"Hanum nggak kenal, Pak. Baru kali ini juga Hanum bertemu dengan Masnya. Cuma kalau yang dua lelaki itu, Hanum sempat ketemu. Mereka pernah beli jajanan di warung Hanum," ujar Hanum jujur. Saat Hanum ke area proyek untuk mengantar pesanan atau kembalian Bagas yang kelupaan, Ken memang sengaja sembunyi dan melihatnya dari kejauhan. Dia yang jatuh hati pada pandangan pertama, sementara Hanum tak tahu jika saat itu ada yang diam-diam memperhatikannya. "Bohong! Mungkin saja sudah kenal, tapi pura-pura lugu dan polos. Dasar munafik!" tukas Rena masih saja tak terima. "Kamu diam, Ren. Nggak perlu ikut campur urusan Hanum. Nikah saja sama calon suamimu itu," balas Rudy begitu kesal. Mawar menoleh lalu melotot lebar ke arah suaminya. Namun, lagi dan lagi Rudy tak peduli. "Tolong, nikahkan mereka dulu, Pak Penghulu," pinta Rudy kemudian. Penghulu pun mengiyakan. "Siapa namamu tadi, Mas?" tanya Rudy pada Ken yang masih mematung. "Keanu, Pak. Panggilan Ken," jawab Ken sembari menjabat tang
"Hanum menerima lamarannya, Pak. Semoga janji yang diucapkan Mas Ken tadi bukan sekadar kata-kata belaka, tapi akan sesuai dengan kenyataannya," lirih Hanum dengan senyum tipis. Ken menghela napas panjang lalu menoleh pada kedua asistennya. "Kamu yakin, Num? Bapak nggak akan memaksa kalau kamu memang nggak yakin," ujar Rudy lagi. Entah mengapa dalam hati Rudy juga yakin jika Ken bukanlah laki-laki yang buruk akhlaknya, tapi dia pun sadar nggak berhak memaksa kehendaknya sendiri. Tetap berharap anak perempuannya itu mengambil keputusan terbaik untuk hidup dan masa depannya sendiri. "InsyaAllah, Pak. Jika bapak ridho, semoga ini memang yang terbaik untuk Hanum." Lagi-lagi Hanum mengangguk pelan meyakinkan. "Alhamdulillah kalau begitu. Bapak lega sekali mendengarnya." Rudy memeluk anak kesayangannya itu lalu mengusap punggungnya pelan."Bapak akan selalu mendoakan kebahagiaanmu, Num. Bapak yakin kelak Allah akan memberikan kehidupan yang lebih baik untukmu. Kamu anak yang sholehah d
"Hanum, kamu serius menerima lamaranku?" tanya Ken sembari menatap gadis yang masihs aja menunduk dalam diam itu. Hanum tak mendongak. Dia hanya kembali mengangguk pelan. "Tapi maaf aku tak membawa apapun ke sini bahkan keluargaku. Tadinya-- "Nah kan. Dasar laki-laki mokondo. Untung suamiku nggak kaya dia yang cuma modal tampang doang. Jangan-jangan nggak bawa mahar juga, Pak," oceh Rena lagi membuat wajah Ken memanas. Tapi laki-laki itu masih berusaha tetap tenang sebab tak ingin menambah keributan di hari spesialnya nanti. Dia juga tak ingin memperkeruh masalah yang terjadi pada calon mertua dan calon istrinya. "Mas, perempuan itu sudah sangat keterlaluan. Apa perlu kami--Bagas berbisik, tapi Ken kembali menggeleng pelan. Dalam hati justru lega jika keluarga istrinya tak tahu siapa dia dan keluarga besarnya. Dengan begitu, Ken jadi tahu siapa yang tulus menerimanya dan siapa yang materialistis dan penuh perhitungan. "Oh iya mahar. Kamu bawa mahar, Ken?" tanya Rudy seolah diin
Tak butuh waktu lama menghafal ijab qabul itu, Rudy dan Ken sepakat untuk melakukan akad nikah itu. Selain tak ingin mengulur waktu lagi, penghulu juga harus menikahkan calon pengantin di tempat lain. "Yakin sudah hafal?" tanya Rudy memastikan. "InsyaAllah, Pak." Ken mengangguk yakin. "Kalau Pak Rudy dan Mas Ken sudah sama-sama siap, kita lakukan ijab qabulnya sekarang ya," ujar penghulu sembari menatap kedua lelaki itu. Rudy dan Ken sama-sama mengangguk lalu berjabat tangan. "Setelah Pak Rudy membacakan ijabnya, Mas Ken langsung susul dengan qabul." Penghulu kembali menjelaskan. Kedua lelaki yang berjabat tangan itu kembali mengangguk bersamaan. "Silakan Pak Rudy," ujar penghulu mempersilakan. "Terima kasih, Pak. Baiklah, sekarang kami mulai ijab qabulnya. Semua harap tenang dan tak ada yang berisik seperti tadi," pinta Rudy sembari melirik istri dan anak tirinya yang sejak tadi bikin gaduh. Kedua perempuan itu melengos kesal. Setelah menghela napas panjang, Rudy gegas mengucap
Acara pernikahan sederhana dua pasangan pengantin hari ini usai. Meski terjadi keributan, tapi akhirnya semua berjalan lancar. Rena dan Aziz masih terus saling pamer kemesraan, seolah sengaja membuat Hanum gerah dan sakit hati. Alih-alih sakit hati, Hanum sudah berjanji dalam hati untuk mengabdikan hidupnya pada sang suami. Belajar ikhlas dengan segala takdir meski awalnya begitu sulit diterima. Hanum yakin semua akan indah pada waktunya. "Mas, mau makan apa biar Hanum ambilkan," ujar Hanum sembari mengambil secenting nasi ke piring Ken. "Pakai ikan bakar sama sambal saja, Sayang," ujar Ken sedikit gugup saat menyebut panggilan itu untuk istrinya. Rena dan Aziz pun saling tatap, sementara Hanum diam saja meski debar di dadanya begitu terasa. Hanum berusaha mengontrol perasaannya yang campur aduk agar tak terlihat gugup dan salah tingkah. "Ini, Mas. Nanti kalau mau nambah, biar Hanum ambilkan lagi," ujar gadis itu dengan senyum tipis. Ken kembali mengangguk. Melihat kelembutan is
Ketukan di pintu kamar Hanum membuat sepasang pengantin itu menoleh bersamaan. Terdengar suara Rudy yang memanggil menantunya. "Mas Bagas mau bicara sama kamu, Ken. Maaf kalau bapak ganggu ya?" ujar Rudy dari balik pintu. "Oh, iya, Pak. Nggak ganggu kok, lagipula kami cuma sama-sama natap jarum jam," balas Ken dengan senyum lebar. Hanum pun tersenyum tipis mendengar candaan suaminya. Bukan sekedar canda karena memang benar adanya. Nyaris dua puluh menit duduk bersisihan di ranjang kamar itu, tak ada obrolan apapun diantara mereka. Yang ada hanya Ken yang melihat tiap sudut kamar lalu sama-sama fokus pada denting jarum jam. "Mau ikut keluar atau istirahat di kamar?" tanya Ken saat beranjak dari ranjang. "Di sini saja, Mas. Hanum capek, mau istirahat dulu," ujar gadis cantik dengan gamis abu tua itu. Ken mengangguk lalu pamit keluar untuk menemui Bagas dan Ridho. "Bapak nggak ganggu kalian kan?" tanya Rudy lagi sembari tersenyum tipis. Meski awalnya Hanum dan Ken tak saling kenal
"Miskin miskin terus yang dibahas dari tadi. Mulutmu juga bisa dibeli sam Mas Ken," ujar Bagas emosi, membuat Rena makin merah padam. "Apa kamu bilang? Coba ulangi sekali lagi!" sentak perempuan itu nyaris menarik kemeja Bagas. Aziz segera menarik istrinya yang mulai tantrum dan ngoceh tak karuan, sementara Ridho dan Ken menghalangi Bagas yang nyaris menimpali ocehan Rena. "Kalian pulang saja. Nanti kalau ada apa-apa kukabari. Besok tolong bawakan baju ganti. Soal duit, nanti aku ambil sendiri di ATM," ujar Ken sembari meminta Ridho untuk membawa Bagas ke mobil. "Dasar laki-laki nggak tahu diri. Ngomong seenak jidatnya sendiri. Memangnya punya duit berapa sih kalian bisa bayar mulutku, heh! Mahar aja cuma delapan ratus ribu, belagu!" sentak Rena lagi saat melihat dua lelaki itu keluar gerbang rumah orang tuanya. Bagas menoleh dengan melotot lebar, begitu tak terima mendengar penghinaan itu terlebih pada bosnya. Namun, lagi dan lagi Ridho memintanya untuk segera masuk ke mobil. "A
"Mas Ken ngapain malam-malam ngumpet di sini?" tanya Hanum lagi sembari melihat ke sekeliling. Hanum sengaja mencari suaminya sebab tak ada di dalam rumah. Dia pikir Ken akan kabur setelah menghalalkannya. Entah mengapa sering kali pikiran buruk itu muncul begitu saja dalam benaknya. "Mas Ken ada masalah?" tanya perempuan itu lagi. Dia tersenyum tipis, mencairkan ketegangan di wajah Ken. 'Sepertinya aman. Hanum nggak dengar obrolanku dengan papa dan mama tadi.' Ken membatin lalu membalas senyum manis istrinya. "Nggak ada, Dek. Tadi telepon mama sama papa. Kamu mau ngobrol sama mereka?" tanya Ken sembari duduk kembali di kursi teras. Hanum pun duduk di kursi sebelahnya. Ada meja kecil yang memisahkan kedua tempat duduk itu. "Malu, Mas. Papa sama mama Mas Ken pasti shock berat dengar kabar pernikahan dadakan ini kan? Mereka mungkin nggak setuju Mas nikah sama Hanum. Apalagi jika tahu kalau kita tak mengenal sebelumnya bahkan baru pertama kali bertemu," lirih Hanum merasa tak percay
"Saya mau bercerai dengan Rena, Pak, Bu. Maaf kalau saya nggak bisa melanjutkan pernikahan ini. Saya menyerah," ucap Azziz setelah beberapa hari tak pulang ke rumah. Jelas tak pulang karena barang-barangnya pun sudah dibawa pergi. Dia kembali ke rumah orang tuanya. Meski dipaksa ibunya untuk bertahan dan memperbaiki hubungannya dengan Rena, tapi Azziz tak peduli. Keputusannya sudah bulat untuk berpisah. Baginya, kesalahan Rena sudah cukup fatal dan dia tak ingin membuang waktu untuk memberi kesempatan lagi. "Pernikahan kalian baru setengah tahun, masih seumur jagung. Apa nggak ada kesempatan kedua untuk Rena, Ziz?" Rudy bertanya dengan tenang. Dia menatap menantunya lekat, sementara Azziz lebih memilih menunduk. Bukan karena takut, tapi dia segan menatap balik bapak mertuanya itu. "Maafkan saya, Pak. Saya menyerah. Tak sanggup mendidik Rena lebih baik. Maaf kalau saya sangat mengecewakan bapak. Maaf juga karena saya sudah menyakiti kedua anak bapak," ucap Azziz masih dengan menundu
"Apa maksudmu ngomong begitu? Oh, kamu juga seperti mereka yang mengira kakakmu gila? Perlu obat penenang, perlu ke psikiater atau psikolog segala, begitu, Num?!" sentak Mawar membuat Hanum mundur selangkah. Meski tanpa suara, Ken semakin mengeratkan genggaman tangannya untuk menenangkan Hanum. "Kamu senang kan sekarang lihat Rena seperti itu? Puas sudah membuatnya seperti ini?!" tukas Mawar lagi. "Membuat Mbak Rena seperti ini, Bu? Maksud ibu apa menuduh Hanum begitu?!" Hanum membela diri. Dia tak terima difitnah sedemikian rupa oleh ibu tirinya itu, apalagi di depan banyak orang. "Bukannya Mbak Rena yang awalnya membuat hidup Hanum hancur? Dia yang berkhianat. Kenapa sekarang ibu justru menyalahkan Hanum? Nggak salah sasaran kan, Bu?" Hanum mulai berani membela dirinya lagi. Ken menoleh, lalu mengangguk pelan. Dia mendukung keberanian istrinya. Sudah cukup lama diam dan mengalah, waktunya untuk unjuk gigi karena mengalah pun percuma, mereka tak pernah peduli akan hal itu. "Lih
"Kenapa kamu bisa begini, Ren?!" Mawar setengah berteriak saat melihat anak kesayangannya mengobrak-abrik beberapa barang di ruang tamu. Para tetangga tak berani mendekat karena Rena begitu kesetanan setelah motor dan mobilnya diangkut dealer. Azziz pun memilih pergi entah kemana. Sepertinya dia benar-benar malas melihat istrinya yang sulit diatur dan kelewat batas. "Menantu kesayangan ibu itu sudah menghancurkan hidupku. Apa laki-laki seperti itu yang menurut ibu terbaik dan layak dipertahankan?!" sentak Rena dengan mata memerah. Dia mengusap kasar kedua pipinya yang basah air mata. "Tak ada asap kalau tak ada api, Rena! Azziz begitu setelah melihatmu--Mawar tak melanjutkan kalimatnya. Di melirik sekitar yang masih banyak tetangga. Sekesal dan semarah apapun pada anaknya, Mawar masih berusaha menutupi aibnya di depan banyak orang. Dia juga tak ingin nama baik anak perempuannya makin tercemar. "Bukannya ibu bilang kalau tak ada asal kalau tak ada api? Sama halnya denganku, Bu. Ak
"Oh, ternyata kalian di rumah?!" tukas Rena saat melihat Ken dan Hanum duduk santai di teras belakang. Hanum menoleh, begitu pula dengan Ken. Mereka sengaja keluar kamar karena tak ingin terus mendengarkan pertengkaran Rena dan Azziz. Namun, sepertinya Rena tetap salah paham."Iya, Mbak. Kami memang di rumah sejak--"Sengaja menguping pertengkaranku dengan Mas Azziz? Sengaja nggak bawa mobil supaya aku nggak tahu kalau kalian di rumah?!" tuduhnya berapi-api. "Apaan sih, Mbak! Jangan asal nuduh. Ngapain juga aku sengaja nguping obrolan kalian. Nggak penting banget dan kaya kurang kerjaan!" Hanum tak mau kalah. Sekarang dia memang mulai berani membela diri bahkan tak segan menangkis tangan Rena jika dia mulai berani macam-macam. Hanum tak selemah dulu. "Halah! Kamu pasti senang kan lihat rumah tanggaku hancur berantakan? Bangga kamu ya, Num! Sekarang kamu bisa hidup mapan, sementara aku malah seperti ini," sindir Rena sembari melipat tangan ke dada. Hanum beranjak dari kursi. Ken b
"Berhari-hari nggak pulang, apa harus seperti ini sikapmu sama istri sendiri?!" sentak Rena lagi sembari membuka pintu utama dengan kasar lalu membantingnya. Ken yang akan beranjak dari tepi ranjang pun mengurungkan niatnya. Hanum menarik lengan suaminya agar duduk kembali. Mereka sepakat untuk tak ikut mencampuri urusan rumah tangga Rena dan Azziz. Membiarkan mereka menyelesaikan masalahnya sendiri. Kecuali jika ada kekerasan, barulah mereka akan turun tangan. "Istri? Kamu masih begitu luwes menyebut diri sendiri sebagai istri, Ren? Setelah apa yang kamu lakukan selama ini, hah?!" sentak Azziz dengan mata memerah. "Apa seperti itu sikap seorang istri yang wajib dinafkahi, diberikan kasih sayang, cinta dan diperjuangkan hidupnya? Kamu nggak buta dan nggak tuli kan? Namamu sudah buruk di mata banyak orang setelah video itu viral, Rena. Sadar!" bentak Azziz lagi sembari memukul meja ruang tengah. Beberapa barang di atas meja itu berhamburan ke lantai. Di dalam kamar, Hanum mengucap
"Sayang, aku punya sesuatu," ujar Ken saat masuk ke kamarnya. Hanum sudah ada di kamar sejak satu jam sebelumnya. Dia tengah menikmati senja di kamar sembari membaca novel online favoritnya. "Punya apa, Mas?" tanya Hanum saat menoleh ke arah pintu. Ken tersenyum lalu menyerahkan benda kecil ke tangan Hanum. "Apa ini, Mas?" tanya Hanum lagi sembari membolak-balik benda kecil itu. Ken duduk di tepi ranjang sembari menatap lekat istrinya yang terlihat penasaran dengan benda di tangannya. "Perekam suara ya, Mas?" tebaknya kemudian. Ken tersenyum lalu mengangguk. "Benar, Sayang. Itu alat perekam suara," balas laki-laki itu yakin. Hanum manggut-manggut lalu menatap suaminya. "Apa ada rekaman suaranya di dalam?" Lagi-lagi Ken mengangguk. "Suara siapa, Mas?" tanya Hanum lagi. Ken mengambil kembali alat perekam mini itu lalu menyambungkannya dengan USB di laptop. Hanum mendengarkan isi percakapan yang terekam di sana. "Suara Mbak Rena?" lirihnya seolah bertanya pada diri sendiri. Ken
Dua hari setelah penyelidikan diam-diam Hanum dan Ken di butik Clarissa, Ken duduk di warung kopi kecil dengan Bara. Pria berkacamata itu tampak serius sambil mengeluarkan benda kecil seukuran kancing dari tasnya."Ini alat perekam suara. Ukurannya kecil banget, bisa kamu selipin di tas, mobil atau kantong celana mereka. Baterainya tahan tiga hari, dan otomatis nyimpan suara kalau ada pembicaraan di radius 3 meter," ujar Bara menjelaskan. Ken mengangguk."Pas banget. Kita cuma butuh satu rekaman jelas buat Hanum tahu pasti niat buruk mereka berdua. Hanum masih nggak percaya kalau kakak tirinya bisa sejahat itu, sampai sekongkol dengan perempuan yang ingin menghancurkan rumah tangga kami." Ken menghela napas. "Soal foto-foto di hotel gimana, Bro? Kamu nggak langsung seret Rissa ke penjara?" tanya Bara sembari menatap Ken serius. "Sebenarnya aku masih kasih dia kesempatan untuk berubah, Bar. Aku masih lihat kebaikan mamanya selama ini dan hubungan kekerabatan kami. Tapi kalau dia maki
Malam itu, Hanum duduk di ruang tengah sambil menatap layar ponsel. Ken duduk di sebelahnya sembari menyeruput teh hangat buatan istrinya. Potongan bolu terhidang di piring kecil sebagai pendamping. "Mbak Rena bilang mau ke butik bareng Clarissa, Mas. Tapi butik mana?" Hanum bergumam sambil membuka media sosial milik saudara tirinya itu. "Mbak Rena itu orangnya narsis. Biasanya dia update story tiap lima menit. Meski perempuan di sampingnya sengaja diblur, tapi Hanum yakin itu Rissa." Hanum kembali berujar lirih. Ken ikut melongok."Apa ada yang aneh, Sayang?" tanya Ken sembari menikmati sepotong bolu. Hanum menggulir layar ponselnya."Lihat deh, Mas. Tiga puluh menit lalu, Mbak Rena upload video di mobil bareng Clarissa. Meski wajahnya diblur, Hanum yakin itu style Rissa. Captionnya itu makin membuat Hanum bertanya-tanya," ujar Hanum lagi. "Memangnya dia bikin caption apa, Sayang?" Lagi-lagi Ken terlihat cukup tenang dan tak sepanik Hanum."Dia bilang persiapan untuk kejutan spesi
"Sayang, kamu siap?" Ken berseru dari ruang tamu sambil merapikan kerah kemejanya. Rambutnya disisir rapi ke samping, dan aroma parfumnya menyusup masuk ke kamar.Hanum keluar dari kamar sambil tersenyum, membawa tas tangan kecil warna krem yang matching dengan gamis biru lembut yang dikenakannya."Siap! Kamu ganteng banget hari ini, Mas," godanya sambil menyentuh dagu Ken pelan. Ken nyengir. "Harus dong. Istri aku cantik, masa suaminya nggak pantes disandingin. Memangnya cuma hari ini aja gantengnya? Hari biasanya buruk rupa ya?" balas Ken sembari menjawil balik dagu istrinya. Hanum tertawa kecil dan mereka pun keluar rumah menuju mobil Ken yang terparkir di halaman. Rencananya mereka ingin jalan-jalan sekalian belanja di mall. Angin siang ini menampar wajah mereka, tapi suasana hati keduanya hangat. Keduanya masuk ke mobil dan memasang seat belt masing-masing. Perjalanan ke mall tak membutuhkan waktu lama. Sekitar setengah jam mereka sudah sampai mall yang dituju. Di mall, mereka