Part 4
*Aku terdiam cukup lama demi memikirkan apa saja kemungkinan yang baru saja terjadi. Kemungkinan nenek memang sengaja memberikan makanan basi, atau memang indera penciuman nenek yang sedang bermasalah, sehingga tidak bisa mengisi bau aneh dari rendang itu.Saat itu, aku memilih untuk berpikir positif bahwa nenek tak sengaja. Nenek hanya tidak teliti dalam memberikan makanan itu untukku. Namun, saat aku melihat lagi ke dalam plastik yang berisi rendang, beberapa belatung tampak saling muncul di dalam sana. Beberapa binatang kecil itu terpintal-pintal diantara daging. Aku bergidik ngeri dan geli, juga sedikit mual saat itu. Bahkan buluku merinding karena rasa geli. Aku segera membuang makanan itu serta plastiknya tak tersisa. Rasa laparku yang tadinya bersuara kini bilang entah ke mana.
Siang itu, aku memilih untuk langsung pergi mengaji. Untuk makan sisa telur di bawah tudung saji pun aku sudah tak selera, rasanya belatung itu akan melompat-lompat di piringku. Seringnya, aku mandi lagi saat akan pergi mengaji, tapi hari itu tidak. Aku terus memakai baju dan mengambil tas yang berisi Al-Qur’an.
Tentang rendang yang ada belatungnya itu, aku tak pernah memberitahu pada ibu dan ayah. Aku tak ingin mereka salah paham tentang nenek, karena aku yakin nenek pasti tidak melihat. Mungkin saat Kalila dan Karina makan di rumah nenek, mereka juga menemukan hal yang serupa, dan mereka juga tak pernah mengeluhkannya. Jadi, tak perlu mengadu.
Tidak hanya tak pernah mengadu pada orangtua, tapi juga tak pernah bertanya pada nenek. Tak pernah lagi mengungkit masalah itu di depannya, pada siapa pun. Wajar manusia bisa salah dan silap, pikirku.
Aku masih melihat nenek sebagai orang yang menyayangiku. Salah satu orang yang kuhormati selain orangtuaku. Namun, makin hari aku merasa hanya aku yang merasakan demikian, sedangkan nenek padaku terkesan biasa saja bahkan abai.
Aku mulai berpikir, pikiran kecilku saat itu mulai membandingkan. Bagaimana Kalila dan Karina makan begitu lahap di rumah nenek, ia melayani dua cucunya itu dengan sangat baik. Bahkan kulihat banyak makanan enak di depan mereka. Namun, saat aku datang ke rumah nenek, saat aku masuk dan melihat mereka sedang makan, aku bahkan tak ditawari.
Hal itu membuatku sedikit merasa seperti anak bodoh yang masuk ke rumah nenek sendiri. Bodoh dan terasing di rumah nenek sendiri.
Aku baru menyadari bahwa ternyata aku dibedakan. Pikiran buruk tentang rendang itu mulai muncul. Bisa jadi nenek memang sengaja, karena ia tak menyukaiku.
Dari pikiran itu, aku kembali berpikir tentang apa yang menyebabkan nenek begitu beda denganku. Lalu, aku menyadari wajahku, status sosial, orangtuaku, uang orangtuaku. Semua itu tak sebaik yang dimiliki Kalila dan Karina.
Aku terlahir dengan kulit sawo matang, jauh dari standar kecantikan, juga anak dari seorang petani sawah. Itu berbeda sekali dengan dua cucu nenek yang lain.
*
Pagi itu hari Minggu, di kampung ramai anak-anak menghabiskan waktu dengan bermain. Kesempatan di hari libur untuk mengekspresikan diri sebagai anak-anak yang masih membutuhkan waktu bermain, seolah yang ada dalam pikiran mereka hanya main. Padahal bukan seperti itu, seperti aku misalnya, hanya menghibur diri dari segala keadaan yang kuhadapi.
Aku dan Farah keluar bermain, kami bermain di halaman rumahnya yang lebih luas daripada halaman rumahku. Permainan cengklek aku menyebutnya. Sebuah permainan yang menggunakan kaki untuk melompat gambar di tanah. Itu salah satu permainan favorit masa kecilku. Aku yang biasanya ditugaskan menggambar sebuah boneka menyerupai manusia di tanah, karena gambarku lebih rapi kata teman-teman. Gambar itu ada kepala, ada badan, tangan dan kaki. Yang bermain akan melempar batu ke dalam gambar tersebut, lalu melompat pada kotak-kotak atau bagian yang tidak ada batunya.
“Kena!” ucap Farah saat aku melompat, tapi mengenai batas garis gambar di tanah itu. Itu artinya aku tak boleh melanjutkan permainan, dan giliran Farah yang bermain.
“Duh, lapar.” Aku berkata sambil memegangi perutku.
“Eh, alesan doang pas giliran aku main.” Wajah Farah merengut. Seolah aku memang sedang berpura-pura lapar.
“Beneran lapar, Farah!” ucapku serius.
Aku tak hanya berasalan, tapi memang lapar dan ingin makan sesuatu. Sementara saat tak ada sekolah, tak ada uang jajan yang diberikan. Farah pun sama. Jika dipikir-pikir, hidupku dengan Farah hampir sama. Sama-sama terlahir dai keluarga miskin.
Dari halaman rumah Farah, aku melirik ke halaman rumah nenek. Aku melihat banyak jambu yang sedang berbuah. Aku hapal rasa buah jambu nenek, rasanya manis. Aku menyebutnya jambu lonceng. Jambu air berwarna merah yang bentuknya seperti lonceng.
“Makan jambu, yuk!” ajakku pada Farah.
“Mana? Jambu siapa?” tanya Farah tak tahu.
“Jambu nenek.”
Kulihat Farah menggeleng. Ia terlihat tak setuju dengan ajakanku. Padahal aku tahu ia suka ngerujak juga, sama denganku. Rasanya air liurku sudah mengalir keluar, mengingat rasa dari buah jambu itu.
Aku juga tahu, Farah sama halnya denganku. Apalagi ia tinggal di sebelah rumah nenek, yang setiap hari pasti melihat bagaimana ranum merah buah itu menggoda.
“Kamu yang minta ya.” Farah membuat kesepakatan, ia menyuruh aku yang memintanya pada nenek. Aku yakin ia tak berani, karena mungkin ia sering melihat nenek mengusir anak-anak yang mencuri jambunya, menaiki dahannya sesuka hati.
“Iyalah, aku yang akan minta. Kamu tenang aja.” Aku menjawab dengan santai pada Farah. Ia pun tersenyum senang setelah mendapat jawaban dariku.
Hei, Farah, aku ini cucunya. Tentu tak akan mendapat pengusiran seperti bocah-bocah lain.
Tanpa banyak berdebat lagi, aku dan Farah langsung menuju halaman rumah nenek yang hanya dibatasi pagar bambu seadanya. Tak kulihat nenek di halaman, sementara halaman itu terlihat bersih, menandakan nenek baru saja menyapunya.
Aku mencari nenek di belakang rumah, kudengar suara gemericik air dari dalam sumur. Aku mendekat dan memanggil nenek, rupanya benar seperti dugaanku, nenek sedang mencuci baju di sana.
“Nek, Sekar minta jambu ya,” pintaku.
“Jambunya belum tua itu, masih kelat rasanya.” Nenek bilang rasanya belum enak. Padahal aku melihat sendiri jambunya memang sudah tua, merah menggoda.
“Gak apa-apa, Nek. Sekar mau ngerujak sama Farah di rumah.”
Aku mendengar nenek mendengkus kasar. Lalu, ia mendumel entah apa. Sekilas terdengar di telingaku seperti, “keras kepala.” Namun, aku tak bisa menduga seenaknya saja.
“Boleh petik, tapi jangan ada satu daun pun yang rontok ke bawah. Nenek udah nyapu.” Akhirnya nenek membolehkan. Entah apa rasa dalam hatinya saat mengatakan itu, aku tak peduli.
“Siap, Nek!” seruku senang.
Aku langsung berlari pada Farah yang menunggu di bawah pohon jambu. Aku tersenyum padanya, ia juga mengerti apa maksud senyuman itu, karena itu ia juga ikut tersenyum. Senyum dua bocah polos yang kegirangan hanya karena mendapat izin untuk memetik jambu.
“Aku yang naik, ya. Kamu yang jaga di bawah, kutip daun-daun yang rontok saat aku metik jambunya. Nenek bilang enggak boleh ada daun yang jatuh, udah nyapu katanya.” Aku menjelaskan panjang lebar pada Farah, agar tak membuat kesalahan.
“Oke,” ucap Farah bersemangat.
Langsung saja aku naik ke pohon jambu. Menaiki dahan demi dahan untuk menemukan buah yang segar dan merah. Aku mengeluarkan kantong kresek dari saku celana selutut yang kukenakan, kresek yang kubawa dari rumah Farah tadi. Memang sengaja agar tak perlu meminta pada nenek, bikin ribet.
Aku memetik buah jambu dengan bahagia, sementara kulihat Farah di bawah sana sedang mengutip daun yang jatuh. Ia memang tak bisa memanjat pohon, takut ketinggian katanya, makanya aku menawarkan diri.
Aku memilih-milih buah yang akan kupetik. Harus yang merah dan besar. Sayang kalau memetik buah yang belum tua.
Saat sedang asyik memetik, tiba-tiba nenek muncul dari belakang setelah menjemur pakaiannya.
“Udah cukup, Sekar. Udah banyak itu. Turun!”
“Bentar lagi, Nek.”
Aku terus memetik, sementara kulihat Farah diam di bawah.
Aku masih memilih-milih buah di atas pohon, kadang menemukan ulat yang membuat kegiatanku terhenti sejenak. Bukan karena geli atau takut, tapi karena memerhatikan bagaimana ulat-ulat kecil itu merangkak, terpintal, lalu saat menyadari tanganku ingin mengambilnya, ulat-ulat itu masuk ke dalam tempurung kecilnya. Itu mengingatkanku pada pelajaran di sekolah, bahwa semua binatang memiliki cara untuk melindungi diri.
“Udah cukup, Sekar. Jangan rakus. Sisakan untuk Kalila dan Karina.” Nenek meneriakiku dari bawah.
Ada rasa ngilu yang tiba-tiba muncul di dalam hati. Aku tak mengerti rakus yang dimaksud oleh nenek, karena saat kuhitung jambu dalam plastik, hanya ada sembilan buah. Berarti jika dibagi dengan Farah, hanya dapat empat setengah jambu per orang. Itu sedikit, karena sungguh buahnya masih sangat lebat.
Extra Part POV Kalila*Aku pulang dari rumah Nenek setelah seminggu meminta cuti. Percuma saja aku di sana, karena Nenek hanya peduli pada Sekar. Perlakuan Nenek padaku sudah berbeda, ia tak lagi memanjakanku seperti dulu. Aku merasa hanya membuang-buang waktu selama di sana, karena Nenek sama sekali mengabaikanku. Hanya Sekar dan Sekar yang ia layani layaknya ratu. Mungkin karena uangnya lebih banyak dariku, sebab itu Nenek memperlakukan Sekar begitu baik.Hanya Sekar cucu kesayangannya. Sementara aku hanyalah cucu yang tak diacuhkan.Saat Sekar mengirimkan pesan di Instagram, aku tak membalasnya. Memang tak berniat untuk pulang ke rumah Nenek. Untuk apa memangnya? Ia bahkan tak pernah menjengukku di kota ini, ia tak mengerti keadaanku yang super sibuk ini. Bahkan saat ia tinggal bersama ayah, ia tak datang ke tempatku. Aku dengar dari Ayah bahwa Nenek langsung pulang ke kampung.Aku hanya membaca pesan dari Sekar, lalu kuberitahu pada ayah. Saat itu ayah bilang bahwa ia akan pulang
Extra Part POV Karina*Aku duduk di sofa sambil memijat kening yang terasa begitu berdenyut, karena lelahnya seharian bekerja. Jam telah menunjukkan pukul lima sore, dan aku baru pulang.Aku melihat di kamar, suamiku sedang tertidur pulas. Semakin naik pitam aku melihatnya. Ia sangat pemalas, seperti benalu yang hidup dari semua uangku. Dulu, saat awal menikah, ia punya pekerjaan tetap, tapi setelah itu harus kena PHK masal karena perusahaannya bangkrut. Setelah itu, jangankan untuk bekerja, mencari pekerjaan saja ia tak mau. Seperti sudah keenakan hidup di bawah keringatku.Stres aku memikirkan keuangan keluarga. Apalagi anak-anak sudah sekolah, yang tentu akan mengeluarkan biaya yang tinggi. Gajiku hanya cukup untuk membayar cicilan mobil, menggaji ART, dan biaya sekolah anak-anak. Syukurnya dulu saat Agus masih bekerja, kami mengumpulkan uang untuk membeli rumah.Aku mengambil ponsel dari dalam tas saat benda itu berbunyi. Kulihat nama ibu tertulis di layar.“Halo, Bu!” ucapku di
Extra Part POV Nenek * Aku mengakhiri masa lajangku dengan menikah dan hidup bersama suamiku. Setelah menikah, kami pindah ke Bandung, di salah satu desa di sana. Merantau dari satu kota ke kota mencari pekerjaan, hingga akhirnya kami memilih menetap di kampung. Orang Jawa yang pindah ke tanah Sunda. Kami diterima dengan baik di kampung itu, berbaur dengan orang lain. Hingga aku memiliki tiga orang anak laki-laki, Ridwan, Jamal dan Harun. Ketiganya terlahir dan menjadi anak-anak yang baik, yang akan menjagaku kelak. Namun, di tengah perjalanan hidupku, Ridwan mengecewakanku. Aku begitu membenci sikapnya. Saat kecil, ia kusayangi sepenuh jiwa, tapi ketika ia dewasa, malah mengecewakan karena menikahi perempuan tanpa nasab. Kehidupan terus berjalan, hingga Ridwan pergi untuk selamanya. Hari itu, dua anakku Jamal dan Harun pindah rumah karena mutasi pekerjaan. Keduanya ditempatkan di kota yang sama. Mereka menjual rumah di kampung dan membeli rumah di sana, berencana akan tinggal sel
Bab 63*Aku melahirkan anak pertama. Kebahagiaan semakin lengkap sejak hadirnya sang buah hati dalam rumah tangga kami. Bisnisku semakin lancar, kini aku membuka cabang pabrik lagi di daerah Bekasi. Bisnis Salman juga semakin lancar. Secara ekonomi kami sangat mapan. Aku bersyukur atas kepercayaan Tuhan menitipkan itu semua.Aku menikmati hari-hari di mana aku mengasuh putriku yang kuberi nama Talita. Sejak ia mengeluarkan tangisan pertama di dunia ini, berlanjut saat ia mulai bisa mengeja kosa kata. Aku ingat kosa kata yang pertama ia ucapkan, yaitu mama dan papa. Rasanya aku telah menjadi wanita yang begitu sempurna. Kini, Talita sudah beranjak tiga tahun. Ia tumbuh menjadi anak yang ceria dan cantik.Satu kata untuk mewakili semua perasaanku saat ini, yaitu bahagia. Terlepas dari apa saja yang terjadi di masa lalu. Itu hanya sejarah di belakang hidupku.Bulan lalu, Salman juga menemukan dua orang adik kakak di jalanan yang katanya sudah tak lagi memiliki orangtua. Mereka mengamen
Bab 62*Hari itu setelah ribut dengan Paklek, aku pulang ke Jakarta. Aku kembali pada rutinitas yang telah lama kutinggalkan.Aku keluar dari rumah Nenek hari itu. Saat aku keluar, kulihat ada beberapa tetangga yang masih berdiri di depan pagar mereka dan menatap prihatin padaku. Aku terus melangkah, karena mereka melihatku menangis. Mereka terlihat kasihan, tapi tak bisa berbuat apa-apa. Tak bisa mencampuri urusan keluarga kami. Tak perlu kuceritakan apa yang terjadi dalam keluargaku, mereka lebih tahu bagaimana kelakuan Paklekku. Mereka tahu Paklek menelantarkan Nenek sekian lamanya, karena terkadang tetangga-tetangga itu juga yang memberikan makanan untuk Nenek.Esoknya, Pak Lurah datang menemuiku di rumah Bude, lelaki paruh baya itu meminta maaf karena sudah menandatangani surat-surat untuk mengurus semuanya.Pak Lurah mengatakan bahwa mereka datang tanpa tingkah mencurigakan sama sekali. Ia sempat bertanya siapa saja yang mendapat warisan, apa aku mendapatkan warisan atau tidak.
Bab 61*“Ke mana surat-surat tanahnya, Paklek?” ulangku lagi menatap tajam keduanya yang baru saja masuk ke dalam rumah.Dua lelaki paruh baya itu saling pandang sejenak, karena melihat ekspresiku yang sedang menahan marah. Aku yakin kini wajahku merah padam, akibat luapan amarah yang sedang meledak-ledak dalam dada. Lalu, kulihat ia segera menyembunyikan tangannya di belakang. Aku melihat sebuah map berwarna cokelat ia dipegang erat oleh Paklek Harun. Aku telah mewanti map itu sejak kulihat mereka masuk ke dalam.Paklek hanya diam. Hal itu membuatku semakin naik darah. Aku lupa pada saran Salman untuk bertanya baik-baik pada mereka. Aku sudah cukup baik selama ini dengan mereka, lebih tepatnya cukup banyak diam demi tidak memperkeruh suasana.Aku diam saat kulihat Paklek mengambil uang dari dompet kecil yang ada di bawah kasur Nenek saat ia tertidur. Aku tak memasak untuk mereka, dan mereka menggunakan uang Nenek untuk membeli makanan. Padahal aku tahu, uangnya begitu banyak, tapi p