"Maaf mengejutkan kalian, tapi apakah benar kalian adalah korban kecelakaan di hutan jati sore tadi?" tanya seorang laki-laki muda berperawakan tinggi kurus.
Dayu memandang dengan tatapan menyelidik. Laki-laki muda itu membawa kamera dan berkaca mata, terlihat seperti seorang jurnalis tapi tak memakai tanda pengenal atau pun kartu pers. Dayu jelas merasa wajib untuk curiga pada orang itu.
Laki-laki itu memang tak tampak seperti penjahat, tapi Dayu tak mengenalnya dan ketika dia melihat reaksi Dimas, cowok itu pun tak menunjukkan gelagat sudah mengenal laki-laki itu.
"Ah, maaf. Saya bukan wartawan. Nama saya Anto, dan kebetulan saya sedang mengumpulkan bahan untuk tulisan saya mengenai hutan itu." Laki-laki itu akhirnya berinisiatif untuk memperkenalkan diri terlebih dahulu.
Dayu memutar pandangannya, mengalihkannya pada Dimas yang hanya diam saja. Tampaknya, Dimas tak merasa tertarik dengan kedatangan Anto, tapi juga tak terlihat terganggu. Dayu sebenarnya juga tak ingin menanggapi, tapi dia juga tak enak hati jika bersikap menyebalkan tanpa alasan pada seseorang yang sudah memperkenalkan diri dengan baik dan ramah begitu.
"Ah, ya. Saya Dayu, dan ini ...," Dayu berhenti sejenak, tak langsung memperkenalkan Dimas. Dia masih harus menimbang terlebih dahulu harus memperkenalkan Dimas sebagai siapa. Apakah sebagai cowok entah berantah yang tiba-tiba muncul dalam hidupnya yang tenang, atau langsung saja sebagai adik tirinya.
"Ini Dimas, adik saya. Apa keperluan anda datang menemui kami? Sejujurnya kami tak sedang dalam posisi yang memungkinkan untuk bicara dengan orang asing." Dayu akhirnya memutuskan untuk memperkenalkan Dimas sebagai adiknya. Peduli setan dengan status adik tiri atau orang asing, di tempat itu mereka berdua sama-sama tak mengenal siapa pun dan tak memiliki apa pun.
Dimas bereaksi ketika Dayu menyebutnya sebagai adik, tapi tak banyak. Dia hanya melirik lalu kembali membisu.
"Ah, saya mengerti. Saya benar-benar minta maaf, tapi saya khawatir tidak bisa bertemu kalian jika saya melewatkan kesempatan ini. Bisakah kita berbicara tanpa harus terlalu formal, saya pikir jarak usia kita belum terlalu jauh." Anto menyahut dengan antusias, seolah dia telah berlari dari kota sebelah karena mendengar penyanyi idolanya berkunjung ke rumah sakit itu.
Oh, ayolah, Dayu benar-benar tak melihat ada hal baik apa lagi hal menarik dari tragedi yang menimpa dirinya sehingga laki-laki berkaca mata itu mau repot-repot mengitari rumah sakit. Setidaknya, begitu yang Dayu pikirkan.
"Kamu bukan wartawan, lalu untuk apa kamu mencari bahan tulisan?" tanya Dayu, menanggalkan formalitas yang sebelumnya dia sandangkan.
Anto tersenyum kikuk, kemudian menjawab setelah menoleh ke kanan dan ke kiri, "Sebenarnya, aku ingin menulis sebanyak mungkin tentang daerah itu. Aku punya alasan sendiri, tapi mungkin tak akan bisa kalian terima jika aku ceritakan sekarang."
Dayu tak mengerti apa yang Anto maksudkan, begitu dia menoleh ke samping, Dimas sudah terlihat setengah tertidur. Dayu mendorong kecil tubuh Dimas hingga bersandar ke tembok yang dingin. Saat tanpa sengaja menyentuh kulit Dimas, Dayu baru sadar bahwa suhu tubuh Dimas sedang sangat panas.
"Katakan saja, soal apakah aku bisa menerima alasanmu atau tidak, itu akan menjadi urusanku." Dayu menegaskan.
Anto diam sejenak, mempertimbangkan apakah dia harus mengatakan alasannya mengumpulkan bahan tulisan mengenai kecelakaan yang keluarga Dayu alami atau tidak. Melihat bahwa Dayu adalah seorang gadis yang tak goyah sama sekali, Anto akhirnya mengalah dan menjelaskan mengapa dia ingin menulis sebanyak mungkin, dan mencari informasi sebanyak mungkin mengenai daerah tempat terjadinya kecelakaan. Sebuah kejadian yang juga masih membuat Dayu dan Dimas bingung.
"Aku mengalami sebuah tragedi di sana sepuluh tahun yang lalu. Aku tak bisa melakukan apa pun soal masa lalu, aku tak bisa mengubah apa yang sudah terjadi. Akan tetapi, setelah menjalani hidup yang tak tentu arah, aku pikir aku bisa melakukan sesuatu untuk kejadian yang belum terjadi." Anto mulai menjelaskan alasannya.
"Sebaiknya kita kembali ke kamar rawat sekarang. Sebentar lagi waktunya perawat berkeliling dan memeriksa." Dimas memotong bercakapan mereka. Wajahnya menjadi semakin pucat.
"Bisakah kamu bantu aku dulu? Ruang rawat kami ada di ujung!" Dayu menggunakan kesempatan untuk meminta bantuan Anto dan menunjuk ke arah kamar yang ada di ujung.
Anto dengan ramah tersenyum dan mengiyakan permintaan Dayu. Dia membantu Dayu dan memapahnya ke kamar rawat, sementara Dimas mengikuti dengan langkah pelan dua langkah di belakang.
***
Dayu membuang napas panjang. Dia tak ingin memikirkan apa pun, apa saja yang lebih jauh soal menghilangnya tante Sekar dan ayah. Tapi pagi ini, dia terbangun justru karena keributan di brangkar samping. Dimas tiba-tiba tak sadar, dan sempat hilang napas meski hanya dalam hitungan detik. Sekarang, Dimas harus dirawat dengan lebih intensif, harus dipindahkan ke ruang lain, sementara dia tak bisa melakukan apa pun selain duduk di sana dengan segala pertanyaan di kepala.
"Dayu, bagaimana keadaan kamu? Sarapan sebentar lagi datang." Anis, wanita muda yang cantik dengan rambut dicat cokelat terang menyapa Dayu.
Dayu hanya mengangguk dan tersenyum sebagai jawabannya. Tubuhnya terasa kaku dan nyeri karena semua lukanya, tapi denyutan di dalam kepalanya menjadi yang paling mengganggu. Dia belum tidur lama. Anto menemaninya diam-diam sampai jam dua pagi, menceritakan apa yang sedang dia tulis dan menanyakan pertanyaan-pertanyaan mendetail mengenai kecelakaan itu. Pertanyaan yang tak bisa Dayu jawab sama sekali.
"Bagaimana dengan Dimas?" tanyanya kemudian.
Anis masih tersenyum tapi gurat lelahnya tak bisa disembunyikan. Kakak perempuan Dayu itu menyetir jauh, berjam-jam sendiri digelayuti kekalutan karena keluarganya mengalami kecelakaan.
"Sudah stabil. Tapi dia masih harus terus diawasi oleh dokter. Kamu fokus ke diri kamu sendiri saja dulu. Mengenai Dimas, kita hanya bisa mempercayakan semuanya pada dokter di sini. MRI mungkin juga akan dilakukan jika sudah memungkinkan." turur lembut Anis menjawab pertanyaan Dayu.
Dayu membuang napas. Dia lelah, kepalanya berdenyut, tubuhnya nyeri.
"Yu, apakah ... apakah kamu tidak tau kemana ayah dan tante Sekar pergi?" tanya Anis tiba-tiba.
Dayu mengangkat wajahnya dan menggeleng dengan mata yang sayu.
"Beberapa orang bahkan tak percaya ayah dan tante Sekar juga ada di sana. Katanya, mereka hanya menemukan tiga orang saja. Supir truk yang masih tak sadar, aku dan Dimas di sana. Tapi tidak mungkin ayah dan tante Sekar meninggalkan aku dan Dimas bukan?" ucap Dayu.
Anis diam. Dia hanya berjalan mendekati adiknya lalu mereka berpelukan. Tak lama, tak ada tangis. Mereka berdua sudah terbiasa untuk saling menguatkan. Air mata habis terkuras sejak lama, jadi yang tersisa adalah bagaimana tetap bertahan.
Ketukan pintu menjeda reuni dua bersaudari yang sejatinya baru berpisah lima hari, saat Anis kembali ke tempat kosnya paska pesta pernikahan sang ayah.
Polisi telah datang.
***
"Bagaimana mungkin tidak ada jejak dari orang tua kami?" Anis bertanya dengan mata yang menajam, tak bisa mempercayai apa yang dikatakan polisi bertubuh tinggi di hadapannya.
"Bagaimanapun itulah yang terjadi. Kami bahkan sudah menurunkan regu pencari dan menggunakan anjing pelacak, tapi kami belum bisa menemukan jejak apa pun. Kondisi mobil, menurut para saksi, ditemukan dalam keadaan pintu terkunci, dan tidak ada siapa pun di jok depan. Hanya dua adik kamu saja yang ada di dalam mobil. Sementara ini, hanya itu yang bisa kami sampaikan." Dengan tegas, petugas polisi itu menjelaskan.
"Maksud kamu, ini seperti orang tua saya hilang begitu saja?" tanya Anis.
Dayu yang duduk di atas brangkar memandang tak percaya ke arah lelaki muda berseragam lengkap itu. Dia sudah mendengar sedikit dari Dimas mengenai tak ditemukannya ayah dan tante Sekar, tapi mendengar pernyataan dari polisi membuat sakit kepalanya bertambah hebat.
Polisi itu diam saja. Sepertinya, dia pun tak ingin mengiyakan. Tak masuk akal sekali rasanya, dua orang korban kecelakaan menghilang begitu saja dari dalam mobil yang katanya ditemukan dalam keadaan terbalik dan ringsek, serta pintu terkunci itu.
***
"Apa mungkin ayah kami keluar lebih dulu dari mobil, lalu mencari bantuan?" Anis bertanya pada polisi muda di hadapannya.Sayangnya jawaban yang dia harapkan bertolak belakang dengan gelengan kepala laki-laki itu."Tak ada tanda seseorang keluar dari pintu depan. Kondisi mobil tidak memungkinkan, kami sudah memastikan itu. Sekarang, kami sedang menunggu hasil pemeriksaan terhadap darah di jok depan untuk memastikan bahwa benar ayah dan ibu kalian ada di sana saat kejadian." Polisi itu bertutur dengah menahan diri.Dayu memandang tajam ke arah tangan si polisi. Tangan itu gemetar. Dayu yakin ada sesuatu yang ingin polisi itu sampaikan atau tanyakan tapi dia tak mengutarakannya. Lagi pula, tak ada penjelasan yang masuk akal untuk kedua belah pihak.Polisi tak menemukan tanda keberadaan siapa pun di sekitar lokasi, keterangan bahwa mobil dalam keadaan terkunci dan tak ada jejak seseorang keluar dari dalam mobil. Dengan semua fakta yang mereka temukan di lapangan, sangat wajar jika apa ya
Dayu berdehem, mencoba menetralkan pening di kepalanya yang makin menjadi."Jadi, apakah kamu mencoba mengatakan kepadaku, bahkan jika polisi nantinya menyatakan bahwa ayah, tante Sekar dan supir itu menghilang, para warga sekitar hanya akan membiarkannya saja?" tanya Dayu.Anto membuang napas, terlihat jelas menyesali jawaban yang harus dia berikan sebelum akhirnya dia mengangguk."Jangan salahkan mereka. Daerah itu cukup terpencil, satu jam dari sini. Belum lagi, banyak dari mereka yang tak berpendidikan tinggi, dibesarkan dalam kepercayaan mengenai kerajaan ghaib pula. Mereka bukan tidak peduli, mereka hanya terlanjur mempercayai bahwa mereka harus berbagi wilayah dengan penguasa tempat itu." Anto mencoba untuk membuka pemahaman Dayu.Mereka diam untuk sejenak, sampai kemudian Dayu meminta Anto untuk meninggalkannya sendirian. Awalnya, Anto masih mencoba untuk tetap di sana, tapi Dayu mengatakan dia butuh waktu untuk berpikir dan mengingat-ngingat apa yang sebenarnya terjadi saat k
"Siapa itu Danyang?" tanya Dayu.Dokter muda itu diam, seperti menyesal telah bertanya.Tak ada obrolan lebih lanjut, karena pembicaraan dokter dengan Anis juga sudah selesai. Dokter muda itu sepertinya adalah calon dokter yang sedang menjalankan koas di rumah sakit itu, jadi begitu sang dokter pergi, dia pun mengikuti.***Dayu tertidur setelah minum obat, dan baru bangun setelah lewat jam lima sore. Saat dia bangun, Anis tak ada di kamar, tapi ada pesan dari kakaknya itu bahwa Anis harus pergi ke kantor polisi untuk membahas masalah kecelakaan dan menghilangnya orang tua mereka, sekaligus pergi ke rumah duka dari supir pengganti.Selama sepuluh menit, Dayu hanya diam di dalam kamar, baru kemudian pergi ke kamar mandi untuk membasuh mukanya. Dia baru saja ingat, wajahnya belum tersentuh air sama sekali sejak sadar.Merasa segar tapi kesepian, Dayu melangkahkan kaki keluar dari kamar rawatnya. Lukanya masih terasa nyeri, tapi Dayu mengabaikannya.Suasana lengang karena tak banyak oran
Dayu ingin sekali meneriakkan bahwa apa yang Nala katakan tidak masuk akal. Lelaki muda itu seorang dokter koas, seharusnya berpikir rasional, seharusnya bersikap masuk akal. Tapi, tak ada yang bisa Dayu tolak lantaran Nala sendiri bisa menunjukkan sesuatu yang seperti sihir itu. Tak mungkin Dayu berpikir lebih jauh, menyangkal dan menuduh Nala sebagai pesulap.Benang merah itu nyaris transparan, tapi nyata adanya meski semula Dayu tak bisa melihatnya. Dimas juga terlihat sama kagetnya, tak menyangka ada benda semacam melilit lehernya.Dayu mencoba memastikan apakah benang merah itu asli dengan menyentuhnya, tapi begitu tangannya nyaris mencapainya, benang merah itu menghilang."Kamu tak bisa menyentuh benda itu, karena kamu adalah mangsanya. Benda ini akan menandai kalian berdua, dan membawa Danyang ke tempat di mana kalian berada, atau sebaliknya, tanpa kalian sadari membawa kalian mendatangi wilayah yang Danyang kuasai. Benda ini seperti jerat yang tidak bisa kalian lepas selama ka
Dayu menceritakan pada Anto setiap detail yang dia ingat, meski dia sendiri yakin bahwa ada bagian yang tak bisa dia ingat."Aku sangat yakin nendengar suara jeritan saat itu, bersamaan dengan suara benturan antara mobil kami dengan truk yang ada di depan. Aku sudah mengkonfirmasinya pada Dimas dan dia pun mengatakan hal yang sama, kami berdua sama-sama mendengar jeritan itu. Sebagai catatan, itu bukan suara salah satu dari kami, ayah atau tante Sekar. Aku bahkan tak yakin itu jeritan apa." Dayu mengakhiri ceritanya."Setelah itu, kamu tak ingat apa-apa lagi?" tanya Anto.Dayu menganggukkan kepalanya. Dia benar-benar tak ingat apa yang terjadi setelah itu."Itu sama persis seperti apa yang aku alami, hanya saja aku tak mendengar suara jeritan seperti yang kamu sebutkan. Aku hanya ingat aku melihat sebuah truk datang dari arah depan, itu saja." Anto menyebutkan kesamaan kejadian yang mereka alami."Lalu, apa saja yang kamu lakukan setelah itu?" tanya Dayu.Anto diam sejenak, mengingat-
Dayu melirik ke kanan dan ke kiri. Dia mulai dihinggapi ketakutan dan kecemasan, membuatnya tak ingin memejamkan mata apalagi tertidur meskipun obat membuatnya mulai mengantuk. Dayu takut dia akan mulai memasuki mimpi menakutkan di hutan yang suram itu lagi jika jatuh terlelap.Dayu merasa tak nyaman. Dia mengenakan selimut sampai ke dada tapi masih merasakan dingin yang berasal dari sekitarnya. Seolah udara di dalam ruang rawatnya menjadi lebih dingin dan lebih lembab, membuat Dayu merasa seperti tengah berada di dalam hutan jati yang ada dalam mimpinya, tapi dalam versi yang lebi lh dingin.AC memang menyala, tapi suhu di dalam ruangan itu diatur untuk tak kurang dari dua puluh empat derajat celcius oleh Anis, sesuai keinginan Dayu.Setelah dokter yang memeriksanya menyarankan untuk melakukan pemeriksaan lebih lanjut, Anis menemaninya sebentar. Namun, setelah setengah jam mereka bicara mengenai perkembangan kasus menghilangnya ayah dan tante Sekar, Anis meninggalkan Dayu sendirian u
Nala menghena napas, seolah lelaki muda itu tengah menyesali sesuatu. Dayu tak mengucap sepatah kata pun, tak mengeluarkan suara bahkan tak membuat gerakan yang terlalu jelas meskipun dadanya terasa nyeri dan sesak. Rasa sakit menjalar dari dada sampai ke seluruh tubuhnya, sementara kepalanya berdenyut nyeri.Dokter koas itu duduk dengan gelisah di sofa, tak mengatakan apa pun lagi setelah pembicaraan singkat mereka yang terakhir. Dayu awalnya mengira Nala akan segera pergi dan meninggalkannya begitu saja seperti apa yang sudah terjadi sebelumnya, tapi ternyata pemilik wajah teduh itu justru hilir mudik di depan pintu kamar rawat Dayu yang sengaja dibiarkan terbuka, lantas duduk di sofa seperti sekarang."Aku tidak menyukai hal ini, kenapa aku aku harus melakukannya tadi?" Nala mengkritik dirinya sendiri. Dari tindak tanduknya, sepertinya Nala bahkan telah lupa bahwa dia tak sedang sendirian di sana, dan tanpa sengaja memperdengarkan keluhannya pada Dayu."Apa yang tidak kamu sukai, N
Brakk!!Suara itu keras, tentu saja membuat fokus tiga orang di dalam ruang rawat VVIP itu terpecah. Dayu hanya bisa menoleh sementara Anto langsung berdiri, hendak memeriksa benda apa kiranya yang jatuh di balkon."Jangan dibuka. Biarkan saja, dia mencoba mengganggu!" Nala memberi instruksi dengan cukup tegas.Anto dan Dayu sama-sama menoleh ke arah dokter koas itu karena tak paham dengan apa yang Nala coba sampaikan. Awalnya, Anto terlihat tak bisa menangkap apa yang Nala maksud, apa lagi Nala justru tak terlihat menoleh sama sekali. Dokter koas itu malah bertingkah seakan tak mendengar apapun. Anto yang tak mendapat jawaban akhirnya kembali duduk.Brak !!!Suara benda jatuh setelah dilempar dengan keras sampai menabrak dinding terdengar lebih kerasa. Masih dari arah balkon.Dayu menoleh seketika dan dia terkejut melihat sepintas ada makhluk bertubuh besar dengah tangan panjang nyaris mencapai lantai menatap ke dalam. Matanya merah terang."Jangan dilihat!" Nala berkata, memperingat