Peserta lomba dan guru pendamping beserta siswa yang bertugas sebagai penyemangat tiba di tempat perlombaan tepat jam delapan. Jarak antara sekolah Yandi dan sekolah tempat lomba tersebut dilaksanakan memang tak cukup jauh. Inilah Yang membuat mereka tak perlu waktu yang panjang untuk menuju sekolah tersebut. Selain karena jarak yang dekat, kedatangan mereka yang lebih awal pun dilakukan agar tak terburu-buru nantinya.
Lomba cerdas cermat hari ini dimulai tepat pukul sembilan. Para peserta lomba dari berbagai sekolah saat itu sedang mempersiapkan diri mereka sebelum lomba dimulai. Semua peserta saat itu sibuk membaca buku yang dibawa mereka. Mulai dari membaca buku-buku yang berisi rumus hingga buku catatan yang dibawa para peserta lomba.
Di sisi lain ruang di mana para peserta sedang sibuk menyiapkan diri mereka, Yandi sama sekali tak membuka bukunya. Ia asyik mendengarkan musik dengan menggunakan earphone (alat pendengar) berwarna hitam miliknya.
Para siswa yang berasal dari sekolah yang sama dengan Yandi, merasa kesal saat melihatnya asyik sendiri tanpa mempersiapkan diri seperti yang dilakukan peserta lainnya. Sikap Yandi tak hanya menarik perhatian siswa di sekolahnya. Para siswa yang berasal dari sekolah lain pun turut memperhatikan Yandi yang terlihat tak peduli pada hasil dari perlombaan ini.
“Dasar sok pintar!” ujar Reza yang kesal saat melihat tingkah Yandi.
“Untung aja gue gak se-tim ama manusia kayak dia,” gumam Reza sambil melirik Yandi yang berada di belakangnya.
Para siswa yang hadir untuk menyemangati peserta lomba saat itu, juga turut membisikkan nama Yandi. “Itu anak kok sok banget, sih?!” ujar Rita kesal.
“Sok pintar tuh anak! Lihat aja, paling nanti dia gak bisa jawab,” ujar Dinda tersenyum sombong.
Di sela-sela para siswa yang terus mencibir Yandi, ada siswa yang mendoakan keberhasilannya. Ia adalah seorang siswi yang berasal dari kelas ilmu sosial, yang menjadi salah satu utusan kelasnya untuk memberi semangat kepada peserta lomba. Siswi ini terkenal sebagai siswa teladan di sekolah mereka. Ia dikenal sebagai siswa yang selalu mengikuti peraturan di sekolah dan rajin mengerjakan tugas-tugas sekolah.
“Semoga aja dia bisa.” gadis itu membatin dan terus mendoakan keberhasilan Yandi. Ia berharap Yandi bisa memenangkan perlombaan kali ini, seperti saat ia memenangkan berbagai perlombaan yang pernah diikutinya sebelumnya.
Tak terasa sudah, kini waktu telah menunjukkan pukul sembilan tepat. Lomba cerdas cermat pun dimulai dengan serangkaian acara pembukaan yang singkat.
Setelah serangkain acara pembukaan berakhir, para peserta lomba pun dibagi menjadi empat kelompok sesuai mata pelajaran yang dilombakan.
Yandi yang mengikuti cerdas cermat matematika, berpindah ke lantai dua sekolah itu. Ia bersama timnya dan guru pembimbing, beserta beberapa siswa yang telah dibagi untuk memberi semangat kepada peserta lomba beranjak menuju lantai dua sekolah itu.
Tanpa memakan waktu yang lama, perlombaan pun dimulai saat semua peserta lomba dan penonton memenuhi ruang yang disediakan untuk perlombaan tersebut. Beberapa saat sebelum perlombaan dimulai, para siswa terus saja mencibir Yandi. Bukannya mendukung remaja itu, mereka malah terus mencibirnya hingga ia naik ke atas podium.
Namun, cibiran para siswa itu langsung terhenti saat melihat aksi Yandi yang begitu luar biasa. Kecepatannya dalam menjawab soal-soal yang diberikan pun membuat para siswa yang mencibirnya terdiam.
Kemampuan remaja itu dalam menjawab soal juga membuat para siswa dari sekolah lain ikut tercengang. Inilah yang menjadi alasan kepala sekolah tetap menuruti permintaan Yandi, meskipun hatinya sangat berat.
Yandi yang tampil begitu memukau pun membuat para siswi dari sekolah lain jatuh hati padanya. “Oh my... tu cowok gila banget gak sih?” ujar seorang siswi terkagum-kagum melihat Yandi.
“Iya. Dia hebat banget. Kok bisa dia secepat itu nyakarnya? Padahal gue yang dengar soalnya aja, udah pada panas telinga gue nih,” ujar seorang siswi yang juga kagum dengan remaja itu.
Meskipun ia sedang berusaha yang terbaik, para siswa dari sekolahnya tetap tak mendukungnya. Mereka tetap membisikkan namanya dengan sinis. Namun, masih ada satu siswa yang tetap mendoakan keberhasilan Yandi.
Ia adalah siswa yang berasal dari kelas ilmu sosial. Gadis itu terus menyemangati Yandi dalam diam. Senyuman di wajahnya pun tak dapat disembunyikan lagi saat remaja pria itu menjawab pertanyaan yang diberikan dengan tepat.
“Lo kenapa senyam-senyum?” tanya seorang remaja pria yang berada di samping siswi itu.
“E... enggak kok, gue gak kenapa-napa. Gue senang aja, soalnya skor sekolah kita lebih tinggi dari sekolah lain. Emangnya lo gak senang? Kan kalau mereka menang, kita juga bakalan bangga, karena mereka bawa nama sekolah kita,” ujar gadis itu menjawab setengah benar dan setengah berbohong.
“Gue senang kalau sekolah kita menang. Tapi gue gak senang kalau si pembuat onar itu yang bawa nama sekolah kita,” balas siswa itu sinis.
“Coba aja cewek gue gak sakit. Pasti dia yang bakalan berdiri di depan, bukan si tukang buat masalah itu!”
“Ya mau gimana lagi. Lagian pacar lo sakit, gak mungkin dong dia ikut lomba. Lagian apa masalahnya kalau dia yang gantiin? Orang dia bagus kok.”
“Ha? Bagus? Apanya yang bagus coba?”
“Oh... gue tahu. Lo suka kan sama dia, makanya lo dari tadi kayak ngebelain dia,” ujar siswa itu curiga.
“A... apaan sih? Enggak kok. Emangnya lo gak lihat, semua jawabannya dia benar? Artinya bagus dong. Otak lo tuh ngaco, makanya ngomong sembarang,” ucap gadis itu dan keduanya kembali menonton tanpa berbicara.
Kecurigaan pria itu memang tak salah. Pasalnya gadis itu selalu saja memperhatikan Yandi. Namun ia tak pernah bertatapan dengan remaja itu, apa lagi berbicara. Ia hanya memperhatikan pria itu dari kejauhan, karena merasa dirinya tak pantas bergaul dengan Yandi yang berbeda dari dirinya.
Kemenangan berada pada tangan Yandi dan timnya, begitu ia menjawab soal terakhir dengan benar. “Baik, saya akan membacakan soal terakhir. Tolong dengarkan dengan baik,” ujar seorang pria sebelum membacakan pertanyaan terakhir.
“Setiap bulan Andi selalu menabung uang yang diberikan ayahnya. Di bulan pertama, Andi menabung sebesar lima puluh ribu rupiah. Kemudian pada bulan kedua, ia menabung sebesar enam puluh ribu rupiah, dan pada bulan yang ketiga sebesar tujuh puluh ribu rupiah. Ia menabung setiap bulannya selama tiga tahun. Maka berapa banyak tabungan Andi selama tiga tahun?” Saat pria itu membacakan soal, tangan Yandi sibuk mencakar pada kertas cakaran yang telah disediakan.
Beberapa menit setelah soal dibacakan, Yandi segera menjawab soal itu dengan tepat. “Delapan juta seratus ribu rupiah,” ujar Yandi menjawab soal tersebut.
Para siswa dari sekolahnya langsung berteriak penuh kegembiraan saat jawaban Yandi dinyatakan benar. Mereka sangat senang hingga melupakan cibiran mereka sebelumnya, ketika sekolah mereka mendapatkan kemenangan berkat remaja pria yang dikenal sebagai pembuat onar.
Lomba cerdas cermat tahun ini, dimenangkan oleh SMA Citra. Tiga tim dari SMA Citra mendapat peringkat pertama, dan satu tim lainnya mendapat peringkat kedua.Tim yang mendapat peringkat pertama adalah Yandi dan teman-teman se-timnya sebagai peserta cerdas cermat matematika, kemudian dari tim cerdas cermat biologi oleh Reza, Ino dan Diki, serta satu tim dari cerdas cermat fisika. Sedangkan tim cerdas cermat kimia, mendapatkan peringkat kedua.Pengumuman peringkat lomba cerdas cermat dilangsungkan setelah semua perlombaan berakhir. Seluruh siswa dan guru pendamping yang hadir saat itu, diminta untuk berkumpul di aula SMA Jaya Karsa, di mana lomba itu dilaksanakan.Kini ruangan itu telah dipenuhi oleh seluruh siswa dan para guru pendamping dari tiap sekolah. Walaupun hasil dari perlombaan sudah diketahui, namun para siswa tetap antusias saat pengumuman akan dimulai.“Saya mengucapkan terima kasih untuk adik-adik yang telah berpartisipasi da
Kini bus telah mencapai rute terakhir. Hanya Yandi dan seorang siswi bersama sopir yang berada dalam bus itu. “Kamu di sini, kan?” tanya sopir pada Yandi.“Iya pak. Ini emang tujuan terakhir busnya,” jawab Yandi sambil berjalan ke arah pintu.“Kalau gitu tolong bangunin temannya, ya.”Yandi memandang dengan penuh kesal pada gadis itu. Dengan terpaksa, ia pun membangunkan gadis itu. “Woi! Bangun! Ini udah tujuan terakhir.” Gadis itu benar-benar tertidur lelap, hingga ia sama sekali tak mendengar suara Yandi.“Pelan-pelan banguninnya. Jangan kayak gitu ama cewek,” ujar pria bertopi fedora.“Gak bakalan bangun kalau pelan-pelan, pak. Diteriakin aja gak bangun, gimana kalau pelan-pelan? Yang ada tambah tidur dia.”“Udah, udah, udah. Biar bapak yang bangunin.” Begitu sopir bus itu mengambil alih, Yandi segera turun dari bus.“Dek, udah sampai.” itu membangunkan gadis itu sambil memukul pelan pundaknya.
Di tengah teriknya matahari, Reina harus menempuh jarak sekitar lima koma enam kilometer. Namun, kakinya sudah tak sanggup lagi berjalan setelah menempuh jarak dua kilometer lebih. Tubuhnya gadis itu kini menjadi basah kuyup. Bukan karena dibasahi oleh curahan hujan, melainkan oleh keringatnya.“Woi!” teriak seorang pria memanggil Reina.Langkah gadis itu terhenti, ketika ia mendengar suara itu. Ia memalingkan wajahnya ke sebelah kirinya. Dilihatnya seorang pria berjaket hitam dan bercelana jeans hitam sedang duduk di sebuah sepeda motor matik berwarna putih dengan garis merah.Pria berpakaian serba hitam itu berjalan mendekati Reina, yang hanya berjarak beberapa langkah darinya. “Lo dari SMA Citra?”“Iya,” jawab Reina singkat.“Lo mau ke mana panas-panas gini?”“Mau pulang.”“Emang rumah lo di mana?” Dengan segera Reina mengambil ponselnya dan menunjukkan alamat rumahnya.“Ya udah, biar gue
Sepanjang perjalanan, Andre terus saja menceritakan tentang sosok Yandi pada Reina. Hati gadis itu merasa sangat senang, karena dirinya kini dapat mengenal siswa yang selalu diperhatikannya secara tidak langsung.“Tuhan, jika diizinkan aku mau berteman dengan Yandi. Aku mau membantu dia saat susah.” Dalam hatinya Reina berdoa, ia memohan agar diberikan kesempatan untuk menjadi teman yang selalu sedia membantu Yandi.“Belok kiri atau kanan?” ujar Andre menanyakan arah rumah gadis itu.“Kanan, kanan. Nanti lurus, rumah ketiga. Itu rumah gue,” ujar Reina memberikan penjelasan.Kini kedua siswa itu telah tiba di kediaman Reina. “Makasih banyak, ya. Sorry banget gue udah ngerepotin lo,” ujar Reina berterima kasih setelah keduanya turun dari sepeda motor.“Ya ampun nak... kamu ke mana aja kenapa baru pulang jam segini? Ini udah jam tujuh,” ujar seorang wanita berambut sedagu dengan memakai daste
Tangisan Yeri sudah memenuhi rumah kala waktu masih menunjukkan pukul lima lebih empat puluh menit. Sebenarnya sejak malam hari remaja ini sudah mulai meneteskan butiran-butiran air dari matanya.Suara tangisan remaja pria ini membuat Yandi benar-benar merasa terganggu. Telinganya pun mulai memanas dan ia segera kehabisan kesabarannya mendengar suara tangisan adiknya.“Bisa berhenti nangis gak, sih?!” ujar Yandi memarahi adiknya. Ia yang telah kehabisan kesabaran, menerobos masuk kamar adiknya tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu.“Gara-gara lo nangis dari semalam, gue tuh gak bisa tidur! Emangnya lo gak capek nangis dari malam sampai pagi?!” Yandi merasa kesal, karena ia harus mendengar tangisan adiknya sejak semalam. Kamar mereka yang bersebelahan membuat ia dapat mendengar dengan jelas suara tangisan adiknya.“Lo tahu, bi Ami tuh kemarin capek banget bujuk lo. Udah dibujuk kayak anak bayi juga gak mau diam lagi! Bi Ami tuh berdi
Terlepas dari semua keributan di rumahnya, kini Yandi harus bergegas ke sekolah. “Ah... udah jam segini lagi. Coba aja gue gak ngurusin anak gak jelas itu, pasti gue gak bakalan telat,” ujar Yandi kesal saat ia melihat jam di ponselnya yang telah menunjukkan pukul tujuh tepat.“Ah... bodoh amat, deh.” Yandi sangat kesal pada adiknya yang masih saja menangis di kamarnya. Kini ia benar-benar tak mau memedulikan adiknya lagi. Yandi adalah orang yang tak akan memedulikan seseorang yang tak mendengar ucapannya. Siapa pun orang itu ia tak peduli. Ia punya sebuah prinsip, jika sekali perkataannya tak didengarkan, ia tak akan perduli lagi pada orang itu.Begitu selesai bersiap, Yandi segera bergegas berangkat ke sekolah tanpa menyantap sarapan. Ia bahkan tak berpamitan pada orang rumah saat berangkat ke sekolah.Meskipun ia tahu dirinya akan telat, namun Yandi tetap memilih untuk berjalan kaki. Bahkan ia berjalan dengan santai menuju sekolah.Seperti dugaannya, setib
Setelah menerima uang dari Yandi, Andre segera pergi membeli buku untuk temannya. Di sekolah ini terdapat beberapa kantin yang hanya khusus menjual makanan dan minuman, dan terdapat satu kantin yang menjual beberapa jenis alat tulis di samping menjual makanan dan minuman. Kantin itu berada dekat dengan kelas dua belas Ilmu Sosial.“Andre,” panggil seorang siswi ketika Andre melewati sebuah kelas.Andre membalikkan badannya, dan dilihatnya sesosok murid di hadapannya. “Reina?” Murid itu adalah Reina. Remaja itu merasa sangat senang, karena ia bisa bertemu dengan gadis itu sesuai harapannya.“Lo mau ke mana?”“Oh... ini, gue mau beli buku buat Yandi.”“Emangnya dia gak bawa buku?” tanya Reina penasaran.“Bawa, kok. Cuma Buat nih.... apa lagi namanya... hukuman maksud gue. Biasalah, kita udah sering dihukum.” Saat mendengar alasan Yandi membutuhkan buku, Reina langsung berniat membantu siswa itu lagi.“Ya udah, pakai
Jam istirahat telah berakhir, dan jam pelajaran kedua pun telah dimulai. Jam pelajaran kedua diisi oleh mata pelajaran Kimia yang dibawakan pak Vino. Pak Vino adalah salah satu guru muda di SMA Citra. Kulit putih dan wajah yang terlihat seperti seorang model membuat guru ini populer di kalangan para siswi. Perawakan guru ini memang mampu membuat para siswi tergila-gila padanya. Apa lagi saat para siswi mengetahui dirinya yang belum memiliki kekasih hingga saat ini.Mata pak vino terus saja tertuju ke arah Yandi sejak ia memasuki ruang kelas itu. “Hm... kata guru-guru yang sudah mengajar di kelas ini, dia itu anak yang pintar. Kayaknya aku harus cari tahu seberapa pintar dia.” Pak Vino adalah guru baru di SMA Citra. Ia baru saja menjadi guru di sekolah ini beberapa bulan yang lalu. Namun ia belum pernah mengajar di kelas Yandi, karena saat itu sudah ada guru lain yang mengajar mata pelajaran kimia di kelas itu. Ia baru mulai mengajar di kelas Yandi, setelah guru itu memasuk