Share

Rencana Beli Mobil

"Assalamu'alaikum."

Sayup-sayup kudengar suara Mas Irfan mengucapkan salam. Aku segera bangkit melangkah menuju pintu untuk menyambut Mas Irfan.

"Wa'alaikum salam, Mas," jawabku sembari meraih tangan Mas Irfan dan menciumnya.

Nampak Mas Irfan membawakan banyak sekali oleh-oleh dari kampung. Aku segera membantunya membawa masuk ke dalam rumah.

"Banyak sekali bawaannya, Mas?" tanyaku heran dengan bawaan Mas Irfan yang banyak.

"Iya, Han. Kata Emak suruh bagiin ke tetangga-tetangga kita," jawab Mas Irfan duduk di kursi setelah memasukkan semua barang yang dibawa olehnya.

Aku pun bergegas ke dapur membuatkan teh untuk Mas Irfan. Biasanya aku selalu menyuguhkannya bersama kue yang aku sisihkan, tapi sekarang kuenya tidak tersisa sama sekali karena ulah Mbak Santi.

Selesai membuat teh, aku membawanya ke ruang tamu untuk disuguhkan pada Mas Irfan.

"Tehnya, Mas," ucapku sembari menyodorkan teh pada Mas Irfan.

Aku pun duduk di samping Mas Irfan setelah menyuguhkan teh untuknya.

"Iya, terima kasih. Ayu kemana, Han?" tanya Mas Irfan.

"Masih tidur, Mas." Untung saja Ayu masih tidur sampai sekarang. Jika saja dia bangun saat aku bertengkar dengan Mbak Santi, bisa menjadi contoh yang tidak baik untuknya.

"Kamu kenapa, Han? Kok manyun gitu?" tanya Mas Irfan sembari menyesap tehnya.

"Sebel aku, Mas. Mbak Santi benar-benar menguji kesabaranku. Masak dia dengan lancangnya ngambil kue-kue pesanan Bu Dina yang sudah aku kemas tanpa bertanya padaku lebih dahulu," jawabku dengan bersungut-sungut.

"Kok bisa, Han? Memangnya kamu kemana sampai tidak tahu Mbak Santi bongkar kuemu?"

"Aku masih sholat, Mas. Aku tidak tahu Mbak Santi masuk ke dalam dapur dan mengambil kue. Sudah gitu nggak mau minta maaf. Ih dasar ipar nggak ada akhlak!" Aku jadi jengkel lagi membicarakan Mbak Santi yang minus akhlak itu.

"Ya sudah, kamu yang sabar. Nggak usah ngambekan gitu. Lalu bagaimana dengan kue pesanan Bu Dina, Han?"

"Ya Alhamdulillah masih bisa aku tambahin kue yang biasa aku sisakan untuk kamu dan Ayu, Mas. Kalau nggak, sudah tentu aku ajak gelut Mbak Santi."

"Alhamdulillah, eh nggak boleh gitu, Han. Kamu jangan buat keributan dengan Mbak Santi, doakan saja supaya Mbak Santi bisa sadar dan merubah sikapnya," ucap Mas Irfan lembut.

Haduh, suamiku itu terbuat dari apa hatinya, padahal sudah sering diremehkan Mbak Santi, masih saja mau mendoakan yang baik untuknya. Aku saja yang istrinya tidak bisa menahan diri menghadapi Mbak Santi yang ajaib itu.

"Yey, Ayah sudah pulang," seru Ayu dengan muka bantalnya.

"Sini, Nak. Duh, putri Ayah baru bangun tidur, ya?" tanya Mas Irfan sembari melambaikan tangan pada Ayu.

Ayu pun berlari menghambur ke dalam pangkuan Mas Irfan. Aku tersenyum melihat kebahagian yang terpancar di wajah polosnya.

"Ayah, kapan kita akan beli motor baru seperti punya Budhe Santi?" tanya Ayu sembari bergelayut manja pada Mas Irfan.

"InsyaAllah, kalau Ayah punya rezeki lebih, kita beli motor, atau Ayu pengen kita beli mobil saja? Kan enak nggak kehujanan ataupun kepanasan," jawab Mas Irfan membuat senyum Ayu semakin melebar.

"Wuah, beneran Yah? Ayah mau beli mobil?" tanya Ayu dengan mata yang berbinar.

"InsyaAllah, kalau ayah punya rezeki lebih. Ayu doakan Ayah supaya rezeki kita lancar, ya?"

"Iya, Yah. Hore ... hore, sebentar lagi kita punya mobil," jawab Ayu mengangkat tangannya kegirangan.

Aku tersenyum bahagia melihat putri kami kegirangan. Kebahagiaan sederhana ini lah yang membuatku bisa menahan diri dari hinaan ataupun ejekan dari Mbak Santi.

"Mas, memang Mas Irfan mau beli mobil?" tanyaku heran.

"InsyaAllah, Han. Disuruh emak, kata emak kalau beli mobil, setiap Mas pulang bisa ajak kamu dan Ayu sekalian. Kan tidak perlu kecapekan naik motor," jawab Mas Irfan.

"Oh, gitu. Tapi belinya jangan waktu dekat ini, Mas. Nanti saja kalau sudah mau pulang ke rumah emak lagi." Aku masih ingin memberikan kejutan yang lain untuk Mbak Santiku tersayang. Dia tidak boleh terkejut terlebih dahulu dengan mobil yang akan dibeli Mas Irfan.

"Iya, Han. Mas juga rencananya gitu, lagian kalau dalam waktu dekat, Mas masih sibuk di sekolahan," sahut Mas Irfan.

Wah, ternyata kesibukan Mas Irfan seolah mendukung rencanaku. Aku senyam-senyum sendiri memikirkannya.

"Ada apa kok senyum-senyum sendiri?" tanya Mas Irfan padaku.

"Nggak, Mas. Oh iya, kalau sudah nggak capek anterin kuenya Bu Dina ya, Mas?" jawabku mengalihkan pembicaraan. Mas Irfan tidak boleh tahu rencanaku, dia pasti marah jika aku berniat membalas Mbak Santi.

"Iya, tapi Mas mandi dulu, Han. Gerah, di perjalanan kena debu terus," jawab Mas Irfan bangkit dan menurunkan Ayu dari pangkuannya.

Mas Irfan pun melangkah menuju kamar mandi untuk menyegarkan badannya. Sementara aku dan Ayu masih duduk di sofa sambil menikmati buah tangan pemberian mak.

"Enak ya, Nak?" tanyaku pada Ayu yang sedang makan kripik dengan lahap.

"Iya, Bu," jawabnya dengan mulut penuh.

"Pelan-pelan, Nak. Nanti kamu tersedak lho," ucapku mengingatkan Ayu.

Aku mengelus kepala Ayu dengan penuh sayang, putriku memang sangat menyukai kripik buatan emak.

"Han, Mas sudah selesai mandi, jadi kapan mengantar kue Bu Dina?" tanya Mas Irfan yang sudah tampak segar.

"Sekarang juga bisa, Mas," jawabku sembari bangkit melangkah ke dapur untuk mengambil kue yang akan diantar ke rumah Bu Dina.

Setelah sampai di dapur, aku mengambil kardus yang berisi kue dan membawanya ke ruang tamu.

"Ini, Mas. Sampaikan terima kasihku untuk Bu Dina ya, Mas. Terima kasih sudah memesan kue dariku," ucapku kepada Mas Irfan menyerahkan kardus yang aku bawa pada Mas Irfan.

"Iya, Han. Mas berangkat dulu." Mas Irfan menerima kardus yang aku berikan dan beranjak pergi mengantarkan kue ke rumah Bu Dina.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status