Marni dan Darman. Keduanya merasa frustrasi atas kehidupan yang membuatnya dihina sebagai orang miskin. Mereka mengambil jalan mudah untuk mencari kekayaan dengan melakukan pesugihan pada Nyai Gayatri--jelmaan siluman ular. Keduanya melakukan perjanjian, termasuk memberi tumbal setiap bulan purnama. Sampai salah satu anggota keluarga dengan tega diserahkan pada ratu penguasa lautan tersebut. Namun, jalan tidak selalu mulus. Teror demi teror mulai mengintai. Kebahagiaan yang diharapkan justru perlahan memudar. Teror apa yang diberikan Nyai Gayatri pada keluarga Marni? Siapakah yang menjadi tumbal? Dan, bagaimana kehidupan mereka setelah melakukan perjanjian?
View MoreSuara detak jam menemaniku malam ini. Masih kutunggu sampai waktu menunjukkan pukul 12 malam, tak lupa sesajen itu kutatah dengan rapi. Bunga berwarna-warni sudah tersedia di nampan, tak lupa sesuatu yang menjadi tumbalku malam ini.
Kehadiran Nyai Gayatri harus disambut dengan mewah. Sebab, ia yang memberiku gelimang harta. Rumah yang dulu bak gubuk derita, dalam hitungan bulan bisa berubah menjadi istana.Tak lagi tangis anak karena kelaparan atau kekurangan susu. Semua aku dapatkan dengan mudah. Tetangga yang dulu mencemooh, bahkan menghina-sekarang seolah menganggapku saudara. Cih ... munafik!Aku sudah bersiap untuk meminta lagi harta yang lebih banyak malam ini. Remang-remang terdengar suara kereta kecana. Bau khas melati dan bunga sedap malam sudah mulai tercium. Tanda-tanda kedatangan putri agung, penguasa lautan bisa kurasakan.Duduk bersila di antara kepulan asap, kurapalkan doa dengan menaburkan sedikit kemenyan di antara asap-asap yang mulai menebal. Seketika tengkuk ini terasa dingin, bulu kuduk merinding merasakan kehadirannya.Aku menutup mata sejenak, sambil teras membaca mantra. Dalam kegelapan, terasa setitik cahaya mulai menerobos. Aku bisa membayangkan, Nyai duduk dalam sebuah kereta kencana bersama dua pengawalnya.Sekelebat aku bisa merasakan, jika ia mulai hadir di kamar ini. Kamar rahasia yang tidak boleh dimasukin oleh siapa pun. Nuansa keemasan serta hijau mendominasi dari kain-kain yang membentang sebagai hiasan. Begitu juga dengan ranjang khusus yang memang dipersiapkan jika Nyai ingin bertamu kapan saja.Suara kereta kencana semakin keras. Dia sudah hadir di sini. Wangi kembang tercium tajam diikuti dengan bau khas dupa yang kian menyengat. Namun, mataku masih enggan terbuka. Aku ingin menyambutnya dengan sangat sakral.Suara itu, suara kereta lonceng dari kereta kencana yang membuat bibirku tersenyum tipis. Sekali lagi dia sudah mulai mendekat. Embusan angin terasa kian menusuk, ini saatnya aku membuka mata.Cahaya yang cukup menyilaukan dibarengi kedatangan sesosok wanita berbaju hijau dengan pakaian khas putri raja.Wajahnya yang dingin dan datar menjadi sesuatu yang sudah tak asing bagiku."Selamat datang, Nyai," ucapku menundukkan kepala, memberinya penghormatan."Ada apa kau memanggilku?" tanyanya dengan nada dingin. Mantra khusus yang aku lafalkan, berhasil membawa Nyai kemari.Aku terdiam sejenak seraya meyakinkan diri dengan apa yang akan kuminta padanya. Aku menunduk kembali mengatur napas dan menutup mata beberapa detik."Aku minta kekayaan yang lebih dari ini, Nyai," pintaku yakin.Jantungku kian berdebar. Aku tahu, ini terlalu serakah. Padahal, beberapa minggu yang lalu aku baru saja meminta hal serupa. Namun, aku masih butuh untuk membeli sepetak tanah yang nanti bisa diurus oleh Mas Darman. Tentunya agar warga tidak curiga dari mana kekayaan ini didapatkan.Aku pun bisa memperkerjakan warga dan menjadikan mereka budak Nyai Gayatri. Tentu saja.Dia hanya diam tak menggubris pernyataanku. Dari matanya terlihat dia menatapku dengan tajam, suasana berubah semakin hening dan mencekam. Angin berembus semakin kencang sampai mengibas rambutku yang terurai."Apa yang akan kau berikan untukku?" tanyanya dingin.Kali ini Nyai tampak serius. Biasanya, ia hanya melirik sesajenku dan mengabulkan semuanya. Apa Nyai akan meminta hal yang lebih dari ini?Aku bergeming beberapa detik, berharap kali ini aku tak salah berucap. "Apa saja yang Nyai mau, akan saya berikan," tegasku.Suasana kembali hening. Jantungku berpacu semakin tak karuan. Aku takut Nyai meminta hal yang tak bisa aku kabulkan. Namun, bukankah itu risiko?"Aku ingin sesuatu yang berharga darimu."Kata-kata darinya membuatku menelan ludah. Sesuatu yang berharga? Aku memutar otak, apa yang harus kuberikan padanya? Aku menoleh ke arah perut yang sudah mulai terlihat menonjol lalu mengusapnya perlahan.Seketika aku menoleh ke arah Nyai Gayatri, ia menyunggingkan sedikit senyum dan melirik tanganku yang meraba-raba area perut.Pikiran jahat itu merasuk seketika. Aku mengangguk yakin dengan apa yang aku berikan padanya."Baik, Nyai. Sudah saya pikirkan dengan matang," tegasku. Aku yakin isi kepala kami sama. Tak apa, semua yang kulakukan demi harta dan kekuasaan.Nyai mengangkat alisnya, aku mengerti jika dia sedang bertanya apa yang akan aku berikan padanya?"Ambil anak dalam rahimku kapan pun kau mau," ucapku tegas sambil mengusap perut yang sudah memasuki kehamilan empat bulan.Seketika Nyai menyeringai. Tawa dari sosok yang kupuja pecah dalam keheningan malam ini diikuti suara burung gagak dari luar, seolah ikut bersorak menemani tawa Nyai yang terasa memekakkan telinga."Kau yakin?""Saya yakin, Nyai." Aku kembali menegaskan ucapan, agar Nyai percaya pada janji yang sudah kubuat. Toh, kehamilan ini tidak aku harapkan. Semua karena Kang Darman. Padahal, aku sudah bilang tidak ingin punya anak lagi."Baiklah. Sepeninggalku nanti, bukalah kotak hitam yang biasa aku suguhkan padamu. Tapi, ingat, jika kau ingkar dengan janjimu, maka kau yang akan menjadi tumbalku."Kata-kata Nyai kali ini terdengar menggelegar. Aku hanya mengangguk mengiyakan apa yang ia lontarkan.Cahaya itu kembali muncul dibarengi dengan angin yang begitu kencang, mata ini tertutup tak mampu mengimbangi cahaya yang menyilaukan. Perlahan semua mulai meredup dan keheningan kembali terasa mengisi ruangan khusus untuk penyambutan Nyai.Aku bergegas mengambil kotak hitam dalam lemari. Setelah kubuka, bibir ini tersenyum puas dengan apa yang didapatkan malam ini."Terima kasih, Nyai," ucapku senang.Aku kembali memasukan kotak hitam ke dalam lemari kemudian berjalan ke arah ranjang. Mataku menelisik ke setiap sudut ruangan ini.Bibirku menyunggingkan senyum, kala ingat hari itu, di mana aku dan Mas Darman berdiskusi tentang kehidupan yang serba susah."Tidak ada cara lagi, Mas." Air mataku berderai, melihat nasi kering hanya dengan taburan garam."Tapi itu perbuatan dosa, Dek. Kita sama saja menyembah setan," ucapnya dengan nada lesu."Mas, sekarang pikirkan anak kita saja. Kamu rela melihat dia makan dengan kerupuk atau tahu dan tempe setiap hari? Terus, sekolahnya nunggak. Kamu rela?"Dia terdiam sesaat. Wajahnya kian pucat. Aku yakin, Mas Darman sedang dihantui rasa bersalah karena tidak mampu memberikan kebahagiaan pada anak dan istrinya."Waktu keluarga kamu ngehina aku, kamu gak bisa ngomong, 'kan? Karena pada kenyataannya kita pantas dihina, Mas." Suaraku kian gemetar, membuat Mas Darman memejamkan matanya beberapa saat.Tak berapa lama, aku mengambil jemari suamiku, menggenggamnya dengan sangat erat. Aku berusaha meyakinkan, jika semua akan baik-baik saja. Kehidupan kami harus lebih baik dari sebelumnya untuk membuktikan, jika Mas Darman juga pantas dihargai oleh semua saudaranya.Sampai akhirnya, aku memberi waktu pada Mas Darman untuk memikirkan permintaanku ini. Saat malam tiba, aku berpura-pura tidur, sedangkan Mas Darman tampak gusar. Beberapa kali ia masuk dan keluar kamar.Esok paginya, aku sengaja tidak menyiapkan sarapan. Tentunya agar Mas Darman semakin merasa bersalah."Dek, Mas mau bicara." Suara bariton itu mulai memecah keheningan di antara kami."Kenapa, Mas?" tanyaku menatapnya dengan seulas senyum."Aku setuju untuk mendatangi Ki Kusno. Aku sudah bertekad ingin membahagiakan kalian." Matanya terlihat berapi-api. Membuat aku menghela napas lega.Berbulan-bulan Lisa menjalani pengobatan baik medis juga rukiah, akhirnya membuahkan hasil. Ia sudah jarang ketakutan lagi, bahkan dirinya sudah bisa tidur secara teratur. Kyai Ilham membangun benteng dengan meningkatkan pengajian rutin di luar jam pesantren. Tentunya, untuk mencegah datangnya serangan gaib. Tidak ada yang tidak mungkin saat semua dipasrahkan pada Gusti Allah, semua kehidupan di pesantren kembali normal. Beberapa minggu yang lalu, saat tengah melaksanakan wirid di kamar pribadinya, Kyai Ilham dikejutkan oleh angin yang tiba-tiba masuk ke kamarnya. Jendela kamar itu terbuka lebar hingga gordennya melambai tertiup angin. .Lamat-lamat beliau mendengar suara kereta kencana. Kyai Ilham tahu, siapa yang akan mengusiknya malam ini. Bibir sang Kyai tak henti melafalkan kalimat zikir, meminta pertolongan pada Allah agar senantiasa dilindungi. Sedari siang memang perasaannya tidak enak. Kyai Ilham sampai meminta Andi dan Lisa untuk wirid malam dan tidak boleh lepas dari Wud
Aku dan Mas Andi sudah bersiap-siap untuk pergi ke suatu tempat. Ya, aku sudah membiasakan diri memanggilnya 'Mas'. Kami mengenakan pakaian lengkap berwarna hitam yang khas untuk menuju ke tempat ini. Tidak ada perbincangan sama sekali yang mampu terucap dari bibirku, lantaran ini semua benar-benar mendesak dan terjadi begitu cepat.“Udah selesai? Kita langsung berangkat sekarang.” Mas Andi berjalan lebih dulu menyalip langkahku yang masih berhenti di tempat. Lamat-lamat aku mengiyakan dan melangkah pula ke arahnya. Motor hitam besar milik Mas Andi telah terparkir beberapa waktu lalu.“Kamu tau jalannya?” tanyaku spontan. Pria itu mengangguk dengan ragu-ragu.“Kurang tau sebenarnya Karena aku enggak ikut ke sana waktu itu.”“Jadi gimana?” Sejurus saling berbicara seperti ini, tiba-tiba langkah seseorang mendekat kemari. Kulihat matang-matang ada seorang wanita paruh baya muncul dari pintu utama.“Bu Nyai? Mau ke mana?” tanyaku sembari mengernyit. Aku seolah tak paham melihat penampila
Lisa berjalan tergopoh-gopoh. Ia melangkah dari rumah sakit, untuk sampai ke rumah. Aroma obat dan bekas infus yang selama ini menemani waktunya perlahan masih bisa dirasakan dan begitu menyeruak di indra penciuman yang dirasakan olehnya. Keadaan saat ini sangat membuat Lisa sadar bahwa keberadaannya di tempat ini memang kerap sekali memakan waktu yang panjang.Derap langkah kakinya menyertai keberadaan dan perjalanan. Sesekali bau-bau obat khas tempat umum berbaur obat-obatan tersebut lekat menusuk hidungnya. Lisa terus melangkah tanpa memikirkan apa pun.“Kamu yakin mau pulang? Kondisinya belum stabil, loh.” Andi, seorang pemuda yang memiliki wajah tampan itu terlihat berjalan menghampiri. Ia pun juga baru tiba dari rumah setelah melewati beberapa perjalanan beberapa saat lalu.“Iya, aku udah mendingan, kok. Kamu tenang aja.” Lisa menghela napas. Senyum yang lekat terlihat dari sudut bibir mungilnya membuat sosok lawan bicara ikut mengedarkan senyum balik. Pergerakan mereka saat ini
Lisa turun dari kendaraan roda empat perlahan. Setelah menjalani perawatan intensif beberapa waktu di rumah sakit, akhirnya ia diperbolehkan pulang.Pulang? Bahkan ia sendiri tidak mempunyai rumah yang bisa disebut sebagai tempat tinggal. Lebih tepatnya kembali ke pesantren karena tempat inilah Lisa bernaung selama beberapa waktu belakangan ini. Tentu ia bisa menyebutnya rumah, sebab sang ayah juga tinggal di sini.Bagi seorang anak, arti pulang bukanlah ke rumah, tetapi kepada orang tua. Karena orang tua itu sendiri adalah rumah ternyaman bagi anak-anaknya, termasuk Lisa yang merasa ayah adalah rumah satu-satunya. Senyuman hangat teman-teman di pondok menyambut kepulangannya. Kata dokter ... Lisa terbaring koma selama hampir dua bulan. Ditambah masa penyembuhan yang hampir satu bulan. Berarti total lama berada di rumah sakit selama tiga bulan. Tidak bisa dibayangkan bagaimana repotnya Kyai dan Bu Nyai dalam mengurus Lisa. Rasanya ia tidak punya muka untuk kembali ke sana, tapi apa
Tidak bisa dibayangkan bagaimana repotnya Kyai dan Bu Nyai dalam mengurus Lisa. Rasanya ia tidak punya muka untuk kembali ke sana, tapi apa daya Lisa tidak punya pilihan.Bu Nyai menuntun gadis itu menuju kamar. Bukan kamarnya dulu saat awal datang ke sini, tetapi kamar yang ditempati kemarin. Yaitu kamar di rumah utama Kyai Ilham. Kamar di mana ia mengalami hal aneh malam itu, hingga masih ingat sakitnya jeratan di leher. Mungkin itu juga yang menyebabkan Lisa harus berada di rumah sakit dalam waktu yang tidak sebentar.“Jangan pikirkan apa pun. Kamu harus cepat sehat, ada orang-orang yang sedang menunggu kamu. Jangan kecewakan mereka.”Lisa tersenyum. Tentu rasa rindu juga sama pada sang ayah. Gadis itu jadi tidak sabar menemuinya. Namun, kata Bu Nyai nanti dulu, kondisinya saat ini sedang tidak bisa berjalan jauh. Sampai di sini dengan selamat saja sudah syukur Alhamdulillah.Bu Nyai meninggalkan kamar setelah Lisa terbaring dengan selimut yang menutup sampai bagian dada. Suara deb
Seorang pemuda baru saja kembali dari sebuah tempat. Baju dan celananya sedikit terkena lumpur basah, tidak banyak, hanya di bagian ujung celana dan lengan baju.Dia segera membersihkan diri setelah sampai di rumah, kemudian pergi ke pesantren untuk menemui seseorang.“Assalamualaikum,” sapanya setelah berada di depan sebuah ruangan. Menunggu sang empunya mempersilakan dirinya masuk.“Waalaikumsalam.” Seseorang membuka pintu, memperlihatkan wajah tua tapi penuh wibawa.“Andi, silakan masuk.”Kyai Ilham, pemilik ruangan itu mempersilakan pemuda yang tak lain adalah Andi untuk masuk. Pemuda itu sudah mengatakan sebelumnya bahwa hari ini akan datang dengan maksud khusus.Kyai Ilham sedikit penasaran, karena baru kali ini Andi datang dengan maksud lain selain berkunjung atau memeriksa kesehatan para santri dan penghuni lainnya. Dengan senang hati dia menyambut kedatangan Andi.Dua cangkir teh terhidang di meja sebelum mereka memulai pembicaraan yang hanya diketahui oleh sebelah pihak.“Ad
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments