"Sekarang kamu sudah berani menjawab ya!"
"Maaf ya, Bu. Saya permisi."
Kutinggalkan ibu mertuaku yang masih mengomel sendiri. Kacau sekali. Berkali-kali dihina dan dicaci membuatku ingin melawan saja. Memangnya aku ini sampah? Selalu dipandang sebelah mata hanya karena aku tidak bekerja.
Usai mengantarkan Daffa dan Daffi, aku kembali pulang. Banyak hal yang harus kulakukan dari pada merutuki nasibku sendiri. Aku kuat, aku pasti bisa keluar dari zona ini.
"Mbak, mbak Mila! Teriak sebuah suara."
Bu Wandi berjalan tergopoh-gopoh sembari membawa tentengan kresek di tangannya.
"Iya Bu, ada apa?"
"Tadi pagi saya lihat statusnya Mbak Mila, ternyata Mbak Mila bisa bikin aksesoris ya?"
"Oh iya Bu, saya coba-coba pengen jualan online untuk karya handmade saya."
"Alhamdulillah, kebetulan banget mbak. Mbak bisa bikin bros kan?"
"Bisa, Bu."
"Untuk seragaman bisa?"
"Insyaallah, bisa."
"Kalau begitu saya pesan bros seragaman ya untuk ibu-ibu anggota majelis taklim seratus pcs, bisa?"
"Insyaallah bisa, Bu."
"Ikut ke rumah saya dulu yuk, ambil bahannya. Soalnya biar matching sama gamisnya nanti."
"Baik, Bu."
Kami berjalan beriringan dengan Bu Wandi, dia memang aktif di pengajian-pengajian. Ah bodohnya aku, kenapa dari dulu gak promo ke ibu-ibu kompleks perumahan. Bukankah hasilnya lumayan?
"Ini bahannya ya mbak, bikin yang cantik biar modelnya pas sama ibu-ibu."
"Baik, Bu. Nanti saya buatkan samplenya dulu."
"Siap. Makasih ya, pembayarannya gimana nih?"
"Nanti saja ya Bu, kalau saya udah bikin samplenya dan ibu setuju kita sepakati masalah harga."
"Oke. Nanti kabari saja lewat W* ya, biar saya yang datang ke rumahnya Mbak Mila."
"Siap. Terima kasih banyak, Bu."
"Oh iya tunggu. Ini ada cemilan buat dedek."
"Alhamdulillah, terima kasih banyak ya Bu, saya permisi."
Bu Wandi tersenyum ramah. Bersyukur hari ini aku bertemu Bu Wandi, bukan ibu-ibu yang doyan bergosip.
***
"Mil, ngapain kamu pasang status jualan kayak gitu? Udah gak ada kerjaan lain ya!" ucap Mas Haikal dengan nada menyentak.
Aku tertegun mendengarnya. Apa saja yang kulakukan selalu salah di matanya.
"Memangnya kenapa, Mas? Gak ada larangan kan?"
"Aku yang larang, Mil! Kamu malu-maluin aku jadi suami. Istri manager masih aja jualan. Malu aku Mil, dicibir saudara kalau aku gak bisa ngatur istri!"
"Mas, yang penting kan halal. Aku juga pengin punya uang sendiri. Kalau kamu memberiku uang lebih, mungkin aku gak akan repot-repot seperti ini."
"Halah kamu ini sekarang kalau dibilangin ngeyel! Mana jualannya gak bermutu blas! Jualan kok dari barang-barang bekas sampah seperti itu. Dasar pemulung! Gak malu kamu dikatain pemulung sama orang-orang?"
"Gak mas, aku gak malu. Terserah penilaian orang seperti apa, yang penting aku tidak minta makan sama dia!"
"Aku yang malu, Mil! Kamu seperti melempar kotoran ke wajahku! Kamu kayak gak ada kerjaan lain aja. Melamar kerja di kantor kek!"
Ya, itulah yang kutakutkan selama ini. Suami pasti marah kalau aku ketahuan jualan. Dia malu, dia gengsi. Dipikirnya berjualan seperti ini adalah pekerjaan yang hina. Tapi apa boleh buat, terpaksa ini kulakukan demi menyambung harapan. Dia tidak tahu saja, selama ini uang yang digunakan untuk menyambung hidup kalau uang darinya habis adalah uang dari hasil kreasi barang bekas.
"Kalau aku kerja di kantor, memangnya siapa yang mau menjaga anak-anak, Mas? Kamu mau nyewa ART?"
"Hiliiih, enak aja sewa ART. Gajiku habis nanti! Belum buat bayar cicilan mobil dan juga rumah ini, masa harus bayar ART juga!"
"Ya sudah, kenapa masih protes?"
"Tapi jangan jualan seperti itu, Mil! Malu aku jadi suami! Kayak gak ada jualan yang lebih wah gitu! Biar gak malu-maluin banget jadi istri manager!"
"Maksudmu jualan yang seperti apa, Mas?"
"Tupperware kek atau perhiasan, baju dan tas-tas branded kayak yang dijual sama Mbak Indah, kan kelihatan lebih berkelas."
"Memangnya kamu mau kasih modal buat aku, Mas?"
Mas Haikal kembali terbungkam. Ia hanya menggaruk-garuk kepala yang tak gatal.
"Kalau gak dikasih modal, mana bisa aku berjualan barang berkelas seperti yang kau maksud itu? Buat makan aja kurang!"
"Pokoknya aku melarangmu untuk jualan kreasi murahanmu itu!"
"Terserah, Mas. Aku gak peduli. Walaupun kau melarang, akan tetap kulakukan. Yang penting aku dapat hasil dari yang aku kerjakan."
"Berani ya sekarang sama suami! Baru berjualan receh gitu aja belagu!! Dapat duit berapa sih kamu sampai belagu kayak gitu?!"
"Banyak yang kudapatkan, Mas. Terutama kepuasan batin. Sebaiknya, jangan hina profesi seseorang, siapa tahu mereka bisa maju dan suatu saat mereka justru akan melampauimu yang pekerja kantor."
"Hahaha, ngimpi kamu Mil! Sekali pemulung, tetap aja pemulung. Gak bakalan jadi kaya. Kalau mau kaya kerja di kantor jadi staff ataupun manager, punya gaji tetap, punya tunjangan dan bonus. Jualan kayak gitu? Mana ada?!"
"Apa kamu berpikir selamanya akan jadi pekerja kantor? Siapa tahu suatu saat kena pecat?"
"Kamu nyumpahin aku dipecat dari kantor?"
"Tidak."
"Terus kenapa bilang seperti tadi."
"Kan kita harus antisipasi dengan segala kemungkinan terburuk yang terjadi! Perusahaan bangkrut misalnya, dan karyawan harus diberhentikan dari kantor."
"Tidak mungkin! Perusahaan tempatku bekerja adalah perusahaan besar dan cabang-cabangnya ada di beberapa kota besar. Tidak mungkin bangkrut semudah itu."
Aku terdiam. Bila ditanggapi, dia akan terus mendebat. Ingin menang sendiri, itulah sikap suamiku. Sudah banyak waktu kulakukan untuk mengalah darinya. Baik, kita lihat saja Mas. Karena penghinaanmu ini, membuat tekadku makin bulat. Aku ingin maju dengan barang-barang kreasiku yang kau hina. Barang-barang sampah yang bagi sebagian orang tak berguna, tapi itu sangat berguna bagiku. Dari barang sampah itu kusulap jadi kreasi yang cantik dan menghasilkan rupiah.
Hatiku terlanjur sakit. Kali ini, aku akan mengumpulkan uang sendiri. Tak peduli bagaimana dengan kebutuhan rumah. Bila ada bahan yang dimasak, akan kumasak, bila tak ada ya biarkan saja. Aku dan anak-anak akan makan diluar.
"Mil, ini kenapa makanannya yang tadi pagi? Kamu gak masak yang lain?" tanya Mas Haikal setelah puas berdebat denganku.
"Makan aja yang ada. Tadi pagi kan cuma belanja itu. Kenapa masih protes!"
"Ck!"
Walaupun berdecak kesal, ia masih memakan masakanku dengan lahap. Mungkin kecapekan telah berdebat denganku tadi.
"Mas, ini tagihan listrik sama air untuk bulan ini, belum kau bayar."
"Berapa?" tanyanya sambil terus menatap layar handphone.
"Listrik 300 ribu, Air 300 ribu."
"Apa? Sebanyak itu? Kamu boros ya!"
"Mas, listrik dan air kan pemakaian bersama, kenapa aku yang dibilang boros?"
"Aku gak mau bayar!"
"Aneh kamu, Mas! Memangnya kamu mau gak mandi terus baju-baju kotor dibiarkan numpuk gitu aja? Rumah gelap, gak ada hiburan apa-apa? Gak malu ya digosipi tetangga, kalau seorang manager gak mampu bayar tagihan listrik dan air?"
"Ck!"
"Ck! Dasar istri gak becus, bisanya nyusahin aja!"Ia mengambil dompet dan mengeluarkan uang enam ratus ribu dari lalu diserahkan padaku."Kenapa gak bayar sendiri ke minimarket?""Halah, aku capek. Kamu aja yang bayarin, yang penting ada struknya."Dasar pelit!"Tadi sore Pak RT juga kesini, meminta uang kebersihan 100 ribu.""Bayarin kamu dulu lah katanya kamu jualan.""Dih, kamu yang bilang sendiri kan kalau jualanku itu cuma recehan. Kok malah minta ke aku. Gak malu apa, Mas?""Iya, iya, pusing aku dengar kecerewetanmu! Nih uangnya."Sabar, sabar. Sampai kapan penghinaan ini terjadi, aku harus bisa melaluinya.***Drama pagi-pagi pun masih sama seperti kemarin, entah kenapa Mas Haikal cerewet sekali. Kok ada lelaki yang bermulut lemas seperti dirinya. Ya, mungkin sikapnya menurun dari
"Jangan kau bakar harta karunku! Setidaknya kalau kamu tidak bisa memberikan kebahagiaan, jangan pernah menambah luka!""Apa-apaan sih kamu, Mil! Lebay banget! Cuma sampah gitu doang aja marah-marah!""Jangan kau rusak kesenanganku! Kau boleh menganggap ini sampah. Tapi tidak bagiku!""Udah deh Mil, gak usah berlebihan!""Kamu yang membuatku seperti ini, Mas! Apa kamu tidak sadar telah menyakiti hatiku?""Mil, Mil, kayak diapain aja kamu!"Kutinggalkan dia begitu saja. Masuk ke kamar putraku dan menguncinya dari dalam. Kupeluk si kembarku hingga mereka kebingungan.Biarkan bunda memeluk kalian sebentar saja, Nak. Bunda butuh kekuatan. Dan kalianlah kekuatan terbesar Bunda."Bunda nangis? Dimarahi ayah lagi ya?" ujar Daffi dengan polosnya.Kubelai lembut kepalanya, lalu menciumi mereka berkali-kali."Sayang
"Kenapa wajah lu ditekuk gitu? Gak ada manis-manisnya!" celetuk Farhan, rekan kerjaku di kantor. "Ck! Pusing gue Han!" "Kenapa?" "Istri gue gak mau dikasih uang belanja. Katanya biar gue aja yang atur keuangan rumah." "Memangnya lu ngasih berapa sampe istri lu nolak gitu?" "Satu juta." "Satu juta untuk seminggu?" "Satu juta untuk sebulan lah! Boros amat seminggu sejuta!" Tiba-tiba dia menoyor kepalaku. "Gila lu! Satu juta sebulan? Mana cukup?!" "Biasanya dia gak pernah protes, Han! Bulan-bulan sebelumnya dia bisa mengatur keuangan dengan baik." "Gila lu ya! Satu juta sebulan itu jatah apa? Belanja sayur doang atau gimana?" "Ya semuanya lah, semua kebutuhan rumah. Makan, listrik, air. Pokoknya aku tahunya satu juta harus cukup!"
"Gue gak nyumpahin, Kal. Tapi hukum tabur tuai itu masih berlaku! Siapa yang menanam dia akan menuai. Jangan-jangan nanti berbalik sama lu sendiri, kalau gak sekarang berarti saat tua nanti, anak-anak lu pelit sama lu, gak mau ngurusin lu sebagai bapaknya!""Jangan nyumpahin yang enggak-enggak deh, Han! Makin pusing gue dengernya! Dah lah mikir pekerjaan, di rumah juga Mila gak mau ngurusin uang lagi, ditambah ceramah lu, bikin kepala gue nyut-nyutan. Lu tau gak, kemarin gue disuruh belanja sembako. Ckck bener-bener deh istri gue gak ngehargai banget, laki-laki disuruh belanja kebutuhan pokok.""Gue gak nyumpahin kok, sekarang aja lu sepertinya gak peduli sama anak lu sendiri. Terus gimana pengalaman lu belanja? Habis berapa duit?""Tekor gue, Han! Sekali belanja kemarin habis 800 ribu, itu baru separuh katanya. Belum belanja sayur dan yang lain. Kemarin uang kebersihan, air, listrik 700 ribu. Jadi
[Iya Bu, nanti sore aku mampir ke tempat ibu]Setelah mengirim balasan itu, ibu tak lagi protes.***Pulang bekerja, langsung menemui ibu di rumahnya."Nah, kebetulan kamu datang, Kal! Banyak yang ingin ibu katakan," sambut ibu sesaat setelah membuka pintu."Ada apa, Bu?""Soal Mila.""Mila kenapa?""Sekarang istrimu itu ngelunjak ya, Kal! Dia berani menjawab perkataan ibu. Gak sopan memang!""Mungkin lagi capek, Bu.""Kamu bilangin kek, biar gak ngelunjak sama mertua.""Iya Bu.""Oh iya mana jatah ibu?"Kuambil amplop coklat berisi uang dan kuberikan padanya."Kok cuma segini, Kal! Harusnya ditambah kok malah jatah ibu berkurang sih!" protes ibu.Aku tahu ibu pasti akan bersikap seperti ini. Biasanya aku memberi ibu tiga
"Temanku.""Teman? Sejak kapan kamu punya teman laki-laki? Lagi pula tidak ada pertemanan antara laki-laki dan perempuan, Mil!" bentakku kasar."Terus menurutmu apa, Mas?"Tiba-tiba ... Plaaakk ...!Ibu menampar Mila, membuatku berjingkat kaget. Sedangkan Mila memegangi pipinya yang mungkin terasa panas dan perih. Karena tamparan ibu, membuatku sedikit iba padanya."Jadi istri masih ngeyel aja kamu! Dasar wanita tidak tahu diri! Suamimu itu udah capek-capek kerja kamu malah melacur sama laki-laki lain.""Maaf Bu, tolong jaga ucapan ibu. Aku tak pernah melakukan hal serendah itu!""Kalau tidak merasa lalu ngapain ketemuan sama lelaki? Apa satu laki-laki saja tidak cukup bagimu?"Aku juga rasanya ingin marah. Tapi kemarahan ibu pada Mila terlalu berlebihan. Ibu sering menjelek-jelekan Mila. Dari dulu ibu memang
"Pergi? Uang dari mana kamu mau pergi membawa anak-anak? Kalau mau pergi, pergi sendiri jangan bawa anak-anak. Aku tidak ingin anak-anak kelaparan gara-gara kamu!""Jangan khawatirkan hal itu, Mas. Aku bisa menghidupi anak-anakku sendiri tanpa bantuanmu.""Sombong sekali kamu, Mil! Baru bisa usaha sedikit saja sudah merasa diatas awan seperti itu!"Seketika Mila berlalu begitu saja meninggalkanku yang belum selesai bicara. Kucekal pergelangan tangannya, untuk mencegahnya pergi."Sudah gak sopan ya kamu sama suami! Mana rasa hormatmu sebagai istri? Gara-gara laki-laki itu kan yang membuat sikapmu berubah padaku?!"Mila mengibaskan tangannya dan menatapku penuh kebencian."Introspeksi diri sendiri saja, Mas! Kenapa sikapku bisa berubah?! Dan tolong, jangan mengkambinghitamkan orang lain!"Mila masuk ke dalam kamar anak-anak. Aaaarrrgghh! Membuatku geram saja
Aroma masakan sudah tercium wangi. Pagi-pagi aku sudah nguprek di dapur. Hari ini aku memasak opor ayam, kemarin diberi ayam ungkep oleh Bu Wandi. Alhamdulillah, dapat rezeki yang tidak terduga.Semenjak Bu Wandi tahu kalau aku bisa berkreasi, membuat karya handmade, kami jadi sedikit lebih dekat."Terima kasih ya, Bu. Sudah mau order aksesorisnya sama saya.""Iya, sama-sama. kalau ada yang dekat kenapa mesti cari yang jauh. Ini aja bagus banget, murah lagi. Coba kalau beli di butik, pasti bisa puluhan ribu satu piecesnya."Aku tersenyum mendengar ucapan Bu Wandi. Bersyukur ada yang menghargai hasil karyaku."Coba nanti branding karya mbak, siapa tahu harga jualnya bisa makin tinggi. Jualan online sama nitip-nitip di butik mungkin.""Iya Bu, saya juga sedang belajar. Terima kasih sarannya.""Oh iya, kebetulan keponakan saya yang punya konveksi itu, buka bu