Share

5. Jambu Nenek

Part 5

*

Sisakan untuk Kalila dan Karina. Jujur, aku cemburu mendengar kalimat itu keluar dari mulut nenek. Ia terlalu spontanitas mengatakan bahwa dua cucunya itu terlalu spesial di hatinya. Dan, aku hanya cucu yang ada atau tidak keberadaannya sama sekali tak berpengaruh pada nenek.

Beberapa menit setelah mengatakan itu, dari atas pohon kulihat Kalila dan Karina datang bersama ayah mereka. Keduanya menaiki motor yang mengkilat dibonceng sang ayah. Aku hapal nama motornya hingga kini. Ayah Kalila menaiki motor merek Honda Supra Fit. Sementara Aya Karina menggunakan motor Karisma.

Melihat kedatangan saudara-saudaraku, Farah berlari pulang tanpa pamit pada nenek, juga padaku yang masih di atas pohon.

Dari atas pohon kulihat nenek begitu gembira menyambut dua anak dan cucunya. Paman-pamanku mencium tangan nenek, diikuti Kalila dan Karina. Lalu, ada yang tiba-tiba sesak dalam hatiku. Sesak sekali dan sulit kujelaskan. Tanpa sadar, pipiku basah. Aku tak sengaja menangis. Bukan karena cemburu pada Kalila dan Karina yang disayang nenek, tapi saat pikiranku memaksa mengingat-ingat kapan nenek pernah membelai kepalaku, mencium pipiku.

Seingatku ternyata tidak pernah, bahkan saat lebaran pun tidak. Ini yang namanya perasaan yang menyakiti diri sendiri. Aku baru menyadarinya.

Kalila dan Karina begitu cantik. Rambut keduanya lurus, hanya saja Kalila memiliki rambut panjang yang selalu digepang dua kiri dan kanan, dengan rambut poni lurus ke depan hampir mengenai matanya. Cantik. Sementara Karina memiliki rambut lurus sebahu, ia sering memakai jepit rambut di bagian depan, terkadang bando untuk menambah kecantikannya.

Aku?

Rambutku tak selurus mereka, tak juga lembut, karena terkadang saat mandi dan terlanjur membasahi rambut, tapi nyatanya di sumur sudah tak ada lagi shampo. Jadi, aku hanya mencuci rambut dengan air.

Wajah dan penampilanku jika dibandingkan dengan Kalila dan Karina jelas sekali perbedaannya. Jelas sekali orang akan mengenal siapa aku, dan siapa mereka.

“Nek, mau jambu.” Kudengar Kalila merengek pada nenek dengan manja.

“Iya, Karina juga, Nek.” Karina tampak meminta juga.

Nenek tersenyum pada mereka, lalu ia menengadah ke atas pohon, di mana aku masih memerhatikan kehangatan mereka. Kehangatan yang membuat mataku ikut menghangat.

“Sekar, sekalian kamu petik buat Kalila sama Karina ya.” Nenek memberikan perintah padaku, itu artinya aku harus menurut.

Dibalik lebatnya daun-daun jambu air itu, aku menyeka air mataku. Menyeka hingga tak tersisa. Untung saja banyak daun lebat yang menutupi wajahku. Jika tidak, mungkin besok di sekolah akan ada bahan baru untuk Kalila dan Karina mengejekku.

“Iya, Nek.”

Aku kembali naik ke satu dahan lagi yang teratas, demi mendapatkan buah jambu yang merah. Aku sibuk memetik jambu, sementara nenek dan kedua pamanku sedang mengobrol entah apa. Lalu, kulihat ayah Karina pulang dengan motornya.

“Titip Karina ya, Bu.” Pamanku berkata sebelum ia naik ke atas motornya.

Nenek mengangguk, tinggallah ayah Kalila bersamanya. Lalu beberapa detik kemudian ia juga pergi ke belakang entah untuk apa. Setahuku ayah Kalila sering memetik kelapa yang sudah tua di rumah nenek untuk dijual. Halaman rumah nenek sangat luas, selain ada pohon jambu, juga ada rambutan, sementara di belakang rumah banyak pohon kelapa.

Meninggalkan Kalila dan Karina di teras, nenek masuk ke dalam rumah. Karena tidak ada lagi nenek bersama mereka, Kalila dan Karina melangkah ke bawah pohon jambu.

“Sekar, lempar satu dong.” Kalila meminta.

“Iya, Sekar. Udah ngiler aku tengoknya dari tadi.” Karina ikut menambahkan.

Keduanya berdiri di bawah pohon, menanti aku melempar satu dua buah jambu dan menyambutnya.

“Tangkap!” ucapku pada keduanya setelah memetik buah yang kukira manis dan sangat merah.

Keduanya mengangguk, aku menjatuhkan satu persatu jambu untuk mereka. Kalila dan Karina langsung membelahnya dan memakan dengan lahap.

“Lagi, dong!” pinta keduanya serentak. Jambu nenek memang manis, bikin ketagihan.

Aku tidak keberatan meski sebenarnya aku sedang ada dalam posisi yang menyedihkan. Aku kembali memetik dan menjatuhkan tepat di tangan Kalila. Namun, Kalila tak bisa menangkapnya, jambu itu terjatuh ke tanah dan kotor. Kalila malah mengucek-ngucek matanya entah sebab apa.

Bersamaan dengan itu nenek keluar dari rumah, ia membawa dua kantong kresek di tangannya.

“Kalau nggak mau metik ya ngak usah lah, Sekar. Malah bikin mataku sakit gini kemasukan sampah dari atas itu.”

Kulihat Kalila masih mengucek matanya, sementara Karina mengecek kondisi sepupunya itu, melihat apa yang bisa dibantu. Dati atas kulihat mata Kalila sedikit merah. Mungkin karena mendongak ke atas terus, ia kejatuhan debu dari atas pohon jambu, atau kejatuhan sampah dedaunan kering yang telah mengering, atau apa pun itu.

“Tau tuh Sekar. Emang sengaja ya?” Karina ikut menyalahkanku.

Sengaja?

Aku bahkan tak tahu mata anak itu kemasukan apa, oleh siapa? Yang menyuruhku metik jambu adalah mereka. Yang meminta dijatuhkan jambu juga mereka, lalu salahku di mana?

Saat melihat nenek keluar, Kalila semakin menjadi-jadi. Ia menangis di depan nenek dengan raut wajah seolah ia paling tersakiti.

Aku menghela napas lelah, juga sedih atas perlakukan dua sepupuku itu. Padahal mereka sudah sering memperlakukanku seperti itu. Entah di sekolah, tempat mengaji atau di mana pun. Namun, dulu aku sama sekali tak menyadarinya. Aku terlalu polos untuk menilai orang lain.

Melihat itu semua, nenek mendekat ke bawah pohon jambu. Ia memeriksa kondisi Kalila. Matanya masih memerah.

“Jangan dikucek!” perintah nenek pada Kalila, ia lalu meniup ke dalam mata Kalila. Cara seperti itulah biasanya sedikit meredakan rasa perih dalam mata.

Kalila mengedipkan mata beberapa kali, mencoba menormalkan penglihatannya.

“Kamu keterlaluan ya, Sekar. Gimana kalau Kalila kenapa-kenapa?” bentak nenek padaku sambil mendongak dengan mata yang tajam.

“Harusnya kamu yang lebih tua, harus lebih sayang sama mereka. Bukan bikin celaka.”

Nenek terus mengomeliku. Aku memang lebih tua daripada Kalila dan Karina. Lima bulan jarak dengan keduanya. Sementara Kalila dan Karina hanya berjarak dua Minggu. Sebab itu nama mereka sama-sama diawali huruf K. Ibuku bilang, kedua pamanku sangat bersuka cita karena nanti mereka bisa bermain bersama.

“Sudahlah, capek ngomong sama kamu. Keras kepala.” Nenek masih mengutukku, tanpa peduli di atas sana, aku kembali mengeluarkan cairan hangat dari mata.

Keras kepala. Bagi nenek, aku keras kepala. Benar, ketika sayup kudengar ia mengomeliku tadi di sumur. Keras kepala.

“Turun dikit, ambil plastik ini. Petik yang banyak buat Kalila dan Karina. Pilih yang merah, yang manis.”

Aku turun ke beberapa dahan untuk menjangkau plastik yang diberikan nenek.

Aku menuruti keinginan mereka, memetik jambu-jambu manis itu dan memasukkan ke kantong. Peluh di dahiku sudah bercucuran karena sengatan sinar matahari dari atas langit sana.

Lelah. Hingga saat dua kantong itu penuh, aku turun dan menyerahkan jambu itu pada nenek.

Aku mengikat satu kantong yang tadi sempat kupetik untukku dan Farah, hanya kutambahi beberapa agar kami puas ngerujak.

“Kayaknya yang di plastik kamu lebih merah deh, Sekar.” Kalila protes saat melihat kresek di tanganku. Padahal itu untukku, miliknya dan Karina sudah kuserahkan.

“Yaudah. Kasih aja buat mereka, Sekar. Nanti kamu petik lagi, kan dekat. Kalau mereka kasian agak jauh rumahnya.”

Mataku mengerjap beberapa kali, agar air mata tidak mengalir deras saat nenek mengatakan itu. Meredam gejolak sedih dalam dada.

Aku menaruh plastik berisi jambu milikku di depan mereka, lalu keluar tanpa permisi pada nenek. Tanpa jambu juga.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Fiiz Hap
ga dpet jambu
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status