"Calarado Zimario Mahardika. Aktif di organisasi bela diri. Udah pegang sabuk biru. Cenderung introvert, nggak punya teman, nggak ada yang tahu siapa keluarganya. Tapi dari pantauan detektif, dia dari keluarga berada."
Kaika menunjukkan foto rumah Rado yang terpotret oleh detektif sewaan Risty.
"Di kelas dia juga pendiam banget. Nilainya juga nggak lebih bagus dari gue."
Rado berada satu kelas perkuliahan bersama Kaika dan Risty. Dan sudah menjadi rahasia seluruh kampus jika Risty memiliki julukan Nona Muda karena berasal dari keluarga bergelimang harta.
"Terus, kamu mau apain si Rado?"
Risty membuka salep untuk mengobati memar yang nampak samar di pipinya akibat pertengkaran dengan saudara tirinya, Ziany. Mereka sama-sama menuntut ilmu di universitas terkenal itu namun berbeda fakultas.
"Hubungi dia, bilang aja Risty pengen ketemu."
"Ris, stop berantem sama saudara tiri lo! Emang lo nggak takut kalau Ziany khilaf bawa pisau?!" Ucap Kaika, sahabat sekaligus tangan kanan Risty di kampus.
"Lihat aja apa yang bakal gue lakuin."
Dan siang itu setelah memar di pipinya tersamarkan, Risty mengganti pakaian formalnya saat ke kampus dengan pakaian kurang bahan andalannya. Rok mini dengan tank top yang dilapisi jaket denim tanpa di kancingkan. Rambut hitam curly digerai indah serta sepatu boot selutut andalannya.
Merasa sudah sangat cantik, ia turun dari apartemen mewahnya menuju mobil pribadinya yang begitu out of place. Mercedes terbaru yang harganya cukup mendebarkan hati. Itu wajar, karena ia putri kaya raya.
Kaika hanya menunggu di sudut caffe begitu Risty melenggang masuk dengan gaya cantik dan menawannya. Lalu duduk di hadapan pemuda memakai kaos oblong hijau lumut, dengan rambut hitam pendek yang kontras dengan warna kulitnya yang putih.
"Rado."
Ia sedikit mendongak menatap wajah Risty dengan raut datar nan cuek. "Ada perlu apa?"
"Thanks lo udah sempetin datang. To the point aja, gue butuh bodyguard."
Kedua alis Rado hampir bertaut dengan mata melirik tajam. "Lalu?"
"Gue mau lo yang jadi bodyguard gue."
Rado mendengus pelan. "Sorry, lo salah orang."
"Nggak. Gue udah tahu banyak hal tentang lo. Gue udah sewa detektif buat ngawasin lo seminggu ini."
"Kurang kerjaan."
"Nggak juga."
"Lo bisa cari orang yang kompeten."
"Dan berakhir nggak profesional. Mereka protektif tapi nggak bisa nahan diri buat nggak goda gue."
Mata Rado menelisik gaya berpakaian Risty. "Lo yang mancing."
Risty menggeleng. "Mereka yang ganjen."
"Sorry, gue nggak minat jadi bodyguard lo."
"Lo cuma lindungi gue kemanapun gue pergi karena saudara tiri gue nggak bakal tinggal diam. Lima belas juta tiap bulan. Kurang?"
Rado mengambil jaket dan tas kuliah yang ada di samping lalu pergi meninggalkan Risty tanpa salam. Dia merasa permintaan gadis itu terlalu konyol dan Rado tidak memiliki kapasitas untuk itu. Ia memiliki kemampuan ilmu bela diri hanya untuk melindungi orang yang ia kehendaki.
"Songong lo jadi cowok! Sok nggak butuh duit!"
Rado menoleh lalu mengacungkah jari tengah ke arah Risty. Tanpa memakai jaketnya, ia memacu motor sport hitam miliknya melewati Risty begitu saja.
"Shit!"
***
Sasha : Rado, jangan makan di luar ya? Tadi aku bikin mie ayam spesial buatan sendiri. Khusus buat kamu ada sosis bakarnya.
Dua tahun hidup satu atap dengan Rado, membuat Sasha cukup mengenal apa yang Rado sukai dan tidak. Walau gangguan mentalnya telah terminimalisir dengan baik, sudah menjadi keharusan bagi Sasha untuk memperhatikan kebutuhan nutrisi dan gizi adik iparnya itu.
Rado : Ya, Mbak.
Perhatian lebih yang Sasha berikan bertujuan untuk mengorek rahasia apa yang membuat Rado menjadi begitu menjaga jarak dengan Kian selama satu minggu ini.
Tidak ada yang tahu jika Rado ketakutan dan cemas tiap bertemu Kian akibat ulahnya meniduri Sasha secara diam-diam. Beruntung Kian tidak frontal mencari tahu alasan Rado menghindar karena ia tidak mau Rado tidak nyaman di rumah atau nekat dengan menyakiti diri sendiri.
Seperti biasa, Shakira akan begitu bahagia ketika Rado baru datang dari kuliah. Gadis ciliknya Kian itu merengek minta digendong.
"Kamu mau disayang juga?" Tanya Rado dengan senyumnya ketika Shakira berlari ke arahnya.
"O ado ayang."
Kegugupan yang tadi menjalari benaknya karena melihat mobil Kian telah terparkir digarasi, menguap begitu saja ketika Shakira menggelayut manja. Tanpa lama-lama, Rado menciumi pipi balita itu dengan gemas hingga terkekeh senang.
"Do, ayo makan. Udah aku siapin sama lemon hangatnya juga." Itu suara merdu Sasha.
Dan dalam sekejap hati Rado membungah diikuti senyum yang merekah. Ia begitu bahagia jika Sasha memberinya perhatian lebih. Dalam benak Rado, wanita mana yang sudi mencintai dirinya setulus ini jika bukan Sasha.
Dimatanya, Sasha adalah sosok perempuan idaman.
"Mas, ayo makan dulu." Sasha berucap ketika Kian baru selesai mandi.
"Tunggu bentar, Sha. Aku mau ganti memori CCTV rumah. Udah penuh kayaknya."
Jantung Rado seperti berhenti mendadak ketika mendengar kata 'rekaman CCTV'. Rado ingat jika bagian dalam rumah juga dipasang CCTV dan itu artinya jika Kian melihat rekaman saat Rado menggendong Sasha menuju kamar satu minggu lalu, bukan tidak mungkin Kian berubah murka.
Rado sangat tahu seberapa besar cinta Kian untuk Sasha.
"Do, ayo sini makan." Ajak Sasha namun Rado bergeming dan mulai terlihat cemas.
Sasha yang menyadari ada ketidakberesan di dalam diri Rado pun mendekat. "Do, kenapa? Kamu ada masalah di kampus?"
Ia tiba-tiba menjaga jarak dari Sasha lalu menurunkan Shakira dari gendongan.
"Rado? Ada apa?" Sasha makin yakin jika Rado menyembunyikan sesuatu yang membuatnya enggan bercerita.
Dengan langkah lebar bahkan setengah berlari, Rado menuju kamar dan menguncinya rapat-rapat. Meski Kian dan Sasha membujuknya untuk keluar, ia tidak mempedulikan. Bahkan menutup telinganya rapat-rapat sambil bersembunyi di sudut kamar.
"Jangan panggil aku lagi! Tinggalin aku sendiri!"
***
Gangguan kecemasan dan kelekatan akibat trauma yang Rado derita akan selalu ada dan berkembang lebih ganas jika pemicunya hadir. Maka dari itu ia tidak pernah benar-benar bisa melepaskan diri dari konseling dan obat-obatan.
Rumah konseling tak ubahnya seperti rumah sakit jiwa mini dengan beberapa pasien gangguan mental ringan. Rado merasa jika rumah konseling terasa dingin dan tidak hidup sama sekali, seperti dipenjara.
Ia pernah merasa tertekan karena bersedia dibawa ke rumah konseling untuk dibina saat masih SMP. Bukan semakin membaik, Rado justru memohon kepada Mama dan Kian untuk dibawa pulang dengan syarat akan patuh dengan semua perintah keduanya.
"Gue cuma perlu dikasihani dan disayangi, bukan ditaruh disana buat dibina. Gue nggak mau. Gue nggak gila. Gue normal."
Tangannya menggenggam erat buku catatan kesehatan mental sambil memejamkan mata.
Jika gangguan kecemasan ini terbangun maka Rado tidak memiliki pilihan selain menghubungi ahlinya. Dia perlu obat penenang dan Dokter Rafael yang bisa membimbingnya melawan kecemasan itu.
Rado terpaksa menerima satu hal konyol yang kemarin sempat Risty tawarkan. Karena itu jalan tercepat yang bisa ia tempuh.
"Halo, Kai. Gue Rado. Bisa hubungin gue ke Risty?"
"Halo, Kai. Ini gue, Rado.""Rado? Oh ya, kenapa?""Bisa hubungin gue ke Risty?""Tunggu bentar."Terdengar suara gelak tawa beberapa perempuan di sambungan telfon."Halo?""Ris, gue Rado."Tawa Risty terdengar mengejek. Selain cantik, kaya, dia juga sedikit sombong."Butuh gue juga lo heh?!"Rado mengangguk meski Risty tidak melihatnya. "Ya.""Untung gue masih berbaik hati nerima lo.""Bisa ketemu dimana?""Nggak sabaran banget? Lo butuh duit banget emangnya heh?!"Tidak dipungkiri jika Rado teramat membutuhkan uang itu. Hatinya sangat gusar karena tidak mampu melawan gangguan kecemasan dan kelekatan ini seorang diri.Pun, obat penenang yang ia simpan baik-baik hanya tinggal satu butir. Obat itu tidak bisa dibeli sembarangan tanpa resep dokter."Bisa ketemu sore ini?""Oke. Gue share tempatnya."Dan sore yang mendung itu, Rado memaksa keluar dan beralasan pada Kian dan Sasha akan berlatih bela diri karena perubahan jadwal. Semenjak ia kuliah di kota dan tinggal satu atap bersama, per
Rado menghentikan aksinya dengan jantung berdegub kencang. Bahkan bisa dipastikan tubuhnya dipenuhi kecemasan yang luar biasa. Beruntung ia tidak bersembunyi di balik mobil Ziany, melainkan di mobil sebelahnya dengan memejamakan mata begitu erat. Nafasnya seperti orang sehabis lari tanpa berhenti sama sekali. "Oey, Man! Buruan! Ngapain lo kesana." Kali ini dewi fortuna berada di pihak Rado. Beruntung seseorang memanggil lelaki yang meneriaki aksi Rado. Tanpa melanjutkan langkahnya menuju mobil Ziany, lelaki itu berbalik arah ke temannya. Tubuh Rado meluruh di badan mobil lalu kembali terpejam sesaat untuk mengumpulkan kewarasan dan tenaga yang mendadak tersedot entah kemana. Setelah tenaganya sedikit kembali dan degub jantungnya tidak sekencang tadi, Rado berdiri dengan susah payah sambil berpegangan pada badan mobil.Selesai?Tidak. Ia masih harus memotretnya sebagai bukti pada Risty jika tugasnya telah usai. Bukannya memotret, jemari tangan Rado yang telah basah keringat dingin
"Aku tahu apa konsekuensinya kalau Mas Kian tahu aku pernah meniduri Mbak Sasha secara diam-diam." Rado berucap dengan pandangan menunduk menerawang jauh."Tapi aku sendiri juga nggak bisa jauh dari Mbak Sasha. Dia penyemangatku, Kak Raf. Cinta pertamaku."Dokter Rafael mengangguk sambil menepuk pundak Rado. "Masih banyak perempuan disana yang mau sama kamu, Do. Jangan berpikir perempuan yang bisa ngerti kamu cuma kakak iparmu aja."Rado menggeleng. "Nggak, Kak Raf. Aku udah terlanjur nyaman sama perasaan ini meski salah.""Aku tanya, tapi kamu harus jujur. Gimana caranya kamu bisa nidurin kakak iparmu?"Rado menatapnya gamang."Bilang aja. Kan kita teman. Aku tempatmu berkeluh kesah.""A... aku... " jeda, Rado seperti tidak siap mengatakannya tapi konseling adalah waktu dimana ia harus terbuka dengan Dokter Rafael untuk membuang segala kecemasannya."Aku... kasih... obat penenang milikku."Selanjutnya Rado tertunduk takut dan malu tapi Dokter Rafael justru menepuk pundak Rado. Sebena
POV RADOTidak kupungkiri jika Mbak Sasha adalah cinta pertamaku, wanita kedua setelah Mama yang merawatku dengan penuh kasih ketika aku sudah pindah ke kota. Dia bisa meraih hatiku yang keras dan dingin menjadi penuh cinta dan sayang meski itu masih hanya untuknya dan keluargaku. "Rado, jangan begini.""Aku capek, Mbak.""Kalau capek kamu duduk. Bukan nempel ke aku kayak gini.""Kan biasanya aku juga kayak gini ke kamu, Mbak."Bukan hal baru jika aku sering memeluk dan bermanja-manja pada Mbak Sasha. Dan itu kerap kulakukan tanpa sepengetahuan Mas Kian jika aku merasa pelukan ini terlalu intim dan berani."Tapi aku yang nggak bisa siapin makan buat kamu kalau kayak gini, Do." Perlahan Mbak Sasha melepas rengkuhan tanganku yang melingkar di perutnya. Debaran, gairah, dan hasrat bisa begitu dekat dengannya yang hanya memakai pakaian tidur berbahan satin, terpaksa harus diakhiri. Sebenarnya aku tidak mau kesenangan ini cepat berlalu. "Kamu duduk di sini aja gih." Dengan lembut dia m
Kata pepatah, lebih baik mencintai dari pada dicintai. Karena itu sama dengan lebih baik memberi dari pada diberi. Tapi bagaimana jika hanya bisa mencintai tapi tidak pernah dicintai kembali? Bagi lelaki introvert, nyatanya aku lebih banyak tersenyum dan bisa berbicara dengan beragam konteks bila itu bersama Mbak Sasha. Karena dia yang membuat hatiku berbungah bahkan berdebar walau hanya berada di dekatnya. Perasaan hebat ini datang untuk pertama kalinya meski bermuara pada wanita yang keliru. Namun aku tidak menyesalinya karena jatuh cinta membuat hidupku berwarna dan merasa selalu ingin mendapatkannya.Namun, sebelum jatuh cinta ini menjadi bumerang karena Mas Kian telah menyimpan rekaman CCTV rumah, aku memberanikan diri mencarinya sebelum berangkat ke apartemen Risty. Aku tidak mau Mas Kian melihat ulah brengsekku karena telah lancang mencumbu istrinya. "Sial! Dimana Mas Kian nyimpen rekaman itu?!" Geramku. Tanganku bergerak tergesa-gesa membuka dan menutup laci meja yang ada
Brak!Usai menutup pintu unit apartemennya dengan tergesa-gesa hingga berbunyi keras, Risty menatapku dengan raut cuek. Bahkan ia tidak peduli dengan pakaian minimnya yang memperlihatkan dengan jelas lengan tangannya yang putih merit tanpa lemak itu. Rambutnya yang digerai bebas dengan bagian ujungnya di bentuk rol seperti rambut para noni-noni Belanda, membuat tampilannya begitu berkelas. Khas anak gadis jaman sekarang dari keluarga terpandang. "Santai aja lagi, Do." Ucapnya santai lalu berlalu ke dalam unit apartemennya. Aku hanya berdiri mematung sembari menatap kepergiannya. Dia benar-benar memiliki kehidupan bebas hingga tidak mengapa aku melihat bagian lekuk tubuhnya. Perempuan kaya nan berkelas macam apa dirinya ini? Bukankah sebagai seorang perawan dia seharusnya menjaga keindahan tubuhnya untuk seorang yang berarti untuknya? Bukan mengumbarnya dihadapanku yang hanya bertugas sebagai bodyguardnya saja?Pantas jika bodyguard sebelum aku tidak bisa menahan nafsunya untuk tida
Tangan Risty memukul kedua tanganku yang bertengger di kedua pundaknya lalu menyorotku dengan tatapan kesal bercampur marah. Bukan apa-apa, tapi secara reflek aku ingin melindunginya. "Apa-apaan sih lo, Do?! Lepasin deh!" "Lo nggak lihat Ziany ngejar kita, heh?! Belum lagi premannya yang bisa aja udah nungguin kita di depan pagar!" Ekor mataku menangkap sosok perempuan yang tidak kukenal namun memiliki selera gaya berpakaian yang sama dengan Risty. Kurang bahan dan sebenarnya ... memalukan! Dia berjalan cepat ke arah kami dengan rambut rebondingnya diterpa angin pagi setengah siang di area parkir motor apartemen Risty. Namun, sebelum dia mencapai tempat dimana aku dan Risty berdiri, dengan sigap aku segera melingkarkan kedua lengan hoodie hitam milikku ke perut Risty. "Rado! Apaan sih?!" "Bisa diem nggak?!" Tanyaku lirih namun tajam. Risty sedikit terhenyak ketika mendapatiku untuk pertama kalinya bersikap begitu tegas kepadanya. "Gue nggak mau bonceng cewek yang pakaiannya
"Gimana rasanya boncengan sama cewek cantik, seksi, dan tajir kayak Risty heh!?" Aku menoleh begitu pundakku ditepuk sedikit kencang oleh lelaki yang kutahu bernama Richard. Lelaki berkulit putih dengan wajah setengah bule yang hobi bermain basket sekaligus ketua BEM fakultasku. Sekilas dari yang pernah kudengar, dia pernah dekat dengan Risty namun belakangan ini anak-anak kerap membicarakan hubungan mereka yang telah kandas. Alasannya simple, Risty sudah merasa bosan dengan Richard. Seperti itulah Risty. Dia memiliki harta, kecantikan, dan otak yang tidak bodoh. Wajar jika banyak lelaki yang ingin menjadikan dia sebagai kekasih. Dan mungkin Richard tidak terima jika bunga seindah Risty ingin mengakhiri hubungan atas nama 'bosan'. "Sorry, gue nggak ada urusan sama lo." Ucapku datar. Aku segera menuruni motor sport hitam milikku. Tapi sebelum aku melangkah pergi, tangan Richard kembali meraih pundakku. Reflek aku menggunakan seujung tenagaku untuk melepaskan diri darinya. Bela dir