Setelah mengatakan hal itu, aku pergi. Melajukan mobilku tak tentu arah. Sepanjang perjalanan hanya terlintas bayangan Mila dan anak-anak yang tengah tersenyum.
Ah kenapa setelah kepergiannya, justru mereka begitu penting dalam hidupku.
Tiiiinnn ... Tiiiiiiiiiiiiinnnn ....
Suara klakson mobil dari belakang membuyarkan lamunanku. Ternyata lampu lalulintas sudah menyala warna hijau, mobil-mobil sudah mengantri di belakang.
Memikirkan ini semua membuatku tak fokus. Hal ini benar-benar membuatku gila!
Aku mampir di cafe, tempatku nongkrong seperti biasa, memesan makanan favorit. Tapi sayangnya, rasanya begitu hambar. Aku kehilangan selera makan.
Beberapa kali ponselku berdering, panggilan dari Riska tapi aku tak menggubrisnya. Saat ini hatiku sedang kalut. Rasa benci dan kesal bercampur jadi satu.
[Mas, kamu pergi kemana? Kenapa gak angkat teleponku? Pulang se
Pukul 14.00 WIBDisaat aku tengah sibuk bekerja, ponselku terus saja bergetar, kulihat empat panggilan tak terjawab dari ibu."Halo, ya Bu, ada apa? Aku lagi sibuk," ujarku malas."Haikal cepat pulang sekarang!""Tidak bisa, Bu. Aku lagi sibuk.""Cepat pulang, Haikal. Ini istrimu perutnya kesakitan.""Bu, aku minta tolong sama ibu. Ibu saja yang bawa Riska ke rumah sakit ya. Aku gak bisa ninggalin pekerjaan, Bu.""Duh, kamu gimana sih jadi suami! Harusnya siap siaga dong, istri lagi hamil kamu cuek begini!""Haish! Aku pulang juga percuma, gak bisa ngubah apa-apa, Bu. Aku kan bukan dokter. Ibu bawa aja Riska ke Rumah Sakit. Udah dulu ya, Bu. Aku tutup teleponnya.""Haikal, tunggu Haikal! Ibu belum selesai bicara. Istrimu gak mau pergi sama ibu, maunya sama kamu. Apa kamu gak bisa izin sebentar saja?""Gak
"Udah gak usah bawel, pokoknya bikinin aku makanan sekarang. Aku lapar. Jangan pesan online, aku ingin makan masakanmu," tukasku lagi. "Ya sudah, aku bikinin mie instan aja deh!" celetuknya kemudian berlalu ke belakang. Benar saja, yang ia hidangkan mie instan diatas meja. Apa boleh buat, akhirnya kusantap juga. Padahal aku lebih kangen masakan Mila, biarpun sederhana tapi dia pintar sekali mengolahnya. "Ris, mulai sekarang biasakan masak. Jangan beli terus. Kalau masak sendiri kan lebih hemat." "Hemat-hemat terus sih mas, itu mah namanya pelit!" "Kalau ada suami ngomong malah ngeyel!" "Iya, iya. Harusnya kamu juga ngertiin aku dong mas, aku kan lagi hamil. Aku kan ingin dimanja juga sama kamu." Jawabannya itu terus yang dijadikan alasan kemalasannya. * Aku tersenyum saat mengambil uang yang ada di ATM, syu
"Mbak, kau tidak apa-apa?" tanya Mas Denny membuyarkan lamunanku.Sekuat hati menahan rasa sakit dan penghinaan yang mereka torehkan. Aku menoleh, dan mengangguk pelan. Mas Denny tampak memandangku lekat Sedangkan anak-anakku dan Bu Wandi sudah masuk ke dalam saat Riska mengomel tak jelas padaku."Tarik nafas dalam-dalam, Mbak. Coba tenangkan hatimu dulu," ucapnya kemudian.Aku kembali terduduk di teras. Aku tahu tujuan Mas Denny dan Bu Wandi kesini adalah untuk mengambil pesanannya. Mas Denny memesan aneka aksesoris dengan ciri khas Indonesia, batik. Rencananya, ia akan mengadakan bazar dan pameran untuk memperkenalkan produknya serta hasil karya handmade dengan tema Cintai Produk Indonesia. Sementara Bu Wandi juga memesan beberapa aksesoris hijab untuk teman-teman arisannya."Nih minumlah dulu," ucap Mas Denny sembari menyodorkan sebotol air mineral. Ia membuka tutup botolnya lalu
"Oh, jadi kamu masih belain dia ya? Oke!! Awas saja! Jangan salahkan, kalau aku nekat!""Apa maksudmu, Ris?"Riska terdiam dengan sorot mata penuh kebencian.Haikal menghela nafasnya dalam-dalam. "Aku takkan biarkan kamu bertindak nekat, Ris. Sama saja kamu telah mempermalukanku di depan Mila. Terlebih ada laki-laki sok jagoan itu di sampingnya. Benar-benar memuakkan!" Haikal menggeram kesal. Sementara Riska masih bergeming. Kebenciannya terhadap Mila semakin memuncak.'Masa iya aku kalah sama wanita kampungan itu! Aku yakin anak-anaknya lah yang dijadikan tameng untuk kedekatan mereka kembali. Apalagi Mas Haikal terlihat masih mengharapkannya. Takkan kubiarkan dia berbuat lebih lanjut. Aku akan buat perhitungan. Tunggu saja.' Batin Riska mulai meracau sendiri.Riska membanting pintu kamarnya. Wanita itu merasa kesal dengan sang suami karena ia telah membela mantan istrinya itu dari
"Halo Assalamualaikum.""Waalaikum salam, Mas. Apa sudah ada kabar tentang si kembar?""Iya. Saya mau pergi ke tempat si kembar berada.""Benarkah?""Iya. Tadi saya dapat kabar dari asisten saya. Mereka disandera di Gudang pabrik kosong.""Apa mereka baik-baik saja?" Netra Mila mulai berkaca-kaca."Ya, saya akan menyusulmu sekarang dan sudah melaporkan kejadian ini ke polisi. Sebentar lagi pelaku sebenarnya akan segera tertangkap.""Alhamdulillah beneran kan, Mas?""Iya. Saya tutup dulu teleponnya dan segera ke rumahmu.""Terima kasih, Mas."Semalam, setelah mengantarkan makanan untuk Mila, Denny terus gencar mencari keberadaan si kembar. Ia menambah personel untuk misi pencarian ini. Bahkan dia sendiri pun berkeliling dari satu tempat ke tempat yang lain. Hingga ia menemukan titik
Haikal menjatuhkan pantatnya dengan kesal di sofa ruang tamu rumah ibunya."Kamu kenapa, Haikal? Kenapa kesal begitu? Kamu bertengkar sama Riska?""Bagaimana gak kesal, Bu! Riska, dia yang sudah menculik si kembar, Bu. Dia dalangnya!""Apa? Mana mungkin, Kal! Riska kan wanita baik-baik.""Gak mungkin gimana, Bu. Aku dengar sendiri dia berbicara di telpon sama seseorang!"Wanita paruh baya itu terdiam, seolah tak percaya apa yang dilakukan oleh menantu barunya."Anakku, darah dagingku diculik oleh ibu tirinya sendiri! Ibu bisa bayangkan betapa jahatnya dia, Bu! Riska sungguh keterlaluan!""Ibu gak nyangka Riska yang melakukan semuanya, memangnya dia punya dendam apa sama anak-anak. Rasanya itu tidak mungkin!""Tidak mungkin bagaimana? Kenapa sih ibu selalu belain Riska? Apa karena dia anak orang kaya?"
"Po-polisi?" pekik Riska dalam hati. Seketika jantungnya berdetak dengan kencang. Apa yang harus ia lakukan.Tok ... tok ... tok ...Suara ketukan pintu itu kembali membuatnya takut. Ia berjalan menjauh dari pintu dengan langkah mundur."Ris, siapa yang datang? Kenapa pintunya gak dibuka?" tanya Haikal saat melihat gelagat aneh pada Riska. Pria itu berjalan melewatinya, Riska menahannya kemudian menggeleng perlahan."Kamu kenapa sih? Kayak orang ketakutan aja, biar aku saja yang buka pintu," ucap Haikal mengibaskan tangannya."Aku mohon jangan, Mas. Jangan dibuka," pinta Riska, ia takut luar biasa. Takut kalau langsung ditangkap. Haruskah ia merasakan dinginnya jeruji penjara."Halo, permisi ... Apa ada orang di dalam?" teriak suara dari luar. Haikal memandang Riska dan pintu secara bergantian."Permisi ...!"Akhirnya Haikal menuju ke pint
Karmila tersenyum senang saat anak-anaknya diperbolehkan pulang dari rumah sakit. Sebuah pelukan hangat menyambut mereka.Tentu saja, kali inipun dia dibantu oleh Denny."Jagoan, sudah siap pulang?" tanya Denny pada Daffa-Daffi."Siap dong, Ayah!" Daffa segera menutup mulutnya ketika keceplosan bicara. Denny mendekat lalu mengacak rambut keduanya dengan lembut."Hahaha, tidak apa-apa, ayo masuk mobil."Dengan riang mereka masuk ke mobil mewah milik Denny. Lelaki itu mengantar Mila dan anak-anaknya ke rumah kontrakan."Mas, terima kasih banyak ya selama ini udah nganterin kami, udah mau direpotin.""Iya, sama-sama. Saya langsung pulang ya, ini ada pekerjaan mendadak," pamit Denny."Baik, Om. Terima kasih banyak. Kapan-kapan ketemu lagi ya, Om!" ucap Daffi. Mereka berdua melambaikan tangannya."Iya sayang," sahut Denny.