Share

Kue Pesanan

Aku memandang lega jejeran kue-kue yang telah selesai aku buat.  Aku sudah mengemasnya dengan rapi di dalam kardus.

Aku hanya tinggal menunggu Mas Irfan pulang, dan membantuku mengantarkannya ke rumah Bu Dina.

Waktu sudah menunjukkan pukul satu siang, aku belum melaksanakan sholat Dzuhur. Sebelum sholat aku perlu mandi terlebih dahulu, badanku terlalu berkeringat karena kepanasan membuat kue.

Aku bergegas membersihkan dapur sebelum mandi, supaya nanti jika Mas Irfan datang aku sudah rapi dan bisa langsung mengantar kue-kue pesanan Bu Dina.

Dengan cekatan tanganku membersihkan dapur dari kotoran sisa membuat kue dan merapikan alat-alat dapur. Selang lima belas menit aku pun telah selesai.

Setelahnya aku bergegas mandi dan melaksanakan sholat Dzuhur. Masih ada banyak waktu untuk mengantar kue-kue pesanan Bu Dina.

Sebelum mandi aku berjalan ke kamar Ayu untuk mengecek Ayu yang sedang tidur siang. Putri semata wayangku itu sedang tidur nyenyak sembari memeluk bonekanya.

Selesai mengecek Ayu, aku melangkahkan kakiku lagi menuju kamar mandi dan menunaikan hajatku. Selesai mandi dan melaksanakan sholat, aku berjalan menuju dapur kembali, tapi alangkah terkejutnya aku ketika sampai di depan dapur melihat Mbak Santi sibuk membongkar kue-kue yang sudah aku bungkus dengan rapi.

Mataku melotot melihat kue-kueku yang berada di tangan Mbak Santi. Duh, buat tingkah apalagi Mbak Santi? Aku meradang menyaksikan Mbak Santi membongkar semua kue-kueku.

"Mbak!" Aku berteriak mencoba menghentikan aksi Mbak Santi.

"Apa sih, Han? Kaget aku dengar kamu teriak-teriak," ujar Mbak Santi nampak terkejut sambil mengelus dada.

"Apa yang Mbak Santi lakukan?" Aku buru-buru menghampiri Mbak Santi.

"Aku cuma mengambil sedikit kuemu untuk aku suguhkan pada teman-temanku," ucap Mbak Santi dengan entengnya.

Aku geram dengan Mbak Santi, bisa-bisanya dia mengambil kue tanpa tanya dulu padaku. Apalagi kue ini sudah pesanan orang. Kenapa tidak minta izin dulu padaku?

Aku benar-benar gregetan dibuatnya, memang dasar ipar nggak punya hati. Bisanya cuma bikin tekanan darah naik saja.

"Mbak, kenapa bongkar-bongkar kue pesanan orang?" tanyaku geregetan.

"Lha mana aku tahu kalau kuenya sudah pesanan orang," jawab Mbak Santi dengan santainya membuatku tambah meradang.

"Kan sudah aku kemas rapi, Mbak! Seharusnya Mbak tanyakan dulu, jangan main bongkar-bongkar saja, apalagi sampai Mbak ambil."

"Kamunya aja nggak ada, dari tadi Mbak panggil-panggil nggak nyahut-nyahut. Daripada nunggu kelamaan, ya aku ambil dulu, nanti teman-temanku nunggunya kelamaan, kan kasihan mereka."

Haduh ni orang apa sih maunya, bertingkah semaunya bikin orang capek bikin kue tambah emosi saja. Pengen tak sumpal mulutnya pakai kue, tapi rugi kueku dong nanti.

"Aku lagi sholat, Mbak. Mana dengar Mbak manggil-manggil. Lalu, sekarang bagaimana dengan kue pesanan Bu Dina, Mbak?"

"Halah, kamu jangan kayak orang susah saja. Ya tinggal dikasih seadanya, toh," jawab Mbak Santi sembari mengunyah kue.

Kudoakan supaya keselek baru tau rasa. Sungguh ajaib istri Mas Doni ini. Tingkahnya bisa bikin aku pengen menelannya bulat-bulat.

"Nggak bisa gitu dong, Mbak. Kue-kuenya sudah di bayar lunas oleh Bu Dina. Mana mungkin aku beri seadanya!"

"Jadi masalahnya cuma uang? Nih, aku bayar kue yang aku ambil dan yang sudah kumakan!" ucap Mbak Santi sembari menyodorkan selembar uang sepuluh ribuan padaku.

Nafasku naik turun mencoba mengontrol emosi yang makin meradang. Uang segitu mana sama harganya dengan kue yang diambil Mbak Santi. Memang tidak pernah sekolah ni orang. Uang sepuluh ribu untuk beli gula sekilo saja kurang, dasar ipar pelit.

"Nggak usah deh, Mbak. Sekarang sebaiknya Mbak pulang saja, aku mau membereskan semua yang sudah Mbak bongkar," ucapku mengalah dan akhirnya bisa menahan emosiku. Kalau tidak, sudah kulemparkan panci ke arah Mbak Santi.

"Oh, ya sudah kalau nggak mau." Mbak Santi kembali memasukkan uangnya ke dalam dompet.

"Makanya Irfan suruh cari kerja yang bisa menghasilkan banyak uang, jadi kamu nggak perlu susah-susah nerima pesanan kue kayak gini. Dari dulu disuruh cari suami yang lebih kaya nggak mau, dapat apa kamu selama menikah dengan Irfan yang gajinya hanya cukup untuk bayar listrik doang?" ucap Mbak Santi nyerocos membuat hatiku semakin panas.

"Mbak mau pergi sekarang atau mau kulempar panci?" tanyaku sembari mengambil panci di sampingku.

Aku sudah tidak bisa menahan emosiku jika Mbak Santi sudah meremehkan Mas Irfan. Biarlah aku disebut ipar kurang ajar, yang penting tidak ada yang meremehkan suamiku.

"Eh ... eh. Kok marah sih, Han? Mbak kan sudah baik ngasi nasehat kamu?" ucap Mbak santi sembari melipir nampak takut aku akan benar-benar melempar panci ke arahnya.

"Mbak, nggak mau pergi juga? Aku lempar beneran ya, Mbak?" Tanganku sudah mengangkat panci dan akan melemparkannya ke arah Mbak Santi.

Mbak santi sudah lari ngibrit meninggalkanku yang sedang penuh emosi, tak lupa dia juga membawa kue-kue buatanku.

Benar-benar deh, ni orang bikin aku cepat tua karena tingkahnya. Bagaimana sih, Mas Doni bisa dapet istri kayak modelan Mbak Santi. Mungut di mana coba?

Kesel setengah mati aku menghadapinya.

Rasanya pengen nangis berguling-guling saking keselnya.

Akan kubuat perhitungan pada Mbak Santi setelah ini. Teganya dia mengambil kue yang sudah aku kemas dan hanya tinggal mengantarkannya saja.

Aku meletakkan panci yang ada di tanganku dan mengelus dada menahan emosi yang sudah memuncak.

Setelah sedikit tenang, aku mencoba mengemas lagi kue pesanan Bu Dina. Aku perlu menghitung jumlahnya lagi karena sebagian sudah diambil oleh Mbak Santi.

Tanganku dengan cekatan menghitung dan menata kue-kuenya agar terlihat rapi saat dikemas.

Aku menghela nafas lega, untunglah kurangnya tidak terlalu banyak. Aku tinggal menambahkan kue yang sudah aku sisakan untuk Mas Irfan dan Ayu.

Setiap membuat kue pesanan, aku selalu menyisihkan untuk dimakan bersama-sama saat mengisi waktu santai dengan menonton televisi.

Mas Irfan dan Ayu menjadi tidak kebagian kue yang aku sisakan. Aku menunduk sedih, ini semua gara-gara Mbak Santi yang seenaknya saja mengambil kue-kueku.

Hah, dasar ipar nggak waras. Tunggu saja pembalasan dariku, aku akan membuatkan kue yang spesial untukmu, Mbak. Bahkan saking spesialnya Mbak Santi nggak bakal mau makan kueku lagi.

Aku tertawa jahat membayangkan bagaimana harus membalas perbuatan Mbak Santi yang sudah kelewatan.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status