Share

Supir Pengganti

"Apa mungkin ayah kami keluar lebih dulu dari mobil, lalu mencari bantuan?" Anis bertanya pada polisi muda di hadapannya.

Sayangnya jawaban yang dia harapkan bertolak belakang dengan gelengan kepala laki-laki itu.

"Tak ada tanda seseorang keluar dari pintu depan. Kondisi mobil tidak memungkinkan, kami sudah memastikan itu. Sekarang, kami sedang menunggu hasil pemeriksaan terhadap darah di jok depan untuk memastikan bahwa benar ayah dan ibu kalian ada di sana saat kejadian." Polisi itu bertutur dengah menahan diri.

Dayu memandang tajam ke arah tangan si polisi. Tangan itu gemetar. Dayu yakin ada sesuatu yang ingin polisi itu sampaikan atau tanyakan tapi dia tak mengutarakannya. Lagi pula, tak ada penjelasan yang masuk akal untuk kedua belah pihak.

Polisi tak menemukan tanda keberadaan siapa pun di sekitar lokasi, keterangan bahwa mobil dalam keadaan terkunci dan tak ada jejak seseorang keluar dari dalam mobil. Dengan semua fakta yang mereka temukan di lapangan, sangat wajar jika apa yang bisa mereka sampaikan hanyalah apa yang sudah Anis dan Dayu dengar. Sisanya adalah misteri bagi mereka semua.

"Maaf, Pak Polisi!" Dayu mengangkat tangannya, tapi kemudian kembali menurunkannya karena terasa nyeri di bahu.

Dia butuh atensi dari kakaknya dan juga polisi di ruang rawatnya sekarang juga.

"Ya?" Polisi itu mengalihkan perhatiannya pada Dayu dan menanyakan apa yang Dayu butuhkan darinya.

"Siapa yang membawa kami ke rumah sakit? Maksudku, bisakah aku tahu siapa yang menemukan kami?" tanya Dayu.

Polisi itu mengangguk.

"Itu adalah warga sekitar. Tempat kalian mengalami kecelakaan sebenarnya tak begitu jauh dari desa, dan warga desa itu sebagian besar adalah petani. Mereka menanam jagung di daerah milik Perhutani, dan kebetulan saat beberapa orang pulang, mereka melihat truk dan mobil keluarga kalian. Jadi, mereka mencoba menolong." Polisi itu menjawab dengan tenang, lebih ramah dari ketika berbicara dengan Anis. Mungkin karena dia paham bahwa yang sedang berbicara dengannya adalah korban, seorang gadis yang baru berusia delapan belas tahun pula.

"Ah, jadi, apakah mereka yang melaporkan kejadian pada polisi? Karena mereka tak menemukan krang tua kami?" tanya Dayu lagi, mencoba mengkonfirmasi.

Polisi itu menggeleng.

"Tidak. Warga desa tersebut cenderung tak melaporkan apa yang mereka alami atau kecelakaan yang terjadi di wilayah sekitar mereka pada polisi. Sejujurnya, kami baru menerima laporan setelah kalian dibawa ke rumah sakit ini, dan tak seorang pun mengenal kalian berdua." jawabnya.

Dayu mengangguk-angguk.

"Apakah mereka sudah terlalu terbiasa dengan adanya kecelakaan di sana, jadi mereka tak berpikir perlu campur tangan polisi untuk mengurusinya?" tanya Dayu lagi. Informasi yang dia dapat dari Anto, coba dia benturkan dengan pernyataan laki-laki muda berseragam itu.

Polisi berparas menarik itu diam untuk sesaat, sampai kemudian mengangguk.

"Benar. Bagi penduduk desa itu, mungkin sama sekali tak perlu melaporkan kecelakaan yang terjadi pada kami. Mereka hanya menganggap semua itu hal yang wajar dan sudah biasa terjadi." jawabnya.

Jawaban itu menjadi pertanyaan terakhir Dayu yang terjawab, karena si polisi segera pamit. Dia sudah mencatat semua hal yang dia perlukan, sudah menanyakan berbagai hal pada Dayu. Sayang sekali, dia tak bisa menulis banyak mengenai kronologi kejadiannya karena Dayu hanya bisa mengaku dia tak mengingat apapun di saat kecelakaan terjadi, selain bahwa saat itu dia merasa mendengar suara seseorang yang berteriak.

Anis mengantar polisi itu sambil mendiskusikan mengenai orang tua mereka lagi. Sementara Dayu diminta tetap di kamar dan menunggu dokter yang akan kembali melakukan pemeriksaan berkala sebentar lagi.

"Bagaimana mungkin? Apa semua yang Anto katakan itu benar?" Dayu berguman sendiri.

Dia mencoba berpikir sedikit lebih positif, mencoba mencari hal-hal paling masuk akal agar cerita dari Anto tetap menjadi dongeng. Dayu merebahkan dirinya, setengah berbaring dengan punggung bersandar pada bantal yang tebal dan empuk. Dia akan segera pindah ke ruang rawat pada kelas yang lebih tinggi segera setelah dokter selesai memeriksa keadaannya.

Dayu mengambil napas sambil memejamkan mata, dan tanpa sengaja menghirup aroma bunga yang tak dia kenal. Dia segera membuka matanya kembali dan menoleh ke arah pintu kamar.

Anis tak menutup pintu dengan benar, menyisakan celah yang nyaris selebar telapak tangan. Dari celah itu, Dayu bisa melihat seseorang tengah berdiri di depan pintu kamarnya, memakai baju pasien berwarna hijau mint.

Jangan tanya lagi seberapa kagetnya Dayu, tapi dia segera melepas napas lega sambil menepuk dada dua kali saat melihat setengah wajah rupawan adik tirinya ada di sana.

"Astaga, Dimas! Mengagetkan aku saja! Kamu sudah sadar?" Dayu segera menegur Dimas.

Tak ada jawaban. Dimas hanya diam di depan pintu tanpa bergerak, padahal Dayu tak akan keberatan jika cowok itu meminta izin untuk masuk lalu duduk di brangkar samping yang masih kosong. Bukan berarti Dayu sudah menerima Dimas sebagai sosok adik, tapi dia hanya merasa harus berempati. Ayahnya dan tante Sekar tak ada, sehingga orang yang Dimas kenal di sana secara otomatis hanya Dayu dan Anis. Kakak-kakak dan kerabat Dimas yang lain tak ada di sana untuk menghiburnya.

"Masuklah!" Dayu dengan terpaksa menurunkan egonya dan mempersilakan Dimas masuk ke ruang rawatnya tanpa menunggu cowok itu meminta terlebih dahulu.

Sayangnya Dimas tak bergeming. Hanya berdiri di sana sampai kemudian dia berbalik dan pergi entah ke mana. Dayu bangkit, hendak menyusul, tapi aksinya digagalkan oleh dokter yang datang bersama seorang perawat bertubuh subur.

***

Dayu diam sambil memandangi jendela. Dia sudah pindah ke kamar VIP, tentu saja dengan biaya dari Anis. Sekarang dia juga kembali sendiri karena saat dia baru saja dipindahkan, Anis harus membicarakan keadaan Dimas dengan dokter. Saat Dayu menanyakan kapan Dimas sadar, Anis malah mengatakan bahwa dia juga belum tahu dan akan membahasnya dengan dokter yang menangani cowok itu.

Anis bahkan terkekeh dan mengatakan Dayu mulai menjadi kakak yang khawatir pada keadaan adik laki-lakinya, karena mengatakan bahwa Dimas baru saja mencoba untuk mengunjunginya sebelum dokter datang tadi.

"Dimas belum sadar, Yu. Kita doakan saja semoga kondisi Dimas tetap stabil dan hasil MRI tidak memberi kita kabar buruk."

Begitu yang tadi Dayu dengar dari kakaknya.

Gila!

Dayu berani menggigit jarinya sendiri, dia sadar dan tak bermimpi ketika melihat Dimas berdiri di depan pintu kamarnya. Dia sempat sangat kesal sampai nyaris membenci cowok itu, jadi tak mungkin dia salah mengenali orang lain sebagai Dimas.

Tok tok tok!

Dayu yang nyaris terbuai udara sejuk dan tertidur dikagetkan oleh suara ketukan pintu. Dia siap memaki siapa saja yang sudah menganggu waktu tenangnya sampai seorang laki-laki berkemeja flanel membuka pintu dan tersenyum canggung.

"Aku ingin memaki siapa saja yang membuka pintu itu. Haruskah aku memaki kamu?" tegurnya dengan nada sarkas.

Anto mengucapkan maaf tiga kali dan berjalan tenang mendekati Dayu.

"Kamu boleh memaki aku, tapi aku masih ingin mendengar apa yang kamu alami kemarin." Laki-laki itu bersikeras.

Setelah dia mengoceh panjang mengenai apa saja yang dia tahu semalaman, Dayu mengusirnya dengan dalih dirinya dan Dimas harus istirahat, jadi sekarang dia datang lagi untuk menagih hutang.

"Astaga!" Dayu meruntuk, tapi kemudian teringat bahwa tadi dia ingin menanyakan beberapa hal pada laki-laki itu.

"Hei, An. Apakah kecelakaan seperti yang keluargaku alami sudah menjadi hal biasa di tempat itu? Maksudku, apakah sewajar itu sampai warga sekitar tak berpikir untuk mencari ayahku dan tente Sekar? Mereka bahkan tak lapor polisi, loh?" tanyanya beruntun.

Anto menyeret kursi lalu duduk di sana.

"Bukan karena sesering itu terjadi, tapi karena apa yang sudah aku katakan semalam tadi." jawab Anto.

"Mereka percaya bahwa setiap kecelakaan yang terjadi di sana adalah keinginan dari penunggu hutan itu. Polisi atau apa pun itu tidak bisa mengusik penguasa alam ghaib, itu adalah apa yang mereka percayai. Jadi, mereka hanya akan berpikir bahwa ayah kamu, tante Sekar, dan supir truk itu sebagai persembahan untuk penguasa alam ghaib yang ada di sana." lanjutnya.

Dayu mengerutkan keningnya mendengar pernyataan tak masuk akal baginya itu lagi.

"Supir truk itu? Supir itu masih koma, dia ada di salah satu ruangan, di rumah sakit ini, dia tak menghilang tanpa jejak seperti ayahku dan tante Sekar, An!" Dayu tak bisa menerima ketidak masuk akalan yang Anto sampaikan.

"Maksud kamu, supir pengganti? Ah, kamu pasti belum tahu. Ini informasi terbaru, supir yang ditemukan itu adalah supir pengganti. Supir truk yang bersamanya ternyata juga menghilang. Keluarga keduanya sudah datang dan menyatakan bahwa mereka pergi berdua untuk mengantar arang kayu, mereka dalam perjalanan pulang saat itu." Anto memberikan informasi yang sekali lagi membuat Dayu berpikir dirinya seharusnya sudah dinyatakan mengalami salah satu gangguan kejiwaan serius karena trauma.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status