Jadi janda karena melahirkan anak autis dan dituduh sebagai pelakor, membuat hidup Maya berada di ambang kehancuran. Namun, semuanya berubah ketika dia bertemu dengan Tristan, lelaki yang ia selamatkan di parkiran kantor tempatnya bekerja. Apa yang terjadi di hidup Maya? Akankah ia berakhir bahagia?
View More“Dasar wanita murahan!”
Plak... tangan perempuan itu menampar pipiku dengan keras. Rasanya sangat panas, kulihat beberapa orang yang ada di lobi tekejut sekaligus senang melihat tontonan gratis.
“Wanita tak tau diri! Jelas-jelas ini nomor kamu, masih saja mengelak! Janda gatel tak tau diuntung! Sini kamu!” Perempuan itu mencoba merengkuhku kembali. Tangannya sudah melayang ke udara, sedangkan aku hanya terpaku mendapat serangan yang bertubi-tubi darinya.
Dadaku bergemuruh hebat, rasanya ingin menampar balik perempuan itu. Namun, tak berselang lama security sudah menyeretnya keluar.
Kini tinggal diriku yang terpaku merasakan nyerinya pipi bekas tangan istri atasanku.
“Maya, bibirmu...” ucap seseorang yang mendekat. Dia adalah Rosa, teman satu devisi. Sebelumnya aku menganggap dia seperti malaikat di neraka jahanam ini. Namun, sekarang sudah tidak. Aku tidak mempercayai perempuan itu lagi.
Tak menggubrisnya, aku memilih untuk masuk ke dalam kamar mandi. Menenangkan diri yang dibuat shock kedatangan tamu tak diundang. Beberapa menit kemudian kudengar beberapa orang masuk dan berbincang-bincang.
“Hei! Kalian tahu? Maya tadi dilabrak istri Pak Kenzo, bahkan sampai kena tampar!” seru seseorang, tapi aku tau jika itu adalah Tina. Orang yang suka bergosip bahkan menyudutkanku tanpa ampun.
“Hahaha... Benarkah? Seandainya aku melihatnya pasti akan terbahak-bahak.”
“Sayang sekali, tadi sangat seru tau. Bahkan seperti sinetron! Istri sah Vs Pelakor. Itu benar-benar kejadian yang sangat menarik, apalagi bagian istri Pak Kenzo menampar Maya. Wah... benar-benar menegangkan,” jelas Tina.
“Pantas saja jika dia mendapatkan tamparan dari istri manager. Maya saja suka menggoda Pak Kenzo, ditambah pakaiannya yang ketat membuatnya begitu menjijikkan,” sahut wanita lain, yang kutahu itu adalah suara Putri.
“Iya benar! Dia juga suka bersikap genit untuk memikat para lelaki di sini.”
“Dia benar-benar layak disebut wanita murahan. Pantas saja menjadi janda, kelakuannya persis seperti wanita panggilan!”
“Hijab yang dia pakai ternyata untuk menutupi kebusukannya. Ih najis banget!”
Aku hanya bisa menundukkan menerima semua makian mereka. Telingaku terasa sangat panas mendengar gunjingan rekan kerja yang tiada habisnya. Tanpa sadar buliran air mata menetes di rok spanku. Rasanya sangat menyiksa, tetapi keadaan yang berada di ambang kehancuran memaksaku untuk bertahan di tempat kerja ini.
Setelah gerombolan orang tersebut keluar dari kamar mandi, segera kuseka wajah yang berantakan ini di wastafel. Terlihat darah di sudut bibirku.
“Ah! Sshhh... perih banget.”
Sudah berapa kali aku mengeluarkan keluhan mendapat perlakuan tak adil dari orang-orang sekitarku. Direndahkan karena menjadi janda, dianggap wanita murahan, pelakor, dijadikan kambing hitam. Semua itu aku terima hanya untuk mendapatkan uang. Demi Bimo anak semata wayangku, diri ini akan berusaha sebaik mungkin menjalani hidup yang berat. Bahkan menguras lautan pun akan kulakukan jika itu untuk putraku. Terlihat mataku yang sembap karena lelah menangis, bekas tamparan perlahan sudah menghilang. Namun, luka di sudut bibir ini menjadi saksi betapa kejinya seseorang menfitnahku.
Kling! Suara notifikasi ponsel membuyarkan lamunanku. Nama Kenzo tertera di layar itu.
[Aku akan balik ke kantor 30 menit lagi, kamu jangan pulang dulu. Langsung ke ruanganku sekarang!]
Aku terkekeh membaca pesan itu. Dia adalah lelaki jahanam yang menjadikanku sebagai wanita rendahan di hadapan orang-orang kantor. Sayangnya, Kenzo juga penyelamatku di kondisi yang menyedihkan ini. Jika bukan karenanya, aku tak akan bertahan hidup hingga sekarang.
“Aku akan meminta ganti rugi yang besar untuk kejadian ini Kenzo. Tunggu saja!”
Tangan ini mencengkram sudut washtafel dengan erat, ingin sekali aku menonjok cermin lebar di depanku. Rasanya tidak adil aku mendapatkan perlakuan tak adil secara bertubi-tubi. Diceraikan karena melahirkan anak autis, dan dianggap pelakor demi menutupi kelakuan bejat wanita bak bidadari kantor. Diri ini terasa akan meledak menahan gejolak emosi yang kupendam sedari lama.
Perlahan tapi pasti panasnya lahar dalam otak kian mendingin seiring basuhan air di wajah.
“Hahhh... aku harus meminta bayaran lebih dari Kenzo. Harga diriku sudah diinjak-injak tanpa ampun. Aku tidak terima!”
Aku berjalan menuju ruangan manajer marketing, tempat laknat yang menjadikanku babu dari teman sepermainan masa kecil. Kulihat ruang kantor sudah kosong, semua pekerja sudah pulang. Kini tinggal aku seorang diri.
“Sudah berapa lama aku menangis di kamar mandi? Apa selama itu sampai kantor menjadi sepi seperti ini?”
Kaki jenjangku tak menghentikan langkahnya sedikitpun. Ketika akan membuka pintu, tiba-tiba Kenzo sudah berada di belakangku.
“Cepat masuk,” perintahnya. Dan aku menuruti perkataan lelaki itu tanpa banyak bicara.
Atasanku itu menjatuhkan amplop coklat di meja.
“Bayaranmu,” ucapnya dingin. Sangat tidak sopan! Namun apa daya, aku hanyalah karyawan kecil yang berada di bawahnya. Manusia dengan kekuatan sebesar semut ini hanya bisa pasrah.
“Sampai kapan kamu akan seperti ini? Aku sudah tahu Zo! Rosa yang jadi selingkuhanmu kan!” emosiku sudah tak tertahankan.
“Shut up! Diamlah! Aku sudah memberimu uang, apa masih kurang?” Mata Kenzo menyala seperti bara api. Urat di wajahnya pun tak ketinggalan menampilkan ekspresi bengis.
“Kurang! Harga diriku kamu jadikan keset, ini tidak cukup untuk menggantinya.”
Lelaki itu mendengkus dengan kesal dan langsung menarik laci yang ada di meja kerjanya.
“Ambil ini semua! Dasar wanita matre!” ketusnya sembari melemparkan dua amplop di depanku. Aku hanya bisa menghela napas dengan kasar. Tingkahnya tidak pernah berubah, seperti anak kecil.
“Berhentilah bermain-main dengan wanita lain. Jika kamu terus-terusan seperti ini, maka dalam sekejap uangmu akan habis,” nasihatku padanya. Meskipun aku jengkel karena mendapatkan kesialan dari ulah Kenzo. Bagaimanapun dia tetaplah sahabatku. Orang yang selalu membantuku ketika mempunyai masalah.
“Berhenti mengoceh mak lampir! Bukankah ini juga membuatmu senang? Kamu bisa mendapatkan uang yang banyak.”
“Asal kau tau, wanita ini sudah tidak ada harga dirinya di hadapan manusia-manusia di luar sana. Ini semua karena ulahmu Zo.”
“Ulahku? Tidak May, ini karena statusmu seorang janda. Ini sangat lumrah disandang wanita sepertimu. Jadi berhentilah menyalahkanku, ambil uang itu dan langsung keluar dari sini!” serunya.
Kudengus napasku dengan kasar, yang dikatakan lelaki itu memang tak sepenuhnya salah. Gelar janda memang memunculkan berbagai pandangan buruk di masyarakat, apalagi ini di Indonesia. Meskipun kantor dipenuhi dengan orang-orang yang berpendidikan, tapi padangan mereka mengenai janda masih buruk. Ya... tidak semua, tapi kebanyakan seperti itu. Aku hanya bisa menerimanya dengan lapang dada.
Melihat Kenzo yang memalingkan wajahnya dariku, kuputuskan untuk keluar dari ruangan ini. Saat akan menutup pintu, tiba-tiba...
“Aku baru saja memberikan nomormu ke kenalanku, baik-baiklah sama dia.”
“Shut up!” tak lupa kutunjukkan jari tengah padanya.
Setelah bertemu dengan Kenzo, aku langsung mengemasi barangku dan pulang. Tiga amplop dengan nominal yang cukup banyak sudah terkantongi dengan aman di tas jinjingku. Langkah kakiku terasa sangat ringan berjalan ke parkiran.
Brukk!!! Tiba-tiba badanku tersungkur di lantai parkiran.
“Aduh.. baru saja merasa bahagia kenapa aku kena apes lagi.”
Mataku melebar melihat pemandangan di depanku, seonggok manusia tengah terbaring di sana.
“Ya Tuhan! Apakah itu mayat!?”
Bersambung...
Baca juga novelku yang lain berjudul :
"Dendam Istri Taruhan" Cerita ini tentang:
Aku terkekeh kecil melihat ekspresi cemberut Mama di layar ponsel. Sementara di sampingku, Tristan memasang wajah tak bersalah, seolah dia bukan biang kerok dari semua perjalanan panjang ini.“Kami rindu, Ma… tapi kan sekalian kerja. Lagian tiap malam video call, kan?” sahutku, mencoba menenangkan.“Iya, iya, tapi kalian harus pulang. Mama kangen. Bimo juga udah mulai rewel nyariin kalian, padahal kemarin dia bilang mau tinggal seminggu lagi. Tapi sekarang tiap malam nanya kapan Mama pulang,” suara Mama melembut, kali ini tidak menyindir lagi, hanya kerinduan tulus seorang nenek dan ibu.Tristan menoleh padaku. Matanya menyiratkan pertanyaan yang tidak ia ucapkan. Tapi aku tahu, aku pun merindukan Bimo. Dua bulan ternyata cukup untuk memulihkan luka, menata hati, dan kini… waktunya kembali.Aku mengusap perutku perlahan, refleks. Gerakan kecil itu belum tampak jelas, tapi kehadirannya sudah nyata. Aku tahu waktunya memberi kabar.“Ma…” aku menggigit bibir, sedikit gugup. “Kami akan pu
Aku mengeratkan pegangan tanganku pada Tristan. Entah kenapa dadak mendadak sesak. Kurasa akan ada berita buruk sebagai kelanjutan kata 'tapi'."Keep calm, darling," bisik Tristan menangkanku. Suamiku sangat menyadari bagaimana keresahanku. Kuanggukkan kepala. "T-tapi apa, Ma?" tanyaku memberanikan diri.Helaan napas keluar dari kedua mertuaku. Bu Ayu menatapku sembari menggigit tipis bibirnya. Kedua tangannya di taruh ke atas meja. "Biarkan Bimo tinggal di sini."Tubuhku menegang. Kali ini aku tidak bisa mengontrol emosi yang akan meluap."Tenang, Maya. Aku tidak bermaksud memisahkan kamu dengan Bimo." Bu Ayu berusaha memberikan penjelasan. Namun, hatiku sangat takut."Kami tidak akan mengambil putramu. Niat kami hanya memberikan kalian ruang dan waktu sebagai pengantin baru. Tolong tenang..."Air mataku jatuh ke pelupuk begitu saja.Aku tidak bisa mengontrol diri."Tenang, darling." Suamiku berusaha menenangkanku, tetapi saat ini aku benar-benar tidak bisa dikontrol. Bu Yati dan Pa
Pagi ini aku terbangun dengan perasaan bahagia. Ada hal berbeda dari rutinitasku sebelumnya. Kini, saat membuka mata, kudapati suamiku menatapku penuh cinta."Morning, Darling," sapanya dengan suara serak basah.Kuberikan senyum terbaikku. "Morning."Tangan Tristan membelai rambutku dengan lembut. Matanya tak lekat menatapku.Kami berbaring sebentar, hanya saling menatap. Aku bisa mendengar detak jantungnya, tenang, stabil—seolah memberitahuku bahwa kini aku aman. Benar-benar aman.Lalu Tristan mencium keningku, turun ke hidung, dan berhenti tepat di bibirku. Sentuhannya ringan, seperti pagi itu sendiri."Ayo kita mandi bareng," ucapnya pelan.Aku mengerutkan dahi sambil menahan senyum malu. "Kamu serius?"Ia mengangguk, lalu bangkit dan menarik tanganku lembut. “Aku pengen mulai hari ini dengan kamu. Dari hal paling sederhana.”Kamar mandi kami dipenuhi aroma lavender dari diffuser yang menyala sejak semalam. Air hangat mengalir dari pancuran seperti hujan lembut. Tristan menggulung
Hari ini.Hari yang dulu kupikir hanya akan jadi angan-angan. Hari di mana aku, seorang janda dengan anak autis, berdiri di depan cermin dengan kebaya putih gading yang dijahit rapi mengikuti lekuk tubuhku. Makeup tipis, veil menjuntai, dan senyum gugup yang tak bisa kusembunyikan.“Maya sayang... kamu cantik banget. Kayak kalau bulan purnama minum kolagen terus ikutan audisi Putri Indonesia,” Paulo berseru dari balik pintu dengan suara cemprengnya. “Aku nggak nangis kok, ini cuma... eyeliner aku meleleh karena... ya, aku terlalu flawless.”Aku tertawa pelan, menatap pantulan wajahku di cermin.“Hari ini kamu resmi jadi istri, May,” gumamku pada diri sendiri. “Dan kamu nggak sendiri lagi.”**Di pelaminan mini tempat akad digelar, suasana begitu syahdu. Dekorasi nuansa putih dan hijau pastel menghiasi seluruh ruangan. Bunga melati menjuntai, cahaya matahari masuk dari jendela besar, menciptakan nuansa sakral yang hangat.Tristan duduk di depan penghulu. Wajahnya tegang tapi penuh teka
Beberapa minggu berlalu, kami mempersiapkan pernikahan. Karena ini adalah acara pernikahan pertama untuk keluarga Kusuma, jadi Mama dan Papa mertua menyiapkannya begitu mewah. Hari ini pun, aku berada di butik bersama keluarga calon suamiku, putraku Bimo, Bu Yati, dan Paulo si cowo feminim. “Sayang, kamu harus pasrahkan tubuhmu pada karya Tuhan bernama siluet couture, oke?” Paulo berseru sambil memutar scarf warna-warni di lehernya. “Jangan ngaku pengantin kalau belum ngerasain dijahit sambil setengah pingsan karena korset!”Aku tertawa pelan. “Jangan nakut-nakutin dong, Poo.”Salah satu asisten butik membantu memakaikanku gaun pertama. Kainnya menjuntai sempurna, detail bordir kristal Swarovski menyebar dari bahu hingga ekor panjang seperti ombak.Ketika tirai fitting room dibuka, semua mata tertuju padaku.Bu Ayu memandang diam-diam, matanya berkaca-kaca tapi penuh kekaguman. Pak Kusuma tersenyum lebar. Bu Yati langsung bertepuk tangan.Tapi, tentu saja… yang paling heboh, Paulo.“
Kulepaskan pelukan Tristan, kembali menatap Bu Ayu. Menunggu jawaban yang dilontarkan Pak Kusuma."Jawab, Ma.""A-aku..." Bu Ayu tampak ragu. Namun aku tau jika beliau memang berat memberikan restu kepada kami."Bisakah kamu merestui mereka? Apa kamu mau nasib kita turun ke putra kita?"Bu Ayu menatap Pak Kusuma dengan mata yang nanar. "Aku menikahimu karena terpaksa, Ayu.""Tapi aku tulus, Mas!" Tampak air muka wanita itu tersakiti. "Maaf. Aku benar-benar minta maaf sama kamu." Kini Pak Kusuma berlutut di depan Bu Ayu. "Sekarang aku menyadari kesalahanku. Waktu itu aku menerima perjodohan karena dipaksa orangtuaku. Tapi, sekarang aku tidak mau Tristan melalui hal sama. Bagaimana kalau pernikahan dia seperti kita?" Pak Kusuma memengang kedua tangan istrinya. "Kalau kamu memisahkan putra kita dengan wanita yang dicintainya, kisah antara aku, kamu, dan Ratna bisa terulang."Air mata Bu Ayu luruh. "Kamu jahat, bagaimana bisa kamu main belakang dengan dia, Mas. Kenapa-""Maaf. Aku sanga
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments