"Mau kemana?" Pria di sampingnya segera merasa tersinggung saat Liona berdiri dari posisi duduknya.
"Aku ke toilet sebentar."
Dirinya masih jengah dengan kedua temannya yang beberapa jam lalu memaksanya datang ke tempat itu, sebuah klub mewah yang mereka tahu adalah milik Arka Saputra, atasan Liona yang merupakan incaran salah satu temannya, Livy. Bukan rahasia lagi jika temannya itu sangat menggilai pria yang duduk di sampingnya sejak masa kuliah dulu.
"Aishhh baru minum beberapa teguk saja aku sudah pusing." Liona memukul kepalanya perlahan mencoba untuk tetap sadar sepenuhnya.
"Butuh bantuan?" Liona menatap cermin yang memperlihatkan sosok pria di belakangnya, dengan terkejut ia membalikan tubuhnya menghadap pria itu."Ini toilet wanita, kamu salah masuk." Liona memegang pegangan wastafel demi menumpu berat badannya yang mulai limbung.
"Aku hapal semua kejadian di tempat ini Liona, kamu lupa klub ini milikku?"
Jadi dia masuk dengan sengaja? Liona tak mau berpikir keras, ia sudah terlalu lama meninggalkan teman-temannya.
"Aku tahu, kalau begitu permisi." Baru saja melepas pegangan, Liona limbung lagi yang segera mendapat bantuan dari Arka yang tepat berada di depannya.
"Sepertinya kamu butuh bantuan, sini aku bantu." Tangannya masih terikat di pinggang Liona yang membuat pemilik tubuh itu tidak nyaman.
"Aku bisa jalan sendiri" Liona melepas tangan Arka dan berjalan sendiri.
"Na, kenapa lama banget, liat nih si Meta udah mabuk parah. Kayanya kita harus segera bawa dia pulang deh." Livy menunjuk teman di sampingnya yang sedang meracau tidak jelas.
"Kalian sudah mau pulang?" Arka mendengar percakapan mereka.
"Iya, kayaknya kita harus pulang sekarang. Padahal aku masih betah disini." Livy jujur.
"Na, lo bisa pulang naik taxi gak? Soalnya tempat lo paling jauh di antara kita bertiga. Kalau gue gak segera nganterin Meta, bisa- bisa gue marahin bang Andri."
Selalu seperti ini setiap mereka pergi, Liona ingin sekali memprotes tapi kalimat Livy memang benar juga.
"Oke gakpapa, gue bisa pulang sendiri." Liona membantu Livy membopong tubuh Meta yang sudah tak sadarkan diri sampai ke mobil.
"Na, thanks buat malam ini ya. Karena lo gue bisa ketemu Arka." Senyum sumeringah dari lawan bicaranya membuat Liona sedikit menghangat, bantuan kecil yang ia berikan sangat berarti untuk temannya.
Santai aja, itu bukan apa-apa kok.
Sudah hampir setengah jam Liona berdiri tapi tetap tak menemukan taksi yang lewat di dekatnya, ponsel yang sedari tadi dalam genggamannya sudah lama mati karena kehabisan daya.
"Kenapa malam ini begitu sial, aku ingin segera tidur." Liona berjongkok sewaktu-waktu, kakinya sudah sangat pegal.
"Kenapa belum pulang, bukannya teman kamu udah pulang dari tadi?" Kaca mobil terbuka, menampakkan wajah Arka.
"Aku lagi nunggu taksi." Liona berdiri dari posisi jongkoknya.
"Hampir tidak ada taxi yang lewat sini, apalagi malam begini. Ayo aku antar." Arka berbaik hati memberi tumpangan.
"Tapi_"
"Ayo, aku antar sampai rumah. Aku bukan orang asing." Arka meyakinkan.
Liona melirik selai di tangannya, hampir selai satu pagi. Akhirnya Liona pasrah menerima tawaran Arka untuk masuk ke mobilnya."Kamu sering datang ke klub milikku?" Arka melirik sekilas, wanita di sampingnya yang selalu terlihat ragu saat mengobrol.
"Tidak, ini pertama kali." Liona jujur.
"Pantas saja."
"Hah? Kenapa?"
"Kamu amatir saat minum tadi." Liona tertunduk, entah malu atau apa tapi ia membenarkan kalimat pria di sampingnya.
"Arka, belok kanan." Liona sadar saat Arka memilih jalur yang bersebrangan.
“Kamu pindah kosan?” Arka sempat menyernyit.
"Dari mana kamu tahu?" Setahu Liona, belum ada yang tahu kepindahannya yang baru-baru ini selain temennya.
"Hanya menebak." Balas Arka data.
"Jadi kamu benar-benar baru aja pindah? Kenapa sama tempat lama kamu?"
"Aku hanya merasa kurang aman."
Liona mengarahkan perjalanan mereka ke sebuah share house yang lumayan besar, biasanya di satu rumah di antara beberapa orang. Pemilik share house menyewakan rumah karena sudah lama menetap di rumah barunya.
"Kamu tinggal disini? Ini rumah keluargamu?" Arka penasaran saat pertama kali melihat rumah yang Liona huni.
"Ini share house yang di sewakan, ada beberapa orang yang tinggal," jelas Liona singkat.
"Apa semua penghuninya wanita?"
Liona mulai merasa jengah dengan banyak pertanyaan yang Arka lontarkan, Liona pikir Arka seharusnya tidak terlalu banyak tahu tentang kehidupannya yang tidak akan menjadi hal penting untuk dirinya.
"Ada satu pria, dan dua wanita. Arka, terima kasih tumpangannya. Aku pamit" Liona hendak membuka pintu mobil namun Arka mencekal tangannya.
"Bukannya justru tidak aman berada satu rumah dengan pria di dalamnya? Dia bisa saja pria jahat."
"Aku udah ketemu dia, dia pria baik. Arka, ini udah malam. Aku mengantuk, bisakah aku pergi sekarang?" Mata Liona berhadapan dengan pegangan Arka di tangannya yang segera lepas.
Sedikit berawan tapi tak berani hujan. Langit terlihat sedang dalam mode romantis. Liona tanggap anggun di lobi kantor yang baru saja menjadi tempat kerjanya beberapa bulan yang lalu setelah resmi pindah dari kerjaan sebelumnya.
"Liona, kamu panggil pak Arka ke ruangannya." Marko yang merupakan kepala di divisinya memanggil Liona yang baru saja mendudukan diri di kursi.
"Sepagi ini?" Bahkan Liona belum menghidupkan komputernya dan dia sudah harus menemui Arka di pagi buta, jam kerja baru saja di mulai lima menit lalu.
"Aku juga nggak tau, mungkin ada keperluan mendadak. Datang saja, sebelum dia marah," balas Marko bercanda.
Dua ketukan cukup untuk membuatnya masuk ke ruangan Arka, derap langkahnya menarik perhatian pria yang sedang fokus dengan komputernya beberapa detik lalu.
"Ada apa Bapak memanggil saya." Meski panggilan formal itu selalu membuat Arka jengah, tapi Liona melarang untuk memanggilnya dengan formal di jam kerja.
"Ikut denganku untuk bertemu kali ini."
"Tapi Nadine_"
"Aku tidak akan menyuruhmu kalau dia ada, pergi bersiap dalam lima menit. Aku menunggu di lobi." Liona bersungut dalam hati, kenapa harus dia. Perusahaan tidak harus membayarnya lebih karena pekerjaan ekstra yang dia lakukan.
Liona membuka laptop milik Arka untuk mempersiapkan tayangannya sebentar lagi. Namun matanya tertarik pada nama folder yang serupa dengan namanya dan sengaja mengklik folder tersebut.
"Arka, apa semua ini?"
"Jelaskan semuanya." Tatapannya tak lepas dari layar di hadapannya, puluhan bahkan ratusan foto dan video dirinya yang berada dalam folder tersebut yang di ambil dalam berbagai tempat. Arka beranjak dari tempat duduknya dan melihat apa yang dimaksud Liona sampai membuat perubahan pada ekspresinya."Kamu bisa menebaknya sendiri." Kontras dengan wajah Liona yang terkejut, Arka justru terlihat santai."Aku benar-benar gak ngerti kenapa kamu punya foto aku sampai sebanyak ini, untuk apa Arka?" Liona menuntut penjelasan, untuk apa seseorang menyimpan fotonya, bukankah itu terdengar menakutkan."Lain kali jangan lancang membuka file sembarangan. Ayo, kita harus segera kembali." Bukannya menjawab, Arka malah menutup laptop yang masih menyala dan membawa Liona bersamanya."Arka, tunggu. Aku rasa kita harus bicara, kamu belum jawab pertanyaan aku." Liona menolak saat Arka menyuruhnya memasuki mobil. "Aku jelaskan nanti, kita harus pulang." "Aku gak mau, kamu harus jelasin semuanya sekar..m
“Na, kita mau pada makan di luar nih sama pak Marko, kamu mau ikut gak?”Tanpa berpikir keras Liona langsung menggeleng sebagai jawaban, selain karena Liona malas keluar dia juga sedang tidak nafsu makan."Aku boleh nitip smoothies sama wafel gak Des, aku gak terlalu nafsu makan." Liona jujur."Boleh dong, cuma itu aja? Yakin gak laper?" Desi memastikan."Iya, itu aja." Getaran kecil berasal dari ponsel miliknya yang sengaja disimpan di meja samping komputer. Liona berpikir paling itu notifikasi grup chat seperti bisanya maka dari itu dia hanya menoleh tanpa membukanya dan melanjutkan pekerjaannya.Selang beberapa saat, suara langkah berhenti tepat di sampingnya."Di bayar berapa kamu sama perusahaan sampai jam istirahat aja kamu masih kerja begini." Hening, tak ada jawaban.Arka kesal di abaikan, tangan Liona yang semula berada di atas meja segera di raih Arka dan di tarik mengikutinya. "Arka, apa- apaan. Aku sedang kerja. Lepas." Tak ada seorangpun di sana, semua orang sedang meni
"Huaaaahhhhghh.." Minggu pagi yang membabi buta, Liona bangun tepat saat matahari sedang di puncaknya, terlalu lelah membuatnya malas untuk bangun terlalu pagi apalagi di hari libur. Cukup hari sabtu saja ia bangun pagi untuk memenuhi schedule rutinnya untuk jogging di sekitar komplek, minggu adalah hari bermalas- malasan. Rambut panjangnya yang masih berantakan serta selimut yang masih meililitnya, Aishhh semua makhluk memang seperti ini di hari minggu bukan? Kepalang lapar, Liona merapel sarapannya bersama dengan makan siang. Omlet telur dengan ekstra bawang goreng favoritnya tak lupa yogurt segar yang terabsen di kulkasnya yang tinggal sisa tiga biji. Pertanda akhir bulan akan segera datang. Iseng membuka ponsel dan scroll random, Liona tak lupa menyempatkan untuk mengklik grup whatsup nya, tertumpuk tiga ratus chat di grup yang belum sempat ia baca. Entah kerusuhan apa yang di lakukan kedua temannya di grup sampai menghasilkan sampah memori sebanyak itu. “Ya ampun Na, lo bar
“Ya ampun Na, kamu demam. Ini panas banget. Aku ke kamar Bily dulu ya kita kerumah sakit minta anter Bily.”“Enggak usah Mbak, minum obat aja kayanya mendingan ko. Aku juga udah izin sama atasan aku gak masuk kerja.” Melihat badan Liona yang mulai lemas dan wajahnya yang memucat, Risti langsung menuju kamar Bily tanpa menggubris kalimat Liona. Berhasil membangunkan Bily dari tidurnya yang baru saja terpejam 30 menit yang lalu karena kebiasaannya untuk nongkrong. Bily tak keberatan bahkan langsung tanpa pikir panjang untuk segera datang.“Kenapa gak ngasih tau gue dari semalem.” Geram Bily yang terlanjur kesal pada Risti yang sudah ia beri kepercayaan untuk menjaga Liona.Risti tak menjawab hanya pasrah dengan rasa bersalahnya, Liona juga tak berani menolak saat tubuhnya di bopong ke mobil untuk dibawa kerumah sakit.“Minum obatnya secara teratur ya, dia punya riwayat lambung juga jadi saya kasih tambahan obat. Salepnya jangan lupa dioles untuk kakinya supaya cepat sembuh. Jangan di
“Masuk aja, gak aku kunci” teriak Liona dari dalam kamar. Tak mau lagi jatuh seperti tadi siang Liona sekarang sengaja tidak mengunci kamarnya agar tidak perlu berjalan untuk membuka pintu yang berkemungkinan besar mencelakai kakinya lagi. “aku bawa kerang saus tiram sama udang, kamu suka kan?” Satu anggukan tanda meng- iyakan dari Liona.“Na kamu belum mandi? Baju kamu masih sama. Mau aku bantu mandi?” “maksud kamu?” Biasanya Risti akan menawarkan diri untuk membopong Liona semenjak Liona sakit, tapi hari ini Risti belum muncul.“Bantu kamu mandi, a.a.. I mean, bantu kamu ke kamar mandi gitu bopong kamu jalan.”Liona mengerjap terlihat bodoh, apa harus menerima tawaran Arka, tapi gimana caranya. Dia bahkan kesulitan saat memakai celana nya, dan biasanya Risti yang sigap membantu.“Aku bantu bawa kamu sampe pintu kamar mandi, kalo bisa kamu pake dress atau dasteran aja selama kamu sakit. Pasti susah pake celananya kan?”Wohalaaa apa Arka cenayang, ko bisa baca pikiran Liona. Daster
"Sabar dikit kenapa sih?"Notifkasi grup whatsup nya berulang kali terdengar nyaring dari kamar mandi bersautan dengan suara nyaring hair dryer yang sedang digunakannya. Ngaret dan lelet adalah nama tengah Liona, begitulah Meta dan Livy mendeskrifsikannya. Liona bisa menghabiskan hampir satu jam di kamar mandi, hanya untuk bersiap.Pintu kamar mandi terbuka dengan rambut yang semi kering, handuk masih melilit ditubuhnya. Tangannya sibuk memilih pakaian mana yang akan ia kenakan. Apa semua wanita sepertinya juga? Pilihannya jatuh pada jeans longgar warna biru dan baju kaos putih kedodoran yang menjadi favoritnya. Hanya sapuan kecil untuk wajah mungilnya karena Liona kepalang irit menggunakan make up. Jarinya sibuk antara membalas chat untuk menenangkan teman- temannya sekaligus membuat janji dengan ojek online yang juga sudah nangkring di depan gang rumahnya.Dengan tergopoh- gopoh Liona berjalan setengah lari ke arah meja yang telah di pesan temannya itu. Dari jarak sepuluh langkah L
“Ka, kita mau kemana? Kamu bawa aku kemana?” Liona panik.Tak mendengar jawaban, Liona berkicau kembali.“Ka, kita mau ke mana? Aku mau pulang.” Tak lama mobil terparkir di bawah gedung apartemen mewah, Liona diam terpaku saat melihat sekelilingnya menatap curiga pada pria di sampingnya. Apa dia benar- benar pria baik? Apa sebaiknya ia lari setelah pintu mobil terbuka. Liona tambah panik dibuatnya.“Temani aku makan malam, jangan harap aku ngenterin kamu pulang setelah kamu hancurin semua rencan pesta ulang tahunku sendiri.”“Tapi kenapa harus disini, kamu bisa makan di restoran.”“kamu gak dalam posisi bernegosiasi, ini semua salah kamu, setidaknya bertanggung jawablah.”Takut dengan hal terburuk Liona menurut dan masuk ke unit milik Arka yang terlampau mewah. Semua yang dilihatnya berwarna charcoal, ada beberapa debu yang dilihatnya di beberapa pajangan menyiratkan bahwa Arka jarang menempatinya. Dua puluh menit menunggu, bel berbunyi dan pesanan makanan sudah tersaji lengkap di me
"Apa harus dia?" irisnya berputar, seperti sedang mencoba memutuskan sesuatu.Minggu pagi, Liona tengkurap di kasurnya dengan lemon tea yang dibuatnya. Otaknya memutar mengingat dan berdiskusi. Jalan apa yang akan dia lalui. Kenapa bisa sangat serumit ini. "Aishh ya sudahlah, aku coba dulu." Liona mengerutkan alisnya, lalu menggeleng tak mengerti. Entah apa yang sedang dirajut di otak kecilnya itu. Beberapa saat kemudin terlihat dirinya yang sedang mencari salah satu kontak di ponselnya. “Halo Bil. Apa kamu ada di kamar?” Terdengar percakapan di telpon“Gue di luar, kenapa? Pintu lo rusak lagi?” Tuduh orang yang berada di sebrang telpon.“Enggak ko, mmm.. Bil bisa ketemu bentar gak, ada yang mau aku diskusikan.”“Tunggu gue balik aja ya, maleman kayanya.”“Oke, gak papa aku tunggu. Kabarin aja kalo udah di kamar.”Liona cemas menunggu, apakah ini akan menjadi keputusan yang tepat. Apa dengan ini dia bisa lari dari Arka dan bisa mengembalikan pertemanannnya seperti semula.Suara ses