Share

Misi Ketujuh_Identifikasi Pemain: Lisa # Garis Imajiner

“Lisa! Di mana yang sakit?! Apa lukamu parah?!"

Teriakan seseorang dan guncangan di tubuhku membuat kesadaranku tersedot kemudian terlempar ke sebuah tempat yang gelap. Perlahan mataku terbuka, meski tampak  kabur, namun masih aku masih bisa menemukan wajah panik Ava yang hampir menumpahkan air mata.

Kedua tangan gadis itu mencengkerap erat bahuku seolah takut aku akan menghilang ketika dia melepasnya. Aku hanya berkedip beberapa kali untuk menetralkan pandanganku sembari mengumpulkan nyawa. Ah, Mozarella, mimpi indahku sudah berakhir. Sekarang aku telah kembali  ke sini, kembali ke dunia tanpa Kak Abel di dalamnya. Rasanya aku ingin kembali tidur dan tidak bangun lagi.

“Lisa,” panggil Ava sekali lagi.

“Kamu, di sini?” tanyaku lirih.

“Sepulang sekolah kemarin aku kemari karena percakapan terakhir kita membuatku terganggu, tidak peduli berapa kali aku mengetuk pintu, namun tetap tidak ada jawaban. Semalam aku kembali lagi, tapi lampu kamarmu tidak menyala. Aku hampir saja mendobrak pintu kamar ini, tapi mama berhasil meyakinkanku jika mungkin Kamu kembali ke tempat saudaramu.”

Aku hanya menatap gamang kepada figur Ava yang sibuk mengomel. Meski nada bicaranya agak tinggi, namun kedua matanya berkaca-kaca. kedua tangganya juga sedikit gemetar, tampaknya napas gadis ini juga tidak teratur. Dia terlihat sangat khawatir. Maafkan aku, Va. Lagi-lagi aku mneyusahkanmu.

“Aku benar-benar tidak bisa tidur karena penasaran. Ponselmu juga tidak bisa dihubungi. Ternyata benar, kan, firasatku. Setelah berhasil membuka kamar ini dengan duplikat kunci pinjaman mama, aku justru menemukanmu terkapar seperti mayat yang hampir bangkit menjadi zombi.”

Ava mengakhiri kalimatnya dengan embusan napas besar. Gadis itu memandangku dengan tatapan penuh selidik bercampur cemas. Aku ingin sedikit menghiburnya dengan mengatakan bahwa aku baik-baik saja, namun sayangnya suaraku tidak mau keluar untuk sesuatu yang tidak sesuai dengan perasaanku. Berat sekali.

“Sekarang caritakan semuanya! Jangan membuatku kesal karena telah rapot-repot datang kemari pukul lima pagi dan harus pulang tanpa mendapatkan apapun,” ujar Ava tegas.

Mendengar kalimat terakhirnya membuat mataku terbelalak. Walau  pikiran dan emosiku masih belum sepenuhnya stabil, tapi aku cukup sadar dengan fakta bahwa aku telah melewatkan banyak waktu. Pukul lima pagi? Jadi aku sudah tidur lama sekali ya. Meski demikian, tubuhku

terasa sakit semua seolah habis begadang semalaman. Aku masih sangat lelah.

“Lisa, aku mohon berhentilah melamun dan sibuk dengan pikiranmu sendiri. Aku ada di sini bukan untuk diabaikan, setidaknya ceritakan sedikit tentang apa yang terjadi,” ucap Ava lagi sambil mengulurkan tangannya.

Aku menerima uluran tangan itu dan bangkit untuk duduk dengan benar. Aku ingat sekarang, aku memiliki hutang janji bercerita kepada gadis ini.

“Jika tentang Nara, bisakah kita membahasnya kapan-kapan?” tanyaku datar.

“Aku tidak peduli Kamu akan menceritakan tentangnya atau tidak. Yang ingin kutahu sekarang adalah tentangmu. Apa yang terjadi? Mengapa ada jaket dengan darah mengering di kamar ini? Biasanya aku mungkin tidak akan memaksamu bicara, tapi sekarang sudah cukup, Sa. Aku tidak sanggup merasa lebih cemas lagi,” timpal Ava dengan tatapan memohon.

Ada sedikit perasaan aneh menyelinap dalam hatiku, rasanya hangat, dan sedikit aneh. Membuatku ingin menangis dan tersenyum pada waktu yang sama. Seumur hidup, ini adalah pertama kalinya aku melihat ekspresi cemas yang ditujukan kepadaku, bahkan Kak Abel tidak pernah menunjukkan raut wajah seperti itu. Ketika aku sedang sedih maupun kesulitan, Kak Abel akan menampilkan senyum hangat untuk medukungku. Mungkinkah memang begini rasanya dikhawatirkan oleh seseorang?

Melihat sorot mata Ava, aku tidak tahu apakah aku pantas menerimanya. Aku ragu, apakah aku cukup berharga untuk mendapatkan perhatian dan kebaikannya? Bagaimana jika nanti aku juga menyakiti gadis baik yang telah dengan tulus bersedia menjadi temanku ini?

“Aku tidak suka dengan keadaan ini, Sa. Situasi di mana aku hanya melihat ekspresi menderita dari temaku tanpa bisa melakukan apa pun. Walau tidak banyak membantu, setidaknya aku ingin berbagi sedikit rasa sakitmu, aku ingin bisa sedikit menghiburmu,” gumam Ava dengan nada putus asa.

Ava adalah gadis yang baik, teman yang baik, dan semua yang berhubungan dengannya adalah hal-hal baik. Bagaimana jika keberadaanku malah merusak semua itu? Aku sangat bersyukur memiliki Ava sebagai teman, justru karena itu aku jadi lebih khawatir. Aku tidak menceritakan apa pun kepada Ava bukan karena takut dia akan meninggalkanku, aku yakin Ava tidak sedangkal itu. Aku hanya tidak ingin kekurangan dan kelemahanku menjadi beban baginya. Lagipula, dikatakan atau tidak, kenyataan ini tetap tidak ada yang berubah, kan?

“Jika Kamu terus begini tanpa aku tau harus bersikap bagaimana, aku tidak yakin kita bisa terus berteman. Aku merasa tidak pantas disebut sebagai teman jika hanya berpangku tangan ketika kamu dalam kesulitan. Aku tidak bisa diam saja membiarkan temanku menangis sendirian. Aku tidak menginginkan itu, Sa. Aku juga tidak bisa bersikap seolah semua baik-baik saja setelah melihat ini semua,” ujar Ava dengan wajah sedih.

Tidak, bukan ini yang kuharapkan. Aku harus bagaimana, Va? Aku sangat bingung dan kehilangan kepercayaan diriku bahkan saat menghadapimu yang mungkin merupakan satu-satunya manusia yang bisa melihatku tanpa harus menilai dan menghakimi terlebih dahulu.

“Aku tidak tahu harus mengatakan apa,” gumamku.

“Bagaimana dengan benda ini?” tanya Ava sambil mengangkat jaket milik Kak Abel.

Aku tidak ingin melibatkan Ava dalam masalahku. Tapi sepertinya aku tidak bisa menghindar lagi darinya. Katakanlah aku plin-plan. Baiklah, aku terima. Faktanya, meski aku merasa Ava tidak harus tahu, meski aku cemas jika terjadi sesuatu kepadanya karena keberadaanku, namun aku juga tidak ingin dia pergi. Aku bahagia masih ada yang melihat keberadaannku, aku senang Ava menjadi temanku. Aku bersyukur ada dirinya yang mengetuk pintuku. Aku sendiri jadi tidak tau apa yang harus kulakukan sekarang. Perasaan apa yang harus kugunakan lebih dahulu. Aku tidak peduli jika ada yang menganggapku munafik, tidak konsisten, mungkin aku memang begitu. Mau bagaimana lagi, kan.

“Kamu ingat Kak Abel? Sepupuku yang berpamitan kepadamu kemarin malam. Jaket itu adalah miliknya yang dipinjamkan kepadaku. Malam itu, ada sekelompok perampok yang menyerang kami, hampir saja pisau mereka menikamku tapi Kak Abel melindungiku. Karena Kak Abel melawan, perampok itu menikamnya berkali-kali. Mereka dihakimi masa, tapi Kak Abel meninggal dalam perjalanan ke rumah sakit. Darah yang ada pada jaket itu adalah darahnya. Dia sudah pergi” ucapku begitu saja.

kamarku menjadi hening selama beberapa saat. Ava tidak langsung menanggapi. Gadis itu tersiam dengan embusan napas yang terdengar begitu berat. Aku menundukkan kepala tidak sanggup melihat tatapan matanya yang seakan hendak menangis.

“Lisa, jangan begini,” ujar Ava sambil menyentuh pundakku.

“Lalu menurutmu aku harus bagaimana? Kamu yang memintaku mengatakan apa yang terjadi, kan. Lagipula, apapun yang kulakukan tidak akan membuat Kak Abel bangkit dari kuburnya,” tukasku ringan. Ucapan kubenar, kan.

“Mengapa sikapmu seperti ini!” seru Ava sambil mengguncang bahuku.

Aku mengangkat wajah, tanganku mengepal menahan segala emosi yang hampir meledak. “Semua salahku, Va! Tidak hanya tentang Kak Abel, bahkan kematian papanya, kematian ayahku, dan ibuku juga, semua adalah salahku. Jika saja aku tidak terlahir, ibu tidak akan kehilangan nyawa karena melahirkanku, ayah dan Kak Abel tak akan meninggal karena melindungiku. Bahkan kamu juga mungkin akan dalam bahaya jika terus berada di dekatku. Jadi sebaiknya ...”

PPLASSH!!!

Aku merasakan pipiku memanas sebelum kalimatku selesai. Ava mulai menangis sembari memandangi tangan kanannya yang memerah. Gadis itu menunduk dalam dengan air mata yang tak henti-hentinya mengalir. Pandanganku terhalang oleh rambut ikal panjang yang dibiarkan Ava menutupi wajahnya. Ava menangisiku. Ada yang menangis untuk orang sepertiku. Tapi, mengapa?

“Berhenti mengatakan hal-hal yang menyakiti dirimu sendiri, Sa. Jika bersedih, menangislah! Jika kehilangan, berdukalah! Kamu bahkan boleh berteriak karena terluka!” teriak Ava sambil mengangkat wajahnya yang sudah basah oleh air mata.

“Kamu pikir mengapa ibumu mempertaruhkan nyawanya?! Mengapa ayah dan sepupumu berkorban untuk melindungimu?! Dan mengapa aku di sini bersamamu?! Itu karena kami perduli kepadamu! Mereka ingin Kamu hidup dan bahagia, aku juga menginginkannya. Jika kamu seperti ini, maka semua yang mereka lakukakan akan sia-sia. Kumohon jangan begini, Sa. Atau hatimu bisa rusak,” seru Ava frustrasi.

Aku tidak bergeming ketika gadis itu menarikku dalam pelukannya. Ava belum berhenti menangis sambil menggumamkan permohonannya berkali-kali. Perasaan sesak ini, luka ini, sangat perih. Aku harus bagaimana, Va? Rasanya ada sesuatu yang sedang meremas dadaku dari dalam, sakit sekali. Saking sakitnya hingga aku bingung harus bagaimana.

“Sudah cukup! Jangan menyalahkan dirimu sendiri, mereka memilih apa yang mereka yakini benar. Jangan biarkan apa yang mereka lakukan untukmu menjadi sesuatu yang tidak berarti. Menangislah! Kamu berhak untuk berduka. Jika tidak untuk orang tua dan sepupumu, setidaknya lakukan demi dirimu sendiri. Kumohon, jangan hancurkan kemanusiaanmu dengan bersikap seperti ini, Sa. Kumohon,” ujar Ava yang masih mengunciku dalam rengkuhannya. Begitu erat.

Napasku tercekat. Satu persatu ingatan yang kumiliki muncul seperti kaset rekaman yang diputar terbalik. Tubuhku tidak terluka, namun rasanya seperti tercabik di mana-mana. Kepalaku semakin berat dan pandanganku mulai mengabur. Sesuatu yang hangat terasa mulai meleleh disudut mata, lalu meluncur dan menetes lembut melalui tulang pipiku. Apa akhirnya aku menangis? Tanganku mengepal meremas jari-jari yang mulai terasa perih, tergores oleh kuku yang entah sudah berapa hari tidak kupotong. Jahat sekali, bahkan ketika hatiku remuk sampai seperti ini, masih ada hal lain yang ikut menyakitiku.

Entah sejak kapan tetesan air di pipiku berubah menjadi aliran sungai kecil yang begitu deras, bersamaan dengan suara jeritanku yang teredam dalam pelukan Ava. Semakin aku menangis rasanya semakin menyakitkan. Dapat kurasakan sesuatu yang menyesaki dadaku, sedikit demi sedikit mulai melebur seperti serpihan kaca yang bertebaran di mana-mana, menyebar dan menggores lebih banyak luka. Rasa sakit ini, bagaimana caraku menyembuhkannya, Va?

******

Aku menghembuskan napas berat sambil menyalakan laptop yang kubawa ke balkon perpustakaan seperti biasa. Sebenarnya aku sedang tidak ingin bermain, tapi tidak ada hal lain yang bisa kulakukan selama menunggu Ava sibuk dengan ekstrakulikulernya.

Hhmmh, sebenarnya aku sangat ingin mengunjungi makam Kak Abel, tapi aku takut jika sampai bertemu denganTante Erin di sana. Aku tidak sanggup menerima tamparan kenyataan lebih banyak lagi. Bagaimana bisa warna dunia berubah menjadi kelabu dalam waktu sesingkat ini?

“Sudah kuduga aku pasti bisa bertemu denganmu di sini,” celetuk Kak Jo sambil memposisikan dirinya untuk duduk di sebelahku.

Aku sempat berjingkat sambil mengelus dada karena Kak Jo datang begitu tiba-tiba. Untung saja jantung ini bukan buatan manusia. Tapi, tunggu sebentar. Sejak kapan orang ini datang? Lalu, apa baik-baik saja bertemu dengannya ketika moodku begini?

“Ada perlu denganku?” tanyaku basa-basi sambil menetralkan ekspresi.

“Sebenarnya aku ingin tau penyebab mata sembab dan suara serakmu itu, tapi akan terlalu canggung jika aku bertanya. Jadi aku hanya akan diam di sini sambil melihatmu bermain,” ucap Kak Jo membuatku otomatis membuang muka. Astaga, Kak Jo menyadari wajah bantalku, sangat memalukan.

Gaya bicara Kak Jo yang terus terang mengingatkanku kepada seseorang, bedanya Kak Jo tidak menyebalkan seperti dia. Daripada berurusan dengan orang itu, sih, sepertinya cukup menyenangkan bisa ngobrol dengan orang ini. Apakah alam sedang kasihan kepadaku sampai-sampai mengirim seseorang untuk mengajakku bicara? Sepertinya takdir memiliki rasa prikemanusiaan.

“Aku baru tahu jika Ketua Osis memiliki banyak waktu luang yang bisa di sia-siakan,” candaku yang sebisa mungkin berusaha merasa sedikit santai.

“Jika aku memiliki banyak waktu luang, maka aku tidak akan menemuimu di sini. Mungkin aku bisa mengunjungi kelasmu atau mengajakmu makan bersama di kantin,” jawab Kak Jo ringan.

Aku berdecak tanpa sadar, membuat diriku sendiri kaget dengan reflek yang belum pernah kulakukan itu. “Terimakasih atas niat baiknya, tapi aku masih ingin menjalani masa sekolahku

dengan damai hingga dua tahun ke depan,” tukasku tanpa berpikir.

Ups, gawat! karena cara bicaranya mirip orang itu, tanpa sadar aku membawa sikap Serenina.

Kak jo terdiam sejenak sebelum tertawa geli. Eh, kupikir dia akan marah. Aku tidak tau jika yang kukatakan adalah sesuatu yang lucu. Tapi aku lega karena Kak Jo tidak tersinggung. Aku harus lebih berhati-hati lagi lain kali. Bagaimanapun juga dia adalah seniorku dan orang yang baik karena tidak keberatan bicara kepada remah-remah dinding sepertiku.

“Baiklah, kamu bisa bermain sekarang, aku tidak akan mengganggu,” tutur Kak Jo setelah menyelesaikan tawanya.

“Tapi, jika kamu hanya berdiam di sini sambil melihatku bermain, bukankah akan menjadi canggung?” ujarku sedikit kikuk membuatnya tersenyum.

“Kalau begitu aku akan melanjutkan tugasku agar tidak hanya memandangimu. Bagaimana?” tanya Kak Jo sambil mengangkat laptop berwarna putih di pangkuannya.

Aku tersenyum kecil melihat usahanya untuk tidak membuatku terganggu. “Begitu lebih baik,” timpalku yang dibalas anggukan setuju.

Aku mulai membuka Black Mirror dan cukup dibuat terkejut dengan pemandangan pertama yang kutemukan. Karakterku sedang berjongkok di depan kristal pengikat bersama Harimau kecil berbulu perak. Tunggu dulu! Apakah dia Mozarella? Dan, mengapa aku bisa berada di Lembah Kehidupan? Aku tidak ingat pernah mengunjungi tempat ini kecuali dalam mimpi.

Eh, dalam mimpi? Jika benar begitu, berarti Harimau itu memang Mozarellaku. Tapi, bagaimana bisa? Padahal aku, kan hanya bermimpi? tapi sekarang Mozarella yang telah hancur ada di sini? Apa ada eror dalam sistem? Astaga...banyak sekali pertanyaan yang bercokol dalam kepalaku. Terakhir kali aku membuka Black Mirror adalah ketika mengirim file hasil rapat yang diminta Ava untuk Amanda. Setelah itu aku log out dan jatuh tertidur hingga Ava membangunkanku pagi tadi. Jadi, bagaimana ini terjadi? Waaahh, untuk ukuran orang yang sedang kalut, ingatanku bagus sekali kali ini. Aku sangat teerkejut karena mengingat semuanya secara detail.

“Lisa, ada yang salah?” tanya Kak Jo membuyarkan lamunanku.

Aku mengalihkan padanganku ke arah Kak Jo sebentar sebelum kembali memandangi layar laptop yang masih membuatku terheran-heran. Aku benar-benar merasa bingung. Aku tidak tau bagaimana mencari penjelasan mengenai hal ini. Ayolah, kapasitas otakku tidak mampu digunakan untuk memikirkan hal-hal yang berat, loh. Haruskah aku membicarakannya dengan Kak Jo? Tapi nanti dia pasti akan menganggapku aneh. Tapi aku juga sangat penasaran. Aku harus pilih yang mana? Dianggap aneh atau bingung sendirian?

Huuh, ya sudahlah! Siapa peduli menjadi aneh di hadapan satu makhluk bumi lagi setelah selama ini hampir tidak ada yang melihatku dengan tatapan normal. Tenanglah isi kepalaku! Jangan cerewet! Mulutku tidak bisa mengimbangi maumu, tau!

Aku kembali menatap Kak Jo bersiap-siap untuk bicara. Rasanya gugup sekali, dan memalukan. “Ngomong-ngomong, apa Kamu pernah bermimpi masuk ke dalam game? Mungkin karena terlalu banyak bermain Black Mirror, bisa saja mimpi seperti itu terjadi, kan?” tanyaku sembari berusaha tampak senormal lmungkin.

“Aku tidak pernah bermimpi seperti itu, sih. Aku juga tidak memainkan game itu,” ujar Kak Jo membuatku sedikit terkejut.

“Hem? Tapi sebelum rapat itu, bagaimana kamu tau tentang Celestial dan sebagainya?” tanyaku bingung.

“Oh, itu karena teman sekelasku sering memainkannya. Apalagi sejak kelas satu tempat duduk kami selalu bersebelahan. Hampir setiap hari dia membicarakan seluk beluk dalam game itu sampai membuatku hapal,” jelas Kak Jo membuatku mematung.

Mendengar jawabannya membuatku meelan ludah. Pupus sudah harapanku untuk bertemu seseorang yang bisa mengerti tentang kebahagiaanku bermain Black Mirror. Jadi begitu ya. Sudah kuduga, seseorang seperti Kak Jo memang tidak terlihat cocok dengan perkara seperti ini, dia lebih seperti sosok yang gila belajar dan berorganisasi. Mana mungkin figur seperti itu akan menghabiskan waktu berharganya untuk menggeluti game online, kan. Jelas sekali dia jauh berbeda dariku yang tidak memiliki kehidupan ini sampai-sampai melampiaskan dan mencurahkan semua waktunya untuk dunia virtual.

“Tapi memimpikan sesuatu yang sering Kamu lakukan sepertinya hal wajar. Aku sendiri sesekali juga bermimpi sedang rapat bersama OSIS, atau melakukan koordinasi dengan para guru. Tampaknya, setiap orang pasti juga pernah mengalaminya,” imbuh Kak Jo menyadari kediamanku.

Aku masih diam mencerna semua kalimatnya, mencerna setiap informasi dalam pikiranku satu-persatu. Tapi jika yang dikatakan Kak Jo memang benar dan kejadian itu hanya mimpi, bagaimana bisa Mozarella benar-benar kembali? Bukankah itu artinya Fox telah membantuku? Aku sama sekali tidak mengerti. Mungkinkah tidur berjalan? Tapi tidur berjalan hingga bermain game, berinteraksi dengan pemain lain, dan menyelesaikan pekerjaan semacam itu, bukankah sudah terlalu berlebihan? Tidur berjalan macam apa itu? Aku benar-benar tidak memahami apa yang terjadi di sini.

“Tentang tidur berjalan, menurutmu apa yang menyebabkan hal itu bisa terjadi?” tanyaku lagi kepada Kak Jo yang dibalas dengan tatapan heran.

Ya ampun! Saking fokusnya pikiranku hingga tanpa sadar aku menanyakan begitu saja. Tapi, ya sudahlah...aku tidak peduli, hanya dia yang ada di sini, dan aku butuh seseorang untuk bicara. Aku tidak ingin mencari Foxglove dan mengkonfirmasi atas apa yang sebenarnya yang terjadi. Bagaimana kalau hal itu memang mimpi? Bukankah akan semakin membuatku malu? Aku sangat tidak ingin berurusan dengan makhluk itu.

“Setauku tidur berjalan memiliki banyak sebab. Bisa karena faktor fisik, faktor lingkungan, bahkan faktor genetik. Memangnya ada apa? Apa Kamu mengalaminya?” tanya Kak Jo penasaran.

Aku meringis sembari mengerutkan alis. Harus kujawab apa? “Aku tidak yakin, sih. Tapi hanya itu kemungkinan terbesarnya,” jawabku ragu sambil tersenyum canggung.

“Aku bukan ahli dalam hal itu, sih, tapi tidur berjalan bisa berbahaya. Ada baiknya Kamu berkonsultasi dengan ahlinya,” timpal Kak Jo memberi saran yang logis.

Aku hanya mengangguk sambil bergumam tidak jelas. Terlalu tidak masuk akal jika dikatakan sebagai kebetulan. Aku yakin jika itu mimpi, karena semua berakhir tepat setelah aku terbangun karena teriakan Ava. Masalahnya dari semua itu, rasanya memang terlalu jelas dan nyata. Aku tidak hanya mengingat dengan jelas apa yang kulakukan di sana, namun jejak di game ini juga menyisakan buktinya. Entahlah, aku jadi sakit kepala.

Angin sore bertiup lembut menerbangkan helaian daun Kenitu yang melewati kami berdua. Aku mengalihkan pandang ke arah langit senja yang mulai menjingga, sangat indah. Di Black Mirror juga ada langit seperti ini. Sayangnya saat ini aku tidak bisa sepenuhnya menikmati keindahan ini karena gelisah, dan sedih juga. Dunia ini memang keras dan sering menyakitiku, tapi tetap saja sesaat setelah aku merenungi segalanya, merasakan anginnya, menatap bentangan langitnya, mendengarkan lalu-lalang kehidupan di dalamnya, aku selalu kembali merasa bahwa dunia ini memang masih layak untuk ditinggali.

Saat ini aku tidak tau apa yang terjadi, hal ini terlalu membingungkan. Seperti apa hidupku setelah ini? Apa lagi yang akan kuhadapi setelah ini? Kepergian kak Abel, hubungan dengan Tante Erin, obsesiku kepada Black Mirror, ataupun kehidupan sekolahku yang mungkin baru saja dimulai. Rasanya menjadi sulit untuk membedakan mana yang maya dan yang nyata. Seolah garis yang memisahkan keduanya perlahan memudar dengan cara yang entah bagaimana.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status