Dokter muda itu diam, seperti menyesal telah bertanya.
Tak ada obrolan lebih lanjut, karena pembicaraan dokter dengan Anis juga sudah selesai. Dokter muda itu sepertinya adalah calon dokter yang sedang menjalankan koas di rumah sakit itu, jadi begitu sang dokter pergi, dia pun mengikuti.
***
Dayu tertidur setelah minum obat, dan baru bangun setelah lewat jam lima sore. Saat dia bangun, Anis tak ada di kamar, tapi ada pesan dari kakaknya itu bahwa Anis harus pergi ke kantor polisi untuk membahas masalah kecelakaan dan menghilangnya orang tua mereka, sekaligus pergi ke rumah duka dari supir pengganti.
Selama sepuluh menit, Dayu hanya diam di dalam kamar, baru kemudian pergi ke kamar mandi untuk membasuh mukanya. Dia baru saja ingat, wajahnya belum tersentuh air sama sekali sejak sadar.
Merasa segar tapi kesepian, Dayu melangkahkan kaki keluar dari kamar rawatnya. Lukanya masih terasa nyeri, tapi Dayu mengabaikannya.
Suasana lengang karena tak banyak orang yang datang membesuk menjelang gelap. Dayu menyusuri lorong, mencoba mencari tempat yang bisa membuatnya merasa tak seperti orang sakit.
"Ke arah sini!"
Dayu membeku saat mendengar suara itu. Suara Dimas.
"Apakah kamu harus seketakutan itu pada orang yang sudah seminggu menjadi adikmu?" Dimas muncul dari belakang punggung Dayu dan segera menarik tangan Dayu.
Dayu sedikit tersentak saat tangan Dimas menyentuh tangannya. Rasanya sangat dingin, seperti menyentuh air yang membeku.
Dayu ingin berteriak, tapi suaranya sama sekali tak keluar. Dimas terus membawanya berjalan sampai ke sebuah ruang rawat.
"Dia di dalam. Dia pasti tahu sesuatu soal kecelakaan kita, mungkin dia juga tahu kenapa ayah dan bunda menghilang." Dimas berucap.
Mendengar apa yang Dimas katakan, rasa takut dan keterkejutan Dayu menguap. Segera, dia mengetuk pintu dan segera masuk ke ruangan itu.
"Oih, siapa kamu?" Seorang laki-laki muda, mungkin seumuran Dayu sendiri, bertanya dengan terkejut.
"Maaf, tapi ...,"
"Katakan kamu mencari dokter koas yang bernama Nala!" Dimas memberikan instruksi pada Dayu.
"Aku pikir, dokter Nala ada di sini, hehe hehe." Dayu mencoba bersikap senormal mungkin.
"Oh, kamu cari dokter Nala. Sebentar ya," cowok imut itu, yang meskipun perawakannya mungil menggemaskan sangat mungkin adalah dokter koas sama seperti Nala lantas menuju ke kamar mandi dan mengetuk, "La, ada yang cariin. Aku pergi duluan ya!"
***
Dayu kira, Nala akan menganggapnya gila saat mengatakan bahwa saudaranya -Dimas- yang masih dalam keadaan tak sadarkan diri sekarang turut bersamanya, dan Dimas pulalah yang menunjukkan pada Dayu harus mencari siapa dan kemana. Tapi ternyata Nala bereaksi tenang dan tak menunjukkan keterkejutan apa pun.
Suasana ruang rawat kosong di lantai yang sama dengan ruang rawat Dayu itu sepertinya digunakan diam-diam oleh para dokter koas untuk beristirahat. Dayu tadi melihat dokter koas lain pergi dengan ransel besar.
"Mari bicara di tempat lain." Nala berucap, membawa tasnya dan pergi mendahului mereka.
Sampai mereka ada di lorong lantai pertama yang sepi, Nala berhenti dan membawa Dayu menuju ke taman.
"Apakah kamu bisa menghitung ada berapa orang di sini?" Nala bertanya, seolah sedang mengetes Dayu.
Mendapat pertanyaan seperti itu, Dayu sedikit kesal, tapi dia mengangguki apa yang Nala tanyakan.
"Tiga. Aku, kamu, dan Dimas!" Dayu menjawab dengan yakin.
Nala hanya tersenyum, lalu mengalihkan pandangannya ke arah Dimas.
"Lalu menurut kamu, Dimas. Ada berapa orang di sini?" Nala beralih tanya pada Dimas.
Bukam cuma Dayu yang terkejut tapi juga Dimas. Mereka berdua sama-sama mengira Nala tak bisa melihat Dimas, sama seperti orang-orang yang sebelumnya Dayu temui saat berada di lorong, semua orang hanya menyapa Dayu dan Nala saja.
"Aku pikir kamu tak bisa melihatku." ucap Dimas.
Nala menggeleng, "Aku melihat kamu sejak kemarin pagi, aku tahu kamu berada di sekitar."
"Lalu kenapa tadi kamu mengabaikan aku?" tanya Dimas lagi.
"Aku akan tetap mengabaikan kamu ketika kita berada di tengah keramaian." Nala menjawab dengan begitu tegas.
"Kenapa?" Dimas bertanya dengan wajah heran.
"Aku sedang dalam perjalanan untuk menjadi seorang dokter, apakah kamu pikir aku harus membuat orang-orang berpikir aku gila?" Nala bertanya balik.
Dimas diam, lalu mengangguk.
"Ya, orang lain memang tidak bisa melihat aku, dan itu membuat aku bingung kenapa aku bisa ada di sini." terangnya.
Nala diam saja, lalu duduk di atas rerumputan yang cukup terawat meski tempat itu sepi sekali.
"Di sini, tidak hanya ada kita bertiga. Ada banyak sekali makhluk jika aku mau menghitungnya. Jika kalian tak bisa melihat mereka, itu artinya aku tak perlu terlalu khawatir. Ikatan antara kalian berdua dengan Danyang, berarti masih tipis." Nala berucap.
Dia merebahkan punggungnya, membuat Dayu dan Dimas bisa melihat penampang wajahnya yang halus dan lembut secara penuh. Nala dalam versi non dokter koas jauh lebih menawan karena dia telah melepas wajah tegas yang dipajang seharian.
"Siapa Danyang?" tanya Dayu, lantas duduk di samping Nala yang masih berbaring.
Nala mengangkat tangannya, lalu membuat gerakan seolah dia tengah menangkap sesuatu dari udara.
"Dia makhluk yang dipercaya menguasai suatu tempat sejak zaman dahulu kala. Setiap memasuki wilayahnya, kamu mungkin akan mengusiknya, dan sebagai balasannya, dia akan membuat kamu celaka. Tapi, ada juga yang mempercayai bahwa Danyang adalah makhluk yang menjadi raja di suatu tempat, dia memiliki kekuatan yang besar dari alam, dan dia bisa memberikan apa yang kamu mau." Nala berucap sambil memandangi langit gelap.
Lampu menyala dengan warna kekuningan, dan menciptakan suasana yang hangat.
"Apakah yang kamu maksud, dia bisa mengabulkan permintaan?" tanya Dimas.
"Makhluk penguasa wilayah itu, aku baru saja mendengarnya dari Anto, tapi apakah dia bukan makhluk jahat?" tanya Dayu, menambahi pertanyaan adiknya.
Nala mengambil napas dalam-dalam lalu mengembuskannya perlahan.
"Baik atau jahat, tidak ada yang benar-benar pasti. Dia mungkin bersifat abu-abu, sama seperti manusia. Hanya saja, kadang kita tidak tahu bahwa kita telah tanpa mengaja mengusiknya, lalu memulai sebuah peperangan dengannya. Orang-orang di sekitar kita, mungkin menjadi tumbal dari ketidaktahuan itu." Nala menjelaskan dengan nada lambat.
"Lalu, apakah kecelakaan keluarga kami ada hubungannya dengan Danyang? Kami hanya berniat mengunjungi kerabat yang lama tak bertemu dan pindah rumah. Ini bahkan kali pertama bagiku melewati hutan itu!" Dayu masih mencoba menjadi yang paling denial.
Nala diam untuk tiga detik.
"Aku juga tidak pernah mengusik Danyang, dan orang lain yang menjadi korban mungkin juga tidak pernah mengusiknya. Tapi, dari enam orang yang terlibat dalam kecelakaan itu, apakah kamu yakin tak ada satu pun yang sudah mengusik Danyang?" Nala bertanya balik, mencoba membuat Dayu berpikir lebih jauh.
"Apakah kamu tahu banyak soal Danyang?" Dimas kembali bertanya.
Nala menggeleng.
"Aku sama sekali tak tahu soal Danyang tempat itu. Mereka sama seperti pemilik rumah, dan aku tak pernah mengenal pemilik rumah yang kalian lewati itu. Tapi, aku pernah tahu Danyang lain yang menguasai sebuah tempat di desa tempat keluargaku tinggal. Kurang lebih, aku pikir mereka memiliki karakteristik yang sama. Seseorang mungkin tanpa sengaja meminta sesuatu di sana, lalu kalian menjadi pembayarannya. Itu adalah apa yang aku pikirkan ketika aku melihat ada benang merah menjerat leher kalian." tutur Nala, sambil mengarahkan tangannya ke leher Dayu.
Begitu Nala menarik tangannya lagi, dia memperlihatkan ada semacam benang merah nyaris transparan di sana.
"Dia sudah menandai korbannya." terang Nala.
***
Dayu ingin sekali meneriakkan bahwa apa yang Nala katakan tidak masuk akal. Lelaki muda itu seorang dokter koas, seharusnya berpikir rasional, seharusnya bersikap masuk akal. Tapi, tak ada yang bisa Dayu tolak lantaran Nala sendiri bisa menunjukkan sesuatu yang seperti sihir itu. Tak mungkin Dayu berpikir lebih jauh, menyangkal dan menuduh Nala sebagai pesulap.Benang merah itu nyaris transparan, tapi nyata adanya meski semula Dayu tak bisa melihatnya. Dimas juga terlihat sama kagetnya, tak menyangka ada benda semacam melilit lehernya.Dayu mencoba memastikan apakah benang merah itu asli dengan menyentuhnya, tapi begitu tangannya nyaris mencapainya, benang merah itu menghilang."Kamu tak bisa menyentuh benda itu, karena kamu adalah mangsanya. Benda ini akan menandai kalian berdua, dan membawa Danyang ke tempat di mana kalian berada, atau sebaliknya, tanpa kalian sadari membawa kalian mendatangi wilayah yang Danyang kuasai. Benda ini seperti jerat yang tidak bisa kalian lepas selama ka
Dayu menceritakan pada Anto setiap detail yang dia ingat, meski dia sendiri yakin bahwa ada bagian yang tak bisa dia ingat."Aku sangat yakin nendengar suara jeritan saat itu, bersamaan dengan suara benturan antara mobil kami dengan truk yang ada di depan. Aku sudah mengkonfirmasinya pada Dimas dan dia pun mengatakan hal yang sama, kami berdua sama-sama mendengar jeritan itu. Sebagai catatan, itu bukan suara salah satu dari kami, ayah atau tante Sekar. Aku bahkan tak yakin itu jeritan apa." Dayu mengakhiri ceritanya."Setelah itu, kamu tak ingat apa-apa lagi?" tanya Anto.Dayu menganggukkan kepalanya. Dia benar-benar tak ingat apa yang terjadi setelah itu."Itu sama persis seperti apa yang aku alami, hanya saja aku tak mendengar suara jeritan seperti yang kamu sebutkan. Aku hanya ingat aku melihat sebuah truk datang dari arah depan, itu saja." Anto menyebutkan kesamaan kejadian yang mereka alami."Lalu, apa saja yang kamu lakukan setelah itu?" tanya Dayu.Anto diam sejenak, mengingat-
Dayu melirik ke kanan dan ke kiri. Dia mulai dihinggapi ketakutan dan kecemasan, membuatnya tak ingin memejamkan mata apalagi tertidur meskipun obat membuatnya mulai mengantuk. Dayu takut dia akan mulai memasuki mimpi menakutkan di hutan yang suram itu lagi jika jatuh terlelap.Dayu merasa tak nyaman. Dia mengenakan selimut sampai ke dada tapi masih merasakan dingin yang berasal dari sekitarnya. Seolah udara di dalam ruang rawatnya menjadi lebih dingin dan lebih lembab, membuat Dayu merasa seperti tengah berada di dalam hutan jati yang ada dalam mimpinya, tapi dalam versi yang lebi lh dingin.AC memang menyala, tapi suhu di dalam ruangan itu diatur untuk tak kurang dari dua puluh empat derajat celcius oleh Anis, sesuai keinginan Dayu.Setelah dokter yang memeriksanya menyarankan untuk melakukan pemeriksaan lebih lanjut, Anis menemaninya sebentar. Namun, setelah setengah jam mereka bicara mengenai perkembangan kasus menghilangnya ayah dan tante Sekar, Anis meninggalkan Dayu sendirian u
Nala menghena napas, seolah lelaki muda itu tengah menyesali sesuatu. Dayu tak mengucap sepatah kata pun, tak mengeluarkan suara bahkan tak membuat gerakan yang terlalu jelas meskipun dadanya terasa nyeri dan sesak. Rasa sakit menjalar dari dada sampai ke seluruh tubuhnya, sementara kepalanya berdenyut nyeri.Dokter koas itu duduk dengan gelisah di sofa, tak mengatakan apa pun lagi setelah pembicaraan singkat mereka yang terakhir. Dayu awalnya mengira Nala akan segera pergi dan meninggalkannya begitu saja seperti apa yang sudah terjadi sebelumnya, tapi ternyata pemilik wajah teduh itu justru hilir mudik di depan pintu kamar rawat Dayu yang sengaja dibiarkan terbuka, lantas duduk di sofa seperti sekarang."Aku tidak menyukai hal ini, kenapa aku aku harus melakukannya tadi?" Nala mengkritik dirinya sendiri. Dari tindak tanduknya, sepertinya Nala bahkan telah lupa bahwa dia tak sedang sendirian di sana, dan tanpa sengaja memperdengarkan keluhannya pada Dayu."Apa yang tidak kamu sukai, N
Brakk!!Suara itu keras, tentu saja membuat fokus tiga orang di dalam ruang rawat VVIP itu terpecah. Dayu hanya bisa menoleh sementara Anto langsung berdiri, hendak memeriksa benda apa kiranya yang jatuh di balkon."Jangan dibuka. Biarkan saja, dia mencoba mengganggu!" Nala memberi instruksi dengan cukup tegas.Anto dan Dayu sama-sama menoleh ke arah dokter koas itu karena tak paham dengan apa yang Nala coba sampaikan. Awalnya, Anto terlihat tak bisa menangkap apa yang Nala maksud, apa lagi Nala justru tak terlihat menoleh sama sekali. Dokter koas itu malah bertingkah seakan tak mendengar apapun. Anto yang tak mendapat jawaban akhirnya kembali duduk.Brak !!!Suara benda jatuh setelah dilempar dengan keras sampai menabrak dinding terdengar lebih kerasa. Masih dari arah balkon.Dayu menoleh seketika dan dia terkejut melihat sepintas ada makhluk bertubuh besar dengah tangan panjang nyaris mencapai lantai menatap ke dalam. Matanya merah terang."Jangan dilihat!" Nala berkata, memperingat
Dayu diam sejenak, memikirkan kembali apakah dia perlu menanyakan pada Nala cara apa yang dokter koas itu maksud. Cara lain yang bisa membantu dirinya, cara untuk mengetahui siapa dukun itu, siapa yang telah menjadi penghubung antara seseroang dengan Danyang. Yang lebih penting lagi, tanpa bisa membuka mulut dukun yang mulai mengirimkan teror padanya itu, Dayu tak akan tahu siapa yang sudah menumbalkan dirinya, Dimas, ayah dan tante Sekar.Ada sesuatu yang membuat Dayu merasa ragu. Apakah dalam waktu yang hanya tersisa sembilan puluh lima hari, dia bisa menyelamatkan dirinya dari Danyang. Apakah dalam waktu yang akan terus berkurang seperti butiran halus di dalam jam pasir itu dia akan bisa memutus benang merah yang sudah terlanjur mengikat dirinya dengan Danyang.Apakah dia bisa menyelamatkan Dimas, ayah dan tante Sekar atau pada akhirnya harus menerima bahwa dia akan kehilangan segalanya. Dayu tak yakin dirinya akan sanggup kehilangan ayah setelah jauh sebelumnya telah kehilangan so
Dayu melangkah mundur. Tubuhnya gemetar. Teriakannya diredam oleh sesuatu yang tak bisa dia pahami. Dia sudah berteriak, tapi telinganya tak mendengar suaranya sendiri. Dayu hanya bisa mendengar suara angin yang bergerak berisik dari dalam hutan, seolah seseorang sedang berlari menembus pengap dan rapatnya vegetasi di bawah naungan pohon-pohon jati untuk mendatanginya.Tubuh ayah dan tante Sekar yang tergantung di salah satu cabang dari dua pohon jati yang berdekatan tak terlihat seperti orang mati. Mata mereka terbuka dan menatap Dayu dengan cara yang aneh, membuat Dayu menjadi semakin ketakutan.Dayu terus mundur.Suara berisik terdengar mendekatinya dari kedalaman hutan. Dayu ingin secepatnya berlari, tapi dia tak bisa menggerakkan tubuhnya dengan baik."Jangan diam saja, ayo lari!!"Seseorang berteriak persis di belakang Dayu. Tak sempat menoleh, tangan Dayu sudah diraih dan dia terpaksa mengikuti ayunan kaki cepat milik orang itu.Tangannya hangat, tapi Dayu tak bisa melihat waja
Dayu melihat bagaimana mata Nala sempat berkilat dengan warna merah, seolah ada api yang sedang dibakar di dalam kedua mutiara cokelat bening miliknya itu saat kelopak mata yang indah terbuka."Apa yang kamu lakukan di sini? Aku tidak menerima tamu tak diundang." Nala berucap dengan tenang tapi begitu dingin, membuat Dayu berpikir dia baru saja mengganggu dokter koas yang tampaknya begitu ngebut saat sekolah dan kuliah itu.Mungkin saja dia baru saja mengganggu tidurnya yang berharga. Dari apa yang Dayu dengar, pada dokter seperti Nala tak punya banyak waktu untuk dirinya sendiri, bahkan untuk sekedar tidur sekalipun."Maafkan aku. Aku tahu, aku baru saja mengganggu kamu. Tapi, bisakah aku menanyakan sesuatu?" tanya Dayu.Nala memisahkan punggungnya dari tembok yang dia sandari. Sebelumnya, Dayu sengaja mencarinya dan menemukan bahwa Nala sedang memejamkan mata dan duduk bersandar di tembok, tak jauh dari ruang mayat yang sepi. Entah apa yang dilakukan oleh dokter koas itu di sana, di