Share

ADIMAS HARTANTO

Adimas menerima kabar dari Lukman kalau Andini melarikan diri sewaktu baru tiba di bandara. Ada rasa takut yang mencuat, setelah delapan tahun tidak bertemu dengan anak semata wayangnya, Lukman berpikir kalau Adimas pasti akan marah besar. Kelalaiannya dalam menjalankan tugas, tak akan bisa menghindarinya dari masalah.

“Hahaha,” di ujung telepon, Adimas tertawa. Muncul seutas senyum pada bibirnya saat mendengar penjelasan Lukman tentang apa yang terjadi. “Ibu dan anak sama aja. Karena sifat mereka sama, kupikir sesekali kau harus membiarkannya.”

“Tapi, Bang,” potong Lukman. “Kurasa kita tidak bisa membiarkannya. Pasti Andini akan bertindak lebih dari ini selanjutnya. Dengan polah tingkahnya itu, sesekali ia harus didisplinkan. Abang tahu bukan kalau Eka memanjakannya selama di Singapura. Kuliahnya pun tak selesai.”

Adimas menghela napas. Ingatannya akan anak semata wayangnya itu kembali bermain-main di kepala. Hidup mereka dulu baik-baik saja. Jauh berbeda setelah kematian Melisa. Kejadian itu adalah kesalahannya. Harusnya, di dalam bisnis, ia tak mesti melibatkan keluarga. Identitas keluarganya bocor karena adanya penyusup yang menjebol pertahanan dari dalam. Melisa, isteri yang sangat dikasihinya, rela menjadi perisai saat maut menjemput. Adimas tak lupa akan itu. Hanya Andini, satu-satunya penyemangat saat ini. Tak ada yang lain.

“Aku cukup bersyukur Andini rela pulang ke Indonesia walaupun aku tahu dia sangat membenci ayahnya. Sudahlah, biarkan saja dia. Selama dia baik-baik saja, aku sangat bahagia. Oya,” tiba-tiba mimik Adimas menunjukkan kalau ia sedang mengkhawatirkan sesuatu.

“Ada apa, Bang? Apa sesuatu sedang terjadi?” Lukman sadar dengan warna suara Adimas yang tiba-tiba berbeda.

“Jangan sampai rekan bisnisku tahu kalau Andini ada bersamaku sekarang. Aku tak ingin setengah duniaku pergi selamanya.”

***

Pak Ramlan melirik ke spion yang berada di samping atas sebelah kiri. Ia memandang Andini yang sedari tadi membuang muka ke luar jendela. Matanya sayu. Inilah wajah Andini yang sebenarnya. Sepi telah mengutuk kebahagiaannya. Baginya, hidup bahagia adalah harapan yang sia-sia. Ia tak akan pernah bisa merasakan itu. Ada sedikit iba yang timbul dalam hati Pak Ramlan. Sebagai satu-satunya orang yang bekerja paling lama dengan keluarga Adimas, jelas ia tahu kalau Andini yang dulu kini tak ada lagi. Gadis cantik di belakangnya adalah gadis kesepian yang hanya berharap pada kematian.

Sejak di dalam mobil seraya dua pengawal duduk di sampingnya, ia hanya membuang mukanya ke arah jendela. Tak sekalipun pandangannya mengarah ke Pak Ramlan, padahal sopir keluarga itu sangat ingin bertemu mata dengan Andini yang sudah dianggap seperti anaknya sendiri. Sejujurnya, Pak Ramlan ingin sekali membuka percakapan. Seketika, niat itu diurungkan. Ia tahu, Andini tak akan bersuara. Sampai kedua pengawal tersebut pergi dan membiarkan mereka berdua untuk bernostalgia.

Liam memandang lurus ke depan. Matanya sejurus menatap lekat-lekat Marcedez Bens yang tadi melaju kencang dan membuatnya cukup kewalahan. Ia me-reka ulang kejadian tadi. Kejadian di mana matanya beradu dengan mata Andini. Mata itu sangat meneduhkan. Tak ada dendam di dalamnya.

Kalimat terakhir yang diucapkan Pak Leo di Barry Cafe kemarin, tiba-tiba terngiang di kepalanya. Tanpa jeda, segera ia buang jauh-jauh pandangan itu dan tetap mengutamakan dendam sebagai tujuan.

***

Adimas melihat foto pengawal satu persatu yang dikirimkan oleh Lukman. Sejatinya, setelah kehilangan Melisa, ia cukup memperhatikan siapa saja orang-orang yang akan bekerja untuknya. Sudah cukup kehilangan satu orang. Setengah dunianya waktu itu seolah runtuh dan gedung-gedung di dalamnya hanya tersisa bangunan tua dan debu yang berserakan.

Jemarinya perlahan mengusap foto demi foto pada layar di ponselnya. Wajah yang tertera di foto tersebut sangat ia perhatian seksama. Baik dari segi rahang, pancaran mata, postur tubuh, bentuk lengan, kaki yang jenjang dan hal-hal lainnya harus diperhatikan untuk memastikan bahwa Lukman juga Hasan tak salah mengajukan orang yang akan menjadi pelindung anaknya.

Jemari Adimas tiba-tiba terhenti saat melihat wajah Liam. Ia seolah pernah melihat wajah ini entah di mana. Wajah yang penuh dendam, juga keinginan kuat untuk bertahan. Rahangnya sangat tegas, tatap matanya sungguh tajam, dan bentuk tubuhnya cukup kurus sebagai pengawal andal.

Untuk mengobati rasa penasarannya, Adimas mengirim ulang foto Liam kepada Lukman untuk meminta penjelasan. Tak berapa lama, sebuah panggilan masuk dari Lukman segera diterima.

“Bang.” Lukman memulai pembicaraan.

“Apakah pengawal yang kukirimkan barusan betul-betul kita percaya?” keraguan Adimas diucapkannya tanpa ragu. Sebab, jika ia ragu, mungkin segala yang dimilikinya akan hilang.

“Liam adalah sosok yang paling dibanggakan oleh Hasan. Dari Hasan, aku tahu, Liam menguasai tiga jenis bela diri. Bela diri yang paling dikuasainya adalah silat. Untuk Jiu-jitsu dan karate, keduanya pelajari sebagai pelengkap. Bang Dimas tak perlu khawatir. Andini akan baik-baik saja.”

“Bukan itu yang kumaksud.” Adimas perlu menjelaskan lebih lagi. Lukman seperti tak paham dengan apa yang dibahas olehnya. “Wajahnya seolah kukenali. Aku seperti pernah bertemu dengannya entah di mana. Dan wajah itu, sangat mengusik pikiranku.”

Lukman tersenyum. Kemudian menjelaskan, “Abang tidak percaya dengan Hasan? Ayolah Bang, lebih dari tujuh tahun, setelah kematian ibunya Andini, kinerjanya tidak pernah mengecewakan kita. Abang tahu itu bukan?”

Mendengar penjelasan Lukman, masih ada keraguan yang timbul di benak Adimas. Ia tidak bisa mempercayai Liam begitu saja. Musuhnya ada di mana-mana. Salah-salah mempercayakan Andini kepada orang tak tepat, ia bisa kehilangan seluruh hidupnya. Ia harus memastikannya secara langsung.

“Oke, Lukman. Kuserahkan segala yang berhubungan dengan Andini kepadamu. Tetaplah menjadi Lukman yang kukenal dan selamat bekerja.” Adimas menutup teleponnya.

Di seberang sana, Lukman menggeleng pelan. Ia paham dengan kekhawatiran Adimas terhadap putri tunggalnya. Namun segala sesuatu yang terlalu dalam dipikirkan, justru malah akan menambah beban.

Adimas kembali menerima pesan foto dari Lukman. Pesan itu terdiri dari tiga foto yang menampilkan sertifikat keahliannya. Tiga bukti yang cukup kuat itu pun tetap tak bisa menambal rasa kejanggalan yang muncul dalam dirinya. Ia tetap harus berbuat. Ia harus memastikannya sendiri. Bagaimanapun, hanya Andini, satu-satunya keluarga yang dimilikinya sekarang.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status