Share

Ditegur Mas Doni

"Han, kamu sudah memberikan oleh-oleh dari emak untuk keluarga Mas Doni?" tanya Mas Irfan ketika aku sedang memasak untuk sarapan.

"Belum, Mas. Rencananya setelah selesai sarapan aja, masih malas aku bertemu dengan Mbak Santi," jawabku membuat Mas Irfan mengulum senyum.

Mas Irfan mendekat padaku dan berkata, "Jangan terlalu diambil hati, Han. Memang sudah sikapnya Mbak Santi seperti itu. Kasihan Mas Doni nanti, jika kamu bertengkar terus dengan Mbak Santi."

"Tapi kan, Mbak Santi memang sudah keterlaluan, Mas," sanggahku.

"Ya kamu sebagai adik harus banyak mengalah, Han. Mungkin saja Mbak Santi sedang khilaf," ucap Mas Irfan lembut.

"Kok, Mas malah belain Mbak Santi, sih. Istrimu itu aku lho, Mas. Jihan bukan Mbak Santi!" sahutku cemberut.

"Bukannya Mas membela Mbak Santi, Han. Tapi kita sebagai adik juga harus mengalah, agar tidak terjadi pertengkaran antar saudara, Han," terang Mas Irfan.

"Ah, tau lah, Mas. Pagi-pagi sudah bikin aku sebel dengan belain Mbak Santi," ucapku sembari menyiapkan masakan yang telah matang.

Aku menghidangkan sarapan di atas meja makan dengan cemberut, Mas Irfan yang melihatku cemberut hanya menggelengkan kepalanya.

Setelah semua terhidangkan, aku pun bergegas memanggil Ayu untuk sarapan bersama.

"Ayu, makan dulu yuk, Nak." Aku menggandeng Ayu menuju meja makan.

Setelah sampai di meja makan, Ayu pun duduk di samping Mas Irfan yang telah lebih dahulu duduk di kursinya.

Aku menyendok nasi beserta sayur dan lauk di atas piring dan menyodorkannya pada Mas Irfan dalam diam, setelahnya aku juga melakukan hal yang sama pada Ayu.

Lalu aku pun mengambil makanan untukku sendiri, kami makan dalam diam tanpa berbincang sama sekali. Aku masih kesal dengan Mas Irfan yang membela Mbak Santi.

Setelah semua selesai sarapan, aku bergegas membersihkan piring-piring yang kotor. Sementara Ayu sudah keluar untuk bermain, sedangkan Mas Irfan masih duduk di tempatnya menikmati tehnya yang belum habis.

Aku membawa piring-piring kotor ke tempat mencuci piring dan mulai mencucinya dalam diam. Aku mendengar suara langkah Mas Irfan mendekatiku. Mas Irfan menyandarkan tubuhnya pada tembok di sampingku.

"Kamu masih marah ya, Han?" tanya Mas Irfan dengan lembut.

Aku diam tak menjawab pertanyaan Mas Irfan. Tanganku masih sibuk membilas piring yang sudah aku sabun.

"Pertanyaan Mas kok nggak dijawab, Han?" Tangan Mas Irfan menghentikan tanganku yang sedang membilas piring.

Aku menatap lekat pada Mas Irfan. Mas Irfan pun menatapku dengan lembut, memang seharusnya aku tidak boleh melampiaskan amarahku padanya.

Aku menghembuskan nafas pelan dan menjawab pertanyaan Mas Irfan, "Maaf, Mas. Seharusnya aku tidak melampiaskan amarahku padamu, Mas."

"Tidak apa-apa, Han. Mas juga minta maaf jika tidak sengaja melukai hatimu dengan membela Mbak Santi. Mas hanya tidak mau terjadi pertengkaran, Han," ucap Mas Irfan sembari mengelus kepalaku.

"Iya, Mas. Aku paham, kali ini aku akan menahan diri lagi, Mas. Tapi, kalau Mbak Santi berbuat ulah lagi, aku tidak akan tinggal diam," sahutku membuat Mas Irfan tersenyum.

"Iya, terserah kamu, Han. Tapi, Mas minta tahan emosimu, Han. Jangan mudah terpancing emosi karena tingkah Mbak Santi."

"Akan aku usahakan, Mas. Tapi nggak janji," jawabku sembari nyengir kepada Mas Irfan.

Mas Irfan mengacak rambutku gemas dan memelukku dengan erat. Kami memang tidak pernah bisa bertengkar lama-lama. Biasanya Mas Irfan akan mengalah, meminta maaf terlebih dahulu padaku.

"Nah gitu baru istri Mas yang baik. Ya sudah, Mas berangkat kerja dulu," ucap Mas Irfan.

"Iya, Mas. Hati-hati, aku lanjutin cuci piring lagi," sahutku sembari mencium tangan Mas Irfan.

"Iya, Han. Oh ya, jangan lupa kamu antarkan barang yang kemarin dari emak untuk Mas Doni sekeluarga."

"Iya, Mas."

"Ya sudah, Mas berangkat. Assalamu'alaikum," pamit Mas Irfan padaku.

"Wa'alaikumsalam, Mas."

Aku pun melanjutkan mencuci piring yang belum selesai. Setelahnya aku berencana ke rumah Mas Doni untuk mengantarkan buah tangan dari emak.

Setelah menyelesaikan mencuci piring, aku bergegas mengambil barang yang akan aku antar ke rumah Mas Doni.

Saat melewati kamar Ayu, aku melihatnya sedang bermain boneka.

"Nak, Ibu mau ke rumah Budhe Santi. Ayu mau ikut atau tidak?" tawarku pada Ayu yang sedang asyik bermain boneka.

"Ayu di rumah saja, Bu. Nanti kalau Ibu lama, Ayu akan menyusul ke sana," jawab Ayu tanpa mengalihkan pandangan dari bonekanya.

"Baiklah, kalau Ayu ingin di rumah. Ibu ke rumah Budhe Santi dulu." Aku bergegas pergi ke rumah Mbak Santi.

Sejujurnya masih malas aku bertemu Mbak Santi. Tapi, aku sudah kadung janji pada Mas Irfan untuk mengantarkan buah tangan dari emak.

"Assalamu'alaikum," salamku ketika sampai di depan pintu rumah Mbak Santi.

"Wa'alaikum salam, eh Jihan. Masuk, Han," jawab Mas Doni sembari mempersilahkan aku masuk. Mas Doni sedang duduk di kursi ruang tamunya.

Aku pun masuk ke dalam rumah Mas Doni dan duduk di kursi berhadapan dengan Mas Doni.

"Oh iya, ini ada sedikit oleh-oleh dari emak untuk Mas Doni sekeluarga," ucapku sembari menyodorkan barang yang telah aku bawa.

"Wah, terima kasih, Han. Padahal nggak usah repot-repot membawakan oleh-oleh segala. Mertuamu kan lebih butuh dari pada harus dibagikan."

Deg, ucapan Mas Doni terasa menusuk hatiku. Jika aku tidak salah mengira ucapannya terdengar seperti merendahkan keluarga emak.

Aku diam tak membalas apa yang Mas Doni ucapkan, aku tak mengira Mas Doni akan berkata seperti itu. Padahal dari dulu Mas Doni tidak pernah mengatakan hal-hal yang merendahkan keluarga Mas Irfan, walaupun Mas Doni tidak begitu akrab dengan Mas Irfan.

"Han, Mas pengen bicara sama kamu," ucap Mas Doni padaku.

"Bicara saja, Mas," sahutku.

"Tolong kamu rubah sikapmu, Han. Janganlah kamu bersikap kurang ajar pada Mbakmu, kasihan dia jika kamu permalukan di depan teman-temannya," pinta Mas Doni membuatku sedikit terkejut.

Aku membulatkan mata mendengar permintaan Mas Doni, pasti Mbak Santi sudah mengadu yang tidak-tidak tentangku. Huh, dasar ipar nggak punya akhlak, bisa-bisanya dia mengadukan hal sepele pada Mas Doni.

Hatiku memanas merasakan kesal pada Mas Doni, seharusnya Mas Doni bertanya padaku terlebih dahulu sebelum menegurku. Seharusnya dia tidak hanya mendengarkan dari sisi Mbak Santi saja.

"Han, kamu masih mendengarkan Mas, kan?" tanya Mas Doni kembali.

"Eh, iya, Mas. Jihan mendengarkan Mas Doni," jawabku akhirnya.

"Mas minta kamu jangan kurang ajar, sampai mau melempar Santi dengan panci. Kamu jangan bersikap kekanak-kanakan, Han," tambah Mas Doni lagi.

Aku mengepalkan tangan menahan perasaan dongkol setengah mati pada Mbak Santi. Yang bersikap kekanakan itu Mbak Santi, beraninya cuma mengadu saja. Menyesal aku sudah kemari.

"Bagaimana, Han? Kamu tidak keberatan merubah sikapmu, kan?" tanya Mas Doni.

"Jihan usahakan, Mas. Tapi Mas juga jangan hanya menegurku, tegur juga Mbak Santi yang sudah mengambil kue-kue yang sudah dipesan orang tanpa bertanya padaku terlebih dahulu." Aku menjawab pertanyaan Mas Doni dengan berani.

Mas Doni nampak terkejut dengan jawabanku, mungkin dia malu karena tidak mengetahui fakta yang sebenarnya.

"I-ya, nanti Mas juga akan menegur Santi," jawab Mas Doni terbata.

"Ya sudah, kalau sudah tidak ada lagi yang dibicarakan Jihan pamit, Mas." Aku pun bangkit dari dudukku dan beranjak pergi tanpa mendengar jawaban dari Mas Doni.

Aku berjalan dengan menghentakkan kaki jengkel karena ulah Mbak Santi lagi.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status