Rintik hujan yang turun perlahan menambah kegelapan di langit yang telah kehilangan cahayanya. Sebuah Jeep Gladiator berisi tiga orang pria bertampang sangar serta seorang pengemudi, bergerak melewati gerbang Coast Mansion. Roman duduk di sebelah kursi kemudi, menunjukkan arah jalan ke tempat tujuan mereka.
Baron Hayden sendiri yang melepas kepergian mereka berempat. Setelah sebelumnya, pria itu berjalan ke tepi danau dan berhenti di sebuah bangunan kecil berwarna putih. Dia meletakkan setangkai bunga mawar di tepi pintu bangunan itu.
Nancy menyaksikan prosesi ‘meminta restu’ itu dari kejauhan. Dalam hati dia bergumam, “aku pernah berjanji akan menjaga Patricia Carol, putri anda – seumur hidupku. Sekarang aku akan membuktikan janjiku, sekalipun aku harus mempertaruhkan nyawaku.”
Kemudian Nancy bergegas masuk kembali ke dalam mansion dan meninggalkan Hayden yang masih memandangi bangunan itu.
Perjalanan Jeep berkilo-kilometer
Tubuh Patty ditarik ke sebuah ruang sempit di bawah tangga. Sebuah tangan membekap mulutnya dan membanting pintu di belakang mereka dengan terburu-buru. Patty mencoba melepaskan diri, akan tapi gerakannya terhenti saat sesuatu yang tajam dan berbahaya menusuk punggungnya. Pengunjung penginapan berteriak histeris dan berhamburan keluar dari tempat itu. Beberapa berjalan melewati bawah tangga dan menyelinap melalui pintu belakang. Suara tembakan bersahutan. Dalam sekejap suasana menjadi tidak karuan. Patty menjerit-jerit tertahan berusaha menyerukan nama Richie. Pria itu harus menemukan dirinya di dalam sana dan menyelamatkannya. Dia tidak mau berpisah dengan Richie, apapun alasannya. Bahkan sekalipun pria itu hanya menganggapnya sebagai alat untuk penyaluran nafsunya. “Sssstt!! Berhenti melawan – aku tidak akan menyakitimu.” Patty membulatkan matanya. Mungkinkah ada seorang pria yang bersuara selembut itu? Mustahil! Tiga orang yang mendatangi penginapa
Patty berlari kecil menyongsong Richie. Meninggalkan Nancy yang sangat terpukul dengan kalimat terakhir yang diucapkan Patty. Gadis kecil yang dulu dia gendong-gendong dan dia jejalkan susu supaya lekas tidur, sekarang sudah menjadi gadis remaja yang jatuh cinta, namun kepada pria yang salah.Lantai dasar penginapan itu berantakan. Pecahan gelas berserakan dan cairan alkohol menyebar di sepanjang lantai, merembes ke tubuh dua orang pria berbadan besar yang meregang nyawa. Perhitungan Ramon terhadap senjata api yang dimiliki Richie dan Jack meleset.Kedua pria itu memiliki amunisi yang lebih dari cukup untuk melawan dua orang tukang pukul yang hanya mengandalkan kekuatan otot serta satu orang penembak yang tidak terlalu mahir. Utusan-utusan Hayden dapat dikalahkan dengan mudah oleh duo sekawan itu.Hanya saja, Ramon yang kehilangan jejak pengemudinya, melarikan diri ke arah pemukiman penduduk. Richie yang tidak mau berurusan dengan warga sipil, menahan Jack untuk
“Dia kenapa?” Jack mengintip Richie dari kaca spion.Tubuh Patty menggigil di atas paha Richie. Pria itu melepaskan jaketnya dan menyelimuti tubuh gadisnya. Celana jins Patty sobek-sobek di bagian lutut, paha dan bagian lainnya. Pakaiannya juga kotor. Richie mengatupkan mulutnya. Gadis itu hanya akan hidup dalam kesengsaraan kalau bersamanya.“Dia demam,” jawab Richie sembari mengangkat kepalanya.“Mungkin dia syok.”“Sudah pasti.” Richie menyandarkan lengannya pada jendela jeep dan menopang dagunya. “Jack, apa kau sudah mengenali jalan-jalan yang kita lalui ini? Kita di mana?”“Veromont. Kita sudah melewati negara bagian Amerika – timur laut.”“Kalau begitu, mari kita mengambil satu resiko untuk menyelamatkan gadis ini.”“Yeah? Katakan, tampan!”“Dokter Martin. Bawa kita ke sana.”“Hmm? Little girl yan
“Buka! Buka! Siapa pun tolong buka!” Suara menggedor bertalu-talu dari balik pintu di Coast Mansion. Waktu saat itu sudah menunjukkan hampir tengah malam dan seorang pemuda di dalam sana terbangun dengan gelagapan. Dia meraba-raba sekelilingnya dan gerakan acaknya dengan sukses menjatuhkan benda-benda dari atas meja dan rak. “Sawi? Brokoli? Wortel?” Pemuda itu mengumpat. “Gudang penyimpanan makanan. Siapa yang membawa aku ke sini? Akh!” Dia merasakan pusing di kepalanya. Sejenak dia mengingat-ingat apa yang terjadi dengan dirinya sembari meraba-raba pegangan pintu, berusaha mendorongnya. Pintu terkunci dari luar dan tubuh pemuda itu terlalu kurus untuk mendobrak pintu kayu mahoni yang tebal. “Damn! Pasti ulah wanita itu. Dia mencampurkan sesuatu dalam teh yang dia berikan kepadaku! Damn! Damn! Damn!” Pemuda itu menggedor pintu sepanjang malam sampai Gabriel – kepala pelayan yang selalu bangun paling awal menyalakan lampu dapur dan melihat jeja
Sudah sekitar satu jam lamanya, ketiga pria itu berkumpul disebuah ruangan lain di rumah dokter paruh baya itu. Tiga cangkir teh yang disajikan Martin belum ada yang menyentuhnya sama sekali. Suasana berubah tegang saat Richie mengeluarkan kepingan stempel lilin berwarna merah darah dari belakang kantung celananya. Jack memelototi Richie. “Kau membodohiku, Richie!” Richie menggeleng. Kemudian dia beralih kepada Dokter Martin yang telah mengamati stempel itu lebih dari dua kali dan membolak-baliknya. Sebagai kolektor barang antik, Martin mencoba menakar tahun stampel itu dibuat. “Stempel ini asli. Kemungkinan dibuat sekitar sepuluh atau lima belas tahun yang lalu. Aku juga menelitinya dari serpihan kertas yang menempel di belakang stempel,” tutur Martin. Richie mengerjapkan matanya. “Alfa Boss nampaknya sengaja memasukkan aku ke kandang Hayden. Dia telah merencanakan pembunuhan terhadapku dengan matang. Dasar keparat!” Jack semakin taja
Jack menarik karambit dari tepi sepatu bot-nya. Senjata tajam selebar telapak tangan itu baru saja hendak dia arahkan ke dada Richie, namun suara teriakan Patty mengacaukan niatannya. Richie memanfaatkan kelengahan Jack untuk menyingkirkan benda berbahaya itu dari tangan Jack.Karambit terlempar sekitar dua meter dari tangan Jack lalu dipungut dengan sigap oleh Martin. Pria itu mengambil kaca pembesarnya dan meneliti setiap detail benda tersebut. Tanpa mempedulikan kedatangan pasiennya yang baru saja siuman, Martin memasukkan senjata tajam itu ke lemari koleksinya.“Hentikan! Kalian berdua jangan buang-buang tenaga!” seru Patty untuk kedua kalinya.“Menyingkir dariku, bodoh!” Jack menendang betis Richie yang masih mengangkangi kakinya.“Apa yang terjadi di sini? Kenapa kau mengacungkan senjata tajam kepada Richie?” Patty menunjukkan raut wajah marah melihat apa yang dilakukan Jack.Sebelum menoleh untuk menjawab
Mereka berciuman dengan heboh dan penuh gairah. Ruangan kamar yang tidak terlalu besar itu kini dipenuhi dengan erangan penuh kenikmatan dua orang yang bersahutan. Richie melepaskan satu ciuman di bawah pusar Patty sambil meremas dada gadis itu. Richie menyesuaikan posisi di antara paha Patty, meluruskan tubuh, kemudian menyatukan tubuh mereka – untuk kesekian kalinya. Sama seperti saat akhirnya dia mengijinkan Patty untuk ikut bersamanya, saat itulah Patty mengijinkan Richie untuk melakukan lebih banyak hal atas tubuhnya. “Kau menyukainya?” tanya Richie lembut dan gentle. “Menyukai apa?” Patty menatap lurus Richie dengan tatapan memohon. “Menyukai caraku …” Richie menggantung kata-katanya. Nafas Patty tersekat. Bagaimana mungkin dia tidak menyukai cara bercinta Richie – kalau itu yang Richie maksudkan. Dan rasanya dia tidak perlu menjawab pertanyaan itu dengan kalimat-kalimat. Dia telah kehabisan kata-kata untuk menyatakan betapa tubuhnya sel
“Pakailah ini, nona. Tapi aku harap kau tidak tersinggung – karena ini hanyalah baju-baju usang yang sudah terlalu lama menganggur di lemariku.” Martin menyodorkan satu stel pakaian di tangannya kepada Patty. Patty menerima pemberian Martin dengan sumringah. “Apapun pemberian anda, aku sangat berterima kasih, tuan. Anda orang baik.” Martin tersenyum simpul. “A – aku akan menyiapkan meja makan untuk kita bertiga.” Setelah Martin berlalu, Patty buru-buru menutup pintu. Lalu dengan gaya penasaran ala anak kecil yang baru mendapatkan hadiah, dia merentangkan pakaian yang diberikan Martin. Puff sleeves berwarna merah muda, celana jins high waist dan sebuah topi beanie rajut berwarna hitam. Melihat barang-barang tersebut, Richie langsung dapat menebak pemiliknya. “Kau benar-benar gadis yang beruntung, Patty. Pemilik pakaian itu seorang wanita yang begitu ramah. Sayangnya beliau tidak berumur panjang.” “Aku tersanjung dengan pemberian yang berharga i