enjoy reading ....
Perceraian Risty sudah diserahkan pada pengacara kepercayaan Kak Alfonso. Dia hanya tidak mau waktunya terkuras habis memikirkan perceraian yang diprediksi bakal alot itu. “Aku mau perceraian kami tahu beres, Mas. Masa bodoh sama harta dan warisan itu. Yang penting aku bisa lepas dulu dari Richard,” ucap Risty malam itu di rumah Mas Kian. “Apa yang jadi hakmu bakal aku perjuangin sama pengacara, Ris.” Kepala Risty mengangguk, “Makasih, Mas. Tapi aku nggak berharap banyak.” “Belum dicoba. Jangan pesimis dulu.” Aku yakin jika Kak Alfonso bisa membantu Risty memenangkan perceraian itu secara adil Semoga saja karena Risty benar-benar seperti perempuan tanpa keluarga. Bahkan Risty merelakan warisan dari Papanya jatuh ke tangan nenek kakeknya karen tetap memilih bercerai dari Richard. Apapun konsekuensinya Risty sudah pasrah dan memilih menjalani kehidupan selanjutnya sesuai versi dan kemampuannya sendiri. Kini, ia jauh lebih selektif menggunakan uang dari pada biasanya. Sudah pasti k
Akhirnya persidangan perceraian Risty dan Richard selesai digelar. Perjuangan berat dan besar Kak Alfonso memenangkan harta Risty yang tidak seharusnya dibagi akhirnya dikabulkan oleh pengadilan. Richard mendapatkan harta gono gini namun tidak dengan warisan Risty dari Papanya yang telah tiada. Walau begitu, masih ada masalah lain yang belum terselesaikan tapi Risty memilih untuk mundur. "Aku mundur, Mas Al," ucapnya pada Kak Alfonso. Aku, Risty, Kak Alfonso, dan pengacaranya sedang duduk bersama di ruang tamu rumah Mas Kian untuk membahas hasil persidangan hari ini. Kemudian Risty meletakkan berkas pengadilan yang tebal itu di meja kaca ruang tamu. "Aku bertekad mandiri, Mas Al. Masalah warisanku yang masih dikuasai Nenek dan Kakek, aku nggak peduli lagi. Terserah mau mereka apakan harta Papa." Kak Alfonso memandang Risty tidak habis pikir. "Ris, itu hakmu. Warisan itu bisa kamu pakai untuk modal bisnismu." "Lalu berjuang lagi di pengadilan? Aku lelah, Mas Al." "Kakek da
Setelah mencampurkan serbuk obat penenang miliknya dengan dosis ganda ke dalam teh, Rado tersenyum tipis lalu meletakkannya di atas baki. "Kalau kemarin Mas Kian dapat perhatian sama kasih sayangnya Mbak Sasha, malam ini jatahku." "Hidup Mas Kian amat sempurna. Aku mengaku iri." "Nggak punya gangguan mental, karir cemerlang, otak cerdas, wajah ganteng, punya anak lucu, sama ... istri yang perhatian kayak Mbak Sasha." "Satu aja, Mas. Satu aja. Aku pengen kita berbagi kasih sayangnya Mbak Sasha." "Aku butuh perhatian, aku pengen disayang, aku pengen dicintai." Rado, pemuda dengan gangguan mental akibat trauma lima belas tahun silam akhirnya merasakan apa itu jatuh cinta. Namun sayang, cintanya tumbuh untuk wanita yang salah, yaitu kakak iparnya sendiri. "Mbak Sasha itu dulu harusnya nikah sama aku. Bukan sama kamu, Mas." Dulu, saat Kian enggan menikahi Sasha akibat hamil di luar nikah, Rado lah yang digadang menikahinya. Namun siapa sangka, di tengah jalan Kian datang lalu berse
"Calarado Zimario Mahardika. Aktif di organisasi bela diri. Udah pegang sabuk biru. Cenderung introvert, nggak punya teman, nggak ada yang tahu siapa keluarganya. Tapi dari pantauan detektif, dia dari keluarga berada."Kaika menunjukkan foto rumah Rado yang terpotret oleh detektif sewaan Risty. "Di kelas dia juga pendiam banget. Nilainya juga nggak lebih bagus dari gue."Rado berada satu kelas perkuliahan bersama Kaika dan Risty. Dan sudah menjadi rahasia seluruh kampus jika Risty memiliki julukan Nona Muda karena berasal dari keluarga bergelimang harta."Terus, kamu mau apain si Rado?"Risty membuka salep untuk mengobati memar yang nampak samar di pipinya akibat pertengkaran dengan saudara tirinya, Ziany. Mereka sama-sama menuntut ilmu di universitas terkenal itu namun berbeda fakultas. "Hubungi dia, bilang aja Risty pengen ketemu.""Ris, stop berantem sama saudara tiri lo! Emang lo nggak takut kalau Ziany khilaf bawa pisau?!" Ucap Kaika, sahabat sekaligus tangan kanan Risty di kam
"Halo, Kai. Ini gue, Rado.""Rado? Oh ya, kenapa?""Bisa hubungin gue ke Risty?""Tunggu bentar."Terdengar suara gelak tawa beberapa perempuan di sambungan telfon."Halo?""Ris, gue Rado."Tawa Risty terdengar mengejek. Selain cantik, kaya, dia juga sedikit sombong."Butuh gue juga lo heh?!"Rado mengangguk meski Risty tidak melihatnya. "Ya.""Untung gue masih berbaik hati nerima lo.""Bisa ketemu dimana?""Nggak sabaran banget? Lo butuh duit banget emangnya heh?!"Tidak dipungkiri jika Rado teramat membutuhkan uang itu. Hatinya sangat gusar karena tidak mampu melawan gangguan kecemasan dan kelekatan ini seorang diri.Pun, obat penenang yang ia simpan baik-baik hanya tinggal satu butir. Obat itu tidak bisa dibeli sembarangan tanpa resep dokter."Bisa ketemu sore ini?""Oke. Gue share tempatnya."Dan sore yang mendung itu, Rado memaksa keluar dan beralasan pada Kian dan Sasha akan berlatih bela diri karena perubahan jadwal. Semenjak ia kuliah di kota dan tinggal satu atap bersama, per
Rado menghentikan aksinya dengan jantung berdegub kencang. Bahkan bisa dipastikan tubuhnya dipenuhi kecemasan yang luar biasa. Beruntung ia tidak bersembunyi di balik mobil Ziany, melainkan di mobil sebelahnya dengan memejamakan mata begitu erat. Nafasnya seperti orang sehabis lari tanpa berhenti sama sekali. "Oey, Man! Buruan! Ngapain lo kesana." Kali ini dewi fortuna berada di pihak Rado. Beruntung seseorang memanggil lelaki yang meneriaki aksi Rado. Tanpa melanjutkan langkahnya menuju mobil Ziany, lelaki itu berbalik arah ke temannya. Tubuh Rado meluruh di badan mobil lalu kembali terpejam sesaat untuk mengumpulkan kewarasan dan tenaga yang mendadak tersedot entah kemana. Setelah tenaganya sedikit kembali dan degub jantungnya tidak sekencang tadi, Rado berdiri dengan susah payah sambil berpegangan pada badan mobil.Selesai?Tidak. Ia masih harus memotretnya sebagai bukti pada Risty jika tugasnya telah usai. Bukannya memotret, jemari tangan Rado yang telah basah keringat dingin
"Aku tahu apa konsekuensinya kalau Mas Kian tahu aku pernah meniduri Mbak Sasha secara diam-diam." Rado berucap dengan pandangan menunduk menerawang jauh."Tapi aku sendiri juga nggak bisa jauh dari Mbak Sasha. Dia penyemangatku, Kak Raf. Cinta pertamaku."Dokter Rafael mengangguk sambil menepuk pundak Rado. "Masih banyak perempuan disana yang mau sama kamu, Do. Jangan berpikir perempuan yang bisa ngerti kamu cuma kakak iparmu aja."Rado menggeleng. "Nggak, Kak Raf. Aku udah terlanjur nyaman sama perasaan ini meski salah.""Aku tanya, tapi kamu harus jujur. Gimana caranya kamu bisa nidurin kakak iparmu?"Rado menatapnya gamang."Bilang aja. Kan kita teman. Aku tempatmu berkeluh kesah.""A... aku... " jeda, Rado seperti tidak siap mengatakannya tapi konseling adalah waktu dimana ia harus terbuka dengan Dokter Rafael untuk membuang segala kecemasannya."Aku... kasih... obat penenang milikku."Selanjutnya Rado tertunduk takut dan malu tapi Dokter Rafael justru menepuk pundak Rado. Sebena
POV RADOTidak kupungkiri jika Mbak Sasha adalah cinta pertamaku, wanita kedua setelah Mama yang merawatku dengan penuh kasih ketika aku sudah pindah ke kota. Dia bisa meraih hatiku yang keras dan dingin menjadi penuh cinta dan sayang meski itu masih hanya untuknya dan keluargaku. "Rado, jangan begini.""Aku capek, Mbak.""Kalau capek kamu duduk. Bukan nempel ke aku kayak gini.""Kan biasanya aku juga kayak gini ke kamu, Mbak."Bukan hal baru jika aku sering memeluk dan bermanja-manja pada Mbak Sasha. Dan itu kerap kulakukan tanpa sepengetahuan Mas Kian jika aku merasa pelukan ini terlalu intim dan berani."Tapi aku yang nggak bisa siapin makan buat kamu kalau kayak gini, Do." Perlahan Mbak Sasha melepas rengkuhan tanganku yang melingkar di perutnya. Debaran, gairah, dan hasrat bisa begitu dekat dengannya yang hanya memakai pakaian tidur berbahan satin, terpaksa harus diakhiri. Sebenarnya aku tidak mau kesenangan ini cepat berlalu. "Kamu duduk di sini aja gih." Dengan lembut dia m