Share

WILLIAM

Tepat pukul sebelas, di mana matahari mulai bergerak ke atas, Pak Leo datang tanpa seragam kebesarannya. Ia mengenakan topi baseball, zipper polos, dan celana jins. Pakaiannya tersebut tentu bukan gaya sehari-harinya. Ia langsung menduduki meja paling pojok yang menghadap ke jalan raya.

Teriknya mentari hari ini mampu menembus kaca gelap yang berada di sebelah Pak Leo. Kedatangan Pak Leo disadari oleh pemilik cafe.

“Halo, Kapten.” Max menghampiri dan menyapa Pak Leo dengan wajah sumringah. Max adalah pemilik Barry Cafe. Barry sendiri diambil dari nama belakangnya, Maximus Barry.

“Halo, Max. Tumben cafemu belum ramai.” Pak Leo menyisir seluruh ruangan dan melihat bahwa hanya ada beberapa meja yang digunakan pengunjung, termasuk dirinya.

Max tersenyum. Dari senyumnya itu, ia menduga kalau Pak Leo memang belum mengerti jam ramai dan jam santai di cafenya. “Masih jam 11, Kapten. Mungkin sebentar lagi, cafe ini akan penuh.”

Pak Leo menggangguk. “Ini pertama kalinya saya datang cukup pagi.”

“Kapten mau pesan menu apa? Sesegera mungkin akan saya persiapkan.”

“Sebentar, Max. Saya masih menunggu Andy datang.”

“Oke, baiklah kalau begitu. Saya akan kembali lagi nanti Kapten.” Max undur diri dan kembali ke dapur untuk mempersiapkan menu-menu yang telah dipesan oleh pengunjung lain.

***

Ketika Andy tiba di muka pintu Barry Cafe, Pak Leo melambaikan tangan. Andy segera menghampiri dan duduk tepat di hadapannya.

“Mau pesan menu apa?” tanya Pak Leo semangat. Sebab ia memang sengaja tidak makan sebelum pergi hanya untuk mengajak Andy ke tempat ini.

“Saya tidak ingin makan. Kita langsung ke inti pembicaraan saja.”

“Manusia butuh makan, Ndy. Setelah makan, kita akan bahas semuanya.”

“Sebelum balas dendam, saya tidak bisa makan atau hidup dengan tenang.”

“Balas dendam butuh tenaga. Tenaga didapat dari makanan. Itu artinya, kamu butuh makan.”

Andy tertegun dibuatnya. Ia memandang sepasang tangannya yang kini seperti tulang dibalut kulit tipis. Uratnya terlihat menonjol di mana-mana. Kaos polos yang dikenakannya pun, mulai terlihat kedombrangan.

“Besok, Andini tiba di Indonesia. Dengan bantuan rekan saya sebagai pemilik perusahaan jasa penyediaan bodyguard, saya sudah memasukkan nama dan data pribadi palsu kamu. Kebetulan, rekan saya ini juga menaruh dendam dengan Adimas. Dengan perjuangan yang telah saya lakukan untuk kamu, saya minta kamu makan dengan baik. Berolahragalah mulai sekarang dan bangun kekuatan secara perlahan. Jangan lemah. Saya sudah menyiapkan jalan. Kamu hanya perlu menempuhnya!”

***

Andy tak kuasa menahan tangisnya saat melihat ayam saus mentega telah tersuguh di hadapannya. Makanan itu adalah makanan favoritnya bersama dengan Ando. Makanan itu adalah makanan yang selalu dipesannya jika mereka makan bersama di Barry Cafe.

“Makanlah.” Pak Leo mempersilakan. “Di pertemuan berikutnya, saya tak akan mentraktirmu makan.”

Meski mulutnya tak berselera, Andy meraih sendok dan garpu yang tertetak di piring nasi putihnya. Pelan-pelan, sedikit demi sedikit, nasi di piring berwarna putih itu, sekuat tenaga ia masukkan ke dalam mulutnya. Sambil berusaha mengunyah, sungai di matanya terus mengalir. Meski beberapa kali diusahakannya berhenti, hanya berhasil sebentar, sungai itu tetap mengalir..

Setelah makan, Pak Leo merogoh sesuatu dari tas pinggangnya. Ia menyodorkan ponsel pintar berwarna hitam, identitas palsu yang telah dibuat sedemikian rupa, dan pistol revolver untuk berjaga-jaga.

“Nama kamu sekarang Liam, William. Saya telah memasukkan alat pelacak ke ponsel yang saya berikan ini. Bawa terus ponselnya, agar saya bisa memantau di mana saja kamu berada. Kita harus terjaga pada hal-hal yang tidak diduga. Jangan sampai ponsel tersebut kehabisan baterai. Jika itu terjadi, habislah kamu tanpa kami bisa berbuat apa-apa.”

“Saya tidak takut mati, Kapten. Tujuan saya adalah membunuh Adimas seperti ia membunuh Ando tanpa belas kasihan.”

“Saya tahu, kita semua tahu itu. Tapi ingat, tindakan gegabah bisa menghancurkan segalanya. Jadi, bertindaklah sesuai dengan rencana yang akan saya tetapkan.”

“Jika sesuatu mengancam saya, bolehkah saya membunuhnya langsung tanpa aba-aba dari Kapten?”

“Itu tidak akan terjadi kalau ponselmu tidak kehabisan baterai.”

“Seandainya terjadi, bolehkah saya membunuhnya?” Andy menegaskan pertanyaannya sekali lagi.

“Andy, kesampingkan emosimu, ingatlah banyak hal baik yang bisa kita dapatkan jika mengalahkan Adimas dengan rencana yang sudah ditetapkan.”

“Oke, saya turuti mau Kapten. Akan tetapi, ingat. Di akhir penyamaran ini, nyawa Adimas adalah milik saya sepenuhnya!”

***

Setelah pertemuan siang tadi, Andy mencari informasi tentang Andini Hartanto. Ia mengetikkan nama itu di kolom pencarian G****e. Hasilnya, nihil. Tak ada satu pun nama Andini Hartanto yang memiliki wajah sama pada foto yang diberikan Pak Leo tadi.

Terbesit di benaknya, siapakah sosok informan yang bisa menembus rahasia keluarga Adimas?

Ia mengambil identitas palsu yang diberikan tadi, kemudian memandangnya. Di sana, tertulis namanya sebagai William yang lahir pada tahun 1993. Setelah itu, ia mengecek revolver hitamnya, ruang peluru telah terisi penuh. Aman untuk berjaga-jaga dari serangan beberapa orang.

Yang terakhir, ponsel berwarna hitam yang telah dimasukkan alat pelacak, juga diperiksanya. Ia masih ingat perkataan Pak Leo tadi siang agar tak membiarkan ponsel tersebut kehabisan daya.

Setelah mengecek ketiga benda pemberian Pak Leo, ia mengambil gunting yang ada di laci nakas kemudian bergegas menuju kamar mandi.

Wajahnya kini memantul di cermin. Rambutnya yang tak terurus, dirapikannya pelan-pelan. Ia melihat dirinya sendiri dan berjanji untuk takkan mati sebelum dendamnya terbalaskan.

“Kini, kau adalah William.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status