Share

Kue Pesanan

Penulis: Uci ekaputra
last update Terakhir Diperbarui: 2022-08-21 16:40:45

Aku memandang lega jejeran kue-kue yang telah selesai aku buat.  Aku sudah mengemasnya dengan rapi di dalam kardus.

Aku hanya tinggal menunggu Mas Irfan pulang, dan membantuku mengantarkannya ke rumah Bu Dina.

Waktu sudah menunjukkan pukul satu siang, aku belum melaksanakan sholat Dzuhur. Sebelum sholat aku perlu mandi terlebih dahulu, badanku terlalu berkeringat karena kepanasan membuat kue.

Aku bergegas membersihkan dapur sebelum mandi, supaya nanti jika Mas Irfan datang aku sudah rapi dan bisa langsung mengantar kue-kue pesanan Bu Dina.

Dengan cekatan tanganku membersihkan dapur dari kotoran sisa membuat kue dan merapikan alat-alat dapur. Selang lima belas menit aku pun telah selesai.

Setelahnya aku bergegas mandi dan melaksanakan sholat Dzuhur. Masih ada banyak waktu untuk mengantar kue-kue pesanan Bu Dina.

Sebelum mandi aku berjalan ke kamar Ayu untuk mengecek Ayu yang sedang tidur siang. Putri semata wayangku itu sedang tidur nyenyak sembari memeluk bonekanya.

Selesai mengecek Ayu, aku melangkahkan kakiku lagi menuju kamar mandi dan menunaikan hajatku. Selesai mandi dan melaksanakan sholat, aku berjalan menuju dapur kembali, tapi alangkah terkejutnya aku ketika sampai di depan dapur melihat Mbak Santi sibuk membongkar kue-kue yang sudah aku bungkus dengan rapi.

Mataku melotot melihat kue-kueku yang berada di tangan Mbak Santi. Duh, buat tingkah apalagi Mbak Santi? Aku meradang menyaksikan Mbak Santi membongkar semua kue-kueku.

"Mbak!" Aku berteriak mencoba menghentikan aksi Mbak Santi.

"Apa sih, Han? Kaget aku dengar kamu teriak-teriak," ujar Mbak Santi nampak terkejut sambil mengelus dada.

"Apa yang Mbak Santi lakukan?" Aku buru-buru menghampiri Mbak Santi.

"Aku cuma mengambil sedikit kuemu untuk aku suguhkan pada teman-temanku," ucap Mbak Santi dengan entengnya.

Aku geram dengan Mbak Santi, bisa-bisanya dia mengambil kue tanpa tanya dulu padaku. Apalagi kue ini sudah pesanan orang. Kenapa tidak minta izin dulu padaku?

Aku benar-benar gregetan dibuatnya, memang dasar ipar nggak punya hati. Bisanya cuma bikin tekanan darah naik saja.

"Mbak, kenapa bongkar-bongkar kue pesanan orang?" tanyaku geregetan.

"Lha mana aku tahu kalau kuenya sudah pesanan orang," jawab Mbak Santi dengan santainya membuatku tambah meradang.

"Kan sudah aku kemas rapi, Mbak! Seharusnya Mbak tanyakan dulu, jangan main bongkar-bongkar saja, apalagi sampai Mbak ambil."

"Kamunya aja nggak ada, dari tadi Mbak panggil-panggil nggak nyahut-nyahut. Daripada nunggu kelamaan, ya aku ambil dulu, nanti teman-temanku nunggunya kelamaan, kan kasihan mereka."

Haduh ni orang apa sih maunya, bertingkah semaunya bikin orang capek bikin kue tambah emosi saja. Pengen tak sumpal mulutnya pakai kue, tapi rugi kueku dong nanti.

"Aku lagi sholat, Mbak. Mana dengar Mbak manggil-manggil. Lalu, sekarang bagaimana dengan kue pesanan Bu Dina, Mbak?"

"Halah, kamu jangan kayak orang susah saja. Ya tinggal dikasih seadanya, toh," jawab Mbak Santi sembari mengunyah kue.

Kudoakan supaya keselek baru tau rasa. Sungguh ajaib istri Mas Doni ini. Tingkahnya bisa bikin aku pengen menelannya bulat-bulat.

"Nggak bisa gitu dong, Mbak. Kue-kuenya sudah di bayar lunas oleh Bu Dina. Mana mungkin aku beri seadanya!"

"Jadi masalahnya cuma uang? Nih, aku bayar kue yang aku ambil dan yang sudah kumakan!" ucap Mbak Santi sembari menyodorkan selembar uang sepuluh ribuan padaku.

Nafasku naik turun mencoba mengontrol emosi yang makin meradang. Uang segitu mana sama harganya dengan kue yang diambil Mbak Santi. Memang tidak pernah sekolah ni orang. Uang sepuluh ribu untuk beli gula sekilo saja kurang, dasar ipar pelit.

"Nggak usah deh, Mbak. Sekarang sebaiknya Mbak pulang saja, aku mau membereskan semua yang sudah Mbak bongkar," ucapku mengalah dan akhirnya bisa menahan emosiku. Kalau tidak, sudah kulemparkan panci ke arah Mbak Santi.

"Oh, ya sudah kalau nggak mau." Mbak Santi kembali memasukkan uangnya ke dalam dompet.

"Makanya Irfan suruh cari kerja yang bisa menghasilkan banyak uang, jadi kamu nggak perlu susah-susah nerima pesanan kue kayak gini. Dari dulu disuruh cari suami yang lebih kaya nggak mau, dapat apa kamu selama menikah dengan Irfan yang gajinya hanya cukup untuk bayar listrik doang?" ucap Mbak Santi nyerocos membuat hatiku semakin panas.

"Mbak mau pergi sekarang atau mau kulempar panci?" tanyaku sembari mengambil panci di sampingku.

Aku sudah tidak bisa menahan emosiku jika Mbak Santi sudah meremehkan Mas Irfan. Biarlah aku disebut ipar kurang ajar, yang penting tidak ada yang meremehkan suamiku.

"Eh ... eh. Kok marah sih, Han? Mbak kan sudah baik ngasi nasehat kamu?" ucap Mbak santi sembari melipir nampak takut aku akan benar-benar melempar panci ke arahnya.

"Mbak, nggak mau pergi juga? Aku lempar beneran ya, Mbak?" Tanganku sudah mengangkat panci dan akan melemparkannya ke arah Mbak Santi.

Mbak santi sudah lari ngibrit meninggalkanku yang sedang penuh emosi, tak lupa dia juga membawa kue-kue buatanku.

Benar-benar deh, ni orang bikin aku cepat tua karena tingkahnya. Bagaimana sih, Mas Doni bisa dapet istri kayak modelan Mbak Santi. Mungut di mana coba?

Kesel setengah mati aku menghadapinya.

Rasanya pengen nangis berguling-guling saking keselnya.

Akan kubuat perhitungan pada Mbak Santi setelah ini. Teganya dia mengambil kue yang sudah aku kemas dan hanya tinggal mengantarkannya saja.

Aku meletakkan panci yang ada di tanganku dan mengelus dada menahan emosi yang sudah memuncak.

Setelah sedikit tenang, aku mencoba mengemas lagi kue pesanan Bu Dina. Aku perlu menghitung jumlahnya lagi karena sebagian sudah diambil oleh Mbak Santi.

Tanganku dengan cekatan menghitung dan menata kue-kuenya agar terlihat rapi saat dikemas.

Aku menghela nafas lega, untunglah kurangnya tidak terlalu banyak. Aku tinggal menambahkan kue yang sudah aku sisakan untuk Mas Irfan dan Ayu.

Setiap membuat kue pesanan, aku selalu menyisihkan untuk dimakan bersama-sama saat mengisi waktu santai dengan menonton televisi.

Mas Irfan dan Ayu menjadi tidak kebagian kue yang aku sisakan. Aku menunduk sedih, ini semua gara-gara Mbak Santi yang seenaknya saja mengambil kue-kueku.

Hah, dasar ipar nggak waras. Tunggu saja pembalasan dariku, aku akan membuatkan kue yang spesial untukmu, Mbak. Bahkan saking spesialnya Mbak Santi nggak bakal mau makan kueku lagi.

Aku tertawa jahat membayangkan bagaimana harus membalas perbuatan Mbak Santi yang sudah kelewatan.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • DIREMEHKAN IPAR   Mas Doni Meminta Maaf/ Akhir

    Tak terasa beberapa bulan berlalu, sebentar lagi bulan Ramadhan telah tiba. Mas Irfan berencana mengajak kami pindah ke rumah Emak menjalani puasa Ramadhan bersama Emak dan Bapak. Semua keperluan sudah Mas Irfan urus termasuk kepindahannya mengajar di kampung Emak.Aku sedikit lega karena bisa menemani Emak dan Bapak di hari tuanya. Sungguh jauh dari orangtua rasanya tidak enak, apalagi kami tidak punya saudara lagi selain Mas Doni yang sekarang tidak tahu kemana perginya.Sejak rumahnya terjual, aku tidak pernah bertemu Mas Doni ataupun Mbak Santi, seolah mereka menghilang ditelan bumi.Saat bertemu dengan adik Mbak Santi pun aku sudah bertanya padanya, tapi dia juga tidak tahu kemana perginya kakak perempuannya itu.Aku dan Mas Irfan ingin sekali bertemu dengan mereka, kami ingin meminta maaf sembari berpamitan untuk tinggal di rumah Emak seterusnya. Kami khawatir, jika kami sampai tidak diberi kesempatan untuk bertemu dengan Mas Doni dan Mbak Santi lagi.Mungkin setelah ini kami ti

  • DIREMEHKAN IPAR   Rumah Mas Doni Terjual

    "Kenapa baru mengaku saudara saat dalam keadaan susah, Mbak? Kemana saja dari dulu tidak pernah adil padaku?" Aku sudah tidak bisa lagi menahan amarah.Mbak Santi hanya diam saja mendengar pertanyaanku, tapi aku lihat raut wajahnya nampak memerah."Sudah cukup selama ini aku sudah berbaik hati pada keluargamu, Mbak. Lebih baik sekarang jangan menggangguku lagi," tambahku."Kamu tega, Han. Padahal saudaramu sedang butuh bantuanmu, kamu malah menutup mata dari penderitaan kami," ucap Mbak Santi."Mbak, bukankah kalian sendiri yang sudah membuat aku seperti ini? Kalian yang selalu meremehkan aku dan juga Mas Irfan, kan? Jadi selesaikan saja masalah kalian sendiri, jangan meminta bantuan pada orang yang kalian remehkan.""Jangan tidak punya hati seperti ini, Han," desis Mbak Santi."Apa kamu bilang, Mbak? Bukannya kalian yang tidak punya hati? Sudah lupa dengan semua yang kalian lakukan pada keluargaku?" tanyaku dengan suara meninggi."Tapi kami itu kakakmu, Han. Sudah sepatutnya kamu men

  • DIREMEHKAN IPAR   Kebangkrutan Mas Doni

    "Minumlah, Mbak," ucapku sembari menyodorkan teh hangat untuk Mbak Santi.Mbak Santi pun menerima gelas yang telah aku sodorkan dan meminumnya hingga habis. Penampilan Mbak Santi sungguh kacau, wajahnya sembab dengan mata yang membengkak karena terlalu banyak menangis."Ada apa ke rumahku, Mbak?" tanyaku pada Mbak Santi.Mbak Santi terdiam mendengar pertanyaanku, kulihat dia nampak ragu ingin berbicara padaku. Aku pun hanya diam menunggu Mbak Santi berbicara."Han, bolehkan aku meminta pertolongan darimu?" tanya Mbak Santi lirih.Aku mengernyitkan kening heran dengan apa yang ingin Mbak Santi ungkapkan sebenarnya. Memangnya dia mau minta tolong apa lagi, jika masalah uang, bukankah hasil penjualan tanah kemarin aku tidak meminta sama sekali?"Tergantung, Mbak. Katakan dulu apa yang ingin Mbak Santi mintai tolong," jawabku.Mbak Santi hanya diam mendengar jawabanku yang terkesan dingin. Jujur aku tidak tega melihat Mbak Santi dalam keadaan menyedihkan seperti itu. Tapi aku juga ingin

  • DIREMEHKAN IPAR   Kedatangan Mbak Santi

    "Alhamdulillah ya, Mas, akhirnya pembangunan Masjidnya sudah selesai. Aku jadi lebih tenang sekarang karena Masjidnya sudah mulai berfungsi dan banyak yang meramaikannya," ucapku pada Mas Irfan saat kami sedang dalam perjalanan pulang dari Masjid.Kami baru saja mengantar sumbangan karpet dan juga berbagai macam keperluan Masjid lainnya dari para warga. Semua warga sangat antusias untuk menyumbang keperluan Masjid yang lainnya."Iya, Han. Aku juga lega sekali, paling tidak kita bisa menggunakan harta kita di jalan yang benar.Semoga saja segala lelah kita menjadi berkah, Han," sahut Mas Irfan."Aamiin Allahuma Aamiin, iya Mas. Terima kasih sudah mau mengabulkan keinginanku, Mas.""Jangan berterima kasih, Han. Apa yang kamu inginkan selama aku mampu, tentu akan aku kabulkan, Han," ucap Mas Irfan.Ah, Mas Irfan sungguh manis sekali. Aku jadi senyum-senyum sendiri dibuatnya. Untung saja Ayu sedang berada di rumah Emak, kalau tidak Ayu pasti akan mengajukan banyak sekali pertanyaan padaku

  • DIREMEHKAN IPAR   Pertengkaran Mbak Santi Dan Mas Doni

    Satu minggu setelah aku mendapat kejutan dari Mas Irfan, kehidupanku berlangsung damai. Aku tak lagi bertemu dengan Mas Doni ataupun Mbak Santi, mungkin mereka sedang menikmati uang hasil pernjualan tanah kemarin.Aku tak lagi memusingkan apa yang mereka lakukan, jika mereka menyadari kesalahan mereka dan mau meminta maaf dengan tulus, aku akan memberi kesempatan pada mereka, tapi jika tidak pun tidak mengapa. Yang penting aku sudah mengikhlaskan apa yang mereka lakukan padaku.Sekarang tanah bekas toko itu masih belum aku pergunakan untuk apapun, tapi aku punya rencana sendiri untuk mengelolanya, aku ingin meminta ijin kepada Mas Irfan supaya tanah peninggalan orangtuaku itu dibangun Masjid saja. Daripada bingung untuk apa, lebih baik dibangun Masjid supaya bisa berfungsi dengan baik."Mas, boleh tidak tanah yang Mas beli dibangun Masjid saja?" tanyaku setengah ragu-ragu.Mas Irfan menoleh padaku, mengalihkan pandangannya dari buku yang sedang dia baca, aku menunduk tidak berani meli

  • DIREMEHKAN IPAR   Kejutan Mas Irfan

    Aku sudah lama sekali menangis setelah pulang dari rumah Mas Doni hingga kedua mataku membengkak. Hatiku remuk redam karena Mas Doni dan Mbak Santi yang sudah seenaknya.Aku beranjak bangun dari ranjang, bangkit untuk melangkah menuju ke kamar mandi untuk membasuh mukaku. Sebentar lagi Mas Irfan pulang, aku tidak mau kalau sampai dia melihatku habis menangis.Belum jauh langkahku dari ranjang, pintu kamar sudah terbuka oleh Mas Irfan. Aku pun terkejut dibuatnya."Kamu kenapa, Han?" tanya Mas Irfan yang sudah masuk ke kamar.Aku panik melihat Mas Irfan sudah pulang, aku buru-buru menyembunyikan wajahku yang habis menangis.Mas Irfan pun mendekat padaku, dipegangnya tanganku dengan lembut."Aku tahu apa yang membuatmu sampai seperti ini, Han. Sabarlah, Han, InsyaAllah yang menjadi hak kita akan kembali pada kita apapun yang terjadi," ucap Mas Irfan mencoba menenangkanku.Aku mengernyitkan kening tidak mengerti apa maksud ucapan Mas Irfan. Dan dari mana Mas Irfan tahu apa yang sedang aku

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status