Saat Mila hendak melangkah, tiba-tiba saja jemari tangan Haikal bergerak. Sekali lagi Mila menajamkan pandangannya, tapi tak ada tanda-tanda kalau ia mulai sadar.
Mila kembali melangkah pergi hingga panggilan lemah itu menghentikannya.
"Mi-la ..."
Wanita itu menoleh kembali, mendapati Haikal membuka matanya. Sendu.
"Ma-af." Terdengar suaranya begitu lirih dengan nafas pendek seolah sedang merasakan sesak.
"Iya Mas, iya. Tunggu sebentar ya, Mas, aku panggilkan dokter dan keluarga Mas dulu."
Mila berlalu keluar, menghampiri keluarga mantan suaminya.
"Bu, Mbak, Mas Haikal--"
"Kenapa dengan Haikal?" tanya Indah ketus.
"Dia sudah sadar. Sebaiknya segera panggil dokter dulu supaya Mas Haikal diperiksa."
Ibu menangis sambil tersenyum. Indah dan ibu pun masuk ke dalam ruangan. Sedangkan Nessa berlari ke kantor jag
"Mbak tadi ada dua orang tidak dikenal datang kesini, mereka mengobrak-abrik dagangan. Semuanya hancur, Mbak.""Apaa?""Bapak juga, bapak--""Bapak kenapa, Dek?""Bapak dipukuli, Mbak. Sekarang tubuh bapak babak belur.""Astaghfirullah hal'adzim, teganya mereka, Dek."Tanpa terasa butiran bening menetes di pipi Mila. Denny yang memperhatikannya menatapnya dengan iba."Mbak, kalau bisa mbak kesini ya. Aku gak tahu harus gimana? Akmal juga ketakutan, dia ngumpet di kamar, gak mau keluar dari tadi.""Iya, Dek. Mbak akan segera kesana."Panggilan itu pun terputus begitu saja. Hati Mila menjadi kalut mendengar penuturan adiknya."Kenapa, Sayang? Apa yang terjadi?""Mas, kata Wulan tadi ada dua orang preman ngobrol-ngobrol dagangan, Mas. Terus bapak juga dipukuli sampai babak belur."
Wanita itu melempar benda-benda yang ada di hadapannya. Frustasi. Hatinya dilanda dendam yang membara. Kenapa selalu saja dia gagal?Setelah keluar dari penjara dua bulan yang lalu, ia harus menebalkan muka dengan ocehan para tetangga. Dendam itupun makin terpupuk ketika sang pengacaranya kalah di persidangan karena Denny telah menyewakan pengacara hebat yang lain. Alhasil dia harus melewati malam-malam dingin di balik jeruji selama masa hukuman dua tahun, tapi ia mendapatkan remisi, hingga bisa keluar enam bulan sebelum masa tahanan berakhir.Begitu pula dengan sang adik yang harus menjalani kehamilannya dalam penjara, melahirkan anaknya di penjara, hingga akhirnya Riska mengalami depresi, ia menjadi tak waras lagi usai masalah yang menimpa bertubi-tubi. Kini sang adik masih harus melewati malam kelam di Rumah Sakit Jiwa. Tatapannya yang kosong, kadang menangis sedih, kadang tertawa membahana, berteriak tak jelas memanggil-manggil sang ma
Denny merasa sedikit lega atas ucapan istrinya. Dia bersyukur Mila mengerti akan kondisinya, bahkan tak segan untuk membantu."Mas, kita ini keluarga, jadi harus saling berbagi, saling terbuka satu sama lain, saling percaya dan tentu saja saling membantu.""Terima kasih, Sayang. Kau penyemangatku saat ini. I love you."Mila tersenyum penuh kehangatan. Pria itu memeluk sang istri. Ia merasa bersyukur bisa mengenal Mila.Denny sudah punya semangat yang baru. Ia tak segan-segan membantu para karyawannya memasarkan barang dagangan. Bahkan ia terjun langsung ke car free day, seperti yang Mila lakukan, berjualan di tempat-tempat yang ramai pengunjung, berharap mendapatkan hasil yang signifikan agar bisa menutup segala kekurangan.Usahanya tak sia-sia. Selama beberapa hari bekerja keras, ia bisa mengumpulkan modal kembali. Stock baju yang dulunya tidak laku di Butik dan ha
Tangannya mengepal erat! Kenapa dia begitu lengah kalau ternyata teror itu masih berlanjut. Bahkan ia tak menyangka hal ini akan terjadi. Lelaki itu mengecek toilet, benar saja Mila tak ada dimanapun, handphonenya terjatuh di lantai. Denny segera mengambilnya. Alina yang berada dalam gendongannya mulai menangis."Sayang, Alina, tenang ya. Ada ayah disini," ucap Denny sembari menenangkannya. Ia menciumi putri kecilnya dengan lembut.Lelaki itu segera kembali ke tempat anak kembarnya berada."Ayah, gimana bunda? Bunda dibawa orang, Yah!" Daffa langsung menghampirinya ketika Denny datang mendekat. Daffa-Daffi langsung memeluk kakinya erat.Hatinya begitu getir melihat tiga anak kecil itu menangis."Sayang, kita akan cari Bunda. Ayo langsung masuk ke mobil.""Ndaaaa .... Ndaaaa ..." Alina menangis memanggil ibunya yang tak kunjung datang.Tangisan ketiganya ma
Mila terdiam. Entah sekarang dirinya ada dimana, apa yang terjadi sebelumnya, bagaimana dia bisa keluar dari sini, bagaimana dengan anak-anak dan sang suami, mereka pasti sangat khawatir. Semuanya berkecamuk menjadi satu dalam pikirannya."Mas, mungkin kamu tak peduli dengan keluargaku. Tapi aku yakin kamu pasti punya hati nurani. Gimana perasaanmu Mas, bila ada seseorang anak yang kehilangan ibunya, dia menangis sepanjang hari, apa yang kau lakukan?""Ssstt diamlah! Makanlah ini, aku tak ingin kau sakit. Nanti malah tambah repot saja!"Mila masih terdiam, menatapnya nanar. Harga dirinya terasa diinjak-injak. Entah apa tujuan lelaki di hadapannya, ia tak mengerti. Lagi, butiran bening kembali menitik dari sudut matanya.Pertahanannya seolah runtuh. Ia benar-benar terhina. Tinggal di rumah yang asing baginya membuat batinnya tercabik-cabik. Kenapa ini bisa terjadi padanya. Sampai kapan? Apakah nanti dia bis
Mila menggeleng perlahan. Kristal bening yang sedari tadi tergenang, kini luruh juga."Mas, tolong jangan hina aku seperti ini. Sebenarnya, apa yang kamu inginkan, Mas? Apa kamu butuh uang?"Arfan menaikkan sebelah alisnya. "Kamu menghinaku ya wanita?!""Tidak. Aku serius, Mas. Kalau kamu butuh uang, hubungi suamiku, dia pasti mau menebusku, asalkan aku bisa kembali bersama mereka.""Ck! Sombong sekali kau! Jadi kau istri orang kaya ya?""Aku tidak bermaksud sombong, hanya saja suamiku pasti akan lakukan yang terbaik untukku. Kumohon, Mas. Lepaskan aku. Sudah dari siang aku tak bersama anak-anak, mereka pasti menangis karena tak ada aku di sisinya."Braaakk ...! Arfan menggebrak meja di sampingnya, cukup membuat Mila berjingkut kaget."Aku tak peduli dengan keluargamu! Yang kupedulikan saat ini hanya kamu yang ada di hadapanku!"Arfan makin mengintimidasinya, ia makin mendekat, membuat Mila memundurkan langkahnya hingga t
"Kalian urus dia, jangan sampai dia lolos. Dia harus mendapatkan hukuman yang setimpal karena sudah berani mengganggu istriku!""Baik, Bos!""Ikat dia, dan kita tunggu sampai petugas polisi itu datang."*"Terima kasih, Mas. Kau sudah menyelamatkan aku," ucap Mila lirih. Tubuhnya terasa begitu lemas tak bertenaga."Mila? Mila? Astaghfirullah ...!" Denny langsung membopong tubuh istrinya yang tiba-tiba tak sadarkan diri."Sayang, bertahan ya. Aku akan membawamu ke klinik terdekat."Dengan perasaan khawatir Denny membawa istrinya masuk ke dalam mobil, dan bergegas melajukan mobilnya dengan kecepatan kencang.Kendaraan roda empat itu bergerak membelah jalanan malam. Denny merasa sangat bersyukur karena sang istri sudah bisa ditemukan dan kembali lagi padanya.Denny tergopoh-gopoh, sembari menggendong istrinya masuk ke d
"Kenapa? Kamu ingin hamil lagi? Apa kamu gak percaya kalau keadaanku ini sulit mempunyai keturunan?""Mas, maaf. Aku tak bermaksud menyinggung perasaanmu. Tapi tidak ada salahnya kan kalau kita periksakan lagi keadaanmu.""Sudahlah, aku tak ingin membicarakannya lagi. Ayo kita pulang."Mila mengangguk, ia tak berani lagi bertanya. Hal semacam itu ternyata cukup mengganggu pikiran sang suami. Sepanjang perjalanan mereka saling diam. Hanya sesekali tatapan mereka bertemu, lalu kembali menatap jalanan di hadapannya.Sampai di rumah. Anak-anak terlihat murung, tak ada keceriaan diantara mereka. Sepanjang hari pun Alina menangis. Walaupun ia tengah digendong oleh neneknya. Ayah dan ibu Denny sengaja datang ke rumahnya saat mendengar kabar Mila diculik. Mereka berusaha membantu Pak Abdul dan Wulan untuk mengasuh putra-putrinya."Ndaa ... Ndaa ..." teriak Alina sambil menangis. Ia melihat ibundanya keluar dari mobil.Daffa-Daffi