“Bagaimana hari pertamamu, Liam?” Warna suara yang renyah terdengar di ujung telepon. Tak perlu ditanya pun seharusnya Pak Leo sudah tahu dengan melacak GPS yang terdapat di ponsel Liam.
“Cukup menghibur, Kapten.” Liam menjawab sekenanya. Dia belum mau banyak berbicara atau pun menyimpulkan sesuatu untuk seseorang bermata teduh itu.
“Cukup jauh juga ya, aksi kejar-kejarannya? Jika saya melihat jarak dari bandara, lebih dari 6 kilometer.”
“Kamu di mana sekarang?” Pak Leo mengalihkan percakapannya. Sebab, ia tahu, kalau Liam tak akan bisa bicara lebih jauh lagi mengenai topik tersebut.
“Kapten bukannya bisa melacak saya?” Liam bertanya balik.
“Max sedang pergi berkencan. Jadi, saya tidak bisa memantaumu saat ini.” Max adalah seorang peretas dan juga sebagai peretas andalan tim dari Pak Leo. Jadi selain makanan Barry Cafe yang rasanya mantap, Pak Leo dan tim memiliki agenda lain terkait pekerjaan. Pak Leo adalah sosok yang menjunjung tinggi prinsip dari peribahasa sekali mendayung, dua tiga pulau terlampaui.
“Saya sedang mencari pusat kebugaran.”
“Oh, begitu. Baiklah, saya tutup teleponnya sekarang, ya. Liam, ingat, jaga tubuhmu dan jangan lupa kebutuhan nutrisimu. Setelah kejadian hari ini, kamu pasti akan bekerja lebih keras lagi.”
Sambungan telepon terputus. Liam memasukkan ponselnya ke dalam saku. Waktu masih menunjukkan pukul lima sore. Subuh tadi, ia baru tiba. Segala perlengkapan hidupnya masih terletak di mobil. Setelah mengecek berat di pusat kebugaran, ia akan mencari tempat tinggal selagi penyamarannya berlangsung.
Jam pulang kerja membuat jalan raya dua kali lebih ramai ketimbang jam-jam santai. Berbekal alamat di G****e Maps, Liam berencana menuju pusat kebugaran terlengkap di kota ini. Ia berniat untuk mengukur massa otot, kadar lemak, dan BMI pada tubuhnya
***
Liam mengangkut barang-barang pentingnya dari dalam mobil ke kamar kosnya yang baru. Jarak dari tempat tinggalnya sekarang dengan rumah Adimas berkisar sepuluh kilometer. Ia memang sengaja untuk mencari tempat tinggal yang cukup jauh dari kediaman Adimas. Seandainya identitas Liam terbongkar, Adimas dan kelompoknya memerlukan waktu cukup lama untuk meraih dirinya, sementara itu baginya jarak jauh tak ubahnya seperti jeda untuk mengambil keputusan.
Di kamar kosnya yang berukuran delapan belas meter persegi ini, ia mulai mengatur dan menyusun barang yang menjadi keperluan utamanya di lemari sebelah kanan. Tak lupa bingkai foto yang berisi foto dirinya dengan Ando, diletakkannya pada nakas di samping tempat tidur. Ia meletakkannya di sana supaya saat sebelum dan sesudah terlelap, ia bisa melihat foto itu sehingga dendam di hatinya tidak luntur dengan mudah.
Usai membereskan barang-barang, Liam pergi ke toserba terdekat. Waktu yang ditempuh hanya kurang dari lima belas menit. Mengetahui massa otot di tubuhnya yang turun drastis, kadar lemak yang meningkat, dan BMI yang menunjukkan bahwa bobot tubuhnya masuk dalam kategori kurang ideal, ia mencoba untuk memperbaiki lagi postur di tubuhnya. Ia membeli fillet dada ayam, susu protein, telur, dan sayur-sayuran sebagai asupan hariannya.
Liam membeli makanan tersebut dengan jumlah cukup banyak. Sang pemilik kos menyediakan kulkas berukuran setinggi pinggangnya di setiap kamar ekslusif. Karena ekslusif dan berada dekat dengan pusat perbelanjaan, membuatnya harus menggelontorkan dana lebih. Namun, biaya kehidupannya ditanggung sepenuhnya oleh satuan, jadi ia tak ambil pusing soal itu.
Setiba di kamar kosnya, ia berdiri di hadapan cermin, kemudian membuka bajunya. Dari pantulan cermin tersebut, ia melihat sendiri tubuhnya yang begitu jauh dari kata sehat. Perutnya nyaris menyekung, otot di dadanya pun tak terlihat lagi, serta lengannya tak menampilkan otot bisep dan trisep yang seperti dulu.
Ia mengenang peristiwa itu. Peristiwa di mana ia melihat sendiri kondisi Ando yang mengenaskan. Tangan kanannya terpotong dan lima peluru bersarang di tubuhnya. Adimas seolah ingin menunjukkan bahwa dirinya sangat kuat. Dada kiri, dada kanan, perut di atas pusar, paha kiri, dan paha kanan Ando, bersarang peluru di dalamya. Nyeri dada Liam mengenang peristiwa itu.
Sayup pada matanya kembali terlihat. Dari pantulan cermin, ia melihat sendiri bagaimana sayup mata itu seolah membuatnya begitu menyedihkan. Terlebih dengan kondisinya saat ini, tubuh yang kurus serta wajah menyedihkan.
“Kematian Ando tidak boleh sia-sia!” tegasnya pada diri sendiri.
***
Andini meringkuk sendirian. Belum genap dua puluh empat jam ia berada di kamar masa kecilnya hingga beranjak remaja. Dinding-dinding itu seolah berbicara padanya. Tentang kenangan yang berisi kebahagiaan saat ibunya masih ada dan selalu berada di sisinya.
Ia berjalan pelan. Sepasang matanya menyisir seluruh ruangan. Dinding berwarna merah muda belum diubah oleh sang ayah. Semua masih nampak sama. Tata letak perabotan dan alat-alat pribadinya pun masih sama dengan delapan tahun yang lalu. Ia mengusap pelan permukaan meja belajar yang posisinya menghadap jendela menuju balkon. Debu halus ia menempel pada kedua jemarinya.
Kakinya melangkah lagi. Pintu kaca yang menjadi penghubung antara kamar dengan balkon sejurus di depannya, digesernya perlahan sehingga menyediakan ruang yang cukup untuk berjalan ke sana. Udara segar yang dulu ia rasakan setiap hari, kini sudah tak sama. Dari atas, ia melihat bangunan dan kota kelahirannya mulai berubah. Rumah-rumah penduduk bisa dilihat dengan mata telanjang. Padahal, dulu, Adimas menyediakan teropong agar Andini bisa melihat rumah-rumah penduduk yang katanya menjadi tetangga mereka, tetangga jauh.
Rumah Adimas memang jauh dari permukiman penduduk. Hal ini disebabkan karena ia tak ingin kehidupan keluarganya, bisnisnya, dan kegiatannya diketahui oleh khayalak ramai. Kalau bisa, penduduk-penduduk itu tak perlu tahu apa pun. Bahkan, seseorang yang berjarak dua ratus meter dari kediamannya, dipaksa untuk memutar arah. Terdapat beberapa pengawal yang berjaga di sana.
Waktu telah merubah sedikit keadaan. Andini kini tak lagi memerlukan teropong untuk melihat kehidupan di luar.
Ia membuka laci pada lemari yang juga dijasikan sebagai meja rias. Di dalam laci tersebut, ada dua bingkai foto yang berisi fotonya bersama ibu dan ayahnya. Di belakang foto itu, tertulis tanggal dan tahun di mana usianya baru menginjak tujuh tahun. Wajah gadis kecil yang ada di dalam foto itu sungguh bahagia seperti kesedihan tak pernah bertandang dan kehilangan tak tahu jalan untuk mengunjunginya.
Andini terisak. Ia menangis seraya mengelus foto sang ibu yang tersenyum manis sambil menatap kamera yang hendak memfoto mereka. Senyuman itu begitu diharapkan untuk kembali ada.
“Mama,” panggilnya pelan. Dadanya bergetar, naik turun mengikuti usahanya menahan perih dan sesak yang makin menjadi.
Malam panjang ini adalah miliknya. Selama di Singapura, kehadiran tante Eka sedikit membuatnya melupakan kerinduan akan Melisa. Foto-foto semasa kecil, juga ponsel lamanya, sengaja dijauhkan oleh tante Eka agar tak membuatnya bersedih. Dan kini, meski waktu telah berjalan cukup jauh, delapan tahun, Andini masih menangis bak anak kecil yang sangat merindukan sang ibu.
Pukul lima pagi, alarm di ponsel Liam berdering. Dengan raut setengah mengantuk, ia beranjak dari kasur tanpa aba-aba atau melemaskan tubuhnya. Ia meraih segelas air yang telah dipersiapkan sebelum ia tidur semalam. Tak sampai sepuluh detik, air itu habis diteguknya.Ia bergegas. Tangannya meraih zipper polos berwarna abu yang tergantung di kap stok belakang pintunya. Setelahnya, ia membuat simpul yang cukup kencang pada sepatunya. Pagi ini adalah awal baginya untuk mengumpulkan kekuatan.Napasnya tersengal-sengal, nyawanya seolah berada di ujung. Setelahnya menyelesaikan target hariannya untuk berlari, ia mengitari daerah tempat tinggalnya dengan berjalan santai seraya mengatur napas yang baru saja membuatnya nyaris mati karena sudah lama tak berlari.Ia melirik jam tangan yang berada di pergelangan tangannya. Waktu hampir menunjukkan pukul enam. Pendar kota yang tadi pagi ia lihat, perlahan mulai hilang. Mentari mulai muncul di ufuk Timur. Tanda baginya untuk
Di tengah perjalanan, dari spion, Pak Ramlan melihat sekelompok pemotor berusaha mengejar mereka. Seratus meter lagi, para pemotor tersebut akan berhasil menyamakan posisi.“Pak Adimas, sepertinya ada orang yang ingin menghalangi pertemuan hari ini,” sambil berkata, Pak Ramlan terus melirik para pemotor tersebut dari spion yang berada di atas samping kirinya.Adimas melihat ke belakang. Para pemotor tersebut berseragam serba hitam, serta menggunakan helm fullface hitam yang berkaca gelap. “Pak Ramlan, saya minta naikkan kecepatan. Saya ingin bermain-main.”Pak Ramlan mengangguk, sejurus kemudian, mobil yang ditumpangi Adimas meningkatkan kecepatan hingga 120km/jam.“Rencana biasa, Bang?” Lukman memandang Adimas serius.“Tentu saja. Mari kita bersenang-senang.”Di perempatan, empat mobil beriringan itu berpisah. Pak Ramlan membanting stir mobilnya dan langsung berbalik arah. Dari kaca mobi
Dari jendela kamar, Andini melihat Liam sudah berdiri di halaman. Tampilannya nampak biasa bagi Andini. Ya biasa, sebab semua yang bekerja sebagai pengawal di rumahnya selalu berpenampilan serba hitam. Sang ayah, seolah-olah berambisi menjadikan para pengawalnya terlihat sangar seperti film action kebanyakan.Marcedez Bens S-Class telah terpakir di bibir jalan. Sementara itu, di atas, Andini sama sekali belum membersihkan diri. Ia bimbang. Sebab belum setengah jam riasannya itu menempel dan menutupi wajah berminyaknya setelah bangun tidur tadi.“Mandi.. Tidak.. Mandi.. Tidak.. Mandi..” Andini menghitung kancing baju pada kemeja yang dikenakannya saat ini.“Arrrggggh!” Ia bangkit dari posisinya yang sedari tadi mengamati Liam. Kakinya melangkah menuju kamar mandi dengan langkah enggan.Andini mulai melucuti pakaiannya. Punggungnya nampak lurus, lingkar pinggangnya kecil bak model yang sering berjalan di catwalk s menampilkan design
Dialah Melisa Hartanto. Wanita yang memilih untuk menikah di usia yang masih muda, sembilan belas tahun. Setahun setelah pernikahannya dengan Adimas, mereka dikaruniai Andini Putri Hartanto, bayi mungil bermata segaris nan menggemaskan. Siapa saja yang melihat senyumnya, akan mengundang gelak tawa. Bayi mungil itu memberi kebahagiaan penuh pada Melisa dan Adimas. Kebahagiaan keluarga mereka seolah tak membutuhkan apa-apa lagi. Hadirnya Andini, seolah menurunkan surga ke bumi. Karena itu, mereka memutuskan untuk tidak memiliki anak lagi. Tangan Andini mengusap nisan sang Ibu. Tubuhnya bergetar, mata teduhnya menuduk menatap makam. Pikirannya sedang merangkai kata untuk memberikan salam kepada sang ibu setelah delapan tahun menghilang. “Bisa tinggalkan saya sendiri?” pinta Andini. Sungai di matanya hampir meluap. Ia malu jika Liam melihatnya menangis. Kesan kuat yang ditampikannya saat di bandara, tak boleh luntur hari ini. Tanpa jawaban,
Rubicon hitam yang sempat membawa Adimas, telah tiba di gerbang utama. Dua penjaga yang berada di balik gerbang itu memberikan jalan kepada mereka.“Di mana 3 mobil lainnya?” tanya salah satu penjaga gerbang.“Masih di jalan. Di dalam mobil ini,” pengawal yang duduk di kursi penumpang, mengarahkan jempolnya ke belakang mobil, “ada stok makanan untuk Lintang.”“Apakah ada yang terluka?” si penjaga gerbang mengetahui maksud dari ucapan pengawal itu.“Tenang saja. Kami semua selamat.”“Syukurlah.”Setelah percakapan singkat itu usai, dua pengawal tersebut melanjutkan perjalanan. Setelah melaju sepanjang seratus meter, terdapat pertigaan. Jalan di sebelah kiri adalah rute menuju rumah Adimas yang ditinggali Andini sekarang, Rubicon itu berbelok ke kanan, melaju dua ratus meter dan menjumpai gerbang kedua yang lebih kecil ukurannya.Gerbang kedua itu dijaga oleh dua pe
Dengan perasaan khawatir terhadap kondisi Andini, Liam sebisa mungkin menyalip kendaraan yang menghalangi kecepatan mobilnya. Matanya terus awas dan memandang ke depan. Mobil Marcedez yang dikemudikannya berada di kecepatan 100km/jam.Sambil menyetir, matanya bergantian memandang ke depan, lalu ke arah Andini yang masih terbaring. Kedua tangannya terkulai di kedua sisi.Pemilik mata teduh itu tergolek lemas dengan tatapan kosong. Wajahnya masih pucat, namun bibirnya sudah mulai berwarna kemerahan.“Anda yakin tidak ingin ke rumah sakit?” tanya Liam.Andini menatap rahang Liam yang nampak tegas jika dilihat dari samping. Meski badannya kurus, ketegasan itu tetap terlihat.“Tidak perlu. Aku sudah baikan.”Dari kursinya, tangan kiri Liam bergerak dan mengatur posisi kursi Andini. Sandaran jok yang menyangga punggung Andini dilandaikan lagi ke bawah, Ia juga mengatur penyangga kaki agar kemiringannya kurang dari empat puluh lima
“Bagaimana kabar kamu?” tanya Samuel. Wajahnya tak bisa berbohong. Ia jelas bahagia bertemu dengan Andini. Hal serupa dirasakan juga oleh Andini. Kini mereka sedang berada di kamar Andini.Samuel tak menyangka bahwa Andini akan tumbuh menjadi gadis paling cantik yang pernah ditemuinya. Wajah itu seolah tak menua. Perbedaannya hanya terlihat pada riasan yang menunjukkan dirinya telah dewasa. Bibir Andini yang tipis, matanya yang almond, membuat Samuel makin menyukainya.“Baik. Kamu gimana? Sudah ada pacar? Atau masih mengejarku? Hahaha.”“Ah!” Samuel tersipu, wajahnya merona, pandangan matanya tak fokus dan berusaha mencari pengalihan. “Kuliah selesai?”Mendung di wajah Andini tiba-tiba mencuat. Pertanyaan Samuel sontak mengingatkannya dengan kejadian beberapa hari lalu. Lukman menghinanya karena tak mampu menyelesaikan pendidikan. Dan hinaan tersebut begitu menancap di hatinya yang paling dasar.Seben
Lewat makam malam, Adimas dan Lukman menuju pabrik dengan berjalan kaki. Suasana malam cukup hening. Suara jangkrik yang saling bersahut-sahutan melatari perjalanan mereka. Lukman menyalakan senter yang dibawanya. Sementara Adimas, berjalan di belakang sambil menjinjing dua buah kotak makan sekali buang.Tak ada penerang tambahan. Hanya senter Lukman satu-satunya yang menerangi jalan di depan mereka. Sepanjang mata memandang, jalan setapak itu sangat gelap. Sesekali, tangan Adimas menepis gulma yang menyentuh tubuhnya. Hal itu juga dilakukan oleh Lukman.Baik Lukman maupun Adimas, keduanya bisa mendengar suara langkah mereka sendiri. Jalan setapak ini adalah akses cepat untuk tiba di pabrik, kedua sisinya berderet gulma setinggi tubuh manusia.Sesekali kaki mereka menginjak kerikil atau ranting pohon yang telah kering. Suara ranting yang patah atau kerikil yang diinjak, menghalau sunyi berkuasa untuk beberapa saat.“Bang, kenapa kita tidak memakai m