanya Andini, satu-satunya penyemangat saat ini. Tak ada yang lain.

“Aku cukup bersyukur Andini rela pulang ke Indonesia walaupun aku tahu dia sangat membenci ayahnya. Sudahlah, biarkan saja dia. Selama dia baik-baik saja, aku sangat bahagia. Oya,” tiba-tiba mimik Adimas menunjukkan kalau ia sedang mengkhawatirkan sesuatu.

“Ada apa, Bang? Apa sesuatu sedang terjadi?” Lukman sadar dengan warna suara Adimas yang tiba-tiba berbeda.

“Jangan sampai rekan bisnisku tahu kalau Andini ada bersamaku sekarang. Aku tak ingin setengah duniaku pergi selamanya.”

***

Pak Ramlan melirik ke spion yang berada di samping atas sebelah kiri. Ia memandang Andini yang sedari tadi membuang muka ke luar jendela. Matanya sayu. Inilah wajah Andini yang sebenarnya. Sepi telah mengutuk kebahagiaannya. Baginya, hidup bahagia adalah harapan yang sia-sia. Ia tak akan pernah bisa merasakan itu. Ada sedikit iba yang timbul dalam hati Pak Ramlan. Sebagai satu-satunya orang yang bekerja paling lama dengan keluarga Adimas, jelas ia tahu kalau Andini yang dulu kini tak ada lagi. Gadis cantik di belakangnya adalah gadis kesepian yang hanya berharap pada kematian.

Sejak di dalam mobil seraya dua pengawal duduk di sampingnya, ia hanya membuang mukanya ke arah jendela. Tak sekalipun pandangannya mengarah ke Pak Ramlan, padahal sopir keluarga itu sangat ingin bertemu mata dengan Andini yang sudah dianggap seperti anaknya sendiri. Sejujurnya, Pak Ramlan ingin sekali membuka percakapan. Seketika, niat itu diurungkan. Ia tahu, Andini tak akan bersuara. Sampai kedua pengawal tersebut pergi dan membiarkan mereka berdua untuk bernostalgia.

Liam memandang lurus ke depan. Matanya sejurus menatap lekat-lekat Marcedez Bens yang tadi melaju kencang dan membuatnya cukup kewalahan. Ia me-reka ulang kejadian tadi. Kejadian di mana matanya beradu dengan mata Andini. Mata itu sangat meneduhkan. Tak ada dendam di dalamnya.

Kalimat terakhir yang diucapkan Pak Leo di Barry Cafe kemarin, tiba-tiba terngiang di kepalanya. Tanpa jeda, segera ia buang jauh-jauh pandangan itu dan tetap mengutamakan dendam sebagai tujuan.

***

Adimas melihat foto pengawal satu persatu yang dikirimkan oleh Lukman. Sejatinya, setelah kehilangan Melisa, ia cukup memperhatikan siapa saja orang-orang yang akan bekerja untuknya. Sudah cukup kehilangan satu orang. Setengah dunianya waktu itu seolah runtuh dan gedung-gedung di dalamnya hanya tersisa bangunan tua dan debu yang berserakan.

Jemarinya perlahan mengusap foto demi foto pada layar di ponselnya. Wajah yang tertera di foto tersebut sangat ia perhatian seksama. Baik dari segi rahang, pancaran mata, postur tubuh, bentuk lengan, kaki yang jenjang dan hal-hal lainnya harus diperhatikan untuk memastikan bahwa Lukman juga Hasan tak salah mengajukan orang yang akan menjadi pelindung anaknya.

Jemari Adimas tiba-tiba terhenti saat melihat wajah Liam. Ia seolah pernah melihat wajah ini entah di mana. Wajah yang penuh dendam, juga keinginan kuat untuk bertahan. Rahangnya sangat tegas, tatap matanya sungguh tajam, dan bentuk tubuhnya cukup kurus sebagai pengawal andal.

Untuk mengobati rasa penasarannya, Adimas mengirim ulang foto Liam kepada Lukman untuk meminta penjelasan. Tak berapa lama, sebuah panggilan masuk dari Lukman segera diterima.

“Bang.” Lukman memulai pembicaraan.

“Apakah pengawal yang kukirimkan barusan betul-betul kita percaya?” keraguan Adimas diucapkannya tanpa ragu. Sebab, jika ia ragu, mungkin segala yang dimilikinya akan hilang.

“Liam adalah sosok yang paling dibanggakan oleh Hasan. Dari Hasan, aku tahu, Liam menguasai tiga jenis bela diri. Bela diri yang paling dikuasainya adalah silat. Untuk Jiu-jitsu dan karate, keduanya pelajari sebagai pelengkap. Bang Dimas tak perlu khawatir. Andini akan baik-baik saja.”

“Bukan itu yang kumaksud.” Adimas perlu menjelaskan lebih lagi. Lukman seperti tak paham dengan apa yang dibahas olehnya. “Wajahnya seolah kukenali. Aku seperti pernah bertemu dengannya entah di mana. Dan wajah itu, sangat mengusik pikiranku.”

Lukman tersenyum. Kemudian menjelaskan, “Abang tidak percaya dengan Hasan? Ayolah Bang, lebih dari tujuh tahun, setelah kematian ibunya Andini, kinerjanya tidak pernah mengecewakan kita. Abang tahu itu bukan?”

Mendengar penjelasan Lukman, masih ada keraguan yang timbul di benak Adimas. Ia tidak bisa mempercayai Liam begitu saja. Musuhnya ada di mana-mana. Salah-salah mempercayakan Andini kepada orang tak tepat, ia bisa kehilangan seluruh hidupnya. Ia harus memastikannya secara langsung.

“Oke, Lukman. Kuserahkan segala yang berhubungan dengan Andini kepadamu. Tetaplah menjadi Lukman yang kukenal dan selamat bekerja.” Adimas menutup teleponnya.

Di seberang sana, Lukman menggeleng pelan. Ia paham dengan kekhawatiran Adimas terhadap putri tunggalnya. Namun segala sesuatu yang terlalu dalam dipikirkan, justru malah akan menambah beban.

Adimas kembali menerima pesan foto dari Lukman. Pesan itu terdiri dari tiga foto yang menampilkan sertifikat keahliannya. Tiga bukti yang cukup kuat itu pun tetap tak bisa menambal rasa kejanggalan yang muncul dalam dirinya. Ia tetap harus berbuat. Ia harus memastikannya sendiri. Bagaimanapun, hanya Andini, satu-satunya keluarga yang dimilikinya sekarang.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Between Revenge and Love   PERSIMPANGAN

    Apa yang akan kau lakukan jika kejadian yang pernah menghancurkan persahabatan serta masa depan orang lain kembali terulang?Di perjalanan pulang, Michelle menyandarkan kepalanya pada kaca mobil taksi yang mengantarkannya ke rumah. Rasanya, saat ini, ia ingin memuntahkan makanan yang baru saja disantapnya tadi. Ia menyesal. Seharusnya ia mampu mengalahkan rasa penasaran itu dan membiarkan ketidaktahuannya akan perasaan Andini sebagai pecutan untuk meraih hati Liam.Pendar lampu kota tak mampu menyilaukan pandangan matanya. Matanya memang memandang ke luar jendela, namun ia tak mengamati apa pun. Pikirannya berhasil menguasai tubuh. Sepanjang perjalanan, lalu lalang kendaraan tidak mampu menghancurkan konsentrasinya.Ingatan lama itu tiba-tiba kembali berputar dengan runut.Di selasar lantai dua, Michelle remaja tersenyum senang mengamati Andini yang tengah duduk sendirian, termangu menatapi kesedihan mendalam. Kepala Andini menduduk hingga rambut lurusnya

  • Between Revenge and Love   TERULANG LAGI

    Trauma pasca penyerangan itu membuat Andini jadi takut untuk berkeliaran sendiri. Ingatannya tentang bagaimana Liam ditusuk dan disaksikan dirinya sendiri, mampu menciptakan mimpi buruk baginya.Sebelum mentari terbenam, Michelle tergopoh-gopoh mencapai ruangan di mana Liam dirawat. Pandangan kedua gadis itu bertemu. Dua gadis yang sama-sama mencintai Liam, yang saling tak mau mengalah.“Bagaimana keadaannya?” mata Michelle nanar menatap orang yang dikasihinya tak sadarkan diri. “Apa yang sebenarnya terjadi?”Andini menatap Michelle lekat-lekat. Jelas, tanpa diberi tahu, harusnya ia tahu tanpa perlu bertanya lebih jauh. Ia benci pertanyaan itu. Sangat membencinya. Manusia mana yang ingin dilahirkan sebagai penyebab celakanya orang lain?“Jelaskan padaku apa yang terjadi, An,” desak Michelle serius.“Perlukah aku menjelaskannya?” Andini menatap Michelle sejurus, sepasang matanya menyala tajam.“Itu kewajibanmu.”“Bagaimana jika aku tidak mau?”Keduanya bersitatap. Sama-sama meneguhkan

  • Between Revenge and Love   PECUTAN

    Iring-iringan mobil serba hitam milik Adimas menguasai jalan. Pak Ramlan begitu iba saat melihat Andini memeluk Adimas karena trauma atas apa yang terjadi. Isak tangis memenuhi seluruh ruang di mobil. Sementara Adimas, hanya bisa mengelus-elus pundak anak semata wayangnya itu. Dalam hati, dirinya begitu marah. Harga dirinya sebagai seorang ayah begitu disayat-sayat. Ia nyaris gagal melindungi anaknya.Sebetulnya, ia memang senang jika Andini menghampiri dan memeluknya. Akan tetapi, menurutnya—momen menakutkan seperti ini sangat tidak pas untuk diapresiasi. Lima menit saja ia terlambat, mungkin Hendri pun sudah merenggang nyawa. Pistol yang dipegang Hendri berhasil direbut oleh musuh entah bagaimana. Sementara Dave sudah kehabisan tenaga dan tidak kuat lagi untuk melawan.Tubuh keduanya dihiasi luka-luka saat bala bantuan tiba. Samuel, Tama, dan Liam segera dibawa ke rumah sakit untuk mendapatkan pertolongan. Setelah mengetahui kalau Liam terlu

  • Between Revenge and Love   EGOISME YANG DIREDAM

    Sebuah peluru keluar dari selongsongnya tepat saat beberapa orang hendak memukuli Liam yang lemah terkena tusukan. Suara tembakan menggema di tengah kesunyian jalan itu. Hanya beberapa pengendara yang lewat serta melintas tanpa berani untuk turun tangan. Pengendara mana yang berani melawan para penjahat yang menyerang mereka berlima?Serentak, sepuluh manusia bertopeng yang masih tersisa urung melakukan niat mereka untuk menghabisi Liam. Hendri tidak main-main. Ia siap mengeluarkan seluruh peluru pada pistolnya jika memang itu diperlukan. Dengan terpaksa, sepuluh orang itu mundur perlahan.Dave dan Hendri yang masih sadar sepenuhnya, menghampiri Liam dan membantunya untuk berdiri. Tangan kanan Hendri masih menodongkan pistol ke arah para musuh.Nafas Liam tak beraturan, ia menahan perih dari punggung belakangnya yang terus mengeluarkan darah segar. Sekuat tenaga, dengan sisa tenaga yang ada pada dirinya, ia berupaya untuk berdiri, m

  • Between Revenge and Love   KIRIMAN

    “Apa-apaan ini! Siapa mereka?” Tama panik. Sebab, inilah kali pertama ia merasakan berada dalam situasi nyata tugasnya sebagai pengawal.Satu per satu, orang-orang berpakaian serba hitam yang lengkap dengan penutup wajah—mulai turun dari mobil sambil membawa benda tumpul dan beberapa senjata tajam. Tanpa melihat siapa di balik topeng hitam yang seragam itu, Liam jelas tahu, kalau mereka tidak hanya ingin melukai, tapi menghilangkan nyawa dengan bengisnya.“Jangan keluar dari mobil sampai saya memberikan perintah!” Liam memberikan instruksi pada Samuel. Tak lama, terlihat jelas di matanya—kepala Andini menoleh ke belakang.“An, aku pasti tidak akan membiarkanmu terluka.” Liam berjanji pada dirinya sendiri. Nyawanyalah yang akan menjadi ganti.“Apa yang harus kita lakukan?” tanya Hendri dengan tatapan penuh harap. “Kita harus menyelamatkan Nona Andini b

  • Between Revenge and Love   PATAH HATI TERHEBAT

    Mata Samuel tidak dapat beralih sedetik pun. Begitu anggunnya Andini ketika turun dari kamar. Tangannya dihimpit oleh Bu Laksmi, selaras langkah mereka saat menuruni anak tangga. Kondisi Samuel lebih-lebih daripada orang yang terkena hipnotis. Ya, penampilan Andini saat ini sangat menghipnotis dirinya.Khayalan nakal Samuel mulai bermain-main di kepala. Ia membayangkan kalau tadi pagi mereka resmi menikah dan malam ini adalah malam pertama yang panjang. Tubuh Andini mendarat mulus di ranjang, lalu sampai pagi Samuel memandangi wajah orang yang dikasihinya itu dan menjadi orang pertama yang berada di sisi Andini kala ia membuka mata. Ia sangat berharap khayalannya itu bisa menjadi kenyataan.Lain halnya dengan Liam. Kala melihat penampilan Andini yang begitu memesona, justru hatinya semakin sesak—tercabik-cabik hingga nyaris menangis. Ia menyesal. Sangat menyesal. Penampilan Andini dianggapnya sebagai karma tercepat dan tersakit yang pernah dir

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status